—Temu.
•••
Seulas senyum manis ditampilkan pria berkulit putih bersih itu ketika pintu ruangannya terbuka—menampilakan sesosok pria jangkung dengan pakaian formal membalut tubuhnya.
“Tetaa,” Thi memanggil, “Tumben nyamperin Thi?” Ia kembali membuka suara, bangkit dari duduknya mendekati sang suami.
Hingga tepat dihitungan ke empat langkahnya di paksa berhenti, Thi tak benar-benar siap atas apa yang Tawan lakukan padanya, lelaki tampan itu langsung mencium bibirnya secara tiba-tiba.
Tak mau ambil pusing atas apa yang terjadi diantara mereka berdua, Thi ikut ambil alih, mulai membalas cumbuan memabukkan sang suami, pun dengan kedua tangan yang mengalung begitu indah di leher yang tua. Menyesap bibir bawah Tawan tanpa henti, membiarkan kedua tangan pasangannya bergerak mengherayangi tubuhnya.
Pagutan mereka terlepas setelah dirasa hampir kehabisan napas, netra hitam pekat sang empu menatap iris kelabu sang bulan, kata cantik tak akan pernah ketinggalan setiap kali ia menatap Thitipoomnya.
Kesepuluh jemari Tawan mulai menanggalkan kancing kemeja yang muda, telapak tangan kanannya bergerak mengelus perut si manis dengan begitu perlahan.
“Tawan.”
Melodi paling indah itu langsung menjamah indera pendengarannya, Tawan ingin lebih.
Bersamaan dengan jemari tangannya bergerak semakin ke bawah, netra hitam pekat sang empu kembali menatap wajah Thitipoomnya, kedua kelopak mata yang muda tertutup rapat, benar-benar menyembunyikan kilau indahnya, hingga pandangannya jatuh pada bilah bibir merah muda sang kekasih hati, detik berikutnya Tawan kembali mencium si manis. Yang muda kembali membalas ciuman lelakinya seolah mengizinkan atas apa-apa yang Tawan lakukan.
Bibir Thi tak kuasa bergerak ketika kedua jemari kiri Tawan dengan lancangnya membuat gerakan memutar pada noktah miliknya.
Pandangan keduanya bertemu, saling bersinggungan untuk beberapa waktu begitu kelopak mata yang muda memamerkan keindahannya, membiarkan debaran menggila begitu terasa di dada, Thi mengulas senyum tipis untuk orang tercintanya.
Entah apa yang ada di pikiran Tawan selanjutnya, seakan kewarasan yang tadinya mengawang itu kembali—ia tersadar atas apa yang telah dilakukannya pada si cantik.
“Demi Tuhan Thi aku minta maaf.” Tawan lekas-lekas mengancing kembali satu-persatu kemeja putih suami cantiknya.
“Aku minta maaf, aku gak izin dulu.”
“Aku minta maaf sama kamu, Cantik.”
Kesepuluh jemarinya bergerak merapikan Thi yang berantakan akibat ulahnya.
“Mana yang sakit?”
“Gak ada, Tetaa kenapa berhenti sih!” Thi menjawab, terselip nada kesal di sana.
“Thi?”
“Aku udah di ujung banget, ayo dong lanjut aja kita.” Ujar yang muda.
“Di rumah ya Cantik?”
“Telat banget kamu baru sekarang bilangnya, kamu udah raba-raba aku di sini.”
Tawan hanya memberi senyum simpul, kesepuluh jemarinya tak berhenti mengelus pipi gembul lelaki yang berada di depannya.
“Kamu gak apa-apa tau agak berani sedikit,”
“Enggak, Thi.”
“Kamu beneran gak mau nih?”
“Enggak.”
Kedua bola mata yang muda bergerak kebawah lantas seulas senyum tipis ia tampilkan, “Stop bilang enggak kalau kamu yang lain bilang iya.”
Setelah mengucapkan kalimat si manis yang tadinya duduk diatas meja kerjanya itu menarik jas Tawan, berniat menghapus jarak diantara mereka.
Iris kelabunya kembali menatap netra hitam pekat itu begitu dalam, “Kamu gak perlu izin, aku udah iya atas apa yang kamu lakukan dari awal, Tawan.”
“Thi sayang kamu sekali,” Yang muda berbisik, bibir ranumnya mulai bermain pada jakun yang tua, Thi tersenyum di sela cumbuannya begitu ia tahu jika napas yang tua memberat.
“Thi kita gak lagi di kamar.”
“Ya terus, kenapa?” Thi menjawab dengan begitu santai, masih sibuk bergerak memberi tanda pada setiap jengkal leher yang tua.
Tangan kiri Tawan menangkup pipi kekasih hatinya, kembali mengajak untuk saling tatap tanpa ada kata yang terucap, setelahnya yang tua mulai mencium dahi, kedua mata, hidung, kedua pipi, dan berakhir pada bibir bengkak merah muda sang empu, “Aku sayang kamu, Thi.”
“Mau ya di sini,” Ucap si manis, harap itu jelas terasa.
“Kamu gak apa-apa Cantikku?”
“Aku dibanting juga gak apa-apa kalau sama kamu.” Thi menjawab lengkap dengan kedipan dan senyum nakal terpampang jelas di wajahnya.
Tak ada lagi dialog diantara kedua anak adam tersebut setelah jawaban yang dilontarkan Thi barusan, Tawan tak lagi menahan-nahan apa yang dirinya lakukan, kembali mencium bibir manis pasangannya turun ke leher putih bersih yang muda, memberi tanda seperti Thi lalukan padanya, melupakan sejenak jika mereka berdua tengah berada di ruang kerja sang suami manisnya, membiarkan Thi duduk di atas meja dengan keadaan berantakan paling indah di pandang lama-lama.
“Cantik.”
Si manis kembali menyembunyikan iris kelabunya ketika jemari Tawan mulai menyapa dirinya, napasnya tercekat pun lengkap dengan bibir bawah yang ia gigit tanpa sadar.
“Sakit?” Tawan memberi sebuah tanya, nadanya begitu lembut hingga Thi menangis atas perhatian teramat sangat Tawan berikan padanya.
Sebuah gelengan kepala Tawan dapatkan.
Lelaki berkulit putih bersih yang tak lagi mengenakan sehelai benang itu membuka lebar kakinya, mempersilahkan Tawan untuk melakukan hal yang lebih dari ini, menatap netra hitam pekat yang tua lekat-lekat lalu ia mengangguk dua kali.
“Boleh, Thi?”
Thi langsung mengangguk tanpa tapi.
Debaran jantungnya berpacu lebih cepat begitu yang tua mengindahkan apa yang dirinya pinta, Thi dengan senang hati melantunkan nama suaminya tanpa henti, ringisannya tak lagi sayup-sayup terdengar. Kedua kakinya melemas bersamaan dengan Tawan yang sudah ada pada dirinya, ibu jari lelaki tan itu bergerak memisahkan gigitan Thi pada bibir bawahnya, “Gigit jari aku aja Cantik, jangan bibir kamu.” Tawan berbisik.
Gerakan Tawan bukan main sempurnanya membawa seluruh kewarasan Thi mengawang entah kemana, kelima jemarinya meremas paha kiri yang muda napas keduanya memburu di kerjar waktu, Thi memasrahkan dirinya pada Tawan membiarkan lelaki tan itu mengambil alih dirinya secara penuh.
“Aku cinta kamu, Thitipoom.” Tawan membuka suara.
“Kiss—” Thi tak sanggup melanjutkan katanya begitu yang tua menghentakkan pinggulnya, menarik tengkuk yang muda semakin dekat pada dirinya—memberikan sebuah cumbuan panas seperti apa yang di inginkan lelaki cantik di depannya ini.
“Cantikku.”
Tangan lelaki cantik itu terulur menggenggam kelima jemari lelakinya, perlahan Thi menempatkan jemari Tawan pada surai berantakannya, “Jambak.” Hanya satu kata yang dapat ia ucapkan.
Pemilik netra hitam pekat itu mengabulkannya, menarik rambut si manis ke belakang—bergerak dengan konstan mengisi kekosongan sang bulan dengan begitu pas, tatapan sayu lelaki putih bersih itu mengarah pada Tawan menambah rupa cantiknya semakin menjadi-jadi.
Di menit selanjutnya kedua kaki Thi membelit pinggul lelakinya, manarik tubuh Tawan semakin dekat padanya, erangannya terdengar begitu jelas setelahnya.
“Yes, right here, Daddy.” Thi mendesis lengkap dengan tatapan begitu nakal yang ia berikan.
Kewarasan Tawan seratus persen lenyap mendengar apa yang Thi ucapkan barusan, kaki kiri sang bulan ia tempatkan pada pundak kokohnya, lagi-lagi menciptakan desahan Thi yang memanggil namanya tanpa henti.
“Tawan,” Thi meremat lengan suaminya, “Aku.”
“Iya Cantik.”
Air mata yang muda turun membasahi kedua pipinya tak lagi bisa menahan segala nikmat yang Tawan berikan secara percuma untuknya, tepat di hentakan terakhirnya Tawan benar-benar membagi cintanya pada Thi, menatap iris kelabu sang empu dengan napas saling bersahut berantakan.
Ibu jari yang tua kembali mengelus pipinya, menyerka air matanya, menghapus keringatnya, pada akhirnya sebuah ciuman penuh rasa sayang Tawan berikan tepat di bagian dahi sang bulan.
“Aku sayang kamu sekali, Thitipoom vihokratana.”
Serasa napas yang muda telah teratur kembali pria berkepala empat itu mulai menggendong lelaki manisnya—melangkahkan kaki mendekat pada sofa panjang di sudut ruangan.
Thi kembali meringis begitu Tawan mendaratkan dirinya duduk di sana, “Sakit kan? Lepas aja ya?” Tawan bersuara yang lantas dibantah oleh Thi.
“Gak mau.”
“Cantikku ini mau-nya apa?”
“Mau ngobrol, mau sayang-sayangan sama kamu.”
“Iya, kita bersih-bersih dulu, ya?”
Sebuah gelengan kembali Tawan dapatkan, Thi memajukan wajahnya mendekat kearah sang suami, lantas mengecup bibir yang tua, melupakan jika ia dan sang suami masih di ruangan kerjanya—di atas pangkuan Tawan vihokaratana pula.
“Kamu tadi kenapa langsung cium Thi? Kamu habis liat apa?” Thi bertanya.
“Gak liat apa-apa Cantikku.”
“Kamu nonton porno ya?”
“Sembarangan.”
Kekehan si manis terdengar, ia kembali berucap, “Bukan kamu banget tanpa babibu udah main cium-cium begitu.”
“Aku cerita nanti aja boleh?”
“Iya boleh.”
Lengkung bahagia itu tercipta menghiasi wajah yang tua, tangan kanannya terulur mengelus pipi lelaki yang tengah berada di pangkuannya untuk kesekian kali.
“Cantik.”
“Makasih udah puji Thi terus dari tadi.”
Tawan tersenyum sebagai jawaban atas apa yang Thi ucapakan.
“Kamu mau tau gak?”
“Mau.”
“Tangan satunya jangan main di pinggang Thi dong.”
Tawan terkekeh pelan, menjauhkan tangan kirinya dari kulit telanjang yang muda, siap mendengarkan cerita apa yang akan Thi bagikan.
“Dulu Thi pernah bilang sama kamu kalau nanti kita menikah dan kamu minta izin buat menikah lagi, aku bilang pas itu ceraikan aku dulu, iya kan?”
Tawan mengangguk membenarkan.
“Tapi sekarang jawabannya udah beda, kalau emang kebahagian kamu itu dengan cara punya cinta yang baru selain aku, aku izinkan asal kamu tetap sama aku juga.”
“Toh itu pun bukan hal yang salah besar sebenarnya kan? Aku gak apa-apa selama kamu masih bisa aku peluk, masih bisa aku jadikan tempat untuk mengeluh, karena menurut aku dengan kamu punya cinta yang baru bukan berarti aku kehilangan cinta dari kamu.”
“Habis nonton film apa Thi?” Tawan bertanya, menatap sepasang iris kelabu sang empu, sinarnya meredup.
“Enggak, cuma mau bilang itu aja.”
“Aku gak bisa adil, aku gak butuh orang lain, aku udah cukup sama kamu, aku gak bisa mencintai orang lain kalau isi kepala dan hatiku udah ada kamu, apalagi yang aku cari di luaran sana kalau semua udah aku dapatkan dari kamu?”
“Thi cuma revisi kalimat aku yang dulu.”
“Nikahan mahal.”
“Kamu uangnya banyak.”
“Mending ngajak kamu liburan dari pada di pake buat nikah lagi, aku udah bilang berulang kali kalau tujuan hidup aku sekarang itu mau membahagiakan kamu sama Lolly.”
“Yah, kucingku nangis.”
“Aku sayang banget sama kamu Tetaa.”
“Aku minta izin orang tua kamu buat menikahkan kamu, membahagiakan kamu, menjaga kamu, berusaha untuk selalu ada di sisi kamu setiap keadaan apapun, dan terus mencintai kamu tanpa paksaan siapa-siapa.”
“Thi, kamu gak perlu mikir kalau aku bakal nikah lagi atau apalah, kamu gak perlu memberi izin seperti itu, karena kamu satu-satunya orang yang mau aku ajak untuk menua bersama,”
“Aku udah cukup di kamu, hidup aku udah lebih dari apa yang aku minta pada semesta sebelumnya, aku gak butuh orang lain lagi.”
“Dapetin kamu itu susahnya bukan main, ya masa aku sia-siain begitu aja, rugi dong aku.”
Lelaki manis itu tak lagi bisa menahan tangisannya begitu yang tua merentangkan kedua tangan—menyiapkan pelukan paling hangat tiada tara untuk suami cantiknya.
“Sayang sama Thi terus ya.”
“Gak perlu kamu minta. Tadi aku kasar ya, ada yang sakit?”
Thi menggeleng.
“Rambutnya sakit gak?” Tawan bertanya sembari mengelus begitu lembut surai si manis.
“Enggak.”
“Thi.”
“Saya.”
“Aku sayang kamu sekali, semoga kamu bahagia ya sama aku.”
“Aku juga sayang banyak sama kamu, aku gak pernah gak sayang sama kamu Tawan, aku bahagia sama kamu, dan kamu semoga bahagia bersama aku.”
“Kamu makin pinter, seksi banget kamu Thipum.”
“Kamu suka?”
“Sang—astaga Thi.” Tawan mengerang begitu yang muda menggerakkan pinggulnya secara tiba-tiba, menatap bagaimana reaksi dari raut yang muda, matanya terpejam lengkap dengan mulut terbuka, cantik sekali.
“Sekali lagi, Daddy.”
•••
—Joya.