Joya.

Ibunya Newwiee.

—Temu.

•••

Seulas senyum manis ditampilkan pria berkulit putih bersih itu ketika pintu ruangannya terbuka—menampilakan sesosok pria jangkung dengan pakaian formal membalut tubuhnya.

“Tetaa,” Thi memanggil, “Tumben nyamperin Thi?” Ia kembali membuka suara, bangkit dari duduknya mendekati sang suami.

Hingga tepat dihitungan ke empat langkahnya di paksa berhenti, Thi tak benar-benar siap atas apa yang Tawan lakukan padanya, lelaki tampan itu langsung mencium bibirnya secara tiba-tiba.

Tak mau ambil pusing atas apa yang terjadi diantara mereka berdua, Thi ikut ambil alih, mulai membalas cumbuan memabukkan sang suami, pun dengan kedua tangan yang mengalung begitu indah di leher yang tua. Menyesap bibir bawah Tawan tanpa henti, membiarkan kedua tangan pasangannya bergerak mengherayangi tubuhnya.

Pagutan mereka terlepas setelah dirasa hampir kehabisan napas, netra hitam pekat sang empu menatap iris kelabu sang bulan, kata cantik tak akan pernah ketinggalan setiap kali ia menatap Thitipoomnya.

Kesepuluh jemari Tawan mulai menanggalkan kancing kemeja yang muda, telapak tangan kanannya bergerak mengelus perut si manis dengan begitu perlahan.

“Tawan.”

Melodi paling indah itu langsung menjamah indera pendengarannya, Tawan ingin lebih.

Bersamaan dengan jemari tangannya bergerak semakin ke bawah, netra hitam pekat sang empu kembali menatap wajah Thitipoomnya, kedua kelopak mata yang muda tertutup rapat, benar-benar menyembunyikan kilau indahnya, hingga pandangannya jatuh pada bilah bibir merah muda sang kekasih hati, detik berikutnya Tawan kembali mencium si manis. Yang muda kembali membalas ciuman lelakinya seolah mengizinkan atas apa-apa yang Tawan lakukan.

Bibir Thi tak kuasa bergerak ketika kedua jemari kiri Tawan dengan lancangnya membuat gerakan memutar pada noktah miliknya.

Pandangan keduanya bertemu, saling bersinggungan untuk beberapa waktu begitu kelopak mata yang muda memamerkan keindahannya, membiarkan debaran menggila begitu terasa di dada, Thi mengulas senyum tipis untuk orang tercintanya.

Entah apa yang ada di pikiran Tawan selanjutnya, seakan kewarasan yang tadinya mengawang itu kembali—ia tersadar atas apa yang telah dilakukannya pada si cantik.

“Demi Tuhan Thi aku minta maaf.” Tawan lekas-lekas mengancing kembali satu-persatu kemeja putih suami cantiknya.

“Aku minta maaf, aku gak izin dulu.”

“Aku minta maaf sama kamu, Cantik.”

Kesepuluh jemarinya bergerak merapikan Thi yang berantakan akibat ulahnya.

“Mana yang sakit?”

“Gak ada, Tetaa kenapa berhenti sih!” Thi menjawab, terselip nada kesal di sana.

“Thi?”

“Aku udah di ujung banget, ayo dong lanjut aja kita.” Ujar yang muda.

“Di rumah ya Cantik?”

“Telat banget kamu baru sekarang bilangnya, kamu udah raba-raba aku di sini.”

Tawan hanya memberi senyum simpul, kesepuluh jemarinya tak berhenti mengelus pipi gembul lelaki yang berada di depannya.

“Kamu gak apa-apa tau agak berani sedikit,”

“Enggak, Thi.”

“Kamu beneran gak mau nih?”

“Enggak.”

Kedua bola mata yang muda bergerak kebawah lantas seulas senyum tipis ia tampilkan, “Stop bilang enggak kalau kamu yang lain bilang iya.”

Setelah mengucapkan kalimat si manis yang tadinya duduk diatas meja kerjanya itu menarik jas Tawan, berniat menghapus jarak diantara mereka.

Iris kelabunya kembali menatap netra hitam pekat itu begitu dalam, “Kamu gak perlu izin, aku udah iya atas apa yang kamu lakukan dari awal, Tawan.”

“Thi sayang kamu sekali,” Yang muda berbisik, bibir ranumnya mulai bermain pada jakun yang tua, Thi tersenyum di sela cumbuannya begitu ia tahu jika napas yang tua memberat.

“Thi kita gak lagi di kamar.”

“Ya terus, kenapa?” Thi menjawab dengan begitu santai, masih sibuk bergerak memberi tanda pada setiap jengkal leher yang tua.

Tangan kiri Tawan menangkup pipi kekasih hatinya, kembali mengajak untuk saling tatap tanpa ada kata yang terucap, setelahnya yang tua mulai mencium dahi, kedua mata, hidung, kedua pipi, dan berakhir pada bibir bengkak merah muda sang empu, “Aku sayang kamu, Thi.”

“Mau ya di sini,” Ucap si manis, harap itu jelas terasa.

“Kamu gak apa-apa Cantikku?”

“Aku dibanting juga gak apa-apa kalau sama kamu.” Thi menjawab lengkap dengan kedipan dan senyum nakal terpampang jelas di wajahnya.

Tak ada lagi dialog diantara kedua anak adam tersebut setelah jawaban yang dilontarkan Thi barusan, Tawan tak lagi menahan-nahan apa yang dirinya lakukan, kembali mencium bibir manis pasangannya turun ke leher putih bersih yang muda, memberi tanda seperti Thi lalukan padanya, melupakan sejenak jika mereka berdua tengah berada di ruang kerja sang suami manisnya, membiarkan Thi duduk di atas meja dengan keadaan berantakan paling indah di pandang lama-lama.

“Cantik.”

Si manis kembali menyembunyikan iris kelabunya ketika jemari Tawan mulai menyapa dirinya, napasnya tercekat pun lengkap dengan bibir bawah yang ia gigit tanpa sadar.

“Sakit?” Tawan memberi sebuah tanya, nadanya begitu lembut hingga Thi menangis atas perhatian teramat sangat Tawan berikan padanya.

Sebuah gelengan kepala Tawan dapatkan.

Lelaki berkulit putih bersih yang tak lagi mengenakan sehelai benang itu membuka lebar kakinya, mempersilahkan Tawan untuk melakukan hal yang lebih dari ini, menatap netra hitam pekat yang tua lekat-lekat lalu ia mengangguk dua kali.

“Boleh, Thi?”

Thi langsung mengangguk tanpa tapi.

Debaran jantungnya berpacu lebih cepat begitu yang tua mengindahkan apa yang dirinya pinta, Thi dengan senang hati melantunkan nama suaminya tanpa henti, ringisannya tak lagi sayup-sayup terdengar. Kedua kakinya melemas bersamaan dengan Tawan yang sudah ada pada dirinya, ibu jari lelaki tan itu bergerak memisahkan gigitan Thi pada bibir bawahnya, “Gigit jari aku aja Cantik, jangan bibir kamu.” Tawan berbisik.

Gerakan Tawan bukan main sempurnanya membawa seluruh kewarasan Thi mengawang entah kemana, kelima jemarinya meremas paha kiri yang muda napas keduanya memburu di kerjar waktu, Thi memasrahkan dirinya pada Tawan membiarkan lelaki tan itu mengambil alih dirinya secara penuh.

“Aku cinta kamu, Thitipoom.” Tawan membuka suara.

“Kiss—” Thi tak sanggup melanjutkan katanya begitu yang tua menghentakkan pinggulnya, menarik tengkuk yang muda semakin dekat pada dirinya—memberikan sebuah cumbuan panas seperti apa yang di inginkan lelaki cantik di depannya ini.

“Cantikku.”

Tangan lelaki cantik itu terulur menggenggam kelima jemari lelakinya, perlahan Thi menempatkan jemari Tawan pada surai berantakannya, “Jambak.” Hanya satu kata yang dapat ia ucapkan.

Pemilik netra hitam pekat itu mengabulkannya, menarik rambut si manis ke belakang—bergerak dengan konstan mengisi kekosongan sang bulan dengan begitu pas, tatapan sayu lelaki putih bersih itu mengarah pada Tawan menambah rupa cantiknya semakin menjadi-jadi.

Di menit selanjutnya kedua kaki Thi membelit pinggul lelakinya, manarik tubuh Tawan semakin dekat padanya, erangannya terdengar begitu jelas setelahnya.

“Yes, right here, Daddy.” Thi mendesis lengkap dengan tatapan begitu nakal yang ia berikan.

Kewarasan Tawan seratus persen lenyap mendengar apa yang Thi ucapkan barusan, kaki kiri sang bulan ia tempatkan pada pundak kokohnya, lagi-lagi menciptakan desahan Thi yang memanggil namanya tanpa henti.

“Tawan,” Thi meremat lengan suaminya, “Aku.”

“Iya Cantik.”

Air mata yang muda turun membasahi kedua pipinya tak lagi bisa menahan segala nikmat yang Tawan berikan secara percuma untuknya, tepat di hentakan terakhirnya Tawan benar-benar membagi cintanya pada Thi, menatap iris kelabu sang empu dengan napas saling bersahut berantakan.

Ibu jari yang tua kembali mengelus pipinya, menyerka air matanya, menghapus keringatnya, pada akhirnya sebuah ciuman penuh rasa sayang Tawan berikan tepat di bagian dahi sang bulan.

“Aku sayang kamu sekali, Thitipoom vihokratana.”

Serasa napas yang muda telah teratur kembali pria berkepala empat itu mulai menggendong lelaki manisnya—melangkahkan kaki mendekat pada sofa panjang di sudut ruangan.

Thi kembali meringis begitu Tawan mendaratkan dirinya duduk di sana, “Sakit kan? Lepas aja ya?” Tawan bersuara yang lantas dibantah oleh Thi.

“Gak mau.”

“Cantikku ini mau-nya apa?”

“Mau ngobrol, mau sayang-sayangan sama kamu.”

“Iya, kita bersih-bersih dulu, ya?”

Sebuah gelengan kembali Tawan dapatkan, Thi memajukan wajahnya mendekat kearah sang suami, lantas mengecup bibir yang tua, melupakan jika ia dan sang suami masih di ruangan kerjanya—di atas pangkuan Tawan vihokaratana pula.

“Kamu tadi kenapa langsung cium Thi? Kamu habis liat apa?” Thi bertanya.

“Gak liat apa-apa Cantikku.”

“Kamu nonton porno ya?”

“Sembarangan.”

Kekehan si manis terdengar, ia kembali berucap, “Bukan kamu banget tanpa babibu udah main cium-cium begitu.”

“Aku cerita nanti aja boleh?”

“Iya boleh.”

Lengkung bahagia itu tercipta menghiasi wajah yang tua, tangan kanannya terulur mengelus pipi lelaki yang tengah berada di pangkuannya untuk kesekian kali.

“Cantik.”

“Makasih udah puji Thi terus dari tadi.”

Tawan tersenyum sebagai jawaban atas apa yang Thi ucapakan.

“Kamu mau tau gak?”

“Mau.”

“Tangan satunya jangan main di pinggang Thi dong.”

Tawan terkekeh pelan, menjauhkan tangan kirinya dari kulit telanjang yang muda, siap mendengarkan cerita apa yang akan Thi bagikan.

“Dulu Thi pernah bilang sama kamu kalau nanti kita menikah dan kamu minta izin buat menikah lagi, aku bilang pas itu ceraikan aku dulu, iya kan?”

Tawan mengangguk membenarkan.

“Tapi sekarang jawabannya udah beda, kalau emang kebahagian kamu itu dengan cara punya cinta yang baru selain aku, aku izinkan asal kamu tetap sama aku juga.”

“Toh itu pun bukan hal yang salah besar sebenarnya kan? Aku gak apa-apa selama kamu masih bisa aku peluk, masih bisa aku jadikan tempat untuk mengeluh, karena menurut aku dengan kamu punya cinta yang baru bukan berarti aku kehilangan cinta dari kamu.”

“Habis nonton film apa Thi?” Tawan bertanya, menatap sepasang iris kelabu sang empu, sinarnya meredup.

“Enggak, cuma mau bilang itu aja.”

“Aku gak bisa adil, aku gak butuh orang lain, aku udah cukup sama kamu, aku gak bisa mencintai orang lain kalau isi kepala dan hatiku udah ada kamu, apalagi yang aku cari di luaran sana kalau semua udah aku dapatkan dari kamu?”

“Thi cuma revisi kalimat aku yang dulu.”

“Nikahan mahal.”

“Kamu uangnya banyak.”

“Mending ngajak kamu liburan dari pada di pake buat nikah lagi, aku udah bilang berulang kali kalau tujuan hidup aku sekarang itu mau membahagiakan kamu sama Lolly.”

“Yah, kucingku nangis.”

“Aku sayang banget sama kamu Tetaa.”

“Aku minta izin orang tua kamu buat menikahkan kamu, membahagiakan kamu, menjaga kamu, berusaha untuk selalu ada di sisi kamu setiap keadaan apapun, dan terus mencintai kamu tanpa paksaan siapa-siapa.”

“Thi, kamu gak perlu mikir kalau aku bakal nikah lagi atau apalah, kamu gak perlu memberi izin seperti itu, karena kamu satu-satunya orang yang mau aku ajak untuk menua bersama,”

“Aku udah cukup di kamu, hidup aku udah lebih dari apa yang aku minta pada semesta sebelumnya, aku gak butuh orang lain lagi.”

“Dapetin kamu itu susahnya bukan main, ya masa aku sia-siain begitu aja, rugi dong aku.”

Lelaki manis itu tak lagi bisa menahan tangisannya begitu yang tua merentangkan kedua tangan—menyiapkan pelukan paling hangat tiada tara untuk suami cantiknya.

“Sayang sama Thi terus ya.”

“Gak perlu kamu minta. Tadi aku kasar ya, ada yang sakit?”

Thi menggeleng.

“Rambutnya sakit gak?” Tawan bertanya sembari mengelus begitu lembut surai si manis.

“Enggak.”

“Thi.”

“Saya.”

“Aku sayang kamu sekali, semoga kamu bahagia ya sama aku.”

“Aku juga sayang banyak sama kamu, aku gak pernah gak sayang sama kamu Tawan, aku bahagia sama kamu, dan kamu semoga bahagia bersama aku.”

“Kamu makin pinter, seksi banget kamu Thipum.”

“Kamu suka?”

“Sang—astaga Thi.” Tawan mengerang begitu yang muda menggerakkan pinggulnya secara tiba-tiba, menatap bagaimana reaksi dari raut yang muda, matanya terpejam lengkap dengan mulut terbuka, cantik sekali.

“Sekali lagi, Daddy.”

•••

—Joya.

—Sebuah keputusan.

•••

Lelaki jangkung berkulit tan yang tengah duduk tepat di depan Mile phakphum itu memberi sebuah senyum canggung yang ia punya. Kedua netra anak adam itu saling bersinggungan untuk beberapa waktu lamanya.

Baik Mile ataupun Nattawin sama-sama bungkan dengan mulut tertutup rapat, hingga yang muda membuka suara, “Hai.” Sapanya.

“Natt.”

“Orang kenyang kayak gini apa ya?” Nattawin memberi sebuah tanya untuk mencairkan suasana diantara mereka berdua.

Mile terkekeh pelan mendengarnya.

“Ah Mile aku deg-deg an masa.”

“Sama, Nattawin.”

“Kamu mau ngobrolnya beneran di sini?”

Yang tua mengangguk dua kali.

“Ya cocok sih di restaurant ini cuma kita berdua, aku tau ini ulah kamu tapi aduh gua salting banget tapi aneh juga.”

Tangan kanan pria berkulit putih itu terulur untuk mengelus punggung tangan kekasih hatinya, membuat yang muda terdiam.

“Gak apa-apa, apapun nanti yang terjadi aku tetap akan peluk kamu dan anter kamu pulang.”

“Nah jangan gini makin takut aku jadinya tau gak kamu.” Nattawin berucap.

“Kamu ingat gak Mile pertama kali kita ketemu?” Sambungnya.

“Ingat.”

“Kamu tau gak kalau aku udah suka sama kamu.”

Mile langsung tertawa renyah mendengar penuturan dari Nattawin, hingga yang muda kembali berucap meyakinkan apa yang ia katakan adalah sebuah hal kebenaran, “Serius Pak lu jangan gitu ke gua.”

“Kamu suka aku sebelum kenal aku?”

“Iya, cuma kayak yang sekedar kagum aja awalnya gitu loh Mile, terus emang semesta baik banget sih tiba-tiba ada aja jalannya agar aku bisa dekat sama kamu, untung kamu gak bawa cash waktu itu.”

“Yaudah aku terus yang oke nih bisa gua deketin, muncul lah aku di samping kamu buat bayarin makanan kamu hahahaha.”

“Aku mikirnya ya dengan cara itu kita bisa kenalan, tapi jujur aku berharap bisa kenal banget sama kamu waktu itu, eh malah jadi pacar beneran mau jalan enam tahun pula kita.”

“Semesta tuh emang suka bercanda banget tau Mile, siapa sangka sih kita bisa ketemu terus ngabisin waktu sama-sama sampe sekarang.”

“Kamu mau ngabisin waktu dalam jangka waktu yang lama sama aku Apo Nattawin?”

Yang muda memberi sebuah senyum penuh arti, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya setelah lima menit Mile setia menunggu jawaban lelaki tan itu.

“Kemarin malem aku ngobrol sama Mama, lumayan panjang dan agak random juga topiknya, ya aku cuma mau ngasih tau aja ke kamu semuanya mau itu penting apa enggak, mau itu lucu atau garing, aku seneng bagi cerita ku sama kamu.”

“Aku sama Mama emang gak akur bisa dibilang gitu soalnya suka debat kalo ketemu, kalo kata Oma dulu karna kita mirip.”

“Tapi enggak deh, kamu sama Papa kamu mirip plek-ketiplek tapi akur-akur aja aku liatnya.”

“Terus apalagi ya Mile,”

“Kamu ngulur waktu atas apa yang aku tanya tadi kan Nattawin.”

Lelaki bernama lengkap Apo nattawin wattanagitiphat itu tertawa mendengarnya, sepasang netra sang empu tak lepas menaruh segala perhatian yang dirinya punya hanya untuk kekasihnya saja.

“Mile phakphum, makasih ya.”

“Makasih untuk semua hal yang udah kamu berikan secara percuma untuk aku, makasih udah gak capek sama aku tentu saja.”

“Makasih udah mau jadi tempat aku ngebacot sepanjang hari, udah mau nemenin aku kesana-sini, udah mendukung aku selalu, dan makasih makasih makasih banget banget banget karena kamu mau peluk aku.”

“Kamu benar, aku bisa tanpa kamu, aku bisa menjalani hari-hari ku tanpa kehadiran kamu seperti sebelum kita berdua saling kenal dan saling sayang seperti sekarang. Tapi, aku gak mau kalau ceritaku gak ada kamu di dalamnya.”

“Aku mau kita melangkah sama-sama Pak, kita sedih dan senang bareng-bareng, kita pergi kemana aja berdua,”

“Makasih karena kamu sabar banget nungguin aku, serius deh Mile lu sanggup banget gua gantungin terus jawabannya dari lima tahun yang lalu kayak kenapa kamu oke-oke aja sama aku yang belum tentu bisa sama kamu akhirnya nih, misalkan.”

“Ya, makasih Mile phakphum romsaithong.”

“Jadi?”

“Jadi?” Nattawin mengikuti apa yang Mile ucapkan dengan senyum manis menghiasi wajahnya, binar di mata tak dapat ia sembunyikan begitu menatap penuh ekspresi yang Mile tunjukkan saat ini.

“Jawaban kamu Nattawin.”

“Mile aku tau ditangan kiri kamu yang lagi ada di bawah meja itu megang kotak cincin dan aku gak mungkin banget bisa nolak kamu,”

“Terlepas dari cincin itu, untuk hari ini dan seterusnya aku yes atas apa yang akan kamu tanyakan.”

“Aku mau kita berani sama-sama sekarang sama sayang sayangku.”

Setelah berucap lelaki tan itu mengulurkan tangan kanannya kearah Mile, “I do, Mile phakphum.”

Mile membalas senyum tak kalah manis, “Aku bahkan belum ngomong.”

“Aku udah pasti yes!”

•••

“Kita gak perlu buru-buru Natt.”

“Kita emang gak perlu buru-buru, aku tetap takut walau takutnya udah banyak berkurang tapi aku mikir sampe kapan aku harus takut terus tanpa ngelakuin apa-apa.”

“Jadi, aku mau ada kamu setiap kali aku takut dan ragu, aku mau kamu di setiap apa yang terjadi pada aku.”

“Mile kamu gak seneng ya?” Nattawin bertanya, menelisik wajah tampan yang lebih tua lamat-lamat.

Mile hanya diam dengan tatapan tertuju kedepan, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang membelah jalanan lengang.

Hingga beberapa saat kemudan kendaraan roda empat itu berhenti tepat di mana kediaman Nattawin.

“Aku mau jawab apa yang kamu tanyakan tadi, aku senang banget sampai-sampai aku gatau lagi harus gimana.”

“Natt, kamu harus tau kalau aku udah pesimis deluan sejak aku bilang ke kamu kalau kita mau ngobrol serius, tapi aku tetap nekat aja bawa cincin karena ya kalau misalkan jawaban kamu enggak ya, yaudah.”

“Tapi siapa sangka jawaban kamu melebihi ekspekatasiku, makasih banyak Apo nattawin.”

“Kamu bilang apapun yang terjadi kamu mau aku peluk kan.”

Nattawin mengangguk membenarkan.

“Sini, sayang-sayangku.”

Tanpa penolakan sama sekali Nattawin langsung masuk kedalam pelukan yang Mile ciptakan, merengkuh raga orang tercintanya erat-erat.

Hingga di detik berikutnya Mile mempertemukan bibirnya dengan bibir sang kekasih, memagut dengan begitu lembut, mencurahkan setiap cinta untuk Nattawin-nya.

“Aku sayang kamu sayang-sayangku, Apo nattawin romsaithong.”

•••

—Joyana.

Kakak.

•••

“Kamu tuh dulu kecil banget loh, nak.” Thi berucap begitu anak gadisnya masuk kedalam rengkuhan yang ia ciptakan, remaja berumur tujuh belas tahun itu terkekeh pelan mendengar ucapan Papanya.

“Daddy kamu bener, kamu cepet banget gedenya Lolly tau-tau sekarang udah mau lulus sekolah aja, udah mau kuliah aja anak Papa ini.”

“Papa, kenapa kamu sayang aku?”

“Ya karena kamu anak aku satu-satunya.”

“Kalau aku enggak ketemu kamu, Daddy, sama Momma, aku bakal tetap sebahagia ini enggak ya, Pa?” Gadis berambut sebahu itu memberi sebuah tanya membuat kelima jemari manis sang Papa mulai berhenti mengelus rambutnya.

“Papa kalau enggak ketemu sama kamu, bakal tetap sebahagia ini juga gak ya Lolly?”

“Kamu suka banget ngelempar pertanyaan balik, curang kamu Papa!”

Thi terkekeh pelan mendengarnya, “Makasih ya udah jadi anak Papa sama Daddy.”

“Seharusnya Lolly yang bilang makasih sama Papa sama Daddy karena udah ngurusin aku dari kecil sampe sekarang, udah nyekolahin aku, udah sayang sama aku, udah perhatian sama aku, udah ngasih aku hidup yang enak padahal Lolly tuh bukan anak kandung kalian berdua.”

“Kamu anak aku, kamu anak Daddy, kamu anak kami selalu.”

“Papa mau kamu segini aja tapi enggak mungkin, Papa masih mau berantem ngerebutin Daddy sama kamu, masih mau jalan-jalan sama kamu, masih mau berburu diskon sama kamu, Papa mau kamu gak cepet-cepet ketemu sama pasangan hidup kamu biar kamu, Papa mau kamu sama kami terus tapi Papa mana bisa ngatur alur yang udah Semesta buat.”

“Maafin Papa sama Daddy ya nak kalau terkadang cara kami menyayangi kamu itu bikin kamu gak nyaman.”

“Kamu gak boleh ngomong gitu Papa Thi.” Mata Lolly berkaca-kaca mendengr ucapan panjang sang Papa ucapkan, maka dari itu ia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh besar Thi.

“Kita jarang ya kayak gini,”

“Kita gak pernah kayak gini sebelumnya hahaha.” Lolly membalas.

“Sayang sama Daddy selalu ya, Nak.”

“Aku juga sayang banget sama kamu Papa.”

“Kamu gak apa-apa gak sayang sama Papa, tapi Papa minta tolong kamu tetap sayang sama Daddy, jangan kurangin rasa sayang kamu sama Daddy ya,”

“Maafin Daddy kalau kadang kala aturan yang dia buat gak bisa kamu terima, maksud Daddy itu baik nak, Daddy cuma mau anaknya gak kenapa-napa cuma memang caranya agak keras.”

“Daddy sayang banget sama kamu Papa Thi.”

“Daddy lebih sayang sama kamu Lollita.”

Lolly menggeleng pelan, “Papa harus tau, Daddy kalau kamu ada dinas di luar kota selalu ngeliatin foto kamu sebelum tidur, Daddy kalau aku minta beli es krim juga selalu bilang Beliin buat Papa sekalian kak Daddy gak pernah lupa akan kamu, Daddy sangat sangat cinta sama kamu,”

“Aku pernah ditanya sama temenku, kalau nanti punya pasangan mau yang mirip siapa, Lolly gak ragu bilang aku mau pasangan yang kayak Daddy, yang sayang banget sama pasangannya.”

“Papa sama Daddy tuh orang baik, baik banget makanya kamu dikelilingi sama hal-hal yang baik pula,”

“Papa, kamu jangan gak sayang aku ya.”

“Kamu anak aku masa iya aku gak sayang sama kamu.”

“Papa sama Daddy sehat-sehat selalu ya biar nanti gantian Lolly yang bahagiain kalian berdua.”

Kesepuluh jemari gadis cantik itu terulur menyerka air mata yang membasahi wajah Papanya, “Papa mau liburan sebulan sekali kan, tungguin Lolly ya, tungguin Lolly sukses biar aku ajakin kamu sama Daddy liburan ke tempat yang kamu mau.”

Thi mengangguk dengan senyum manis terkukir menghiasi wajah cantiknya, “Anak aku udah gede.”

“Mbul, aku nyariin kamu ternyata dis—” pria tan itu langsung menghentikan langkahnya begitu melihat mata sembab kedua orang yang paling ia cinta lengkap dengan raut wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan, “Habis nangis ya? Kalian berantem lagi?”

Lolly dan Thi lantas menggeleng cepat-cepat.

“Terus kenapa ini kok merah matanya?”

“Tetaa peluk kami aja boleh gak?”

“Daddy kata Papa dia sayang kamu.”

“Kamu juga bilang kamu sayang banget sama Daddy!” Tandas Thi.

“Lolly gak bilang gitu.”

“Ada Tetaa, anak kamu ada bilang dia sayang sekali sama kamu.”

“Enggak, Papa Thi bohong Daddy.”

“Yaudah kalo kamu gak sayang suami aku gak boleh peluk suami aku.” Thi beranjak dari tempatnya, melangkah menghampiri Tawan dan memeluk suami tersayangnya erat-erat.

Tawan tentu saja membalas pelukan Thu meski bingung melanda dirinya, ia sama sekali tak mengerti keadaan yang terjadi sekarang ini antara anak dan suaminya.

“Papa gantian aku juga mau peluk Daddy.”

“Enggak boleh.”

“Daddy liat Papa pelitnya kumat!!”

•••

—Joya.

—Sebuah sudut pandang.

•••

Sepasang iris caramel itu menemukan apa yang sedari tadi ia cari, senyum manisnya terukir sempurna saat pandangannya besibobrok oleh seseorang yang berada beberapa meter dari tempat ia berdiri.

“Nattawin, sini.” Itu suara New.

Pria tan itu melangkah mendekati teman sejawatnya, ikut mendaratkan bokongnya tepat di samping New thitipoom.

“Lu anak senja banget ya.”

Kekeh New terdengar sembari lelaki itu menyesap kopi dingin yang berada di genggaman tangan kanan.

“Gua cuma sumpek aja liat ruangan kerja, berakhir di sini sekalian nunggu Tawan.”

“Tawan mau jemput?” Nattawin bertanya, membuat lelaki berkulit seputih salju dibalut kemeja biru muda itu menggeleng pelan.

“Enggak, gua gak berani nyampe rumah lebih dulu hahaha.”

“Lu masih takut hantu ya New,”

“Masih dan akan selalu takut.” New menjawab dengan begitu santai, sesekali merapikan anak rambut berantakan di terpa angin sore.

“Jadi, lu mau tau sudut pandang apa, Nattawin.”

“Kalau gua boleh tau, lu kenapa akhirnya bisa memutuskan buat punya Lolly diantara lu dan Tawan.”

New menoleh ke kiri, tepat dimana Nattawin berada, setelahnya ia hanya memberi sebuah senyum simpul.

“Ceritanya agak panjang Natt, kalau di tiktok mungkin lanjut part dua.”

Keduanya terkekeh renyah.

“Gua siap mendengrkan kalau lu emang mau membagi cerita itu, tapi kalau engga gak apa-apa, New.”

“Gua tuh beneran yang salut sama lu dan Tawan, beneran berani ngambil langkah sih, karena menurut gua, gua tuh sangat penakut untuk keluar dari zona nyaman.”

“Kata gua sih lu lagi bimbang aja,”

“Bimbang banget karena semenjak Mile hadir alur hidup yang udah gua atur sedemikian rupa jadi ada melencengnya, tapi gua seneng dengan kemelencengan itu.”

“Lu mau tau gak awal gua sama Lolly ketemu?”

Lantas saja Nattawin mengangguk dengan antusias.

“Kalau yang lagi ada di pikiran lu gua sama Lolly awal ketemunya bakal baik-baik aja, cepet buang jauh-jauh pikiran itu. Karena pertama kali ketemuan kita gak baik-baik aja.”

“Tawan tuh dulu suka malu kalau pake kacamata, dia nekat nyetir padahal pandangannya gak bagus, beberapa kali sempet masuk rumah sakit karena kecelakaan.”

“Singkatnya tuh dia nyerempet Ibu yang punya rumah singgah, berakhir dia kenal Lolly dan memutuskan untuk jadi wali Lolly tanpa sepengetahuan gua, awalnya.”

“Pertama kali lihat Lolly tuh pas dia umur empat tahun, masih kecil sekarang udah gede aja anak gua.”

“Gua pertama kali pergi sama Tawan, gua inget banget Lolly manggil Tawan Om dan dia manggil gua pake sebutan kakak hahaha.”

“Dia gak suka sama gua, karena katanya dia gua suka rebut Tawan. Entah gimana alurnya gua malah suka bikin dia kesel.”

“Hari selanjutnya, gua pergi sendiri selama dua minggu berturut-turut tanpa Tawan, dan Tawan gak tau gua pergi nemuin Lolly saat itu.”

“Lu tau gak Natt gua nyamperin dia tuh buat apa? Gua nyamperin Lolly cuma buat ngasih liat dia foto gua sama Tawan hahahaa.”

“Gua suka liat dia ngomel-ngomel ke gua, gua suka saat dia mau duduk di pangkuan gua cuma karena dia mau liat foto gua sama Tawan.”

“Di minggu berikutnya, gua gak dateng lagi. Karena pas itu pergi liburan sama temen-temen kampus ke Bali.”

“Gua seneng banget pas Tawan bilang Lolly nyariin gua, terus juga pas Tawan video call Lolly tuh langsung yang kayak ngerebut hape Tawan, terus dengan muka juteknya dia nanya gua lagi di mana dan kapan pulangnya, dia masih tetep judes ke gua saat itu.”

“Tapi ada ucapan Lolly yang bikin gua langsung pesen tiket buat pulang saat itu juga.”

“Dia bilang begini Natt, saat gua ngasih liat pantai ke dia lewat video call, anak gua tuh yang kayak Itu pantai kan kak, aku pernah liat di buku yang di kasih sama Om gua tuh saat itu juga kayak yang anjir anak gua gak pernah liat pantai.”

“Tapi dia tuh gak sedih gitu loh, dia yang semangat banget ceritain pantai ke gua, ceritain gimana bentuk pantai yang dia liat, di buku.”

“Malem itu gua pulang, gua langsung nyamperin dia, kayak aneh tapi gua tiba-tiba peluk dia sambil nangis dan gua bilang besok kita ke pantai ya, Lolly.”

“Lu tau gak sih, dia langsung bales pelukan gua, langsung yang bilang makasih kak Thi, dan dia bilang Kita sekarang temenan ya kak tapi kamu gak boleh rebut Om dari aku aduh gua cengeng banget.”

“Besoknya secara mendadak gua ajak Tawan ke pantai, kita pergi ramai-ramai, di rumah singgah ada tujuh belas anak, kita main, kita makan, kita ketawa, dan Lolly yang gak berhenti bilang makasih sama gua.”

New menyelesaikan ceritanya sembari menyerka air mata yang sedari tadi di biarkan mengalir.

“Lu kalau nangis ngajak-ngajak anjir.” Nattawin berucap, pun dengan mata berkaca-kaca.

“Gua masih inget jelas sih gimana eskpresinya dia saat pertama kali lihat pantai, kayak padahal cuma pantai doang Natt,”

“Sekarang Lolly udah bahagia, karena orang tuanya sekarang ngasih semua apa yang dia butuhkan, termasuk kasing sayang yang gak ada habisnya, New.”

“Gua gatau persis kenapa lu tiba-tiba mau tau sudut pandang gua tentang menikah dan punya anak, tapi gua cuma ngasih tau aja sih kalau sekarang hidup gua udah sempurna.”

“Sempurna menurut gua belum tentu sempurna menurut lu yakan Natt, tapi gua udah banyak di kasih bahagia sama semesta, gua udah sampe gak berani minta apa-apa lagi soalnya semesta udah baik banget sama gua.”

“Dan part paling sempurna versi gua adalah anak gua punya Daddy yang sayang banget sama dia.”

“Nattawin, gua gatau apa yang lagi lu pikirin, gua juga gabisa ngasih lu solusi tentang apa yang lagi lu rasain sekarang, tapi percaya deh semesta gak sejahat itu walau dia suka bercanda.”

“Kalau sekarang lu lagi bimbang, gapapa nikmati aja dulu bimbangnya, semua ada prosesnya sampe di mana rasa bimbang lu terganti sama rasa bahagia.”

Perlahan tangan kanan New terulur untuk menepuk dua kali bahu Nattawin, memberikan sebuah senyum lebar pada teman sejawatnya itu, “Baik-baik selalu Apo nattawin yang gak bisa diem.”

•••

-Joya.

—Awal mula.

•••

Langkah kaki berbalut sneakers usang milik sang empu membawanya ke sebuah kedai makan di ujung gang.

Senyum lelaki tan itu lantas terukir menghiasi wajahnya begitu kedua netra cokelat caramel miliknya menjatuhkan pandang pada steling berisikan berbagai macam lauk pauk.

“Bu soto ayamnya satu gak pake nasi, perkedel seporsi, te—“

“Teh tawar dingin es batunya sepuluh.”

Tawa lelaki bernama lengkap Apo nattawin wattanagitiphat itu terdengar begitu renyah masuk kedalam indera pendengaran, ia mengangguk membenarkan apa yang diucapkan wanita paruh baya di depannya sebelum mencari tempat duduk.

Pilihannya jatuh pada meja paling pojok, alasan ia memilih tempat itu cukup simple sebenarnya, ada seekor kucing manis yang tengah berdiam diri.

Nattwin lantas mengeluarkan ponsel pintar miliknya, tak bisa kalau tidak memotret makhluk paling menggemaskan yang berada di dunia, menurutnya.

“Mpus.” Tangan kirinya mulai mengelus kepala kucing di depannya.

Secepat itu Nattwin sudah asik pada dunianya, berbicara tak henti pada kucing yang bahkan belum tentu mengerti.

Tak mengetahui fakta jika ada seseorang yang tengah memandanginya sedari tadi dengan seulas senyum tipis memikat hati.

•••

Makanan yang dipesannya sudah habis ia santap, berakhir meminum es teh tawar miliknya hingga tandas tak bersisa meninggalkan beberapa buah es batu di dalam gelas kaca itu.

Tangan kanannya tanpa sadar bergerak memutar di perutnya, “Kenyang.” Nattwin bergumam kecil.

Lelaki jangkung dibalut kaos putih itu beranjak dari tempatnya untuk membayar, sayup-sayup telinganya mendengar percakapan antara bu Ida dan seorang pria dengan setelan formalnya.

”Aduh den di warung Ibu mana ada bayar pake QR atau apalah tadi Ibu gak paham.”

”Tapi saya gak punya uang cash, Bu.” Pria itu menjawab lengkap dengan ringisannya terdengar.

”Yaudah aden lain kali aja baya—“

”Punya Nattawin berapa Bu?”

Bu Ida dan pria yang cukup (tampan) itu menoleh ke samping, menatap dirinya, dan Nattawin cukup pintar untuk mengembangkan senyum manisnya.

”Kamu gak ada tambah kan? Empat puluh lima ribu Nattwin.”

Pemuda yang biasa di sapa Nattawin itu mengangguk, mengeluarkan dompetnya—sebelum benar-benar membayar pesanannya ia berujar santai, ”Sekalian punya Bapak ini aja Bu.”

•••

—Joya.

—Sayang, Thi.

•••

Pria manis dengan poni menutupi dahi itu menyerka air mata yang terus menerus jatuh membasahi pipinya dengan kasar, setelahnya ia bergerak—beranjak dari kasur besar yang tadinya ia duduki.

Langkah gontai membawa dirinya ke lemari besar berada, menggeser daun pintu secara perlahan dan mengambil semua susunan baju rapi bagiannya.

“Gausah pegang-pegang aku.” Thi menepis tangan kanan yang tua.

“Kamu udah usir aku, kamu emang udah gak sayang sama aku. Cara marah kamu tadi itu mirip sekali gimana cara ayah marahin Ibu, bahkan aku lebih takut sama kamu.”

“Meledaknya kamu tadi bikin aku sadar kalau emang punya orang untuk menghabiskan waktu berdua, bersama-sama, itu gak ada.”

“Iya ini rumah kamu, semuanya pake uang kamu, kamu gak nge-izinin aku sama sekali buat ikut bantu, biar apa? Biar lebih enak ngusir aku, iya kan.”

Lelaki manis itu menyelesaikan semua kalimatnya bersamaan dengan baju yang sudah ia kemas rapi-rapi di dalam sebuah koper abu-abu.

Pria berkepala empat itu hanya diam membiarkan yang muda mengeluarkan segala keluh yang ada di kepala, setelahnya Tawan benar-benar menarik Thi untuk masuk kedalam pelukan yang dirinya ciptakan.

Tangis yang muda pecah seketika, tak lagi ia tahan-tahan.

“Badan kamu panas.” Yang tua berucap dengan begitu lembut sembari mengelus rambut halus kekasih hatinya.

“Tetaa udah gak sayang Thi.”

“Sayang.”

“Enggak, tadi usir aku.”

“Enggak, Thi.”

“Iya, kamu marah-marah, aku takut sama kamu.”

“Maaf, ya. Aku khawatir, aku takut kamu kenapa-napa, aku gak bilang sama aku kalau kamu sakit, Thi.”

“Karena kamu masih gak mau ngomong sama aku, tapi tadi Tetaa marahnya serem, Thi takut.”

“Engga marah lagi, aku sayang-sayang kamu sekarang.”

“Tetaa suruh aku pulang ke rumah Ibu sendirian, Tetaa udah gak sayang kan sama Thi.”

“Sayang, sayang sekali Mbul.”

“Tetaa marahin Thi.”

Netra hitam pekat yang tua menjatuhkan pandangannya pada Thi, lelaki manis itu menyandarkan kepalanya di dada Tawan dengan kedua mata terpejam.

“Mana yang sakit, Mbul?”

“Kepala aku pusing.”

“Ayo baring, aku temenin.”

“Mau sama Ibu, Tetaa marahin Thi.”

Tawan memapah lelakinya untuk berbaring ke atas ranjang, menyerka dengan hati-hati kedua sudut mata Thi yang berair, “Maaf, Cantik.”

Pemilik netra hitan gelap itu kembali pada posisi semula begitu pergerannya ingin mengambil air hangat untuk mengompres Thi ditahan oleh yang muda.

Si Cantik menyembunyikan wajahnya pada ketiak yang tua, “Emang dari dulu gak ada yang sayang sama Thi.”

“Ayah gak sayang, Tetaa juga gak sayang aku.”

“Gak ada yang sayang aku.”

“Kookiee sayang sama Thi, cuma dia udah pergi.”

“Tetaa, katanya sayang aku, tapi tadi bikin Thi takut sekali.”

Lelaki berkulit putih bersih itu terus bersuara, bergumam tanpa henti yang membuat rasa bersalah Tawan semakin menjadi-jadi.

Seharusnya ia lebih bisa menahan diri agar tak meledak di depan suaminya, seharusnya ia diam saja, terusnya tadi ia menghentikan ucapannya begitu netra mereka bertemu.

“Maafin aku, Thitipoom.

•••

—Joya.

—Marah lagi.

•••

“Tetaa.”

“Thi tau ya kamu pura-pura tidur.”

“Thi minta maaf Tetaa.”

Tak ada sahutan dari yang tua, maka dari itu si manis melangkah ke ujung ranjang di mana Tawan berada, ia berbaring di samping Tawan setelahnya.

Kelopak Tawan perlahan memamerkan netra hitam pekatnya, pandangannya jatuh pada seorang lelaki yang tengah sibuk menyamankan posisinya namun tak bisa, “Sempit.” Ia berujar.

“Abisnya kamu madep sini, kalau aku tidur di sebelah sana kamu munggungin aku.”

Tangan kanan Tawan meremat pinggang yang muda ketika di rasa lelaki cantiknya itu hampir terjatuh dari ranjang, “Pindah, Thi.”

“Gak mau, kamu diemin aku, kamu tidurnya gak mau peluk aku, kamu munggungin aku, aku gak suka.”

Tawan hanya diam mendengarkan apa yang suami cantiknya ucapkan, tangan kirinya menyusup di pinggang Thi, hingga akhirnya mengangkat tubuh yang lebih muda—membalikkannya ke ranjang yang lebih lapang.

Rengekan Thi langsung terdengar begitu lelaki tan itu mulai memunggunginya kembali, tanpa ia sadari seulas senyum tipis tercipta menghiasi wajah tampan lelaki tan itu.

“Ih curang banget, gak mau.”

“Ayo madep ke arah Thi.”

Si cantik sama sekali belum jua mau meyerah, menarik-narik kaos yang dikenakan oleh Tawan agar pria itu memutar tubuhnya—menghadap pada Thi.

“Aku aduin sama Ibu kamu nanti, gak sayang lagi ya sama aku?”

“Tetaa,” Thi kembali merengek, “Ayo peluk aku Tetaa.”

“Tetaa, Thi ganti pake baju kucing garong nih kalo kamu gak madep aku juga.”

Sebuah senyum manis Thi tampilkan begitu yang tua memutar tubuhnya—menghadap pada Thi.

•••

—Joya.

—Marah.

•••

Mobil yang di kendarai Tawan berhenti tepat di mana seorang lelaki cantik tengah berdiri, ia menghela napas panjang sebelum keluar dari kendaraan roda empatnya.

Setelahnya sepasang netranya bertemu dengan iris kelabu milik yang muda, saling tatap beberapa saat tanpa ada kata yang terucap.

“Ayo, pulang.” Yang tua bersuara.

Si manis belum juga beranjak dari tempatnya, ia masih setia berdiri beberapa meter dari Tawan dengan kesepuluh jemari saling meremat satu sama lain.

“Mobil Thi gimana?”

“Masuk.

“Terus mobil Thi gimana, Tetaa?” Thi kembali mengulang sebuah tanya yang belum mendapat jawaban dari Tawan.

“Mau masuk apa engga?”

Iris kelabu lelaki cantik itu bertemu dengan pasangannya, netra hitam pekat milik Tawan menatapnya dalam-dalam sebelum hembusan napas panjang terdengar, “Tetaa kalau marah mending pulang aja lagi, tinggalin Thi sendiri aja.” Thi bersuara.

Yang tu maju selangkah, “Kamu maunya apa sih?”

“Kamu marahin aku.”

“Masuk, Thitipoom.”

Setelah dua kata terucap Thi benar-benar menurut—masuk kedalam mobil Tawan dalam diam mengalihkan pandangannya agar tidak bertemu netra hitam gelap lelakinya, Tawan menyeramkan.

•••

“Papa udah pulang atau mau pergi lagi?” Suara dari gadis kecil dengan rambut lurus sebahu itu terdengar begitu Thi menginjakkan kakinya kedalam rumah mereka.

Iris kelabu berkilau lelaki cantik itu teralih pada anak sematawayangnya, ia melangkah mendekati Lolly setelahnya.

“Aku udah pulang, mau peluk kamu.” Thi menjawab sembari merengkuh anaknya, menghadiahkan sebuah kecupan di bagian pipi gadis kecilnya.

“Papa,”

“Saya Lolly.”

“Daddy kangen kamu, sekali.”

Lelaki dengan poni menutupi dahi itu tersenyum tipis lalu mengangguj dua kali, “Papa juga kangen Daddy, kangen Lolly, banyak sekali.”

“Daddy,” Lolly memanggil Tawan saat kedua netra caramelnya menangkap sosok sang ayah, “Ayo peluk Papa bareng-bareng.” Lanjutnya dengan binar tak redup.

Yang tua tersenyum manis menanggapi apa yang anaknya pinta, mencium pucuk kepala Lolly lantas menjawab, “Daddy belum mandi”

Jawaban yang Tawan lontarkan membuat Thi tersadar jika lelaki itu menolak ajakan anaknya.

Lelaki tan itu cukup jelas menampakkan jika ia marah kepada suaminya, Thitipoom vihokratana.

•••

—Joya.

—Pergi.

•••

“Besok aja perginya,” Suara serak khas orang baru bangun tidur sayup-sayup menjamah indera pedengaran yang muda, kedua kelopak mata pria tan itu masih tertutup rapat menyembunyikan netra hitam pekat paling menawan yang ia punya, pun dengan deru napas teratur yang membuat Thi lekas-lekas meneliti wajah tenang dari suami tampannya.

“Tetaa udah bangun ya?” Yang muda memberi tanya.

“Sudah.”

“Terus kenapa matanya ketutup?”

“Karena gak mau dibuka.” Jawab yang tua dengan begitu santai.

Bibir si manis maju lima senti mendengar jawaban asal keluar dari kekasih hatinya, “Kamu gak suka ya liat muka jelek aku pas baru bangun tidur?”

Sepasang kelopak sang empu langsung memamerkan netra hitam yang tadi tengah bersembunyi, menatap iris kelabu suami Cantiknya lekat-lekat, “Cantik, kamu cantik selalu.” Tawan menjawab pelan, semakin merengkuh yang muda erat-erat, kembali memejamkan mata setelahnya.

“Duh aku kangen banget di peluk seperti ini sama kamu.”

“Ya makanya besok aja pergi main sama temen-temen kamu, ya Mbul?” Yang tua bersuara sembari mengecup berkali-kali pucuk kepala Thi.

“Ish Tetaa, Thi udah janji tau mau main.”

“Masih ada hari besok.”

“Engga bisa Tetaa ku sayang, kan aku janjinya tanggal ini, masa dibatalin gitu aja.”

“Kamu gak kangen aku apa?” Tawan bertanya.

“Kangen lah, aku dinas di luar sepuluh hari dan gak ketemu kamu sama Lolly dua belas hari. Tidur gak ada yang meluk, gak ada yang bilang kalau ada yang sayang sama aku, aku jelas kangen kamu, banyak sekali.”

Setelah menjawab pertanyaan Tawan, Thi memajukan wajahnya, mengecup bibir lelakinya secepat kilat. Setelahnya ia langsung bersembunyi di dada Tawan sembari meredam pipi yang terasa panas.

“Kebiasaan kamu udah ngelakuin malu sendiri.”

“Jangan godain Thi!”

“Aku mau lagi.”

“Kan tadi malam udah, aku tau ya banyak tanda merah yang kamu tinggalin di aku.”

“Gausah pergi, Mbul.” Yang tua lagi-lagi berucap, menahan agar kekasih Cantiknya untuk tetap di rumah bersamanya, menghabiskan waktu bertiga.

“Tetaa, Thi cuma sebentar.”

Lelaki tan itu menggeleng, masih keukeh pada pendiriannya melarang Thi—semakin mengeratkan rengkuhannya pada tubuh yang muda.

“Gak boleh pergi.” Final.

Kerutan di bagian dahi Thi tercipta, “Tetaa kenapa sekarang hobi ngelarang-larang aku sih.”

“Aku ngelarang kamu pergi hari ini, tidur lagi masih terlalu pagi buat berantem.” Tawan berujar santai, menyamankan posisinya lengkap dengan sebuah ciuman di pipi Thi sebelah kiri.

“Thi tetep mau pergi jam dua nanti.”

“Besok.”

“Hari ini, mau pergi hari ini.”

“Kamu baru pulang tadi malam dan sekarang mau pergi lagi? Mau ninggalin aku sama Lolly?”

“Aku gak ninggalin, aku udah bilang kan sama Tetaa jauh-jauh hari aku punya acara sama temen-temen ku dan kamu meng-izinkan, tapi sekarang kenapa malah jadi gini sih,” Thi bersuara, “Tetaa coba lepas dulu pelukannya Thi mau ngomong serius.”

“Kamu mau ngomong apa jawaban aku tetap tidak.”

“Mas.”

“Enggak.”

“Thi gak suka ya kamu ngelarang-larang gini.”

“Bilang ke temen-temen mu, kamu pergi besok.”

“Thi pergi hari ini.”

“Enggak, awas aja berani keluar.”

Decakan sebal Thi terdengar, “Kalo tau gini aku gausah pulang aja sekalian, dinas aja dua bulan.”

Dua kelopak mata Tawan terbuka menampilkan iris hitam gelap yang ia punya bersamaan dengan ia melepaskan rengkuhannya pada tubuh si Cantik—beranjak dari tempatnya berjalan keluar dari kamar, namun sebelum benar-benar pergi lelaki tan itu sempat berucap pelan.

“Pergi kemana kamu suka.”

•••

—Joya.

Entah udah berapa kali kata bodoh gua sematkan untuk diri sendiri, lu semua pun juga udah pasti ngatain gua.

Gua sayang banget sama dia, lu semua harus tau. Tapi katanya sayang aja gak cukup, gua bodoh sih memang. Gua mau cerita aja gimana pertama kali gua bisa lihat dia, lihat Newwiee.

Dari sekian banyak anak baru yang ada di lapangan, mata gua malah terfokus sama cowok manis dengan topi kerucutnya, pertama kali netra gua lihat dia, gua gak lagi bisa fokus sama siapa-siapa.

Lu pasti tau lah ya tipikal orang jatuh cinta, seharian itu gua asik ngeliatin dia doang, gimana bibirnya maju lima senti karena di suruh baris pas panas terik, gimana cara dia ketawa matanya jadi hilang, gua suka semuanya tentang dia.

Sejak saat itu selesai bersamaan dengan selesainya masa orientasi siswa, dia selalu ada aja di pikiran gua, kayak duh Dut lu apain nih gua.

Tapi dia gak pernah lihat gua, dia gak pernah fokus seperti gua fokus ke dia, dan gua gak seberani itu buat deketin dia terang-terangan.

Singkatnya gua tuh mengagumi anak kecil yang super cantik aka Newwiee itu secara diam-diam, secara senyap tanpa orang tau.

Ini nih ngeliat dia jalan sama temen-temennya di kantin aja gua udah seneng banget, apalagi kalau dia udah pesan mie ayam, duh makannya paling lama tapi lucu, lu tau gak sih dia tuh lucu banget.

New paling males pelajaran olah raga, gua sering merhatiin dia dulu kalau di lapangan mukanya di tekuk mulu, selalu ngedumel katanya panas, lu pada harus masuk ke kemarnya dia sih biar tau sedingin apa itu kamarnya.

Sampe hari di mana jadi hari yang paling gua syukuri, di hari gua tanding voli sama Sma sebelah, duh anjing gua tuh mau salto banget pas liat dia—nyemangatin gua.

Enggak se-spesifik itu juga ya, lebih tepatnya dia menyemangati perwakilan dari sekolahnya.

Lu mau tau gua pas itu gimana?

Sudah jelas sih mengerahkan tenaga paling maksimal yang gua punya agar dia lihat gua.

Dan akhirnya, dia lihat kalau seorang Tay tawan tuh ada di bumi, ada di dekat dia selama ini.

Gua masih salting banget kalo inget mata kita ketemu dan dia senyum tipis ke gua, gua mau pingsan pas itu cuma gua harus stay cool.

Ini gak bakal ada habisnya kalau gua nyeritain dari awal ketemu sampe pisah sekarang, nyeri banget hati gua nyebut kata pisah.

Iya, lu semua gak salah baca. Gua sama New bener-bener udah gak ada apa-apa.

Dek pukis kesayangan gua itu udah bukan punya gua lagi, eitssss dia bukan punya gua sejak awal.

Kalau waktu bisa di ulang, gua gak akan mau menyetujui hubungan tanpa status yang dia minta, gua bakal keukeh minta pacaran sih.

Dan gua gak akan bego.

Semenjak kejadian malam di mana gua hilang tanpa kabar dan Win yang jujur ke gua, nyatanya gua kehilangan dua orang sekaligus, gua kehilangan Newwiee dan Win secara bersamaan.

Newwiee itu udah banyak sedihnya sama gua, entah itu yang dia perlihatkan ke gua atau sembunyi-sembunyi, dia udah banyak sedih sendiri, itu karna gua.

Jadi gua gak akan lagi mau bikin orang yang gua sayang sedih terus, mungkin dengan adanya jarak tercipta diantara gua dan dia bisa membuat kita sama-sama memperbaiki diri masing-masing, ya tapi kalo bisa egois gua mau dia sama gua aja, perbaiki diri sama-sama, tapi gak bisa.

Tapi gua mau pamer aja sih, New pernah tiba tiba nge chat gua di jam empat subuh bilang “Kak aku kangen, gausah di balas.” gua pas liat itu baru bangun tidur langsung berdiri, gua gak bohong gua berdiri dan senyum-senyum sendiri, terus gua balas pesannya, dan dia sampe sekarang gak bales pesan gua.

Gua bukan lagi orang yang dia jadikan tempat cerita, sekarang malah gua hanya jadi manusia penonton cerita disetiap sosial medianya, sedih ya.

Gua bangga sama dia, bangga banget karna apa yang dia usahakan tentang pendidikannya berjalan sesuai kemauan dia, bocil gua udah sedewasa itu, gua bangga sekali.

Dut, aku sayang kamu, adalah kata yang selalu gua ucapkan kalau lihat foto dia, gua kangen banget masa di mana jemput dia sekolah, makan pecel lele terus lelenya jatoh karena New anaknya ceroboh, muter-muter kota sambil dengerin musik, jadi orang kaya sehari karena gua habis gajian, keliling mall tapi gak beli apa-apa, gua kangen.

Bukan cuma kangen sama kenangannya, gua juga kangen orangnya.

Gua kangen Newwiee.

Dut, karena kamu gak mau aku rayu. Sekarang, setiap malam aku merayu semesta agar mempertemukan kita lagi, agar bisa bersama-sama dalam jangka waktu yang lama.

Bahagia selalu, dek pukis kesayangan aku.

•••

—Joya.