Joya.

Ibunya Newwiee.

•••

“Kamu makin cantik.”

Suara dari pria tan itu terdengar dengan kelima jemari kanan yang tak henti mengelus pipi si manis, “Kalau lagi ada maunya aja aku dipuji.”

“Beneran.”

“Iya makasih Tetaa, Thi tau Thi cantik.” Balas yang muda.

Thi lantas menyembunyikan sepasang iris kelabu berkilau miliknya begitu napas Tawan menerpa bagian leher dirinya. Memberikan izin atas apa yang Tawan lakukan tanpa ada penolakan sama sekali, sama seperti suaminya, Thi benar-benar mau Tawan malam ini.

Sebuah lirihan tanpa sadar keluar dari bibirnya ketika kedua bilah bibir yang tua menyesap permukaan kulit putih bersih orang tercintanya, manusia yang menjadi alasan untuk ia berbahagia.

“Aku gak tau lagi harus mendeskripsikan kamu seperti apa, kata Cantik masih kurang buat kamu, Thitipoom.”

Semu kemerah-merahan langsung hadir menghiasi pipi yang muda begitu Tawan menyelesaikan kalimatnya, Thi hanya tersenyum manis tak lagi bisa menjawab apa yang suaminya ucapkan.

Tawan dan kalimat manisnya adalah kelemahan sang Bulan.

Perhalan lelaki berparas cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Tawan, menarik wajah suaminya mendekat—mengikis habis-habisan jarak yang tercipta diantara mereka berdua.

Ia menyatukan kedua bilah bibirnya dan sang suami, saling memagut dengan mesra, bercumbu mencurahkan rasa cinta untuk satu sama lain, menyesap bibir pasangannya dengan begitu lembut, tak terburu-buru karena keduanya tak mau malam ini berlalu dengan begitu singkat.

Keduanya tersenyum disela cumbuan yang tengah mereka ciptakan, hingga yang tua lebih dulu menjauhkan wajahnya dari Thi.

“Cantik.”

Suara Tawan memberat bersamaan dengan deru napas memburu.

Entah bagaimana cara Semesta bekerja, yang Tawan tau hanyalah ia selalu mencintai lelaki yang tengah berada di bawah kukungannya, Thitipoomnya, bulannya, orang yang ia jadikan poros kehidupannya.

Sepasang netra hitam pekat sang empu tak lepas memandangi wajah rupawan yang muda, Tawan benar-benar menyukai semua yang ada pada diri lelakinya, tanpa celah.

“Aku cinta sekali sama kamu, Thitipoom.”

“Aku juga s—” Kalimat yang diucapkan Thi tak selesai karena Tawan kembali menyesap bibir bawah yang muda amat sangat mesra.

Tangan kirinya perlahan manyusup tanpa permisi kedalam kemeja putih tulang yang muda, meremas pinggang Thi dengan begitu lembut hingga yang muda tak lagi bisa menahan desahannya.

Thi menyukainya, benar-benar menyukai apa yang sedang lakukan pada tubuh dan hatinya.

Pria tan itu sangat tau apa yang ia mau tanpa harus ia katakan terlebih dahulu.

Cumbuan Tawan beralih pada telinga kanan si manis, hingga melodi indah dari lelaki berkulit putih bersih itu kembali menjamah indera pendengarannya, melodi yang paling Tawan suka, desahan Thitipoom.

Kedua tangan pria tan itu beralih pada kancing-kancing kemeja dikenakan yang muda, menanggalkannya satu-persatu hingga tepat kancing dibagian akhir sepasang netra hitam pekatnya menatap iris kelabu sang bulan.

Tubuh Thi meremang ketika kesepuluh jemari suaminya mulai mengelus kulit telanjangnya, sepasang kelopak si manis lantas cepat-cepat menyembunyikan iris kelabu miliknya, “Tawan.”

Seulas senyum tipis hadir menghiasi wajah yang tua tak kala kembali mendengar Thi memanggil namanya, Tawan menyukainya, sangat.

Entah sudah berapa kali Tawan mengakui jika manusia yang tengah bersamanya ini benar-benar bisa menarik seluruh perhatiannya. Thi benar-benar sukses membolak-balikkan hatinya tanpa tapi.

“Aku sayang kamu,” Sebuah lirihan yang dapat di dengar oleh lelaki berkulit putih bersih itu menimbulkan perasaan hangat di dalam dadanya.

“Kamu harus tau, Thi. Jika aku dihadapkan sama seribu pilihan, aku tetap memilih kamu tanpa ragu, aku tetap mau kamu, aku tetap ada di sisi kamu, aku bakal nemenin kamu sampai,” Ucapan yang tua terhenti beberapa saat, menatap suami Cantiknya dengan begitu dalam, “Sampai salah satu dari kita pergi deluan.”

“Aku tau yang hidup pasti mati, yang bernapas bisa berhenti, dan yang datang akan pergi. Tapi sampai sekarang pun kepergian kamu nantinya adalah ketakutan paling terbesar yang aku punya.”

“Aku gak tau apa jadinya aku tanpa kamu, aku gak tau gimana aku pas bangun tidur tadi di sebelah aku gak ada siapa-siapa, aku gak tau aku harus gimana menjalani hidup tanpa kamu.”

“Aku tau kamu bosan mendengarkan ketakutan ku yang satu ini, aku tau kamu pasti sebal karena aku hampir setiap malam begini semenjak mimpi itu ada. Tapi aku gak bisa, sekuat apapun aku menghapus ingatan itu, setiap ngiliat kamu tidur aku, takut.”

“Kadang kalau kebangun tengah malam, terus aku liat kamu tidur di samping aku, aku merhatiin kamu sampai kamu bangun dan aku pura-pura tidur.”

“Pinta ku sama Semesta setiap harinya cuma satu, jangan terlalu cepat ambil kamu dari aku.”

Lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu hanya diam membiarkan pria yang berada di atasnya itu mulai menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Thi, membiarkan air mata yang tua menetes membahasi kulit lehernya, yang Thi lakukan hanyalah memeluk seerat yang ia bisa, membuktikan pada Tawan jika ia akan selalu bersamanya.

“Thi sayang kamu, sekali.” Lirih si manis.

“Thi gak pernah bosan sama ucapan Tetaa, Thi gak pernah sebal sama ketakutan kamu, setiap manusia pasti ada takutnya Taa.”

“Kita udah sejauh ini berjuang bersama, berdua. Kamu tetap jad perjuangan yang aku dahulukan, Tawan.”

“Aku udah sayang sama kamu sejak pertama kali kamu ngajak aku jalan berdua, nonton bioskop, aku udah sayang kamu sejak aku ngira kamu bakal mencium aku di dalam studio, aku udah sayang sama kamu sejak kamu datang ke apartemen aku dan meluk aku yang nangis karena tugas kuliah ku gak selesai-selesai.”

“Aku gak pernah enggak sayang sama kamu Ta, bahkan saat kamu marah sama aku, aku tetap sayang kamu, aku tetap mau sama kamu, aku tetap ingin kamu.”

“Kamu boleh cium aku, Thi?”

•••

Pagutan yang keduanya ciptakan semakin mesra tak kala kedua tangan yang tua bermain pada kedua bongkahan paling sempurna yang lelakinya punya.

Thi benar-benar menyanggupi permintaan Tawan, benar-benar menyapu habis kedua bilah bibir ranum suaminya dengan begitu lihai, hingga ia terpaksa melepas pagutan mereka ketika oksigen yang berada di dalam tubuhnya menipis.

“Cantik.”

Mendengr pujian yang kembali dilayangkan oleh sang suami membuat lelaki berada di pangkuan Tawan lagi-lagi merona, lalu senyum manisnya terukir sangat indah.

“Hujan.” Thi bersuara, menoleh ke kiri—di mana jendela kamar mereka berada.

“Emang ya Semesta paling baik sama aku.” Ujar yang tua dengan tangan kiri—

“Kenapa bokong Thi yang kamu tampar?!”

“Gemesh.” Ia menjawab sekenanya.

“Kamu ganjel banget tau.”

Sebuah seringaian dari yang tua tercipta, “Nakal.”

“Tetaa, aku gak mau yang kayak gini.”

“Kamu gak mau di atas?”

“Gak mau aku males gerak, tapi aku juga gak mau yang kita biasa gitu loh.” Lelaki cantik itu berujar lugas.

“Jadinya mau gimana?”

“Inget gak yang kita berantem gede?” Thi memberi sebuah tanya dan Tawan lekas mengangguk dua kali.

“Thi mau kayak git—”

“Enggak.”

“Ish mau gitu, yang kamu ikat aku terus tut—”

“Enggak.”

“Tawan.”

Kedua tangan Tawan menarik punggung si manis agar semakin dekat dengannya, kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang suami, “Nanti kamu demam.”

“Sesekali gak apa-apa tau.”

“Yang lain, ya? Permintaan yang itu, aku gak bisa.”

Decakan sebal keluar dari bibir Thi karena permintaannya langsung di tolak Tawan, “Yaudah kalo gitu aku mau kamu di belakang.”

“Gak bisa yang bener-bener aja apa ya kamu ini?”

“Gak bisa, kamu harus nurutin aku juga dong.”

“Iya, Thi.”

•••

Tampaknya Semesta memang mendukung hal yang tengah kedua anak adam itu lakukan, buktinya hujan turun dengan derasnya sedari tadi, meredamkan suara dari si manis yang tak mau berhenti memanggil nama sang suami.

Yang tua tersenyum tipis begitu dengan kesepuluh jemari yang terus mengelus punggung telanjang kekasih hatinya, “Kamu cantik.” Ia kembali memuji.

“Kamu nyaman kah, Thi?”

Lelaki berparas cantik itu hanya mengangguk sebagai jawaban, menoleh ke belakang—mempertemukan iris kelabunya dengan pasangannya.

“Nyaman, Tawan sayang.” Ia menjawab.

Setelah mendengar jawaban menenangkan hatinya itu keraguan atas apa yang Thi minta mengawang begitu saja, netranya tak lepas memandangi lelaki paling Cantik yang pernah ia temui, dan satu-satunya orang yang ingin ia bagi tentang segala rasa bersama-sama.

Tawan bergerak dengan begitu pelan, mulai mengisi kekosongan yang ada pada sang Bulan, mengelus kembali punggung seputih salju itu dengan kelima jemari kanannya, membiarkan desahan yang muda mengalun dengan begitu jelas masuk kedalam indera pendengrannya.

“Tawan.”

Thi meringis, mendesah, meracau, pun mengerang dengan sesuka hatinya, meremat sprei erat-erat ketika yang tua mempercepat tempo geraknya menghasilkan bunyi kulit saling bersinggungan membuat si Cantik memejamkan kedua matanya semakin tak karuan di bawah kuasa Tawan vihokratana, suami tercintanya. Membiarkan pria tan itu mengambil alih segala hal tentang dirinya, Thi ingin gila sepenuhnya sekarang.

Tepat di hentakan terakhirnya Tawan memberikan cintanya pada Thitipoom, membiarkan napas keduanya yang saling bersahut-sahutan, ia bergerak mendekati telinga si Cantik lalu berbisik, “Aku sayang kamu, banyak sekali.”

“Iya banyak sekali, aku sampe penuh.”

“Thi.”

“Iya Tawan, aku sayang kamu banyak sekali juga.”

“Tetap sama aku, ya Cantik.”

“Iya.”

“Aku sayang sama kamu, sayang banget, makasih ya.”

“Iya.”

“Kok kamu iya-iya terus?”

“Kasih aku jeda ngomong dan gerak sebentar boleh?”

“Nanti lagi?”

“Iya.”

Senyum manis yang tua langsung mengembang sempurna begitu mendengar jawaban dari kekasih hatinya, “Sampe pagi ya, Thi?”

“Iya.”

•••

—Joya.

—Matahari.

•••

Sepasang iris kelabu berkilau itu berkedip beberapa kali dengan pandangan tak lepas dari wajah tampan pemilik hatinya, pria yang tengah menaruh segala fokusnya pada ipad yang berada di genggaman itu tak jua mau melirik si manis barang sekejap, ia masih asik tenggelam dalam kerjaannya.

Lelaki berkulit putih bersih yang tengah terngkurap itu mengetuk-ngetuk lutut yang tua dengan jari telunjuknya, ia bosan bukan main.

“Tetaa, ini Thi-nya mau dianggurin sampai kapan?” Ia bersuara untuk kesekian kalinya, namun lagi, tak kunjung mendapat jawaban.

Pria berkepala empat dengan kacamata bertengger manis di hidungnya itu masih bungkam, masih menutup rapat mulutnya.

“Thi gasuka deh kalo kamu udah dalam mode gila kerja gini,” Thi kembali bersuara, “Aku tidur sama Lolly aja, ya?” Lanjutnya mengubah posisi menjadi duduk.

“Sebentar lagi.”

“Kan galak, kamu kerjaannya kalau gak marahin aku ya galakin aku terus. Gak pernah Thi-nya ini disayang-sayang lagi.” Cecar si manis.

Tawan mendengar semua apa yang diucapkan lelaki cantiknya itu sejak dua jam yang lalu namun memilih bungkam, hingga pada akhirnya ia mulai meletakkan ipad di atas nakas, menyingkirkan beberapa tumpuk berkas yang berada di atas ranjang mereka, “Mau apa, Mbul?”

“Mau disayang-sayang, tapi suaminya gak mau sayang-sayang aku.” Thi menjawab dengan bibir maju lima senti, lucu sekali.

“Sini.” Yang tua berucap lengkap dengan kedua tangan menepuk-nepuk pahanya.

Mengerti apa yang dimaksud oleh Tawan, semburat kemerah-merahan itu perlahan hinggap dikedua pipi yang muda, “Ih apaan sih Tetaa ini, aku bukan anak kecil lagi yang di pangku-pangku segala.” Si manis salah tingkah.

Pemilik netra hitam pekat itu tak lagi bisa menahan kekehannya, “Kok pipinya merah Mbul?”

Lekas-lekas ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan, “Mana ada!”

“Itu merahnya sampe ke telinga.”

“Udah dong Tetaaa.” Ia merengek.

Tawa yang tua pecah setelahnya, membuat si manis kembali manyun, merengut, dan menggerutu sendiri.

“Sini Mbul.”

“Malu ah.”

“Kita berdua, gak ada siapa-siapa.”

“Nanti kalau Lolly masuk gimana?”

“Aku udah kunci pintu.”

“Nanti ka—”

“Kamu suami aku.” Final, Thi tak lagi bisa membantah apa-apa.

Yang tua menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, membiarkan lelaki cantik tercintanya menanggalkan kacamata yang ia kenakan.

“Kamu tuh ganteng selalu.”

“Udah tua, udah banyak ubannya.”

“Di mata aku kamu tetap aja ganteng.” Thi membalas dengan kesepuluh jemari merapikan anak rambut Tawan.

“Aku berat kan?” Si manis kembali bersuara.

“Beratlah aku mangku bayi dugong.”

“Katanya kamu aku udah langsing tapi tetep dikatain begitu.”

“Anak kamu udah kelas tiga SD, Mbul, kenapa kamu masih menggemaskan?”

“Karena Thi masih muda, yang tua itu kamu.” Thi menjawab dengan begitu santai.

“Mulai Thi mulai.”

“Aku gak salah? Aku ngomongin fakta, aku masih cantik, aku seksi, aku langsing walau gagal diet dari jaman kita pacaran, dan yang terpenting aku punya kamu.”

“Berarti aku doang yang menua sendiri ya?” Tawan bertanya.

“Iya.”

“Nakal.”

“Thi gak pake baju kucing garong Tetaa! Kenapa Thi dibilang nakal?”

Pria tan itu tak lagi membalas apa yang dikatakan suaminya, perlahan menarik Thi untuk masuk kedalam sebuah pelukan paling nyaman yang ia ciptakan khusus untuk lelaki cantik yang telah berjuang bersamanya hingga sekarang.

“Aku sayang kamu, Mbul.”

“Sayang banget.”

“Aku tau dan aku pun begitu, Tawan.”

“Sampai sekarang aku gak pernah bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang nantinya akan aku lewati tanpa kamu. Aku gak pernah bisa membayangkan gimana jika kamu pergi dan gak lagi kembali, Thi.”

“Sejak awal kita bertemu dan aku memutuskan untuk menaruh segala hatiku sama kamu, ketakutan terbesarku sejak hari itu sampai sekarang adalah kehilangan kamu.”

“Apa jadinya aku tanpa kamu ya Thi?”

“Thi kenapa diem?”

“Udah ngomongnya? Masih mau lanjut?” Si mania bertanya dengab nada begitu lembut.

Yang tua menggeleng, “Udah.”

Setelah jawaban yang keluar dari mulut Tawan, tanpa aba-aba lelaki cantik itu menarik tengkuk yang tua, menyatukan kedua pasang bilah bibir mereka, menyesap bibir bawah Tawan dengan begitu lembut, membiarkan ribuan kupu-kupu menggelitik perut, melupakan jika debaran jantung yang menggila di tempatnya.

Thi tak punya banyak kata untuk menenangkan Tawan dikala ketakutannya melanda, ia mencium suaminya untuk mencurahkan segala cinta yang ia punya, membuktikan pada Tawan jika dirinya akan terus bersama lelaki tan itu hingga Semesta yang memisahkan mereka berdua.

Karena kenyataannya Thitipoom tak punya alasan untuk pergi, dari Mataharinya.

•••

—Joya.

Kau ku sebut pulang.

•••

“Beli makanan kucing dulu.”

“Tetaa beli makanan kucing dulu di sekeliling rumah Ibu-Bapak kamu banyak kucing lucu engga kayak Kookiee.”

“Tetaa beli makanan ku-”

“Iya di beli, kita beli oke? Tapi kucing yang ini diem dulu.” Pria tan itu menoleh sekejap ke kiri, tempat di mana suami tercintanya berada.

Mendengar penuturan dari yang tua membuat bibir Thi maju lima senti, “Selalu disuruh diem Thi-nya, kalau gitu tadi aku di mobil Ibu aja.”

“Gih.”

“Ishh udah gak sayang ya sama si cantik ini? Iya Tetaa iya? Udah gak sayang sama aku iya?”

Tawan terkekeh pelan mendegar ucapan orang yang paling ia cinta, perlahan tangan kirinya mulai terulur menjangkau kepala yang muda, mengelusnya dengan rasa sayang tiada dua.

“Sayang.”

“Jadi kenapa? Kenapa nyuruh Thi diem? Kenapa bilang aku kucing?”

“Karna emang kucing.”

“Bukan.”

“Kucing.”

“Bukan.”

“Kamu kakaknya Koookie, sama-sama suka mengeong.”

“Enggak ya Tetaa, aku bukan kakaknya Kookiee karena anaknya Ibu cuma aku,” Thi menjawab. “Lagian aku juga mengeongnya sama kamu aja.” Sambungnya.

“Kamu kucing aku.”

“Aku suami kamu!” Bantah yang muda.

“Bibirnya gausah di maju-majuin begitu Mbul.”

“Kenapa emangnya? Kenapa gak boleh? Kan ini bibir aku.”

Pemilik netra hitam pekat itu kembali melirik ke kiri tanpa sadar seulas senyum tipis terukir menghiasi wajahnya, “Jadi punya hasrat buat nyoba.”

“Bilang aja mau ciuman.” Thi menjawab dan itu tepat sekali. “Bibir aku kering nih, udah lama gak ciuman deh kayaknya.” Lanjut si manis.

Tak ada balasan apa-apa dari yang tua namun lelaki itu malah menepikan mobil yang tengah ia kendarai, mulai menoleh kearah si manis dalam diam, Tawan benar-benar senyap membuat Thi mengerjap beberapa kali.

“Tetaa,” Thi memanggil.

“Kamu yang mulai.”

“Aku cuma iseng, beneran.”

“Aku enggak.”

Setelah berucap pria tan itu bergerak mendekat, ingin menghapus segala jarak yang tercipta diantara dirinya dengan sang kekasih hati, tangan kanannya mulai menjangkau tengkuk yang muda, hembusan napasnya menerpa wajah lelaki dengan tahi lalat dibagian hidung yang menggemaskan jika diperhatikan lama-lama.

Kedua kelopak mata yang tua menutup, menyembunyikan iris hitam pekatnya, membirkan debaran semakin menggila, sedikit lagi kedua bibir anak adam itu menemukan pasangannya, sayangnya.....

“Anjing.” Tawan mengumpat pelan begitu suara klakson dari mobil Jumpol terdengar.

•••

Sepasang iris kelabu berkilau itu akhirnya menjatuhkan pandangan pada sesosok pria jangkung berkulit tan yang tengah berdiri beberapa meter darinya, menatap lelaki yang sukses menghapus segala pikiran buruk tentang sebuah hubungan percintaan, lelaki yang selalu ia jadikan tumpuan untuk berpulang, lelaki yang selau siap sedia untuk tawa dan sedihnya, Tay tawan orangnya.

Tawan atau biasa ia panggil Tetaa bukanlah pria sempurna, tentu saja kata sempurna jauh untuk dirinya. Namun dari segala banyaknya penduduk bumi Thi memilih dia tanpa ragu untuk menjadi seseorang yang akan menemaninya setiap waktu.

Thi sadar jika Semesta memang sudah baik sekali pada dirinya, ia juga akan selalu berucap terima kasih setiap harinya. Seperti yang pernah ia bilang sebelumnya, Semesta tak tanggung-tanggung menghadirkan orang-orang baik di sekeliling dirinya.

Kesedihan yang ia rasakan sudah berukurang begitu banyak, impiannya tentang memiliki keluarga bahagia telah dikabulkan Semesta, Thi hanya meminta agar Semesta tak begitu cepat mengambil kebahagiannya.

Pemilik iris kelabu itu sadar kalau tak akan ada habisnya jika ia membicarakan tentang betapa beruntungnya dia dipertemukan oleh Tawan vihokratana-suami sekaligus ayah dari anak sematawayangnya.

Pria tan itu berbalik hingga tanpa disangka-sangka netra keduanya bersinggungan, saling tatap untuk waktu singkat, Thi semakin mengembangkan senyumnya. Sedangkan yang tua malah memberikan sebuah kedipan untuk lelaki tercintanya.

“Thi tolongin Ibu ambil mangkok untuk sambal kecapnya.”

Pemilik iris kelabu itu menoleh ke kiri, “Saya, Bu?”

“Tolong ambilkan mangkok di dapur Thitipoom.” Ulang ibunya.

Thi lekas-lekas beranjak dari tempatnya, melangkah masuk kedalam rumah orang tua Tawan menuju dapur,seluruh perhatiannya terfokus pada berbagai macam mangkok di depan mata hingga ia sadar jika ada tangan tanpa permisi sama sekali melingkar di perutnya.

“Tetaa.” Thi bersuara, tentu saja ia tahu pelakunya siapa.

“Sebentar aja Thi.”

“Iya, nanti malem aja oke? Thi lagi bantuin Ibu nih.”

“Ada Gun, ada Arm, masih banyak orang. Kita gini aja dulu.”

Lelaki berkulit putih bersih itu membalikkan tubuhnya, menatap wajah tampan lelaki yang paling ia cinta, mengelus rahang kokoh Tawan dengan usapan lembut, “Kalau kamu lagi mikir aku bakal pergi sama kayak mimpi kamu beberapa bulan yang lalu, ayo buang pikiran jelek itu.”

“Gimana aku bisa tenang kalau kamu beneran minta ngumpul begini, sama kayak di mimpi aku Mbul.”

Thi mengulas senyum tipis, “Aku gak kemana-mana.”

“Sama aku terus?”

“Sama Tetaa terus.”

“Cium aku kalau gitu.” Tawan meminta.

“Kita bukan lagi di rumah kita, kita enggak lagi berdua, jadi jangan minta yang macem-mecem.”

“Pertama, aku lagi sama kamu, rumahku. Kedua, kita lagi berdua.”

“Kita lagi berdua kata kamu! Kamu gak liat di depan rumah?”

“Di halaman depan, kita di dapur Mbul.”

Yang muda tak lagi menjawab, menatap pria tan itu dengan kedua mata memicing lengkap bibirnya maju beberapa senti.

“Ya Mbul ya?”

“Nanti malem aja deh, janji.”

“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti malam?”

“Tetaa, aku tau kamu gak suka menunda-nunda sesuatu. Tapi yang ini harus ditunda.” Thi menjawab.

“Yaudah kita di sini aja sampe kapan tau.” Tawan berucap dengan kedua tangan yang semakin mengertakan pelukannya tehadap tubuh lelaki cantik di depannya.

“Thi pukul ya kamu pake mangkok!”

“Coba aja.”

Kesepuluh jemari lentik yang muda perlahan tak lagi berada di kedua sisi yang tua, “Kamu memang suka maksa.” Setelah mengucapkan kalimatnya, si cantik menarik tengkuk suaminya tanpa aba-aba, mulai mengapus jarak yang ada diantara mereka berdua, menyatukan bibirnya dengan pasangannya.

Reaksi Tawan? Tentu aja menerimanya dengan senang hati, tangan kanannya mulai bergerak mengelus pipi yang muda sedangkan tangan kirinya semakin menarik pinggang ramping Thi agar semakin mendekat, menyesap bilah bibir manis lelaki cantiknya dengan lembut.

“THI, THITHIPOOM”

Seluruh kesadaran yang sempat mengawang itu langsung kembali, kedua tangannya cepat-cepat mendorong dada Tawan menjauh darinya.

“Thi!” Tentu saja pria tan itu melayangkan protes.

“Ibu manggil, nanti malem oke.”

Lelaki berparas cantik itu langsung meraih dua buah mangkok dan berlari keluar rumah, meninggalkan Tawan seorang diri.

•••

“Om Jum besok kita mandi air terjun lagi, ya?” Suara gadis kecil berambut sebahu itu terdengar.

“Oke anak Daddy, besok kita main air terjun pagi-pagi.” Jumpol menjawab sembari memamerkan kedua ibu jarinya pada Lolly.

Thi kembali tersenyum, ia menyukai saat-saat seperti ini, menyukai bagaimana gelak tawa tercipta tanpa ada alasan yang jelas, bagaimana orang-orang terdekatnya saling membuat kenangan bersama-sama.

Tangan kanannya yang sedang meng-elap piring itu pun perlahan terhenti ketika irisnya kembali bersinggungan pada sang suami, hingga Tawan dengan cepat memutuskan kontak mata mereka berdua, lelaki itu merajuk.

“Alice jangan banyak gerak, duduk aja di sini kata Ibu.” Suara dari Ibu Thi lagi-lagi terdengar melarang Alice agar tidak melakukan banyak kegiatan.

“Aku cuma mau liat a-”

“Ada Gun, sudah kamu duduk saja sebentar lagi kita makan sama-sama.” Ibu kembali menjawab, tak ingin dibantah sedikitpun.

“Kak Al, sini duduk di samping Thi.”

Beberapa menit setelahnya mereka benar-benar makan bersama, melempar candaan tiada henti hingga tanpa sadar hari semakin larut.

“Gue kalau udah kenyang gini emang bawaannya mau tidur.” Off jumpol berucap.

“Lu di mana-mana emang kerjaannya tidur.” Arm membalas.

“Tidurlah selagi engkau bisa.”

“Tidur selamanya, gitu?” Gun menjawab.

“Sayang! tarik ucapan kamu.”

“Daddy.” Suara dari gadis berusia delapan tahun itu terdengar membuat banyak pasang mata teralih padanya, sepasang mata sayu itu mengerjap, lalu ia menguap.

“Lolly mau tidur.”

Tawan lekas-lekas beranjak dari tempatnya, menggendong sang anak untuk masuk ke dalam rumah, hingga suara dari Ibu mertuanya terdengar “Tawan, Lolly tidur sama Ibu saja.”

•••

“Aku nyariin ternyata kamu di sini.”

Pemilik iris kelabu langsung mendaratkan bokongnya tepat di samping yang lebih tua, membiarkan angin malam menerpa wajahnya menyingkirkan poni rapi yang menutupi dahinya, netranya menatap air jernih dari kolam yang berada di depan mata, ​kepalanya menoleh ke arah lelaki yang sedari tadi diam, masih merajuk ternyata.

“Tetaa.” Si manis memanggil dengan jari telunjuk bergerak menekan-nekan begitu pelan pipi kiri Tawan.

“Sayang,”

“Tetaa, jelek banget ah ngambeknya.”

Tak ada jawaban, yang tua menggerakkan kedua kakinya yang berada di dalam kolam.

“Liat nih tangan Thi luka, kena pisau pas motong bawang.” Ucap yang muda, memamerkan jarinya yang terluka.

“Udah di obatin belum? Kenapa gak di pakein hansaplast? Kenapa gak bilang aku, Mbul?”

“Cuma luka kecil juga ntar sembuh sendiri.” Thi menjawab, “Jadi, kamu udah gak ngambek lagi sama aku?” Ia kembali bersuara membuat lelaki di sebelahnya menggeleng dua kali.

Thi tersenyum.

Senyum yang selalu Tawan nantikan menghiasi wajah cantik lelakinya, senyum yang selalu Tawan jadikan alasan dia bahagia, senyum sang Bulan, Bulannya.

“Makasih ya.”

“Makasih karena kamu udah berani, berani untuk melewati hari ini. Makasih karena kamu udah meng-iyakan ajakan aku padahal kamu sendiri sebenernya takut.”

“Makasih ya udah jadi suami sekaligus Daddy dari anak aku, makasih banyak banyak banyak banget.”

“Aku gak bisa mikir gimana kalau bukan kamu teman hidup aku, kayaknya gak ada yang sesabar kamu dalam menghadapi tingkah aku. Aku yang masih kekanak-kanakan, yang apa-apa maunya dituruti. Apa ya, kamu tuh nerima segala buruknya aku tanpa tapi, makasih Tawan.”

“Thi tuh kalau ngomongin kamu rasanya mau nangis, bukan nangis sedih gitu loh Ta, tapi nangis bahagia karena hati kamu punya aku, maksudnya aku yang begini bisa dapetin kamu.”

“Kamu yang begini gimana maksudnya?” Tawan bertanya.

“Yang banyak kurangnya. Aku tuh pernah ngerasa kalau kita tuh berbanding terbalik terus, kamu dari keluarga yang lengkap, dari keluarga yang bahagia, sedangkan Thi enggak. Kamu bisa kerja dengan usaha kamu sendiri sedangkan Thi cuma gantiin Ibu. Kamu tuh banyak lebihnya dan aku terlalu banyak kurangnya.”

“Dari sekian banyak hal yang bisa kita obrolin bareng-bareng, kenapa Thi malah fokus ke hal yang sebenernya gak perlu kamu pikirin.” Tawan berucap dengan begitu lembut sembari menyerka air mata yang membasahi kedua pipi Thi tanpa permisi.

“Kamu bilang kamu banyak kurangnya, gak cuma kamu yang banyak kurangnya Mbul, aku juga.”

“Tapi banyakan aku.”

“Kamu ingat gak apa yang aku bilang ke Ibu saat aku datang kerumah buat minta izin menikahi kamu? Aku terima apapun tentang kamu. Jadi, ayo kurangin mikir jelek, mikirin hal yang seharusnya gak kamu pikirin.”

“Masalah kerja, Thi, orang gak tau usaha kamu buat jadi kamu sekarang. Orang-orang di luar sana cuma tau kamu lulus kuliah terus dapet jabatan di perusahaan Ibu kandung kamu sendiri, tapi, mereka gak tau di belakang kamu segila apa.”

“Jadi, biarin aja. Kita gak perlu menjelaskan apa-apa.”

“Kamu bilang, keluarga aku lengkap dan bahagia. Bener, tapi enggak sepenuhnya bener. Aku gatau kenapa, mungkin karena aku anak bungsu kali ya, jadi sering banget suara aku tuh gak di dengar.”

“Aku gak bisa bebas berpendapat kalau kamu mau tau, dulu aku iri banget sama mas Rendra, karena apa yang mas Rendra bilang tuh Bapak sama Ibu langsung setuju langsung meng-iyakan.”

“Sedangkan aku? Enggak Thi, anggota keluarga ku selalu menganggap aku ini anak kecil yang belum bisa mengambil keputusan sendiri.”

“Setiap keluarga pasti ada kurangnya, yang kita liat tuh gak selamanya benar. Jadi, jangan selalu salahkan ketidaksempurnaan kamu dan keluarga kamu.”

“Aku sayang kamu, aku selalu berusaha untuk selalu mendengarkan apa yang lagi kamu sama Lolly bicarakan, karena aku gak mau kamu dan Lolly ngerasain apa yang dulu aku rasain.”

“Kita sama Mbul, kita sedang berusaha untuk membuat Lolly bahagia.”

“Kamu harus tau dan harus ingat, mau ada seratus pilihan pun aku akan terus memilih kamu, kamu tetap menjadi pemenangnya karena kamu tokoh utamanya.”

“Emang sekarang Thi masih jadi tokoh utamanya?”

Tawan dengan cepat mengangguk, “Kamu akan selalu jadi tokoh utama dalam ceritaku.” Ia menjawab, mengelus kepala yang muda dengan sayang.

“Tetaa, makasih.”

“Sama-sama, Tetap sama aku terus ya Thi, jangan pernah bosan sama aku, jangan tinggalin aku sendiri, aku takut banget kamu pergi dari aku. Aku gak bisa mikir aku harus gimana tanpa kamu, aku benar-benar sudah menggantungkan hidupku sama kamu, padahal sebenernya itu gak boleh.”

“Ini terdengar konyol tapi kalau bisa ngasih dunia ke kamu, aku akan kasih asal kamu sama aku terus, karena aku tau gak ada satupun orang yang bisa tahan sama aku selain kamu.”

“Aku sayang banget sama kamu Thitipoom.”

“Tetaa, aku dulu pernah baca buku hahaha tentu aja, lembar demi lembar dari buku itu akhirnya selesai ku baca semua, perjalanan cinta mereka juga sudah kuketahui seluruhnya, hingga tepat di halaman terakhir aku tersadar jika tak semua kisah berakhir bahagia. Thi tau gak semua bisa berakhir bahagia, tapi aku berharap banget aku bisa sama kamu terus mau kita lagi senang atau sedih, mau kita lagi mesra atau berantem, aku mau sama kamu terus dalam keadaan apapun.”

“Aku ngerasa kalau aku gak boleh minta apa-apa lagi sama Semesta karena aku udah dapetin keluarga yang aku impikan. Semesta udah terlalu baik sama aku, aku gak akan bosen bilang itu.”

“Aku tuh beruntung banget bisa dapetin kamu, orang yang dulunya aku tolak mati-matian hahahha.”

“Tetaa aku beneran kepengen banget di saat kita udah tua, rambutnya udah putih semua, Lolly udah ketemu sama pasangan hidupnya, aku kepengen kita duduk di taman belakang rumah, kita buka album foto, kita liat bahagianya aku sama kamu di foto itu, terus kita ngobrolin apa yang terjadi di belakang layar.”

“Kita kenang lagi apa yang sudah terjadi, kita ketawa, kita nangis, terus pelukan. Thi gak tau itu bisa terjadi apa enggak nantinya, tapi aku pengen aja ngerasain itu di saat kita udah berdua lagi.”

“Kita rayu Semesta.”

Lelaki berparas cantik itu mengangguk setuju.

“Aku sayang kamu, jadi kamu harus sayang aku.” Thi berujar.

Tawan tersenyum sembari mengusap kembali surai milik lelaki yang selalu jadi urutan pertama dalam hidupnya, lelaki yang selalu ingin ia bahagiakan selamanya, lantas Tawan menarik lelaki manis itu kedalam pelukan yang dirinya ciptakan.

“Aku sayang kamu.”

“Thi sayang kamu lebih dan paling banyak.” Si manis menjawab, semakin mengeratkan pelukannya.

“Mbul aku mau nangih janji kamu.”

•••

-Joya-

•••

“Taa, kita pulang kerumah Ibu aja ya.”

“Kenapa gitu?”

Lelaki dengan poni rapi menutupi dahi itu menoleh ke samping, tepat di mana suaminya berada, “Karena menurut Thi rumah Ibu tuh lebih luas kalau ntar ada orang yang dateng buat ngeliat aku.”

“Mau ya Taa.”

“Iya.” Yang tua menurut.

“Papa, apa kamu gak keberatan dari tadi mangku aku terus?”

Gadis kecil berambut sebahu itu mulai bersuara, “Enggak dong.”

“Tapi Lolly udah gede, dari kita turun dari pewasat dan kita masuk ke mobil, Papa gendongin aku terus.”

“Kan kamu anaknya Papa.”

“Tapi badannya Lolly berat.”

“Enggak, sayang.” Jawab Thi semakin mengeratkan pelukannya pada sang anak, mengecup pucuk kepala gadis kecilnya berulang kali, membisikkan kalimat sayang tiada henti.

Beberapa menit setelahnya mobil hitam itu berhenti tepat di depan rumah Ibu Thi, “Kamu bawa Lolly aja ke dalam, biar barangnya aku yang ngurus.”

•••

“Mandi dulu Mbul baru tidur.” Tay tawan berucap sembari menarik suaminya untuk tidak langsung merebahkan diri di atas ranjang.

Seulas senyum tipis terukir menghiasi wajah berparas cantik seorang lelaki bernama Thitipoom, “Kesel ya sama aku? Maaf kalo Thi suka bikin kamu kesel, besok enggak lagi kok.”

Kedua tangan pria tan itu menangkup sisi-sisi wajah kekasih hatinya, “Ngomong apasih kamu tuh? Ngelindur mulu dari kemarin.”

Thi hanya tersenyum menanggapinya.

“Mandi bareng mau gak?” Yang tua mengajak, tanpa pikir dua kali Thi langsung mengangguk setuju, ikut masuk kedalam kamar mandi bersama sang suami.

Tak butuh waktu lama untuk keduanya membersihkan diri, kedua anak adam itu sudah berada di atas ranjang sambil berpelukan-dengan Thi yang begitu nyaman menyandarkan kepalanya di dada yang tua.

“Aku capek tapi aku gak mau tidur.” Si manis berujar.

Kelima jemari Tawan tak henti mengelus rambut halus lelakinya, “Terus mau-nya apa?” Ia menjawab.

“Mau ngobrol.”

“Ayo, kamu mau ngobrol tentang apa?”

“Tentang kita? Tentang aku yang bahagia karena dipertemukan sama kamu, tentang aku yang ingin bilang aku cinta sama kamu setiap harinya, tentang Semesta yang benar-benar baik sama aku.”

Tawan diam, membiarkan yang muda bersuara.

“Rasanya aku mau bilang kalau aku jatuh cinta sama kamu setiap detiknya karena aku memang beneran cinta sama kamu.”

“Sayang, makasih banyak ya.”

“Kamu terus bahagia, walau nanti aku udah gak ada.”

“Ngomong apasih Mbul.” Yang tua berucap.

Lelaki berparas cantik itu perlahan mulai menengadah, mempertemukan netra miliknya dengan milik sang suami, ia memberi sebuah senyum tipis setelahnya.

“Aku sayang sama kamu, aku bener-bener sayang sama kamu. Aku gak pernah gak sayang sama kamu.” Thi kembali bersuara.

“Kamu gak mau cium aku?” Ia berucap lagi.

Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, Tay tawan menunduk, mulai menyatukan bilah bibirnya dengan pasangannya, mulai mengulum bibir merah muda si manis begitu lembut, mencurahkan segala cintanya pada sang Bulan.

“Makasih, ganteng.”

“Aku ngantuk Taa, tapi aku gak mau tidur.”

“Kenapa Mbul?”

“Takut.”

“Apa yang bikin kamu takut? Aku ada di sini,”

Yang muda hanya mengangguk, semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang yang tua, menghirup aroma tubuh Tawan yang begitu menenangkan, mengelus lengan lelaki tan itu dengan sangat pelan, “Aku sayang sama kamu.” Lirihnya.

“Aku takut kalau besok aku gak bangun.”

“Ya makanya kamu tidur sekarang, biar besok banggunnya cepet dan aku bakal ngajak kamu ke tempat tongseng yang enak banget. Mau kan?”

Thi diam, kembali mengelus lengan yang tua.

“Aku seneng karena kamu mau aku ajakin buat jalan-jalan ke Bajo, makasih ya Taa.”

“Kamu mau kemana lagi emangnya?” Tawan memberi sebuah tanya yang hanya mendapat gelengan kepala dari lelaki cantiknya.

“Kalau aku tidur, kamu bolehin atau enggak?”

“Gak ada yang ngelarang kamu buat tidur, Mbul.”

“Beneran gak apa-apa?” Ia kembali bertanya.

“Gak apa-apa sayang, jangan takut, ada aku di sisi kamu.”

Lagi-lagi lelaki berkulit putih bersih itu memberi sebuah senyum tipis, menatap suaminya untuk beberapa saat, “Kamu baik-baik ya, bahagia terus.”

“Kita bakal bahagia sama-sama Thi.”

“Aku tidur deluan ya.”

“Iya sayang, besok kita makan tongseng kan?”

Dan lagi, sebuah elusan kembali Tawan dapatkan.

“Tawan, jangan berhenti cium aku sampe besok ya?” Pinta Thi yang langsung mendapat anggukan dari orang terkasihnya.

“Thi seneng banget karena setiap aku buka mata aku ngeliat kamu, dan sampe sekarang aku mau tidur yang aku liat juga tetep kamu, aku tidur ya.”

Kedua kelopak mata yang muda perlahan menutup, menyembunyikan iris kelabu berkilau begitu indah dipandang lama-lama, hingga sebuah tarikan napas panjang Thi sayup-sayup menjamah indera pendengaran Tawan.

Tawan hanya diam memandangi wajah cantik suaminya, orang yang paling ia sayang, orang yang akan terus ia perjuangkan, seulas senyum manis tanpa sadar terukir menghiasi wajahnya, “Thi cantik-nya aku.”

Perlahan tangan kanan sang empu mulai mencari pasangannya, mulai menggenggam tangan si manis, hingga debaran jantungnya menggila begitu tubuh kekasih hatinya terasa begitu dingin, “Thi?” Ia memanggil dengan begitu lembut.

“Thipum.”

Belum ada jawaban.

“Kamu kedinginan ya,” Lekas-lekas Tawan meraih sebuah selimut tebal yang berada di sampingnya, mulai menyelimuti tubuh si manis yang berada di dekapannya, tak lupa pula mematikan pendingin ruangan.

Kelima jemarinya kembali mengelus rambut yang muda dengan tangan kanan yang masih terus menggenggam tangan Thitipoom-nya.

“Kok masih dingin Thi?”

“Thi, aku laper deh, bangun yuk temenin aku ke dapur.”

“Mbul kamu beneran lagi tidur aja kan sayang? Kamu gak ninggalin aku sendirian kan.”

Lekas-lekas ia menggeleng, membuang jauh-jauh pikiran buruk yang mulai menghantuinya, “Gak mungkin, kamu gak mungkin ninggalin aku.”

“Sayang.” Ia mulai menepuk-nepuk pelan pipi sang Bulan, berharap jika Thi-nya membuka mata dan menjawab semua apa yang Tawan tanyakan.

“Bangun dulu yuk Thi.”

“Sayang kalau kamu pergi aku sama siapa?” Air matanya tumpah, mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya, kedua tangannya beralih untuk mendekap tubuh dingin yang muda, masih jua bermonolog tanpa henti, masih berharap Thi membuka kedua matanya.

“Kamu cuma tidur kan? Kamu mau aku cium ya biar bangun, iya Thi?”

“Aku bakal cium kamu terus, tapi bangun ya.”

“Kamu gak ninggalin aku sama Lolly kan Thi.”

“Sayang kamu beneran pergi ya.”

“Kamu beneran gak bangun lagi ya.”

Pria tan itu menyerah membiarkan tubuh yang muda terus berada di pelukannya tanpa berniat untuk melepaskan Thi sama sekali.

Tawan benar-benar menangis, mengabaikan ketukan-ketukan pintu yang masih dapat ia dengar, masih terus menyelimuti tubuh Thi dengan selimut tebal agar cantiknya itu tak merasa kedinginan.

Hingga pintu bercat putih tulang itu terbuka, menampilkan wanita paruh baya dengan kedua tangan memegang nampan berisikan makanan, Tawan menatap Ibu mertuanya, “Bu, Thi udah gak ada.”

•••

“Tetaa,”

“Tawan!” Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan pria berkulit tan itu dengan mulusnya, kedua mata yang tadinya terpejam rapat lagsung terbuka lebar, “Kamu kenapa?” Pertanyaan bernada khawatir itu terdengar, hingga kepanikannya semakin menjadi-jadi begitu ia melihat suaminya menangis.

“Teta?”

Thi cukup merasa terkejut begitu yang tua langsung menariknya kedalam sebuah pelukan begitu erat sampai-sampai ia susah bernapas, pemilik netra hitam pekat itu menangis tersedu-sedu.

Thi mulai mengelus punggung suaminya, mulai menenangkan yang tua dengan bisikan-bisikan jika Matahari itu tak perlu lagi sendiri.

“Aku mimpi kamu kamu pergi dan gak akan pernah balik lagi, ninggalin aku sama Lolly.”

“Cuma bunga tidur kamu Ta, aku ada di sini.”

•••

-Joya-

•••

Sebuah mobil berwarna hitam yang tengah dikendarai Tay tawan melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang, keduanya sama-sama diam bergelut pada pikiran masing-masing, kelima jemari yang muda tak henti meremat ponsel yang berada di genggamannya hingga beberapa saat setelahnya iris kelabu itu mulai menoleh pada lelaki di sebelahnya, netranya tak lagi dapat beralih kemana-mana ketika pandangan itu sudah terkunci pada Tawan-nya.

“Kamu lapar kah?”

Suara yang tua terdengar memecahkan keheningan sedari tadi membelenggu keduanya, pemilik iris kelabu itu tak jua menjawab hingga Tawan menepikan mobilnya, “Thi.” Ia memanggil.

“Kenapa kamu jujur sama Lolly?”

“Kenapa aku harus bohong?”

Pria berkulit seputih salju itu menghela napas panjang, “Kalau Lolly marahin kamu gimana? Padahal gak semuanya salah kamu, Ta.”

“Tapi emang aku salah, bikin kamu sedih.”

“Kamu boleh marahin aku, kamu boleh keluarin semua hal yang mengganggu pikiran kamu, kamu juga boleh maki-maki aku sekarang Mbul. Kalau kamu takut aku marah, aku kasih tau dari sekarang, aku gak akan marah ke kamu, aku gak akan bentak kamu, aku bakal peluk kamu setelah itu.”

“Aku salah karena memaksakan diri saat itu dan aku gak jujur sama kamu kalau sebenarnya aku lagi capek, yang ada di pikiran aku tuh cuma untuk nyenangin kamu sama Lolly.”

“Dan ya, berujung aku bikin kamu sedih karena perlakuan aku yang gak baik, aku minta maaf sama Thi.”

“Sayang, kamu gak perlu takut sama aku.”

“Thi tuh kesel sama kamu, aku marah juga sama kamu, kamu yang kemarin-kemarin tuh bikin aku ngerasa kalau kamu udah bosan sama aku, kamu udah gak ngerasain apa-apa lagi sama aku.”

Yang muda bersuara, menggungkapkan semua apa yang dirinya rasakan, tak lagi mau menahan air matanya, “Dan aku benci pikiran aku yang mikir kalau kamu emang udah gak mau sama aku, aku takut kamu ninggalin aku.”

“Karena mau sekuat apapun aku, nyatanya aku gak bisa gak ada kamu.”

“Tetaa boleh kok kalau Tetaa mau sendiri dulu, atau emang gak mau ngeliat aku, tapi jangan pergi jangan pergi dari aku.”

Kedua tangan yang tua perlahan menangkup sisi-sisi wajah lelakinya, mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti, “Yang bosan sama kamu tuh siapa Mbul?”

“Kamu.” Si manis membalas.

“Kamu harus tau ini, kita gak pernah tau kedepannya itu gimana, kita gak pernah tau masa depan tuh kayak apa, semesta selalu punya rencana gak terduga, tapi kamu gak perlu khawatir kalau aku bakal ninggalin kamu.”

“Sama kayak yang aku bilang sebelum-sebelumnya, semua orang boleh hilang tapi enggak dengan kamu.”

“Thi, bukan hanya kamu yang gak bisa tanpa aku, sejak awal aku udah bergantung sama kamu. Aku pernah bilangkan kalau aku gak tau gimana jadinya aku tanpa kamu, sampe kalo bisa ditukar nih ya, aku rela nukar apa aja yang aku punya asal aku sama kamu terus.”

“Jadi, kamu jangan takut kalau aku gak sayang sama kamu.”

Kedua ibu jari pria tan itu tak berhenti mengelus pipi suaminya, membiarkan lelaki berparas cantik itu menangis tanpa menyuruhnya untuk berhenti.

“Atau, Thi yang lagi butuh sendiri dulu?” Tawan kembali bersuara.

Lekas-lekas yang muda mengelengkan kepalanya, “Aku gak butuh sendiri karena aku punya kamu, maafin Thi yang bikin masalah kita makin besar.”

“Maafin pikiran-pikiran buruk aku terhadap kamu, aku ini emang aneh tapi kenapa kamu masih sabar sih Tetaa.”

“Kenapa jadi kamu yang minta maaf Mbul,”

“Karena aku emang nyebelin.”

“Aku lebih suka kamu nyebelin dari pada diem aja kayak yang kamarin-kemarin, kalau kamu udah marah terus diem bikin aku stress sendiri soalnya kamu balik lagi jadi kamu pas awal aku deketin kamu.”

“Aku minta maaf ya Thi.”

“Iya.”

“Jadi kita udah maaf-maafan nih?” Tawan kembali bertanya dan langsung mendapat anggukan dari si manis.

“Kita udah temenan.”

“Mana ada temenan! Kita udah punya Lolly.” Sargah yang tua.

“Lolly bilangnya aku sama kamu harus temenan lagi, gak boleh berantem.”

“Baikan, Mbul.”

“Temenan aja kenapasih?”

“Kalau temenan kamu jangan minta peluk!”

Raut wajah sebal yang tua membuat Thi semakin gencar ingin menggoda lelakinya, “Ada banyak yang bilang temenan tapi pelukan.” Thi tak mau kalah.

“Yaudah jangan minta cium.”

“Ada banyak juga yang temenan tapi cium-ciuman.”

“Jangan minta yang iya-iya sama aku.”

“Tetap aja banyak temenan tapi ngelakuin yang iya-iya.”

“Ya.” Setelah menyelesaikan katanya, Tawan kembali melajukan mobil hitam miliknya dengan kecepatan sedang tak lagi mau menatap pria di sebelahnya, hingga sebuah tawa dari yang muda terdengar.

“Bercanda Tetaa.”

“Tetaa?”

Oke, sekarang giliran Thi yang kelimpungan akibat ulahnya sendiri.

•••

“Tetaa kamu gak lucu banget ngambek sekarang.” Suara yang muda kembali terdengar begitu kedua anak adam itu masuk kedalam rumah mereka.

“Tetaa kita baru baikan,”

“Temenan.” Koreksi yang tua.

“Tetaa jangan ngambek gitu gak lucu banget ih.” Thi terus berucap sembari mengikuti kemana langkah suaminya.

“Ngapain ngikut aku mau mandi.”

Kedua tangan lelaki manis itu menarik ujung baju yang dikenakan Tay tawan, “Jangan ngambek.”

Tak ada balasan.

“Tetaa jangan ngambek aku cuma iseng aja tadi.”

“Tetaa ih jangan diem aja.”

“Mau ikut mandi bareng gak?”

•••

-Joya-

•••

“Kamu semenjak masakannya udah enak-enak semua jadi sering banget bikin ini itu,” Sebuah komentar dari pria berkulit tan itu terdengar.

“Tetaa gak suka kah?”

“Suka, makasih ya.” Tawan menjawab, menerima suapan sesendok nasi goreng sosis buatan suami tercintanya, orang yang selalu menjadi orang urutan pertama yang selalu ia cari keberadaannya.

“Jadi, Mba sama Mas tau kamu sebenernya udah wisuda tuh, kapan?” Thi bertanya, mengembalikan topik pembicaraan mereka yang sempat tertunda.

“Dua hari setelahnya, aku di sidang mas Rendra hahaha.”

“Kalau Thi boleh tau, Tetaa kenapa gak mau bilang kalau besok tuh Tetaa wisuda, kenapa Tetaa gak mau ngundang Mas sama Mba buat dateng?” Pria berkulit seputih susu itu melempar pertanyaan yang sebenarnya sudah lama ingin ia ketahui jawabnnya, “Tetaa kalau gak nyaman sama pertanyaan aku, gausah dijawab gak apa-apa.” sambungnya.

Tangan kanan pemilik netra hitam pekat itu terulur mengelus pucuk kepala lelaki berparas cantik di depannya, “Cuma mau bilang, aku sayang kamu.” Tawan berucap.

“Alasannya karena aku sedih? Aku dulu emang agak sensitif kalau ditanya-tanya soal kuliah, karena ya kamu tau kan aku kuliah orang tua ku udah gak ada.”

“Jadi, aku sendiri juga gatau kenapa aku merasa sedih banget pas aku udah ngetik pesn buat ngundang mereka, berakhir aku gak jadi bilang.”

“Aku sama mereka tuh akur, cuma kami gak sedekat itu untuk bertukar cerita, gak seleluasa itu saling bilang apa yang lagi dialami sekarang, terlalu canggung aja Mbul.”

“Aku udah terlampau biasa ngapa-ngapain sendiri, dulu. Aku udah yang nyaman apa-apa berusaha sendiri, tapi di satu sisi tuh aku juga kesepian parah.”

“Sejujurnya, dulu aku gak mau menikah hahaha.”

“Serius Tetaa?”

Pria berkulit tan itu mengangguk dua kali, “Serius, kamu bisa tanya sama Jumpol. Aku se-enggak minat itu sama pernikahan sampe aku ketemu sama orang yang bisa menjungkir-balikkan dunia aku,”

“Kalau aku bilang orangnya itu kamu, termasuk gombal atau enggak?”

Kedua telapak tangan yang muda beralih menepuk-nepuk pipi gembulnya yang terasa memanas, hingga ia bergumam sendiri, “Kamu tuh udah jadi suaminya, kenapa masih suka merah sih kalau denger dia ngomong manis, kenapasih pipi? Stop bikin Thi diketawa-in sama Tetaa.”

Tawa yang sedari tadi ditahan pun pecah begitu netranya mengamati tingkah lucu si manis, “Kenapa jadi nyalahin pipi?”

“Dia merah mulu, centil banget males.”

“Cantik, kok.”

“Thi udah tau Thi cantik, makasih pujiannya Tetaa.”

Thi meletakkan piring sisa nasi goreng sosis buatannya di atas meja, mengalungkan kedua tangannya pada leher yang tua, mengecup bibir pasangannya sebentar lalu melempar senyum pada Tay tawan.

Mereka hanya berdua, di ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala.

“Makasih ya Tetaa, makasih udah mau jadi suami aku, udah mau jadi Daddy-nya Lolly.” Tangan kanan lelaki cantik itu turun mengelus pipi suaminya sembari ia melanjutkan ucapanya.

“Makasih kamu udah mau berbagi apa yang kamu rasain sama aku, makasih udah percaya sama Thi. Tetaa sekarang gak perlu ngerasa kamu bisa sendirian, enggak, kamu gak bisa sendirian dan gak boleh sendirian karena aku akan selalu sama kamu.”

“Thi perjelas, selama aku masih di bumi, aku akan selalu menemani kamu. Kita sama-sama terus ya, aku masih mau buat kenangan yang banyak sekali sama kamu, aku masih mau cerita dan ngadu sama kamu.”

“Makasih ya kamu udah kuat, kamu harus tau kalau aku selalu bangga sama kamu, aku selalu suka cerita sama kamu, kamu adalah karya terindah Tuhan yang selalu aku perjuangkan.”

“Sampe kayak Thi tuh berterima kasih banyak-banyak sama Semesta karena udah baik sama aku, karena Semesta begitu baik sampe mempertemukan aku sama kamu.”

“Makasih ya kamu udah sayang sama Lolly juga, makasih karena kamu bisa jaga emosi kamu banget pas di depan dia, makasih ya.”

“Jangan bikin Lolly kayak aku ya Taa.”

“Mbul.” Yang tua dengan cepat memeluk si manis begitu air matanya tak lagi dapat ia bendung.

“Jangan pernah tinggalin Lolly kayak Ayah yang ninggalin aku, Thi gak mau anaknya ngerasain apa yang aku rasain.”

“Aku tuh dulu kalau dengerin cerita temen-temen ku tentang Ayah mereka yang begini-begitu tuh cuma bisa diem, karena aku sama sekali gak ngerasain itu.”

“Aku tuh sampe yang pernah bilang ke Ibu kalau Ayah bisa memperlakuin kita begini karena Ayah tau bagaimana pun perlakuan dia, aku sama Ibu bakal tetap maafin dan selalu sayang, sampe di mana rasa sayang itu hilang dengan sendirinya.”

“Gak apa-apa, setiap orang tuh udah punya jalannya masing-masing, dan Thi sekarang udah cukup beruntung karena punya suami kayak kamu.”

“Maafin Thi kalau kita berantem suka menyamakan kamu sama Ayah, maafin ya, kamu mau gak maafin aku?”

Yang tua hanya memberikan sebuah anggukan dengan tangan yang masih terus mengelus punggung si manis, terus membekap tubuh lelakinya, terus mengecup pucuk kepala orang terkasihnya, “Makasih juga udah sabar sama aku, Thitipoom.”

“Kita berjuang terus ya, Tawan.”

“Kita berjuang sama-sama, karena kalau kamu orangnya berjuang tak lagi terasa melelahkan.”

•••

-Joya-

•••

“Lolly suka?”

Anggukan begitu antusias dari gadis kecil berumur delapan tahun itu membuat senyum Thi merekah sempurna, “Besok Papa buatin lagi kalau kamu suka.”

“Yang banyak, nanti aku bawain juga buat Momma sama Mba Cika.” Lolly berujar.

“Kayaknya aku ini udah bisa buka toko kue deh Taa.” Thi kembali bersuara, membuat pria berkemeja hitam itu hanya mengangguk dua kali.

“Lolly mau suapin Daddy, sini.”

Pria berkulit tan yang berada tepat di samping anaknya itu mendekat pada Lolly, membuka mulutnya untuk menerima suapan dari gadis kecilnya, “Enak, Thi.”

Pujian dari sang suami membuat rasa senang di dalam dadanya semakin bertambah, mengamati dua manusia paling berharga yang ia punya dalam diam, Thi amat menyukai pemandangan di depannya.

Thi menyukai bagaimana perlakuan Tawan yang begitu lembut pada Lolly, Thi menyukai bagaimana perhatian yang Tawan berikan pada gadis kecil mereka, dan Thi suka semuanya tentang lelaki tampan itu.

“Daddy, tadi ulangan aku dapet nilai A.”

“Pinter anak Daddy.”

“Aku bisa jawab semua soal yang ada, karena kamu ajarin aku. Makasih Daddy.”

Seulas senyum tipis tanpa sadar menghiasi wajahnya, “Sama-sama Cantik.”

“Cantik dua,” Lolly menjawab sembari memperlihatkan kedua jarinya, “Nanti kalau kamu gak bilang dua, Papa bisa ngambek.” Sambungnya.

Thi yang sibuk dengan panggangan kue di dapur terkekeh mendengar ucapan putrinya, “Kata Daddy, Daddy sayang banget sama Papa.” Thi mulai menggoda.

“Lolly juga sayang sama Papa, tapi aku sayang Daddy dulu baru kamu.”

Pria berkulit seputih susu itu melangkah ke meja makan, berdiri tepat di depan suami dan anaknya dengan bibir merah muda yang maju lima senti, “Dasar anak Daddy.”

“Dulu sebelum ada kamu, Daddy cuma sayang sama aku.” Thi kembali berucap.

“Tapi sekarang udah ada aku, jadi Daddy gak sayang sama Papa aja.” Gadis kecil itu tampaknya tak mau kalah.

“Daddy tetap lebih sayang sama Papa daripada sama Lolly.”

“Daddy lebih sayang sama Lolly!”

“Sama Papa.”

“Sama Lolly, iyakan Daddy?” Gadis kecil berambut sebahu itu menoleh ke samping, meminta pembelaan pada Tawan.

“Sayang dua-duanya.” Tawan main aman.

“Tetap aja lebih sayang sama Papa.”

Lolly menghentikan kegiatan makannya, “Kue buatan Papa gak enak.”

“Gak apa-apa, yang penting Daddy suka.” Thi membalas.

“Papa, aku bilangin kamu sama Momma.”

Gelak tawa si manis pecah begitu sang anak beranjak dari tempatnya, berjalan menaiki anak tangga rummah mereka menuju kamarnya, Lolly sudah pasti merajuk.

“Mbul, kebiasaan deh.” Tawan berujar.

“Lucu tau, kamu tolong samperin anaknya dulu boleh? Thi mau beresin semuanya.”

•••

Thi memutar knop pintu bercat merah muda itu dengan perlahan, melangkah masuk ke dalam kamar putrinya yang tengah bercerita pada Tawan. Satu fakta yang harus kalian tahu, Lolly tak pernah bisa marah pada Tawan.

“Ngomongin apaan nih seru banget kayaknya.”

Benar saja, wajah ceria anaknya itu dengan cepat berganti menjadi cemberut sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Thi duduk di pinggir ranjang putrinya, “Lolly masih ngambek ya sama Papa?”

“Lolly gak mau ngomong sama kamu.” Lolly menjawab.

“Papa nanya ke Daddy.” Thi membalas, “Daddy, Lolly masih marah ya sama aku?” Si manis kembali bertanya, menatap suaminya dengan ekspresi semelas mungkin.

“Lolly, kata Papa, kamu masih ngambek kah?” Tawan berucap, mengelus pipi kanan anaknya.

“Daddy tolong bilangin ke Papa kalau Papa suka buat Lolly kesal.”

“Daddy tolong bilangin ke Lolly kalau Papa-nya minta maaf.”

“Daddy tolong bilangin ke Papa kalau Lolly udah maafin Papa.”

Pria berkulit seputih susu itu tersenyum begitu sumringah, “Kamu udah maafin Papa?”

“Tapi Papa janji dulu jangan bikin aku kesel.”

“Papa janji malam ini gak buat kamu kesel.”

“Pinky promise dulu” Lolly berujar sembari memamerkan jari kelingkingnya pada sang Thi, saling menautkan jari mereka lalu saling melempar senyum.

“Kue buatan Papa enak, maafin Lolly udah bohong.”

Lagi dan lagi senyum dari lelaki berparas cantik itu terukir, “Makasih ya.”

“Daddy ayo kita nonton Inside out sama-sama.”

“Lagi? Film itu lagi, nak?”

•••

Sesuai permintaan gadis kecil mereka, dua anak adam itu pun tak punya alasan sama sekali untuk menolak keinginan anaknya, berhubung juga malam ini adalah jadwal untuk Lolly boleh tidur lebih lama. Jadi, mereka menyetujuinya. Sepiring chiken nugget sudah berada di atas karpet bulu, Lolly mulai menaruh seluruh fokusnya pada film yang tengah ia tonton sedangkan si manis sedang berada di dapur-memotong beberapa buah-buahan untuk camilan keluarga kecilnya.

Tangan kanan pria berkulit seputih susu itu menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutnya dan kembali memotong buah apel menjadi bentuk dadu, hingga kegiatannya terhenti karena keterkejutannya akan kedua tangan yang meringkar di perutnya.

“Tetaa ngagetin banget ah!”

Yang tua hanya diam, menyandarkan dagunya di bahu si manis memejamkan matanya secara perlahan hingga suara Thi membuat kedua kelopak matanya kembali terbuka.

“Lolly tau kamu tinggal sendiri?”

“Engga.”

“Tetaa aku gak bisa gerak kalau begini caranya.” Ujar si manis begitu ia merasakan jika sang suami semakin menggeratkan pelukannya.

“Sebentar aja Mbul.” Lirihan itu tentu saja dapat di dengar oleh yang muda.

Enam menit setelahnya, yang muda memutar tubuhnya agar berhadapan dengan orang tercintanya, “Tetaa belum mandi juga?” Thi berucap begitu menyadari jika Tawan masih mengenakan kemeja hitam.

“Kata Lolly habis nonton aja.” Ia menjawab sekenanya, ibu jari Tawan perlahan bergerak menyentuh bibir bawah si manis, mengusap sisa es krim di sana.

Perlakuan itu sontak membuat yang muda tersenyum, tangan kirinya meraih cup es krim, menyendokkan sedikit makanan manis itu dan dengan sengaja membuat bibirnya penuh dengan es krim, ia ingin perhatian Tawan.

“Udah kotor nih, bersihin lagi dong.”

Yang tua hanya diam, Thi mengira Tawan akan kembali mengusap bibirnya dengan ibu jari milik lelaki itu, hingga tubuhnya mematung di tempat begitu kedua bilah bibir pria itu mulai menemukan dengan pemiliknya.

Thi lantas menutup kedua matanya, menyembunyikan iris kelabunya secepat yang ia bisa, mengalungkan kedua tangannya pada leher Tay tawan, jantungnya semakin menggila saat Tawan mulai mengikut sertakan lidahnya pada pagutan yang mereka ciptakan.

Debaran itu tak pernah hilang, masih selalu ada untuk mataharinya, mencintai Tawan juga tak pernah menimbulkan bosan, dan Thi benar-benar ingin terus bersama pada Tawannya.

Beberapa menit setelahnya pagutan itu terlepas bersamaan dengan hilangnya sisa-sisa es krim di bibir si manis. Kedua netra hitam pekat sang empu tak lepas menatap pasangannya dengan perasaan cinta yang begitu terasa, “Pipi kamu merah semua.”

Thi mengangguk setuju, tak menyangkal ucapan yang Tawan berikan.

“Aku jatuh cinta sama kamu, lagi.”

“Aku setiap hari.” Thi membalas.

Kedua anak adam itu kembali mendekatkan wajah mereka, hembusan napas keduanya pun terasa, sedikit lagi bilah bibir itu kembali menemukan pasangannya jika suara dari gadis kecil mereka tak terdengar.

“DADDY KAMU KEMANA?”

Thi mendorong cepat tubuh sang suami agar menjauh hingga decakan dari yang tua terdengar, “Yang, sekali lagi.” Tawan masih jua ingin.

“Matamu!”

Thi mulai meraih piring berisikan buah-buahan yang sudah selesai ia potong, ingin melangkah meninggalkan Tawan seorang diri, namun yang tua tentu saja tak membiarkan itu terjadi begitu cepat, ia lekas-lekas memeluk suaminya mencium pipi gembul Thi begitu lama.

“Tetaa nanti kalau kepergok sama Lolly gimana!”

“Enggak.”

Si manis bergerak melepaskan diri dari pelukan Tay tawan hingga yang tua semakin mengeratkan pelukannya, mengurung habis tubuh suaminya.

“Mas nanti Lolly liat!”

Kini giliran pria tan itu yang mematung, merenggangkan plelukannya terhadap Thi, hingga yang muda dengan cepat meninggalkan lelakinya dengan kedua pipi yang terasa begitu memanas.

“Thi kamu bilang apa tadi?”

•••

-Joya-

•••

Kokok ayam sudah terdengar bersahut-sahutan, pun dengan matahari yang mulai menampakkan dirinya malu-malu, pria berkulit tan itu masih bergelung nikmat di balik selimut tebalnya hingga beberapa menit setelahnya kedua kelopak mata itu terbuka, mengerjab beberapa kali begitu ia melihat cahaya menyusup masuk melalui ventilasi kamarnya.

Tay tawan mulai bangkit dari posisinya setelah ia berleha-leha sebentar, mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandi agar segara membersihkan diri.

Tiga puluh menit setelahnya Tawan benar-benar sudah selesai dengan kegiatan paginya, mulai dari mandi, sarapan, mengecek email masuk, membersihkan tempat tidur, itu semua sudah ia kerjakan. Langkah kakinya membawa ia untuk keluar rumah dengan tangan kanan memegang secangkir teh tawar hangat buatannya, pintu utama bercat putih tulang itu mulai terbuka, ia akan duduk di depan teras sembari menikmati pemandangan gunung dan petak-petak sawah yang terpampang nyata di depan mata.

Hingga semua niatnya hilang digantikan dengan sebuah tenda berwarna biru muda yang berada tepat di halaman rumahnya, dan sebuah mobil terparkir rapi di sebelah mobilnya, tidak lain dan tidak bukan semua ini ulah pemuda manis berkulit seputih susu itu, sudah pasti.

Tanpa ragu pria tan itu melangkah maju, tangan kirinya perlahan mulai membuka sedikit penutup tenda, dan benar saja si manis berada di sana, tengah tertlelap begitu pulas dengan selimut super tabel yang menutupi seluruh tubuhnya. Seulas senyum tipis terukir tanpa sadar menghiasi wajah tampannya, melihat Thi tidur memang salah satu hobinya sedari lama.

Tawan masih sangat suka bagaimana sepasang kelopak sang empu itu menyembunyikan iris kelabunya, bagaimana bibir merah mudanya yang sedikit terbuka, dan hembusan napas teratur sang kekasih, entah bagaimana ceritanya yang jelas Tawan masih saja menyukai apa yang ada di diri sang kekasih. Hingga ekspresinya kembali seperti semula begitu netra hitam pekatnya menangkap yang muda mulai terbangun dari tidurnya.

Kedua mata si manis menyipit, “Tetaa?” Yang muda memanggilnya dengan suara parau.

Tawan masih diam, bangkit dari tempatnya dan berjalan masuk kedalam rumah hingga langkahnya terhenti begitu suara yang muda terdengar.

“Tetaa aku sayang banget sama kamu.”

•••

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, Thi mengulas senyum melihat pemandangan indah di depan mata.

“Ngapain senyum-senyum?” Ucapan ketus yang tua terdengar membuat senyuman itu lantas memudar digantikan dengan majunya bibir merah muda sang empu lima senti.

“Apasih kamu marah-marah, orang Thi cuma seneng karena liat pemandangan indah di depan mata.”

Tawan hanya diam, memutar tubuhnya dan kembali berjalan meninggalkan si manis yang sedari tadi membuntutinya, namun ia biarkan saja.

“Tetaa, ini nih apa ya namanya? Jalanan buat jalan? Bukan maksud aku jalan yang kecil, jalan yang lagi kita jalanin ini, kenapa jalan di deket sawah tuh cuma setapak begini? Kan kita jadi gak bisa gandengan, kenapa ya Tetaa?”

Sudah tentu Tawan hanya diam mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut kekasihnya, “Tetaa kata Ibu kalo kita gak jawab apa yang orang tanyain ntar bibirnya ketutup sendiri, terus enggak bisa kebuka lagi, selama-lamanya.”

Lagi-lagi yang tua masih saja bungkam.

“Tetaa tau gak kalau setiap manusia itu udah pasti pernah salah? Sama kayak aku, aku udah pasti pernah salah, dan juga udah pasti pernah bikin kamu sakit hati entah itu secara sengaja atau tidak.”

“Thi cuma mau bilang aja, aku tau kamu dengerin aku ngomong dari tadi. Aku mau bilang aku minta maaf sebesar-besarnya sama kamu, minta maaf yang besar, lebih besar dari badan aku.”

“Tetaa masih enggak mau nyahut ya?”

Iris kelabu itu memandangi punggung kekasihnya yang mulai menjauh, maka dari itu ia melanjutkan langkahnya menyusul yang tua, Thi akan ikut kemanapun Tawan pergi, hari ini.

“Tetaa Tetaa, kenapa ya kampung kamu ini enak banget, udaranya sejuk, masih asri sekali, terus ya kelebihan kampung kamu tuh ada lagi, ini satu-satunya kelebihan kampung kamu yang kampung bahkan negara lain gak punya, ada kamu di dalamnya.”

“Tetaa, Tetaa, Tetaa tau gak kalau tadi malem yang nemenin aku chatingan itu Singto?”

Pria berkulit tan itu menoleh kebelakang, menatap pujaan hatinya dengan tatapan datar membuat yang muda menyengir, “Bercanda.” Sambungnya.

“Tetaa udah pernah ke Merauke tapi belum pernah ke Sabang kan? Sama, tapi kalo Thi belum pernah dua-duanya. Nanti kita ke sana yuk?”

“Tetaa udah pernah ke LA belum? Thi udah pas nemenin Ibu nyari Leonardo dicaprio, tapi gak ketemu.”

“Tetaa mau ngajak aku kemana? Kita udah jalan jauh loh ini tapi kok gak berhenti juga? Minun air kelapa dulu gitu hehehe, Thi haus banget sebenarnya laper juga sampe mau pingsan.”

“Tetaa tidur di luar tuh dinginnya dingin pol, untung aku bawa selimut tebal, bawa dua bantal, bawa karpet bulu empuk yang baru Ibu beli juga hahaha.”

“Tetaa.”

“Tetaa.”

“TAWAN!” Bentak yang muda, kesabarannya menghadapi lelaki itu sudah menipis. Namun sang pemilik nama tampaknya tak jua mau mengentikan langkah kakinya.

Walau kesal sedari tadi terus diabaikan Thi masih saja membuntuti kekasihnya, hingga yang terjadi pada langkah selanjutnya adalah ia tergelincir dan jatuh.

Mengetahui jika kekasihnya menangis dengan kaki dan badan berlumpur membuat Tawan memutar tubuhnya kebelakang, memandangi wajah merah yang muda dengan seulas senyum tipis, hingga pada menit berikutnya ia mulai turun ke sawah, membantu Thi untuk berdiri.

“Kakinya sakit gak bisa digerakin.” Pemuda itu merengek.

“Aku bilangin Ibu kamu, liat aja nanti.”

Kekehan itu tak lagi dapat ia tahan, mendengar ocehan kekasihnya sambil menangis adalah hal terlucu untuk saat ini, “Gausah ketawa Tetaa!”

“Harus diamputasi kah kaki aku ini?”

“Lebay.”

Bibir si cantik maju lima senti mendengarnya, “Sakit banget Tetaa, ntar gimana aku pulangnya gak bisa jalan?” Thi bertanya dengan pandangan tak lepas memerhatikan pergelangan kaki kanannya yang mulai membiru dan bengkak.

Tawan tak mau menjawab, setelah mendudukan yang muda di sebuah gubuk ia pun beranjak dari sana, hingga cekalan dari Thi membuatnya menoleh, namun masih jua tak ingin bersuara.

“Kamu mau ninggalin aku? Aku beneran gak bisa ngejar kamu kalau gitu, yaudah gak apa-apa biarin aja aku di sini sendiri.”

Tawan benar-benar pergi tanpa kata yang terucap sama sekali.

•••

Isak tangis pemuda berkulit seputih susu dengan poni berantakannya itu belum juga mereda, meratapi kakinya yang terasa begitu sakit, “Kaki aku sakit banget.” Ia mengadu.

Iris kelabunya mulai menaruh perhatian pada lelaki yang berada di depan, “Gak mau di peluk apa ya Thi-nya?” Thi kembali bersuara, lalu kembali menangis begitu melihat kembali kondisi kakinya.

Tawan terkekeh lagi, ekspresi yang Thi tampilkan saat ini sangatlah menggemaskan di matanya, perlahan kedua ibu jari Tawan mulai mengusap punggung kaki yang muda dengan sangat pelan lalu meniupnya, “Udah sembuh.”

“Mana ada! Masih sakit ini.”

Tawan terkekeh lagi.

“Mau ketempat Ibu. Aku mau sama Ibu aja.”

“Yaudah pulang sana.” Yang tua membalas.

“Kamu ngapain nyuruh aku pulang lagi? Mau pulang kesiapa aku ini kalau bukan pulang ke kamu?”

“Ibu.”

“Jahat banget ya kamu.” Pemuda berkaos putih itu menyerka air mata yang kembali turuh dengan sendirinya dan meraih benda pipih di sebelahnya.

“Mau ngapain?”

“Tawan nyuruh aku pulang ke Ibu kan, ini aku nelepon Ibu buat minta tolong jemput.” Thi menjawab sekenanya.

“Halo, Ibu-”

Belum jua menyelesaikan ucapannya, yang tua terlebih dahulu mengambil alih ponsel yang berada di genggaman sang kekasih, mulai berbicara pada Ibu pacarnya, hingga beberapa saat kemudian panggilan itu terputus. Keduanya saling tatap, tak ada lagi rengekan tak jelas yang keluar dari mulut Thi, mereka mulai diam.

“Kemarin kamu bilang kalau cincinnya di buang juga gak apa-apa kan? Yaudah, kamu lepasin aja dari jari aku dan setelah itu aku pulang ke Ibu.” Thi kembali membuka suara tesetelahnya, memperlihatkan cincin yang tersemat begitu pas di jari manisnya.

“Kenapa sekarang kamu juga diam, Tawan?”

“Kan memang salah Thi besar banget sama kamu, sampe gak bisa di maafin kan? Segimana cara yang aku lakuin sekarang pun gak bakal bisa bikin marah kamu reda kan, gak bakal bisa bikin kamu mau melembutkan suaramu sama aku kan? Lepasin aja cincinnya dan aku bakal pulang.”

“Aku bakal pulang, jadi gausah di usir lagi.”

Tak ada yang Tawan lakukan selain diam memandangi punggung tangan kekasihnya, hingga sebuah panggilan asing menjamah indera pendengarannya.

“Tawan.”

“Enggak.” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.

“Jadi kamu mau aku yang ngelepasin sendiri?”

“Enggak, Thi.”

“New, kamu panggil itu kan kemarin malem.”

“Aku emang banyak sekali salah sama kamu, sering bikin kamu kesel, suka memaksakan kehendak, suka ngambek gak jelas, suka ngode berujung aku marah sama kamu, suka manja. Kamu gak suka aku yang begitu kan? Iya kan Tawan?”

“Aku begitu ke kamu karena semua itu gak aku dapetin dari Ayah, dan aku baru sadar kalau kamu gak selalu bisa jadi apa yang aku mau, kalau aku gak boleh begitu terhadap kamu, maafiin aku.”

“Maafin selama kita berhubungan yang kebanyakan bikin masalah deluan itu aku, aku minta maaf sama kamu. Tolong balikin ponselnya, aku mau nelepon Ibu.”

Yang tua beranjak dari tempatnya, mengubah posisinya agar bersebelahan pada sang kekasih, hingga tanpa di sangka-sangka ia menarik pemuda berparas cantik itu untuk masuk kedalam sebuah pelukan hangat yang dirinya ciptakan. Mengecup pucuk kepala lelakinya, memejamkan matanya dengan kedua tangan semakin mengeratka pelukan, tak mempedulikan angin sore menerpa wajahnya, membiarkan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan.

“Jangan pulang ke Ibu, jangan tinggalin aku.” lirihan Tawan terdengar begitu jelas.

“Kamu mau aku ngapain agar kamu tetap sama aku? Aku nyinggung perasaan kamu masalah yudisium ya Thi? Tolong kasih tau aku, aku salah di mana.”

“Semua orang boleh hilang asal jangan kamu.”

Kedua tangan si manis bergerak agar Tawan tak lagi memeluk dirinya, “Kamu tuh gak jelas banget sumpah, tadi nyuruh aku pulang ke Ibu sekarang begini.”

“Iya kamu emang nyinggung perasaan aku soal itu tapi udah gak masalah lagi, aku udah gak marah lagi, aku juga minta maaf karena maunya di mengerti terus.”

“Kamu nanya kamu harus ngapain agar aku tetap sama aku? Gausah ngapa-ngapain juga aku bakal tetap sama kamu, tapi kamu galak banget tadi aku takut tapi sok berani aja.” Thi berucap panjang, menjawab semua pertanyaan yang Tawan berikan padanya.

“Jangan pulang sekarang, ya?”

“Gak mau, kamu udah ngusir aku, biarin aku tidur di tenda begitu, gak ngasih aku sarapan, ngetawain aku jatoh, bilangin aku lebay, dan gak mau meluk saat aku di pijet tadi.”

“Maaf.”

“Gak usah sok baik kamu sekarang! Siniin gak hapenya!”

Dengan cepat pria berkulit tan itu menyembunyikan ponsel si manis lalu ia menggeleng. “Gak boleh pulang.” Ia berucap.

“Cium dulu kalo gitu.”

Tawan menurut, mencium pipi kanan yang muda dengan sayang, membuat senyum si manis merekah sempurna menghiasi wajahnya.

“Satu lagi.”

Tak ada alasan untuk Tawan menolak apa yang Thi minta, maka dari itu, ia menurutinya.

“Ini juga.”

Sebuah gelengan kepala terlihat begitu jari telunjuk Thi menyentuh bibirnya beberapa kali.

“Jangan mulai.”

“Aku gak mau ngode, Tawan dateng ya pas aku wisuda.”

“Iya, New.”

Jawaban dari pria berkulit tan itu membuat Thi merengut kesal, “Gak mau di panggil gitu! Bilang Mbul cepet.”

“Kamu juga manggil aku Tawan.”

“Kan Tetaa yang mulai.” Si manis membantah, hingga yang tua terdiam mengaku kalah.

“Thi pulangnya gimana? Emang kamu sanggup gendong aku sampe rumah?” Sambung pemuda itu sembari menatap lagi kakinya.

“Ya enggak sanggup lah, ngelewatin sawah lagi.”

“Kan, jadi aku gimana?”

“Tinggal aja di sini.”

“Tetaa emang super tega ya, ntar kalo kakinya gak sembuh juga gimana?” Pertanyaan bernada cemas dari yang muda terdengar.

Perlahan tangan Tawan mulai mengelus rambut si manis, “Tadi kan udah di pijet, sebentar lagi sembuh. Aku udah minta tolong Arbie untuk jemput kita Mbul.”

“Kamu sama Arbie gotong aku gitu?”

“Ada jalan lain yang bisa buat mobil, tapi jauh makanya aku minta tolong Arbie buat jemput.”

Thi mengangguk paham menyenderkan kepalanya di dada sang kekasih, “Maafin aku ya Taa.”

“Kamu maafin aku juga kah?”

“Iya,” Thi membalas, menengadah menatap yang tua dari bawah, “Tetaa, ada yang mau diceritain ke aku kah?”

“Banyak.” Yang tua berucap.

“Ayo sini aku mau nemenin kamu cerita.”

“Nanti malam aja, ya.” Ucap Tawan yang lantas disetujui oleh kekasihnya.

“Tetaa.”

“Hmm.”

“Aku laper.”

•••

-Joya-

•••

Dua puluh menit sudah terbuang percuma dengan bungkamnya mereka berdua, duduk berhadap-hadapan di ruang tamu rumah orang tua Tay tawan hanya dengan saling pandang. Kesepuluh jari pemuda berkulit seputih susu itu saling meremat gelisah menunggu yang tua bersuara terlebih dahulu.

“Mau balikin cincin?”

Pemilik iris kelabu itu lantas menggeleng cepat, maksud dirinya menyusul Tay tawan ke kampung halaman lelaki itu bukanlah untuk itu.

“Terus ngapain jauh-jauh kesini? Cincinnya dibuang juga gak apa-apa.”

Thi benar-benar terdiam mendegar ucapan Tay tawan barusan, menahan air mata yang sudah berada di ujung pelupuk, iris kelabunya perlahan turun kebawah, menaruh seluruh perhatiannya pada cincin yang melingkar apik di jari manisnya.

“Kalau kamu masih diam terus mending pulang aja aku mau tidur.” Yang tua kembali bersuara bersamaan dengan beranjaknya ia dari sofa.

“Tetaa gak mau ngomong dulu sama aku?”

“Mau ngomong apalagi?”

“Tetaa boleh gak jangan marah-marah? Thi mau kita ngomong baik-baik.” Yang muda bangkit dan melangkah mendekati sang kekasih.

Pemilik netra hitam pekat itu menghela napas panjang menatap sang kekasih yang berada di depannya, cepat-cepat mengurungkan niatnya untuk memeluk dan mencium tanpa tenti pipi gembul sang kekasih.

“Maafin ketikan Thi kemarin.”

“Udah?” Pria tan itu bertanya pada pemuda di depannya hingga sebuah anggukkan patah-patah diberikan yang muda sebagai jawaban.

“Yaudah, pulang gih udah malem.”

Lagi dan lagi nada bicara yang lembut dari kekasihnya tak jua Thi terima, wajah pria itu benar-benar datar menatapnya, “Itu tandanya Tetaa masih marah sama aku.” Ia berucap.

Tay tawan senyap.

“Kamu nyuruh aku pulang padahal kamu tau ini udah malem banget?”

“Gak ada yang nyuruh kamu buat nyusul aku ke sini, New.”

Hatinya mencelos mendapat jawaban tak ia inginkan dari pujaan hatinya berulang kali, dan panggilan itu, panggilannya sudah berubah.

Air mata yang sedari tadi ditahan pun jatuh tanpa permisi sama sekali membasahi kedua pipi, jika sudah begini Thi tak tahu lagi harus erucap seperti apa agar yang tua mau melembutkan sedikit nada bicaranya.

“Aku minta maaf sama Tetaa, maaf aku bikin salah yang nyakitin hati kamu, maaf-” Thi menghentikan ucapannya begitu tangan kanan yang muda menggenggam lengannya, menuntunnya berjalan ke pintu utama rumah ini.

“Pulang.”

“Tetaa beneran ngusir Thi? Emang salahnya aku besar banget sampe kamu begitu? Thi minta maaf sama kamu.”

“Jangan minta maaf deh kalau kamu sendiri sebenernya belum ngerti kamu salah apa enggak.” Setelah menyelesaikan ucapannya Tawan benar-benar menutup pintu bercat putih tulang itu rapat-rapat, membiarkan pemuda berkulit seputih susu itu berdiri dengan air mata yang turun tanpa henti.

•••

-Joya-

•••

Bibir merah muda sang empu maju lima senti lengkap ekspresi cemberut yang ia tampilkan dengan sepasang iris kelabu berkilau tak lepas menatap sang kekasih, hingga sebuah kekehan dari Tay tawan membuatnya kembali merengek kesal.

“Jahat banget sih.” Thi berucap, lagi. Entah sudah hitungan berapa ia mengulang kalimat itu untuk yang tua karena baru sadar jika Tay tawan benar-benar cukup niat mengerjai dirinya.

“Tapi, suka gak?” Tay ambil suara.

Rasa kesal itu jelas masih tersisa walau hanya sedikit, namun ia juga tak bisa menampik jika apa yang telah dipersiapkan Tay memang di luar ekspektasinya, bagaimana Thi bisa mengira jika yang tua memang berniat membuatnya galau berhari-hari karena ia ingin mengajak si manis untuk pergi berlibur berdua, ke Bali pula.

“Gak suka ya Thi?”

“Mbul! Bilang Mbul.” Thi masih juga kesal masalah Tay yang enggan menyebutkan panggilan kesayangannya itu.

Gelak tawa yang tua terdengar, tak lagi bisa menahan kekehannya melihat bagaimana ekspresi dari pemuda itu perlihatkan padanya, Thi benar-benar lucu itu adalah sebuah fakta yang tak akan pernah berubah.

Kedua anak adam yang tengah berdiri berhadapan di dalam sebuah vila dengan netra tak lepas memandangi satu sama lain hingga akhirnya yang lebih tua maju selangkah, menarik si manis untuk masuk ke dalam sebuah pelukan hangat yang ia tawarkan secara percuma hanya untuk kekasih hatinya.

“Kamu mikir apasih sampe nangis-nangis segala?” Pria tan itu melempar pertanyaan dengan nada super lembut.

Thi menengadah keatas, mengamati rahang kokoh sang kekasih dari bawah, memandangi bagaimana jakunnya bergerak naik turun, dan sialnya Thi sudah jatuh cinta lagi pada pria yang tengah bersamanya ini.

“Aku pikir kamu mau ngajak putus tau!”

“Ngaco.”

“Abisnya Teta jadi cuek banget, kalo ngomong mukanya datar aja, gak mau balas pelukan Thi, terus kalo Thi ajakin ngobrol kamu alesannya capek dan langsung tidur.”

Tangan pria berkulit tan itu perlahan bergerak memegang kedua sisi wajah yang muda dengan ibu jari tak henti mengelus pipi sang kekasih, “Maaf ya.” Ia berucap setelahnya.

“Jangan kayak gitu lagi, aku gak bisa mikir gimana aku kalo kamu memang minta pisah.” Thi membalas.

“Kata pisah gak bakal pernah keluar dari mulut aku, itu mutlak Mbul.”

Pemilik iris kelabu berkilau itu perlahan melepaskan pelukannya, melangkah keluar dalam diam, mengamati pemandangan indah di depan mata hingga tanpa di paksa-paksa seulas senyum manis terukir begitu indah menghiasi wajahnya.

“Bagus banget ya.” Ia berujar.

Yang tua menyusul, duduk di samping Thi sembari mengangguk dua kali-membernarkan apa yang pemuda itu ucapkan, tempat ini benar-benar indah dipandang mata lama-lama.

“Tetaa tau tempat ini dari mana?”

“Apasih yang aku gak tau?”

Yang muda langsung menoleh ke samping memberikan tatapan mencibir, “Songong banget ih.” Thi berucap dan gelak tawa Tay terdengar setelahnya.

“Kamu suka?” Tay kembali bertanya.

“Kenapa Tetaa suka sekali menanyakan hal yang kamu sendiri udah tau jawabannya apa.”

“Memastikan aja kalau kamu benar-benar suka jadi rasa senang aku bertambah.” Tay membalas.

“Thi suka, terlebih suka sekali sama orang yang ngajak aku kesini. Tapi bukan suka lagi sih, jatohnya malah ke sayang banget hahaha.” Ia berucap dengan kekehannya, “Makasih ya, Tawan.”

“Gausah pake Tawan Tawan segala, gak suka.”

“Tapi kalau di ranjang kamu gak pernah protes?”

“Itu beda cerita yang.”

Thi hanya menggeleng pelan, bergerak mendekati yang tua hingga jarak diantara mereka tak lagi tersisa, pelahan namun pasti ia menyenderkan kepalanya di dada sang kekasih dan Tay tak punya alasan jelas untuk menolak karena sejujurnya ia menyukainya.

Keduanya diam untuk beberapa saat dengan pandangan lurus kedepan, membiarkan jika sebentar lagi matahari akan pamit undur diri, mengamati daun-daun melambai diterpa angin sepoy-sepoy sore hari, mendengarkan aliran air mengalir yang menenangkan hati bersama orang paling berarti.

“Oh iya Taa, aku baru sadar ini cuma kita berdua aja nih di sini?” Yang muda bertanya membuat Tay mengangguk sebagai jawaban.

“Kenapa memangnya?”

“Gak apa-apa, takut aja di macam-macamin sama kamu.”

“Padahal niatnya emang mau macam-macam.” Tay menjawab dengan begitu santai.

Kedua mata yang muda membelalak menatap kekasihnya, “Nih orang tua pikirannya aneh-aneh mulu.”

“Kamu gak mau jadi kucing lagi?”

“Aku bukan Kookiee!” Thi membantah dengan semu kemerah-merahan menghiasi kedua pipinya karena mengerti kearah mana Tay berucap.

“Merah banget tuh.” Yang tua menoel-noel pipi kiri si manis.

“Tetaa udah ah gausah bikin aku salting mulu.”

“Cocoknya aku bawa Kookiee juga ya.”

Bantahan dari pemuda berkulit seputih salju itu langsung terdengar, menolak habis-habiskan ucapan Tay tentang niatnya untuk membawa kucing milik sang Ibu, “Enak aja! Aku gak mau ya berbagi kamu sama dia. Kookiee tuh tau banget mana yang ganteng langsung minta pangku, ngeselin banget deh dia pokoknya.” Si manis mengomel.

“Bisa-bisanya kamu cemburu sama adek sendiri.”

“Aku memang sangat posesif terhadap apa yang aku punya, terlebih itu kamu.”

“Buset di gombalin bocil.” Tay berucap sembari terkekeh hingga pemuda manis berponi rapi menutupi dahi itu cemberut kesal.

“Kamu gak mau makan Mbul? Gak laper?”

Thi menggeleng pelan.

“Tetaa tau gak kalo kemarin ada orang yang bilang gini sama aku.” Thi menggantungkan ucapannya dengan iris kelabu yang tak lepas dari pasangannya.

“Jadi aku kan sorenya beli mie ayam, pas nunggu kembalian ada bapak-bapak yang negur aku, aku gak tau beliau siapa cuma begitu ngeliat aku bapaknya langsung bilang Ini Newwiee ya? terus ya aku bilang iya tapi aku gak nanya beliau tuh tau aku dari siapa karena aku males aja.”

“Terus bapaknya bilang Udah besar banget ya sekarang, kamu kurusan pula aku lagi-lagi cuma diem sambil senyum aja terus bapaknya ngomong lagi begini, Iya jaman sekarang kalo badan kita tuh gak bagus memang susah nyari apa-apa, terutama pasangan, iya kan aku udah kesel cuma aku masih diem Taa.”

“Karena aku tuh udah kepalang kesel sebelum pergi aku-”

“Kamu gak yang aneh-aneh kan Mbul?” Tay memotong dengan tatapan cemas yang begitu ketara.

“Ya makanya jangan motong ucapan aku dulu dong Tetaa.”

“Iya lanjut-lanjut.”

“Aku jawab gini, Jaman sekarang tuh mudah kok Pak nyari pasangan terlebih yang pemikirannya gak kayak bapak, terus aku pergi.”

“Emang aku segemuk itu ya Taa?”

“Nah kan, mulai mikir apa yang gak harus dipikirin,” Tay berujar sembari menyentil dahi si manis, “Mendiang Ibu selalu bilang kalau manusia memang punya otak dan akal, tapi gak semua manusia bisa menggunakannya dengan baik. Jadi simpelnya ya biarin aja dia mau ngomong apa.”

“Tapi aku emang gemuk banget kah?”

“Memangnya kenapa kalau jawabannya iya? Kenapa juga kalau jawaban aku enggak? Emang rasa sayang aku itu di ukur dari berat badan kamu? Thi jangan mikirin hal-hal yang pantas buat dipikirin.”

“Karena kalau aku, asal itu manusia namanya Newwiee thitipoom techaapaikhun mau gimana pun dia, gak pernah ada alasan buat aku untuk berhenti sayang.”

•••

Tepat di pukul delapan malam rintik hujan mulai membasahi bumi secara perlahan, membuat kedua anak manusia itu mau tak mau masuk kedalam, berbaring di atas ranjang sambil berpelukan hingga suara protesan yang muda kembali terdengar menyuruh Tay untuk berhenti menciumi seluruh wajahnya tanpa terkecuali.

“Tetaa muka aku basah semua karna kamu!” Ia kembali menggerutu namun yang tua tak kunjung mengehentikan kegiatannya.

“Mbul mau ngomong serius sebentar, boleh?” Suara Tay terdengar, diperparah dengan ekpresi seriusnya yang membuat Thi menjadi tak karuan.

“Jangan nakutin gitu Ta, kalau mau ngomong ya ngomong aja.”

“Duduk dulu.”

Si manis menurut.

Sepasang netra hitam pekat itu mulai menatap pasangannya, “Aku sebenernya udah punya anak.”

Air muka yang muda berubah sendu, “Sama siapa?” Ia bertanya.

“Sama kamu, kalau kamu mau.”

Thi terdiam, masih tak mengerti apa yang tengah dibahas oleh Tay tawan, “Aku mau cerita dari awal tapi kamu janji jangan marah.” Suara yang tua lagi-lagi terdengar.

“Kalau begini berarti aku bakal marah.” Thi bergumam.

“Bener, aku yakin kamu bakal marah. Tapi jangan marah ya Cantik.”

“Coba cerita dulu.”

“Janji dulu jangan marah.”

“Cerita aja dulu.”

“Mbul janji dulu sama aku.”

Yang muda menghela napas super panjang, ia mengalah.

“Jadi beberapa bulan kebelakang aku enggak sengaja, enggak sengaja loh ya. Aku gak sengaja nyerempet Ibu-Ibu.” Tay menghentikan ucapannya begitu ia melihat ekspresi Thi mulai berubah, “Thi udah janji gak bakal marah.” Ia kembali menekankan.

“Lanjut.”

Yang tua mengangguk dua kali, “Walaupun cuma luka ringan aku harus tetap tanggung jawab kan, singkatnya aku anter Ibunya pulang ternyata Ibu ini tuh punya rumah bahagia, aku jadi sering ke sana untuk ngeliat kalau keadaan si Ibu udah baik atau belum.”

“Sampai hari di mana pandangan aku tertuju sama gadis kecil yang cuma mau main sama bonekanya, entah gimana alur yang semesta buat aku nyamperin anak itu, awalnya dia nolak mentah-mentah.”

“Tapi aku ngerasa kayak ada dorongan yang bikin aku mau dekat sama dia, sampai di mana dia bener-bener mau terbuka sama aku, mau main sama aku, dan aku rasanya bahagia banget.”

“Rasanya kayak pas kamu meng-iyakan ajakan aku untuk pergi jalan berdua untuk pertama kali, dan akhirnya aku memutuskan buat jadi walinya dia.”

“Tapi aku juga mau tau pendapat kamu dulu, aku gak mau maksa kamu kalau nyatanya kamu gak mau. Kalau senadainya kamu memang gak mau ada dia diantara kita berdua, gak apa-apa, tapi biarin aku tetap jadi walinya.”

“Kok nangis Mbul?”

“Kenapa kamu mikir aku gak mau?”

“Jadi, kamu mau?”

Sebuah anggukan pelan terlihat, hingga senyum yang tua tak lagi dapat ditahannya, “Tapi Thi mau kenalan dulu sama anaknya.” si manis berujar.

“Pasti, aku juga gak mau kita terlalu terburu-buru. Santai aja tapi pasti.”

“Makasih ya Thi.” Sambung yang tua.

“Kok jadi Tetaa yang nangis.”

Tay hanya terkekeh membiarkan ibu jari pemuda berponi rapi itu menyerka air matanya, “Aku masih punya satu hal yang mau aku omongin sama kamu.”

“Thi, seperti ucapanku sebelum-sebelumnya kalau aku gak bisa menjanjikan masa depan yang isinya bahagia aja untuk kamu, tapi aku mau berjuang tentang itu, aku mau berjuang tentang kamu.”

“Aku sayang sama kamu, dan akan selalu sayang sama kamu. Aku juga gak pernah bisa mikir bagaimana kalau aku gak sama kamu, aku juga gak pernah bisa membayangkan kalau aku gak pulang ke kamu.”

“Lagi dan lagi jatuh cinta sama kamu adalah hal yang paling menyenangkan untuk diulang setiap harinya.”

“Thi, izinin aku lagi buat memperjuangkan kamu.”

“Kita berjuang bareng-bareng, Ta.” Thi menjawab.

Pemilik netra hitam pekat itu mengembus napas panjang, kembali mempertemukan netra keduanya, “Mau ya beriringan sampai tua sama aku?”

“Cincinnya belum jadi, makanya aku di hajar habis-habisan sama tiga curut karena punya niat segila ini, tapi Thi, sebelum aku datang ke Ibu begitu kita pulang dari Bali, aku mau tau jawaban kamu malam ini.”

“Mau kah kamu menyandang nama Vihokratana?”

“Tetaa...” Pemilik iris kelabu itu benar-benar sudah kehilangan habis kata-katanya untuk membalas ucapan-ucapan yang dilontarkan Tay tawan, hingga tangisnya pecah bersamaan dengan sebuah anggukan kepala ia berikan.

Lengkungan indah itu hadir menghiasi wajah yang tua begitu ia tau jika Thi menyetujui semua ucapan yang ia katakan, hingga tubuhnya mematung di tempat tak kala yang muda menyatukan kedua bibir mereka, memagutnya dengan perasaan bahagia tiada dua, membiarkan ribuan kupu-kupu bertebaran, melupakan jika di luar tengah hujan deras, menghiraukan kesepuluh jemari dingin Tay tawan mengelus tengkuknya dengan begitu lembut.

“Aku gak pernah punya alasan buat nolak kamu, Tawan.”

•••

-Joya-