Joya.

Ibunya Newwiee.

[Awas jatuh cinta]

•••

Motor hitam milik Tay berhenti tepat di depan warung sate madura. New turun sembari melepas helm yang melekat di kepalanya.

“Lo suka sate gak?” Tay bertanya.

New memukul lengan yang lebih tua “Kenapa lo baru nanya pas kita udah nyampe sini anjrit, untung gue suka semuanya.”

“Oh mirip tong sampah gitu ya.”

Mata si manis membelalak tak terima “Anjing ngapa jadi tong sampah kayak gak ada persamaan yang lain aja.”

“Tempat sampah.” ralat Tay dengan kekehannya.

“Makasih ya Tay bangsat, kalo aja gue bawa kendaraan sendiri udah gue tinggal lo.”

“Dih ngambek mulu, ayok ah gue laper.”

Tay dan New pun berjalan masuk, tak lama dua porsi sate berada di depan mata.

“Makan New, janga malu-malu.”

“Gak ada yang malu anjrit.”

“Belom kali, lama-lama lo juga bakal malu kalo gue tatap.”

“Dih jangan suka gue lo ya! Gue suka kak Off.”

•••

-Joya-

[Dih sengaja ya?]

•••

Cowok dengan kaos putih lengkap dengan cela pendek itu membuka pintu mobilnya, berjalan masuk kedalam minimarket. Membeli susu untuk Kak Off dan beberapa camilan untuknya.

New berjalan dengan begitu santai, berjalan mengambil keranjang terlebih dahulu.

Lalu memasukkan beberapa bungkus makanan ringan dan tak lupa sebungkus yupi kesukaannya.

Setelah dirasa cukup, barulah ia beralih ke rak tempat minuman berada. Mengambil beberapa kota susu berukuran kecil dan dua berukuran besar.

“Oke selesai.” gumam New.

Keningnya mengerut, matanya menyipit melihat seorang cowok berjaket hitam yang berada beberapa meter darinya. New lantas berjalan mendekati cowok itu.

“Mau nyuri ya lo!” suara New terdengar.

Cowok berkulit tan itu lantas menoleh, menampilkan wajah terkejutnya “Dih sengaja ngikutin gue ya lo?” ucap Tay.

New membelalak tak terima “Enak aja! Gue anak baik-baik gak mungkin mau sama lo.”

“Awas aja kemakan omongan sendiri.” balas Tay dengan santai.

“Lo ngapain?” cowok itu kembali bertanya.

“Nyuci baju, ya lo mikir lah anjrit ngapain gue kalo ke minimarket.”

Tay terkekeh pelan mendengar jawaban ketus New “Bisa jadi aja lo ny-”

“Tay udah belum?”

Ucapan Tay terpotong bersamaan dengan hadirnya seorang cowok putih bermata sipit yang berada di samping Tay, New lantas menegang karenanya.

Off jumpol berdiri di sana, di depannya.

•••

-Joya-

[Gue aduin.]

•••

Derap langkah sepasang sepatu putih itu terlihat begitu ringan, sembari bersenandung pelan melewati koridor sekolah yang sepi.

Tujuannya sekarang itu ke belakang sekolah, tempat dimana teman-temannya sudah berkumpul, tinggal menunggu Tay saja.

Tay terkekeh kecil membaca pesan dari Off yang mengamuk karena ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

“Lama lo anjrit.” umpatan langsung terdengar ketika ia baru saja sampai.

“Sabar elah, yuk.” Tay berujar santai.

“Yaudin manjat terus lah.”

Setelah mendengar ucapan Bright ketujuh anak manusia itu pun saling bantu-membantu agar bisa memanjat pagar sekolah yang menjulang tinggi itu dengan perantara pohon beringin yang sudah berumur.

Kini, giliran Tay, lagi-lagi ia paling akhir. Pergerakannya terhenti karena mendengar suara yang berasal dari belakangnya. Tay perlahan turun dari pohon beringin besar itu, lalu iris hitamnya menangkap seorang cowok berkulit putih mulus yang tengah menatapnya.

“Ih gue aduin ya lo mau bolos.”

Suara si manis kembali terdengar “Dih jangan cepu lo, kalo mau ikut ayo!”

“Enak aja! Gue anak baik-baik gak mungkin mau bolos, bodo amat lo gue aduin ke Pak Bandi.”

New berjalan menjauh, namun dengan cepat Tay mengejar cowok itu, mencekal pergelangan tangan si manis hingga langkahnya terhenti.

“Kalo lo ngadu, gue bakal-”

“Bakal apa? Ih jangan hamilin gue!”

“Lo laki bambang.” ketus Tay.

New menyengir lebar “Oh iya hehehe.”

“Udah, gini aja deh Nuw.”

“New!” ralat New karena Tay salah menyebut namanya, setelahnya New memicingkan mata curiga “Lo temennya kak Off kan!”

Tay mengangguk polos.

“Jangan bilang kak Off udah bolos juga?”

“Ya udah, tinggal gua nih anjrit gara-gara lo.”

New lantas menarik tangan Tay, berjalan menuju pohon beringin nan tinggi dan besar itu “Ayok lah kita bolos.”

“Oh, lo Nuw yang suka ngasih bekal ke Off kan?!”

New mengangguk, menampilkan senyum manisnya pada Tay “Iya, gantengkan gue, jangan suka gue lho, soalnya gue suka kak Off.”

•••

-Joya-

[Hai, kak Tay!]

•••

Tangan kanannya terulur untuk menaburkan bunga mawar segar di tempat peristirahatan terakhir sang pujaan hati.

Senyum manisnya terbit begitu matanya menangkap huruf-huruf tersusun rapi membentuk nama lengkap Tay disana.

“Kak, gimana kabarnya?”

“Aku harap, Kakak bahagia ya disana, udah gak sakit kan.”

“Oh iya, semuanya udah baik-baik saja Kak, gausah khawatir.”

“Sesuai ucapan ku, aku udah gak nangis lagi, tapi masih sedih sedikit. Sedikit kok gak banyak.”

“Kak, tulisan ku bakalan naik cetak, jadi ada fisiknya. Ceritanya tentang kita, tentang aku yang ketemu sama manusia paling hebat yang pernah berada di bumi.”

“Manusia paling keren yang pernah aku temui itu, Kamu.”

“Ucapan Kak Tay untuk aku terus menulis itu malah bikin aku merasa dekat sekali dengan Kakak.”

Tangan New mengelus batu nisan itu dengan pelan “Kak Tay, tunggu Nyuwi disana ya.”

•••

-Joya-

[Terimakasih dan Maaf]

•••

Malam ini, tepat dimana usia seorang Tay tawan bertambah satu tahun. Senyum tipisnya terukir melihat pantulan dirinya di cermin, Tay kembali merapikan kerah kemeja putihnya.

“Ganteng banget anak Mama.” ujar sang Ibu.

“Ma.” suara Tay terdengar, begitu lembut. Sang Ibu lantas duduk di pinggir ranjang, mengelus pipi kanan milik Tay.

“Kenapa sayang?”

“Mama ingat gak, waktu aku baru masuk sekolah, Mama yang nganterin aku sendiri, terus aku ditanya sama temen-temen.”

“Tay Papanya mana? Tay anak yang gak punya Papa ya, terus aku pulang, nangis ngadu ke Mama.”

Wanita paruh baya itu mengangguk “Terus kamu nanya, Ma, Papa aku kemana?”

Tay tersenyum tipis “Terus Mama bilang, Mama itu Papa. Nyatanya Mama memang bisa jadi siapa aja untuk aku”

“Ma, makasih buat semuanya, makasih udah selalu ada untuk aku, makasih udah mau ngorbanin tenaga, waktu, dan uang yang gak sedikit buat aku”

Ibu mana yang tidak menangis mendengar ucapan seperti itu, air mata wanita bernama Wira itu langsung turun membasahi pipinya, ibu jari Tay langsung menyerkanya dengan pelan.

“Makasih sudah mau jadi sosok Ibu dan Ayah buat aku, dan makasih sudah jadi dokter paling hebat.”

“Ma.”

“Maafin Tay, maafin semua kesalahan yang udah Tay lakuin secara sengaja atau tidak, maaf karena aku sering buat Mama nangis, maafin aku yang udah jadi beban buat mama, buat Mama sedih.”

“Maafin Tay ya Ma.”

“Tay, punya kamu di dalam hidup Mama itu hal paling indah. Mama gak pernah sedikit merasa terbebankan oleh kamu, karena kamu itu yang bikin Mama untuk terus bisa kuat menjalani hidup.”

“Mama juga mau bilang makasih sama Tay, makasih udah sama Mama terus, makasih udah kuat sampe sekarang, makasih udah jadi anak Mama, Maafin Mama yang pernah bikin salah sama kamu.”

“Mama itu, malaikat yang di kasih Tuhan buat aku. Tanpa Mama aku gak bakal sekuat ini.”

“Ma, Tay mau ngomong, tapi Mama jangan sedih.” ucap Tay dengan perasaan hancurnya.

Wira tersenyum lalu mengangguk “Kamu mau ngomong apa ke Mama?”

“Tay capek Ma, tubuh Tay udah gak kuat.”

“Tay capek ya Nak”

Tay mengangguk “Tay butuh istirahat Ma.”

Wira membawa anaknya kedalam sebuah pelukan hangat, menyandarkan kepala sang buah hati ke dadanya, remasan tangan kirinya semakin erat “Tay, kalau kamu memang butuh istirahat, istirahat lah Nak.”

“Tapi, Mama janji ya jangan sedih, jangan nangis terus-terusan. Tay sayang banget sama Mama.”

“Mama juga sayang sekali sama kamu, Nak.”

•••

Hari semakin larut, jam sudah menunjukkan angka dua belas, Tay tersenyum begitu manis menyaksikan orang-orang yang ia sayang berada di dekatnya. Menyanyikan lagu ulang tahun padanya. Iris hitam itu menatap satu-persatu manusia yang berada di sana.

Ada Ibunya, New, Off, Oab, Bright, Krist, Gun, dan Mild.

Setelah banyak drama karena Tay meminta untuk dirayakan di rooftop rumah sakit. Akhirnya acara kecil-kecilan ini terlaksana juga.

“Tiup lilin Tay jangan lupa make a wish.” ucap Off begitu semangat.

Tay terkekeh, menutup kedua matanya lalu meniup lilin yang menancap di kue ulang tahunnya, gemuruh tepuk tangan terdengar.

“Makasih ya” ucap Tay.

“Makasih buat yang udah mau gue ribetin, buat Off” Tay menatap sahabat karibnya itu dengan terkekeh pelan “Maksih banyak banget.”

“Buat Bright dan Oab, makasih dan maaf.”

“Kok gue gak ada maafnya?” tanya Off yang menimbulkan gelak tawa.

“Buat ketiga temen New, makasih udah mau dateng.”

“Buat Mama, tadi udah.”

Tay kembali menghela napas, irisnya mulai menatap iris kelabu yang tengah memegang kue ulang tahunnya itu, keduanya saling tatap untuk beberapa saat.

“Gue boleh minta waktu berdua sama New?”

•••

New membantu Tay untuk duduk di kursi besi bercat putih. Keduanya saling melempar senyum, New duduk di samping pujaan hatinya setelah merapikan kembali slang infus milik Tay.

“Bintangnya banyak banget.” Tay berucap, mendapat anggukan setuju dari New.

“Langitnya juga bagus.”

“Benar, lagi bagus.”

“Selamat ulang tahun Kak Tay!”

“Terimakasih New.”

“Ini ada tiga surat, buat Oab, Bright dan Off. Tolong kasihkan ke mereka ya”

“Ohh mereka ada, aku enggak.” ucap New dengan nada di buat cemberut.

“Kalau kamu, aku mau ngomomg sendiri, soalnya kalau ke mereka aku terlalu malu.” Tay menjawab terseling dengan kekehan.

Tay menghela napas sesaat “New, mau tau gak cerita aku?”

“Mau banget, udah lama aku nunggu Kakak ngomong ini.”

“Awalnya tuh aku gak tau aku kena kanker darah, tiga taun belakangan aku suka demam, terus kalo malam keringan mulu, kadang mimisan.”

“Tapi aku biarin, gak bilang ke apa-apa ke Mama, sampe di saat lagi latihan futsal, aku pingsan.”

“Dari situ aku tau, kalau udah sakit. Aku gak di kasih untuk ikut futsal atau apapun lagi.”

“Pertama kali aku kemoterapi, aku muntah-muntah, tubuh aku lemes banget, bahkan untuk bediri aja aku gak bisa, terus sakit.”

“Kamu ingat gak, kamu pernah bilang kalau setiap masalah selalu punya sisi baiknya?”

New mengangguk dengan senyum tipis menghiasi wajah manisnya.

“Ternyata, memang ada sisi baik yang gak aku duga. Salah satunya itu, ketemu sama kamu. Mungkin Tuhan tau aku butuh orang untuk berbagi kesedihan, dan Tuhan hadirin kamu.”

“Maaf ya, karena pertemuan kita kamu jadi banyak nangisnya sama aku.”

“Kak” New tak melanjutkan katanya, ia hanya menggeleng pelan, mengatakan jika ucapan Tay itu tak benar adanya.

“Alasan aku untuk gak mau jatuh cinta itu ini” iris hitam itu beradu dengan iris kelabu yang tengah berkaca-kaca. Tay kembali melanjutkan ucapannya “Aku gak mau semakin banyak orang yang sayang sama aku, karena semakin banyak yang sayang sama aku, semakin banyak yang cinta dan peduli sama aku, semakin banyak pula yang sedih ketika aku pergi.”

“Tapi untuk kamu, aku gak bisa bohong kalau emang aku udah jatuh sama pesona kamu, New.”

“Aku penakut, sangking takutnya aku gak pernah nyatain apa-apa ke kamu, aku gak ngubah status kita. Karena aku takut, disaat kamu udah menggantungkan dirimu sama aku, tapi aku malah pergi.”

“Kakak jangan ngomong gitu, Kakak gak bakal pergi kan?” ucapan New tersirat harapan, dan Tay benci karena ia tak bisa meng-iyakannya.

“New, terimakasih udah hadir, terimakasih untuk semua kebahagiaan yang kamu berikan, terimakasih udah mau ngurusin aku.”

“Maaf, maaf kalau perlakuan aku ke kamu itu gak baik.”

“Kakak jangan ngomong kayak gitu.”

Tay tersenyum, mengusap air mata New yang mengalir dengan pelan, lalu mengelus pipi si manis.

“New, aku boleh minta empat permintaan sama kamu?”

“Apa? Kakak mau apa?”

“Pertama, tolong maafin semua kesalahan aku.”

New menggeleng “Kakak gak punya salah sama Nyuwi, kalau pun ada, Nyuwi lupa.”

“Yang ke dua, aku boleh cium kamu?”

New menangis namun tetap mengangguk, membuat Tay tersenyum lalu mendekatkan wajah mereka, mempertemukan kedua bibir itu dengan pasangannya masing-masing. Ciuman kali ini terasa begitu sedih, air mata keduanya mengalir begitu saja.

Tay perlahan melumatnya dengan pelan, menyesapnya dengan penuh perasaan, sialnya New merasa jika ini seperti ciuman perpisahan.

Tay melepas pangutan terlebih dahulu, lalu mengelus bibir ranum New dengan ibu jarinya.

“New, aku mau ngomong serius, permintaan ketiga. Aku mau di peluk kamu.”

“Kak.”

“Jangan nangis. Aku cuma mau ngomong sambil di peluk kamu, boleh?”

New mengangguk “Boleh, sini.”

Tay menerima pelukan itu dengan senang hati “Kakak mau ngomong apa?” New bertanya dengan suara gemetar menahan tangis.

“Sejujurnya, aku lelah banget, aku capek, aku pengen istirahat yang bener-bener istirahat.”

New diam namun air matanya terus mengalir, tetap mengelus bahu yang lebih tua dengan pelan.

“Kak Nyuwi sayang banget sama Kakak.”

Hati Tay hancur mendengarnya, namun ia masih begitu tenang, air matanya pun tak lagi mau keluar.

“Makasih ya udah sayang sama aku.”

“Aku capek New, permintaan terakhir ku, tolong ikhlasin aku.”

New masih diam, tak bisa menjawab apa-apa, ia tau ini semua akan terjadi, namun tak pernah berpikir jika secepat ini.

“Kamu boleh nangis sekarang, tapi jangan berlarut-larut ya, sayang.”

New mengangguk “Iya Kak, kalau memang Kakak udah capek, aku ikhlas, istirahat yang tenang ya, sayang.”

Tay menengadah, menatap iris kelabu yang terus bergelinang air mata itu, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi New “Terimakasih, kamu cinta pertama ku, Newwiee.”

Setelah menyelesaikan ucapannya, mata Tay benar-benar terpejam, napasnya tak lagi terdengar, Tay benar-benar pergi meninggalkan segala kenangan yang akan selalu membekas di ingatan.

Tangis New pecah begitu saja, memeluk raga yang tak lagi bernyawa itu dengan erat. Berharap jika isakan tangisnya di dengar oleh Tuhan, berharap jika ini hanya mimpi buruk yang akan hilang ketika ia membuka mata. Namun ia tau dan ia juga sadar, jika kepergian Tay, nyata adanya.

•••

-Joya-

[Teman]

•••

“Tay anjrit lo ye! Kenapa gak bilang? Pengen gua pukul”

“Tawan anjing gua gebuk lu!”

Tay hanya diam mendengar omelan-omelan kedua temannya yang tak kujung berhenti.

Sedangkan Off sudah menutup kedua telinganya, Bright dan Oab sangat berisik, bukan main berisiknya.

“Udah? Masih mau marah, gak?” Tay bertanya.

Bright tampak meneguk sebotol air mineral hingga tandas, menatap cowok berkulit coklat yang terngah duduk nyaman di brankarnya.

“Masih mau, tapi kangen” ucapan Oab membuat Off tak tahan untuk tidak menoyor kepala cowok itu.

Tay terkekeh pelan di buatnya.

“Beruang tau?” kali ini Bright ambil suara.

Tay mengangguk dua kali, melipat ujung kupluknya, memamerkan tulisan TayNew disana.

“Ibu New yang buat” Tay berkata.

“Tay, kuat ya lu! Semangat!”

“Ingat ya bangsat, gausah sok-sok an di sembunyiin. Mau gimana pun lo tetep temen gua” ucao Oab masih terselip kekesalan disana.

“Gue kira, kalau gue sakit kayak gini, gak bakal ada yang mau nemenin.”

“Bangsat! Gue pukul ya lu” umpat Off.

“Guys” panggilan dari Tay membuat ketiga anak manusia itu langsung mengalihkan fokus mereka. Menatap Tay dengan tatapan bertanya.

“Besok gue ulang tahun, gue pengen di rayain kali ini. Lo bertiga pake baju putih ya”

•••

-Joya-

[Sekarang, kita keren]

•••

Sesuai permintaan sang pujaan hati, New menyanggupi untuk membawakan perlengkapan pangkas. Tak payah di beri tau, New sangat paham apa tujuan cowok itu.

New meletakkan alat-alat di meja kaca yang berada di bepan sofa ujung ruangan. Lalu berjalan mendekati Tay yang tengah menatapnya.

“Pagi ganteng.” sapaan dari New terdengar, membuat Tay tersenyum tipis karenanya.

“Kamu udah sarapan?”

“Sudah, bareng Mama tadi.”

New mengangguk-anggukkan kepalanya bertanda ia mengerti setelahnya si manis beriris kelabu itu duduk di pinggir ranjang, mengelus tangan Tay dengan pelan, beberapakali ia mengecupnya.

“Kamu kesini sama siapa?” Tay bertanya.

“Sendiri, pake mobilnya Ibu.”

“New”

“Iya, Kak”

“Bosan gak nemenin aku disini terus?”

Kerutan di bagian dahi New terlihat “Kakak ngomong apasih? Aku gak ngerti.”

“Kan aku udah bilang, aku itu sayang sama Kakak. Mau gimana pun kamu, itu gak bakal ngerubah perasaan aku. Jadi jangan mikir yang enggak-enggak deh.”

Tay mengulas senyum tipis mendengarnya “Aku boleh meluk kamu?”

New lantas mengangguk, masuk kedalam pelukan Tay, yang lebih tua berkali-kali mengecup puncak kepalanya, lalu mengelus rambut halus milik New.

Hanya diam, dan New lagi-lagi menahan kembali air mata yang hampir membasahi pipi.

“Aku sayang banget sama Kakak.”

“Aku jug-”

“Sayang” ucapan Tay terpotong, kehadiran wanita paruh baya berparas ayu itu sontak membuat New melepas pelukannya, lalu tersenyum kikuk pada Ibu Tay.

“Papa mau ketemu kamu, boleh?”

Air muka cowok itu berubah, lebih dingin dari biasanya, lalu ia menggeleng “Enggak.”

“Papa kangen lho sama anaknya.”

“Anaknya kan banyak, ngapain ke aku?”

•••

Setelah kejadian tadi, New memutar otak untuk membuat suasana hati Tay kembali membaik, dan berhasil.

Tay kembali tertawa pelan tak kala New bercerita tentang kebodohannya. Tak apa, asal Tay tertawa saja.

“Kakak tau gak, awalnya aku tuh kesel banget sama Kakak. Mana bilang, Newwiee thitipoom dihukum aja.”

“Kamu ganggu aku.”

“Aku udah permisi ya sama kamu! Malah di judesin, untung ganteng.” balas New tak mau kalah.

“Emang aku ganteng?”

“Kenapa kamu nanya pertanyaan yang begini?” decakan kesal dari New membuat Tay tertawa renyah.

“New, bantuin aku pangkas. Mau?”

New langsung saja mengangguk, membantu Tay untuk bangkit dan duduk di kursi roda, serta merapikan posisi slang infus yang lebih tua.

“Aku udah siapin semua alatnya, tadi juga minjem kaca punya Abigael, abang aku” New berucap.

Tau hanya diam, sesekali mengangguk mendengarkan ocehan New yang tak ada kata sudah.

Tangan kanan New meremas erat alat penyukur rambut elektrik itu, menahan kembali tangisnya yang siap terdengar. Hatinya sesak.

“Aku siap kok, santai aja New.” ujar Tay, seakan tau apa yang sedang di rasakan si manis.

New mengangguk dan mengulas senyum tipis, mulai melakukan kegiatannya, memangkas habis rambut hitam milik Tay.

“Ih lucu kayak tuyul” New berucap dengan kekehannya, dan Tay ikut tertawa pelan.

“New, mau ngapain?”

New meletakkan kursi besi di samping Tay, memindahkan kaca agar berada tepat di depannya, menoleh ke kiri, menatap Tay dengan senyum paling tulus yang ia punya.

“Biar kita jadi orang keren bareng-bareng.”

Iya, New ikut mencukur habis rambutnya, membuat air mata Tay jatuh seketika, ia belum pernah merasakan sebegininya di cintai oleh orang.

Senyum New masih sama merekah indah, setelah menyelesaikan kegiatannya, New mengambil dua kupluk rajut dengan hiasan nama TayNew di depannya.

“Ini Ibu lho yang bikin” New berucap.

Sebelum memakaikan untuk dirinya, New lebih dahulu memakaikan kupluk itu di kepala Tay.

“Sekarang, kita berdua keren banget.”

“Kamu, gak malu nanti kesekolah begitu?”

Helaan napas terdengar dari si manis “Ngapain malu? Karena botak? Ah gak gaul. Kak, kehadiran kakak di hidup aku itu adalah hal paling menabjukkan, jadi” New menggantung ucapannya, memperlihatkan jari kelingking miliknya di depan Tay, lalu kedua kelingking anak adam itu saling bertaut, menciptakan percikan bahagia.

“Kita lewatin sama-sama ya, Kakak itu keren banget.”

“Kita, TayNew yang keren.”

•••

-Joya-

[Kamu, keren]

•••

Pintu kamar Tay terbuka, menampilkan sesosok cowok manis yang mengulas senyum tipis ke arahnya.

New meletakkan tas sekolah di sofa yang berada di ujung ruangan, setelahnya barulah ia melangkah mendekati sang pujaan hati.

“Gue ke kantin yep, New mau nitip ape?” suara Off terdengar, New menggeleng sebagai jawaban.

Setelah kepergian Off, kedunya sama-sama diam untuk beberapa saat, atmosfernya tak seceria biasanya, Newwiee-nya begitu sedu.

“Bawel dong.” suara serak milik Tay terdengar begitu pelan, nyaris melirih.

“Kata Off, kamu gak makan.” ucap New.

Tay mengangguk membenarkan.

“Aku suapin, ya?”

Tay kembali menganggukkan kepalanya, yang lebih muda lantas mengambil semangkuk bubur yang tergeletak di meja samping brankar Tay.

New menyuapi mataharinya dengan telaten, sesekali melempar candaan atau sekedar bercerita tentang dirinya di sekolah tadi.

Kali ini, Tay keliatan begitu antusias mendengarnya, menatap iris kelabu itu dalam, New akan tetap bersamanya atau tidak itu urusan belakangan, namun kali ini Tay meminta, ia ingin si manis tetap berada di depan matanya.

Tay tak menghabiskan buburnya, tinggal setengah mungkin. Namun tak apa, dari pada tidak sama sekali.

New duduk di pinggir ranjang milik Tay, perlahan tangan kanan si manis terulur untuk merapikan rambut Tay yang sedikit lepek.

Tay diam, seakan menunggu respon yang New tentang rambut rontoknya.

“Rambut kakak halus banget ya ternyata” New berujar pelan.

Tangannya masih setia mengelus rambut Tay, sesak itu kembali hadir di dadanya.

“Hape kakak di umpetin Off ya?” suara itu kembali terdengar, dan yang lebih tua kembali mengangguk.

“Iseng banget dia, padahal aku hampir gila nyariin kakak kemana”

“Kak, kakak jangan pernah berpikiran kalau aku bakalan ninggalin kakak ya. Jangan pernah berpikiran kalau aku gak sayang sama kakak.”

“Karena nyatanya, mau sembuh atau tidak, sehat atau sakit, Tawan tetap Tawan.”

“Mataharinya Nyuwi”

•••

Mungkin, bila waktunya cuma sedikit, tak apa. Karena sebenarnya, Tay juga menantikan hari di mana ia pergi.

Tapi, untuk kali ini, ia tak ingin itu terjadi, ia ingin punya waktu lebih lama agar bisa terus menatap iris kelabu itu. Agar bisa mengamati wajah manis seseorang yang tengah tersenyum padanya.

Benteng yang di buat sedemikian kuat itu akhirnya hancur juga, pesona Newwiee memang tidak bisa di tolak. Mau segimana pun ia mengatakan tidak, New tetap jadi orang yang paling ingin ia lihat ketika matanya terbuka.

Iris hitam milik Tay masih setia mengamati New yang tengah membersihkan cairan berwarna merah yang keluar dari hidungnya, New tak jijik kah?

“Ganteng banget sih kamu.” ucap New sembari meletakkan tisu di keranjang sampah berukuran mini – tepat di bawah ranjang Tay.

“Kamu, gak pulang?”

“Nanti aja, aku juga udah izin sama Ibu.” New menjawab begitu santai.

“Terimakasih ya, New.”

“Sama-sama, Kakak mau tiduran? Tadi kan abis jalan-jalan ke taman rumah sakit pasti capek kan.”

“New”

“Iya Kak Tay?”

“Besok, tolong bawakan cukuran rambut. Ya.”

•••

-Joya-

[Kasih]

•••

Sepuluh jari itu saling meremat satu sama lain, menunggu seseorang dengan perasaan campur aduk, lagi, New mengubah posisi duduknya di kursi teras rumah. Berulang kali melirik jam berwarna putih susu yang melingkar indah di tangan kirinya.

“Mau kemana, Nak?” suara Ibi terdengar, membuat New menoleh kearah sumber suara.

New mengulas senyum tipis “Pergi main Bu hehehe.”

“Jangan pulang terlalu lama ya New, Ibu keluar sebentar mau beli nanas.”

New mengangguk saja, sekitar dua puluh menit menunggu, mini cooper milik Tay berhenti tepat di depan pagar rumahnya. New lantas beranjak dan berjalan masuk kedalam mobil.

Belum sempat ia mengeluarkan suaranya untuk bertanya kemana Tay dan Off selama tiga hari ini. Namun cowok putih bermata sipit itu lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Membuat New mau tak mau kembali bungkam.

Sepanjang perjalanan, keduanya sama sekali tak membuka suara barang menyapa saja rasanya berat. New yang sibuk dengan pikirannya, dan Off yang mati-matian menahan sesak dalam hatinya.

Keningnya mengerut tak kala mobil yang di kendari Off berhenti di parkiran rumah sakit, pikiran buruk mulai menghantuinya.

Sebelum benar-benar keluar dari mobil, suara Off terdengar, begitu parau.

“Gue mohon, jangan nangis. Tay gak suka.”

•••

Sepasang sepatu putih itu berhenti tepat di depan pintu ruangan inap, matanya menangkap sesosok yang di carinya selama tiga hari ini, dia tengah berbaring dengan mata terpejam.

Air matanya lolos membasahi pipi begitu saja, napasnya tak beraturan, New baru menyadari semuanya.

Tay yang acap kali mimisan, yang selalu duduk di pinggir lapangan ketika jam olahraga, dan sering tiduran di uks jika upacara sedang berlangsung, rambut rontok yang tak wajar, dan New tak peka akan itu semua.

Iris kelabu itu kali ini benar-benar sendu bukan main, pandangannya beralih pada Off yang tak mau melihatnya. Cowok itu menoleh kesembarang arah.

Tubuhnya merosot bersadar di dinding yang terasa begitu dingin, cowok manis itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan, bahunya bergetar hebat, terdengar isak tangis yang memilukan hati siapapun yang mendengarnya.

Jangankan untuk masuk dan menemui sang pujaan hati, barang melihat dari jauh saja hatinya tak sanggup.

“Nangis New, nangis lah sebelum ketemu sama Tay.”

•••

Senyum itu memang terukir di wajah, namun hatinya meraung, sesak di dadanya semakin terasa tak kala jarak antara ia dan Tay semakin dekat saja.

New duduk di kursi sebelah brankar. Tubuh Cowok berkulit tan itu terlihat lebih kurus, ia mengulas senyum tipis pada New.

Sumpah demi apapun, New menahan tangisnya agar tidak terdengar, menahan mati-matian air matanya agar tidak keluar. Agar Tay mengira jika semua tetap dalam keadaan baik-baik saja.

“Apakabar?” New membuka suara, terdengar begitu basa-basi karena dirinya sendiri juga tak tau harus berujar bagaimana.

Tay tak menjawab, hanya kembali menampilkan senyum tipisnya. New menghembuskan napas begitu panjang, perlahan, tangannya menggengam tangan Tay, mengecupnya begitu lama.

“Kak, aku keluar du-”

“Nangis aja New” lirihan Tay terdengar di telinganya, diberi izin begitu, isak tangis yang sedari tadi di tahan, air mata yang sedari tadi di larang untuk bergelinang pun keluar juga. Tangisnya pecah begitu saja.

•••

-Joya-

[Nyata adanya]

•••

Iris kelabu itu terus-terusan mengamati seseorang yang tengah berada beberapa meter darinya, berdiri membelakanginya dengan perhatian terfokus pada kamera yang berada di genggaman.

Perlahan, senyumnya terukir amat indah di wajah, kebahagiaan yang bersarang sedari tadi di hatinya itu, benar adanya. New meminum air kelapanya, menunggu Tay menyiapkan segala kegiatannya dengan pemandangan pantai di sore hari yang begitu indah.

Jujur, New gak tau ini perasaan apa, dia juga tidak tau apakah ia benar-benar mencintai seorang Tay tawan, orang yang di temuinya baru beberapa bulan. Yang jelas New bahagia ketika senyum yang jarang sekali di lihatnya itu terbit begitu saja, menghiasi wajah tampan milik Tay tawan.

Begitu simple bukan.

Keinginan New tak banyak untuk saat ini, ia hanya ingin, senyum itu terus ada, terus terukir indah, karena kebahagiaan Tay, bisa di bilang kebahagiaanya juga. Remaja sekali.

Senyum milik cowok berkulit putih itu semakin melebar sempurna hingga matanya ikut menyipit, lengkap dengan poni yang sedikit berantakan akibat terpaan malu-malu sang angin pantai.

Tay berjalan mendekatinya, duduk di samping New dalam diam.

“Bagus gak foto-fotonya?.” suara New terdengar, menghilangkan senyap di antara mereka berdua.

Tay menoleh ke kanan, lantas mengangguk dua kali sebagai jawaban.

“Kalau gue bilang senyum Kakak lebih indah dari pemandangan di depan mata gue, itu termasuk gombal, gak?”

“Gak tau”

“Kayaknya enggak deh, atau karena gue belum kebiasa aja liat senyum lo kali ya, Kak”

“Kata Ibu, satu senyuman itu, bisa ngilangin satu masalah yang ada di hidup kita.”

“Kalau masalahnya gak bisa hilang?” gantian Tay bertanya.

“Gak tau pasti, cuma Tuhan gak bakal ngasih masalah ke manusia yang gak bisa nyelesaiin masalah itu. Tuhan itu adil tau Kak.”

“Tapi gue kok ngerasa enggak.”

“Gue gak tau segimana besarnya masalah yang sedang lo pikul, segimana perihnya masalah yang sedang lo hadapin. Tapi, di balik masalah itu sendiri, gue yakin pasti punya sisi baiknya”

“Gak ada” balas Tay begitu santai.

New menghela napas panjang, sejujurnya ia ingin tau mengapa Tay sebegini tertutupnya. Namun New tau, dia tau limitnya sampai mana.

“Kak, mau berbagi masalah?”

Tay menaikkan sebelah alisnya tak paham “Gimana?”

“Lupain aja.” New tersenyum tipis sembari berkata.

“Kak, senyum dong biar masalahnya berkurang.”

Tay menurut, ia tak ingin berdebat dengan adik kelasnya yang begitu bawel ini, perlahan ia menyunggingkan senyum tipis.

“Ganteng banget.” New berujar pelan.

“Bawel.”

“Kalau gue gak bawel, kita diem-dieman mulu dong.”

“Gue mau cerita ke Kakak, mau dengerin gak?” New bertanya, meninta jawaban.

“Enggak”

“Dih bikin gue seneng kek!”

“Yaudah boleh.”

New lantas mengubah ekspresinya menjadi tersenyum.

“Gue tuh suka nulis, jadi pas masih Smp gue bilang ke temen-temen deket gue kalo gue nulis di wattpad.”

“Terus itu pas gimana, gue gak tau pasti, gurunya bilang kita gausah belajar dulu hari ini karena buku paket juga belum nyampe, jadi cerita-cerita aja, gitu.”

“Tiba-tiba bahas tentang novel, temen gue nyeplos kalau gue ini penulis. Terus singkatnya guru gue minta user name wattpad.”

“Gue kasih aja kan ya, terus beliau baca, gue kira beliau bakalan suka.”

“Ternyata, beliau bilang tulisan gue gak nyambung, gak jelas, terus juga bilang terlalu lebay untuk kisah cinta anak Sma”

New mengulas senyum tipis, kejadian di masa lalu itu kembali teringat jelas di ingatannya. Kenangan yang membuat dirinya sekarang sulit untuk percaya diri dengan tulisan sendiri.

“Mungkin bener kali ya, gue kan cuma anak Smp dulu. Malah bikin cerita anak Sma.”

“Itu tuh namanya menjatuhkan, di kelas lo banyak murid kan, lo pasti malu.” Tay angkat suara.

“Gue cuma ngangguk-ngangguk doang, tapi pas sampe kamar nangis. Dari situ sadar, kalau gak semua hal yang kita lakuin bakal di respond baik sama orang.”

“Sekarang masih lanjut nulis, enggak?”

New mengangguk pelan “Masih” jawabnya, lalu cowok manis itu kembali berkata “Tapi pake nama pena, itu juga rahasia. Cuma gue yang tau, sekarang berdua, sama Kak Tay.”

“Kenapa suka nulis, New?”

“Gak tau, gue ngerasa nulis itu kayak pelarian di saat gue sedang gak baik-baik aja. Terus juga, gue bisa ngatur semua jalan cerita di kisah yang gue buat, bahkan endingnya mau gimana jika itu tulisan gue, gue yang menentukannya. Keren kan”

Cowok berkulit tan itu perlahan menggenggam tangan kanan milik cowok yang berada di sampingnya, mengelusnya dengan pelan.

“Tetap menulis ya, New, karena lo memang keren. Balas dendam terbaik itu, menjadi sukses.”

“Soal sukses, temen gue dulu ada yang nyeletuk gini Kak. Sukses itu gak melulu tentang uang, tapi kita gak di bilang sukses kalo gak banyak uang hahaha bangsat sih tapi ada benernya juga.”

Tay ikut terkekeh pelan, melihat kejadian itu lantas New terdiam sesaat, mengamati raut wajah Tay tawan, angin yang menerpa wajahnya hingga rambut cowok itu sedikit berantakan. Matahari yang ini sedang berbahagia ternyata.

Tangan kanan New terulur untuk merapikan rambut sang pujaan hati, membuat jarak keduanya tanpa sadar semakin dekat saja.

New tersenyum tipis, lantas beralih menatap iris hitam legam itu dalam, detakan jantung New menggila di tempat tak kala tangan kiri yang lebih tua memegang lengannya, mengisyaratkan jika mereka harus tetap dalam keadaan begini saja.

“Aku boleh cium kamu?” Tay berbisik.

“Jangan nanya gitu, Nyuwi malu.”

Tay terkekeh pelan, semakin mengikis jarak yang tercipta, deburan ombak terdengar begitu tenang, namun tidak dengan jantung anak manusia yang tengah duduk berdua ini.

New memejamkan matanya sesaat Tay semakin mempersempit ruang gerak mereka. Satu ciuman mendarat begitu lama di dahinya.

Tay tawan menciumnya, tepat di dahi, hari ini.

•••

-Joya-