[Terimakasih dan Maaf]
•••
Malam ini, tepat dimana usia seorang Tay tawan bertambah satu tahun. Senyum tipisnya terukir melihat pantulan dirinya di cermin, Tay kembali merapikan kerah kemeja putihnya.
“Ganteng banget anak Mama.” ujar sang Ibu.
“Ma.” suara Tay terdengar, begitu lembut. Sang Ibu lantas duduk di pinggir ranjang, mengelus pipi kanan milik Tay.
“Kenapa sayang?”
“Mama ingat gak, waktu aku baru masuk sekolah, Mama yang nganterin aku sendiri, terus aku ditanya sama temen-temen.”
“Tay Papanya mana? Tay anak yang gak punya Papa ya, terus aku pulang, nangis ngadu ke Mama.”
Wanita paruh baya itu mengangguk “Terus kamu nanya, Ma, Papa aku kemana?”
Tay tersenyum tipis “Terus Mama bilang, Mama itu Papa. Nyatanya Mama memang bisa jadi siapa aja untuk aku”
“Ma, makasih buat semuanya, makasih udah selalu ada untuk aku, makasih udah mau ngorbanin tenaga, waktu, dan uang yang gak sedikit buat aku”
Ibu mana yang tidak menangis mendengar ucapan seperti itu, air mata wanita bernama Wira itu langsung turun membasahi pipinya, ibu jari Tay langsung menyerkanya dengan pelan.
“Makasih sudah mau jadi sosok Ibu dan Ayah buat aku, dan makasih sudah jadi dokter paling hebat.”
“Ma.”
“Maafin Tay, maafin semua kesalahan yang udah Tay lakuin secara sengaja atau tidak, maaf karena aku sering buat Mama nangis, maafin aku yang udah jadi beban buat mama, buat Mama sedih.”
“Maafin Tay ya Ma.”
“Tay, punya kamu di dalam hidup Mama itu hal paling indah. Mama gak pernah sedikit merasa terbebankan oleh kamu, karena kamu itu yang bikin Mama untuk terus bisa kuat menjalani hidup.”
“Mama juga mau bilang makasih sama Tay, makasih udah sama Mama terus, makasih udah kuat sampe sekarang, makasih udah jadi anak Mama, Maafin Mama yang pernah bikin salah sama kamu.”
“Mama itu, malaikat yang di kasih Tuhan buat aku. Tanpa Mama aku gak bakal sekuat ini.”
“Ma, Tay mau ngomong, tapi Mama jangan sedih.” ucap Tay dengan perasaan hancurnya.
Wira tersenyum lalu mengangguk “Kamu mau ngomong apa ke Mama?”
“Tay capek Ma, tubuh Tay udah gak kuat.”
“Tay capek ya Nak”
Tay mengangguk “Tay butuh istirahat Ma.”
Wira membawa anaknya kedalam sebuah pelukan hangat, menyandarkan kepala sang buah hati ke dadanya, remasan tangan kirinya semakin erat “Tay, kalau kamu memang butuh istirahat, istirahat lah Nak.”
“Tapi, Mama janji ya jangan sedih, jangan nangis terus-terusan. Tay sayang banget sama Mama.”
“Mama juga sayang sekali sama kamu, Nak.”
•••
Hari semakin larut, jam sudah menunjukkan angka dua belas, Tay tersenyum begitu manis menyaksikan orang-orang yang ia sayang berada di dekatnya. Menyanyikan lagu ulang tahun padanya. Iris hitam itu menatap satu-persatu manusia yang berada di sana.
Ada Ibunya, New, Off, Oab, Bright, Krist, Gun, dan Mild.
Setelah banyak drama karena Tay meminta untuk dirayakan di rooftop rumah sakit. Akhirnya acara kecil-kecilan ini terlaksana juga.
“Tiup lilin Tay jangan lupa make a wish.” ucap Off begitu semangat.
Tay terkekeh, menutup kedua matanya lalu meniup lilin yang menancap di kue ulang tahunnya, gemuruh tepuk tangan terdengar.
“Makasih ya” ucap Tay.
“Makasih buat yang udah mau gue ribetin, buat Off” Tay menatap sahabat karibnya itu dengan terkekeh pelan “Maksih banyak banget.”
“Buat Bright dan Oab, makasih dan maaf.”
“Kok gue gak ada maafnya?” tanya Off yang menimbulkan gelak tawa.
“Buat ketiga temen New, makasih udah mau dateng.”
“Buat Mama, tadi udah.”
Tay kembali menghela napas, irisnya mulai menatap iris kelabu yang tengah memegang kue ulang tahunnya itu, keduanya saling tatap untuk beberapa saat.
“Gue boleh minta waktu berdua sama New?”
•••
New membantu Tay untuk duduk di kursi besi bercat putih. Keduanya saling melempar senyum, New duduk di samping pujaan hatinya setelah merapikan kembali slang infus milik Tay.
“Bintangnya banyak banget.” Tay berucap, mendapat anggukan setuju dari New.
“Langitnya juga bagus.”
“Benar, lagi bagus.”
“Selamat ulang tahun Kak Tay!”
“Terimakasih New.”
“Ini ada tiga surat, buat Oab, Bright dan Off. Tolong kasihkan ke mereka ya”
“Ohh mereka ada, aku enggak.” ucap New dengan nada di buat cemberut.
“Kalau kamu, aku mau ngomomg sendiri, soalnya kalau ke mereka aku terlalu malu.” Tay menjawab terseling dengan kekehan.
Tay menghela napas sesaat “New, mau tau gak cerita aku?”
“Mau banget, udah lama aku nunggu Kakak ngomong ini.”
“Awalnya tuh aku gak tau aku kena kanker darah, tiga taun belakangan aku suka demam, terus kalo malam keringan mulu, kadang mimisan.”
“Tapi aku biarin, gak bilang ke apa-apa ke Mama, sampe di saat lagi latihan futsal, aku pingsan.”
“Dari situ aku tau, kalau udah sakit. Aku gak di kasih untuk ikut futsal atau apapun lagi.”
“Pertama kali aku kemoterapi, aku muntah-muntah, tubuh aku lemes banget, bahkan untuk bediri aja aku gak bisa, terus sakit.”
“Kamu ingat gak, kamu pernah bilang kalau setiap masalah selalu punya sisi baiknya?”
New mengangguk dengan senyum tipis menghiasi wajah manisnya.
“Ternyata, memang ada sisi baik yang gak aku duga. Salah satunya itu, ketemu sama kamu. Mungkin Tuhan tau aku butuh orang untuk berbagi kesedihan, dan Tuhan hadirin kamu.”
“Maaf ya, karena pertemuan kita kamu jadi banyak nangisnya sama aku.”
“Kak” New tak melanjutkan katanya, ia hanya menggeleng pelan, mengatakan jika ucapan Tay itu tak benar adanya.
“Alasan aku untuk gak mau jatuh cinta itu ini” iris hitam itu beradu dengan iris kelabu yang tengah berkaca-kaca. Tay kembali melanjutkan ucapannya “Aku gak mau semakin banyak orang yang sayang sama aku, karena semakin banyak yang sayang sama aku, semakin banyak yang cinta dan peduli sama aku, semakin banyak pula yang sedih ketika aku pergi.”
“Tapi untuk kamu, aku gak bisa bohong kalau emang aku udah jatuh sama pesona kamu, New.”
“Aku penakut, sangking takutnya aku gak pernah nyatain apa-apa ke kamu, aku gak ngubah status kita. Karena aku takut, disaat kamu udah menggantungkan dirimu sama aku, tapi aku malah pergi.”
“Kakak jangan ngomong gitu, Kakak gak bakal pergi kan?” ucapan New tersirat harapan, dan Tay benci karena ia tak bisa meng-iyakannya.
“New, terimakasih udah hadir, terimakasih untuk semua kebahagiaan yang kamu berikan, terimakasih udah mau ngurusin aku.”
“Maaf, maaf kalau perlakuan aku ke kamu itu gak baik.”
“Kakak jangan ngomong kayak gitu.”
Tay tersenyum, mengusap air mata New yang mengalir dengan pelan, lalu mengelus pipi si manis.
“New, aku boleh minta empat permintaan sama kamu?”
“Apa? Kakak mau apa?”
“Pertama, tolong maafin semua kesalahan aku.”
New menggeleng “Kakak gak punya salah sama Nyuwi, kalau pun ada, Nyuwi lupa.”
“Yang ke dua, aku boleh cium kamu?”
New menangis namun tetap mengangguk, membuat Tay tersenyum lalu mendekatkan wajah mereka, mempertemukan kedua bibir itu dengan pasangannya masing-masing. Ciuman kali ini terasa begitu sedih, air mata keduanya mengalir begitu saja.
Tay perlahan melumatnya dengan pelan, menyesapnya dengan penuh perasaan, sialnya New merasa jika ini seperti ciuman perpisahan.
Tay melepas pangutan terlebih dahulu, lalu mengelus bibir ranum New dengan ibu jarinya.
“New, aku mau ngomong serius, permintaan ketiga. Aku mau di peluk kamu.”
“Kak.”
“Jangan nangis. Aku cuma mau ngomong sambil di peluk kamu, boleh?”
New mengangguk “Boleh, sini.”
Tay menerima pelukan itu dengan senang hati “Kakak mau ngomong apa?” New bertanya dengan suara gemetar menahan tangis.
“Sejujurnya, aku lelah banget, aku capek, aku pengen istirahat yang bener-bener istirahat.”
New diam namun air matanya terus mengalir, tetap mengelus bahu yang lebih tua dengan pelan.
“Kak Nyuwi sayang banget sama Kakak.”
Hati Tay hancur mendengarnya, namun ia masih begitu tenang, air matanya pun tak lagi mau keluar.
“Makasih ya udah sayang sama aku.”
“Aku capek New, permintaan terakhir ku, tolong ikhlasin aku.”
New masih diam, tak bisa menjawab apa-apa, ia tau ini semua akan terjadi, namun tak pernah berpikir jika secepat ini.
“Kamu boleh nangis sekarang, tapi jangan berlarut-larut ya, sayang.”
New mengangguk “Iya Kak, kalau memang Kakak udah capek, aku ikhlas, istirahat yang tenang ya, sayang.”
Tay menengadah, menatap iris kelabu yang terus bergelinang air mata itu, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi New “Terimakasih, kamu cinta pertama ku, Newwiee.”
Setelah menyelesaikan ucapannya, mata Tay benar-benar terpejam, napasnya tak lagi terdengar, Tay benar-benar pergi meninggalkan segala kenangan yang akan selalu membekas di ingatan.
Tangis New pecah begitu saja, memeluk raga yang tak lagi bernyawa itu dengan erat. Berharap jika isakan tangisnya di dengar oleh Tuhan, berharap jika ini hanya mimpi buruk yang akan hilang ketika ia membuka mata. Namun ia tau dan ia juga sadar, jika kepergian Tay, nyata adanya.
•••
-Joya-