Joya.

Ibunya Newwiee.

[Nirmala]

•••

“Terserah kamu lah, aku capek.”

Kata-kata terakhir yang terucap dari mulut seorang Tay tawan masih menghantui New sejak sepekan yang lalu. Bak kaset rusak yang terputar terus-menerus di kepalanya, helaan napas terdengar dari pria manis berkulit putih lengkap dengan poni rapi yang menutupi dahi.

Tangan kanannya beralih menutup laptop yang berada di depan mata, perlahan iris kelabu itu mulai menatap ponsel yang sedari tadi tak berbunyi barang sekejap saja.

Terhitung seminggu sang kekasih sama sekali menghilang, tak bertukar kabar, bahkan untuk sekedar menyapa saja keduanya sama-sama sungkan. Padahal ia disini begitu menantikan bagaimana keadaan pria berkulit tan dengan bulu mata lentik itu selama di kota orang.

New mengambil benda pipih berwarna midnight green yang berada di samping laptopnya, jemarinya mulai menari-nari disana, kalimat itu sudah terketik rapi, lengkap dengan emoticon berbentuk hati di ujungnya, namun untuk menekan tombol kirim, ia ragu, Tay tawan kalau marah memang selalu mendiamkan orang begitu lama.

Terhitung lima menit New menimbang, akhirnya ia memutuskan untuk meletakkan kembali ponselnya di atas meja, menyesap kopi miliknya dengan tenang. Iris kelabu itu mengalihkan fokusnya ke luar ruangan, menatap para pengendara berlalu-lalang menembus hujan deras yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti.

“Tay apa kabar?” pertanyaan itu selalu di sematkan di setiap harinya, karena sebenarnya rindu ini menginginkan titik temu.

“New, mau pulang bareng gue?” suara itu lantas saja membuyarkan semua lamunan si manis, menoleh ke kanan, menatap pria bermata sipit yang mengulas senyum tipis padanya.

New menggeleng pelan, membalas senyum teman paling akrab Tay “Gue bawa mobil kok, Off.” jawabnya.

“Jangan terlalu lama deh pulangnya, nanti dimarahin Tay lho.” gurauan Off membuat New terkekeh pelan, setelahnya pria jangkung itu berjalan menjauh lalu menghilang di balik tembok bercat putih tulang.

Cafe bernama Nirmala milik New masih begitu ramai pengunjung, banyak remaja yang kesini hanya untuk sekedar berbincang dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya, atau ingin foto-foto ala selebgram, ada pula yang mengerjakan tugas, bahkan pacaran. Ia melirik jam yang melingkar apik di tangan kirinya, pukul sembilan malam. New tersenyum tipis tak kala mengingat perdebatannya bersama Tay mengenai masalah memakai jam di tangan mana.

New tentu saja menjawab tangan kiri, dan Tay membalas orang keren memakainya di tangan kanan. Perdebatan-perdebatan kecil yang begitu melekat di ingatan membuat perasaan rindu itu semakin membuncah saja.

Bunyi benda pipih yang tergeletak di atas meja itu tedengar di telinganya, tangan kanannya dengan malas mengambilnya, setelah melihat siapa nama penelpon yang berada di layar, matanya langsung membelalak, senyum manis itu terukir begitu indah, dengan senang hati ia menggeser tombol hijau.

“Halo.” suara yang di rindukannya terdengar, menimbulkan percikan bahagia tiada tara.

“Halo, Tay.” New balik menyapa.

“Besok aku pulang, jam delapan malam, boleh kita ketemu, aku mau ngomong sama kamu?”

•••

Langkah itu terhenti, begitu matanya menangkap seseorang pria manis dengan kemeja biru muda oversize-nya yang berjarak beberapa meter darinya. Senyum manis terukir di wajah yang lebih muda, lambaian tangannya pun terlihat, pemuda dengan parka hitam itu pun kembali melangkah, mendekati sang kekasih, rasa rindu itu sudah pasti ada.

Tay merentangkan tangannya membuat New langsung masuk kedalam pelukan hangat yang seminggu ini tak ia rasakan. Menghirup aroma menenangkan Tawan-nya.

Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya, hanya helaan napas dan kecupan di bagian pucuk kepala New yang berulang kali Tay layangkan.

“Kangen.” cicit New membuat Tay terkekeh pelan, semakin mengeratkan pelukannya, membiarkan beberapa pasang mata menatap mereka yang tengah berpelukan di bandara.

“Pulang ke kost-an aku aja, ya?” suara New kembali terdengar, nadanya pun begitu lembut, membuat Tay tak kuasa menolaknya, lantas ia mengangguk sebagai jawaban.

Keduanya memutuskan untuk beranjak dari bandara, berjalan menuju mobil New berada, lalu kembali beradu argumen tentang siapa yang akan mengemudi. New keukeh meminta agar dia saja yang menyetir, mengingat Tay baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun tolakan mentah-mentah dari Tay tawan membuat New menghela napas pasrah, mengalah jalan satu-satunya.

Setelah perdebatan tadi, keduanya sama-sama diam, New sedikit kesal dan Tay tampak begitu santai mengendarai mobil berwarna putih tulang milik sang kekasih. Lagu milik George benson berjudul nothing's gonna change my love for you terdengar, mengalun begitu indah.

Tay tau betul betapa New menyukai lagu ini, betapa New sangat hafal lagu ini, dan betapa bahagianya ia ketika menyanyikan lagu ini.

Nothing's gonna change my love for you.

You oughta know by now how much I love you.

The world may change my whole life through.

But nothing's gonna change my love for you.

New menoleh tak kala Tay bersenandung, menyanyikan lirik itu dengan suaranya, seulas senyum tipis terukir di wajah si manis setelahnya. Sedetik kemudian, kesunyian tadi berganti dengan suara keduanya, saling bernyanyi bersama, melempar senyum bahagia satu sama lain.

Mobil yang di kendarai oleh pria berkulit tan itu terhenti tak kala lampu merah menyala, menoleh ke kiri, menatap sang kekasih telah beberapa kali menguap, apa kekasihnya kurang tidur hingga ia sudah mengantuk di jam setengah sembilan?

Tangan kiri Tay terulur untuk mengelus dengan begitu lembut rambut New, membenarkan poni lucu yang menutup dahinya, “Tidur aja, nanti aku bangunin.” Tay berujar.

“Nanti yang nemenin kamu ngobrol di jalan siapa? Lagian masih jauh juga sampe ke kost-an aku.” jawab New.

Tay kembali menunjukkan senyum tipisnya “Tidur aja ya, sayang.”

Wajahnya memanas, semburat merah di pipinya tertutup dengan gelapnya keadaan mobil mereka saja. Namun kekehan Tay terdengar, kekasihnya selalu begini, selalu tersipu malu.

“Jangan ketawa kamu, aku malu tau Tay.” New menggerutu kesal, menoleh ke kiri, membuat kekehan Tay semakin terdengar di telinganya, New lantas memejamkan matanya secara perlahan, ia sungguh mengantuk karena kemarin malam tidak bisa tidur sama sekali.

Pria berumur dua puluh lima tahun berkulit tan dengan alis tebalnya itu kembali melajukan mobil yang di kendarainya ketika lampu berwarna merah berubah menjadi hijau.

Sesekali menoleh ke samping, memastikan jika pujaan hati benar-benar tertidur dengan nyaman, kedua matanya tertutup rapat, napasnya terdengar begitu teratur, dan pemandangan New tertidur memang bukan main indahnya jika di pandang lama-lama.

Tay ingat betul bagaimana pertama kali ia bertemu dengan New di semasa sekolah menengah akhir, bagaimana pertama kali iris hitamnya menangkap iris kelabu berseri milik adik kelasnya ini.

Hanya New satu-satunya murid baru yang berani bertanya kepada Tay sedangkan yang lain bungkam karena takut padanya. Hanya New yang berani menjawab ucapan Tay ketika yang lain menundukkan kepalanya menghindari kontak mata darinya.

“Kakak ini bisu ya? Saya tanya sedari tadi kok diam saja?”

Senyum tipis itu terukir ketika ingatannya tentang kejadian di masa lampau kembali hadir, hanya Newwiee, Newwiee dengan keberaniannya, Newwiee dengan kepintarannya, Newwiee dengan segala hal yang bisa membuat Tay bingung bagaimana cara ia mendeskripsikan kekasihnya ini.

Mungkin satu kata yang paling cocok itu adalah, Indah. New indah secara fisik dan pribadinya. Sejak pertama kali kedua mata mereka saling beradu, saat itu juga Tay tau kalau dia sudah jatuh, jatuh pada pesona adik kelasnya, Newwiee thitipoom.

Tay ingat pertama kali ia menyatakan perasaannya pada New, Tay ingat pertama kali New menangis di pundaknya, pertama kali New mengajak Tay bertemu Ibunya, pertama kali New bercerita tentang keluarganya, Tay ingat semuanya, mungkin aneh, karena memang Tay itu pelupa sekali, namun entah mengapa kalau oknumnya New, ia bisa ingat kejadian apa saja, semuanya, asal itu tentang Newwiee-nya.

Mobil yang ia kendarai terus melaju membelah jalanan yang belum juga sunyi, melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit, pantas saja masih ramai.

Tay kembali menoleh ke kiri, menatap wajah begitu tenang milik Newwiee-nya. Lalu ia tersenyum lagi, Tay begitu suka memerhatikan New ketika pria itu tertidur, Tay suka bentuk wajah New, Tay suka dengan bulu mata lentik lelaki ini, Tay suka tahi lalat di ujung hidung mancungnya, Tay suka bibir merah mudanya, semuanya, Tay suka segalanya tentang New.

Namun, namanya juga manusia, tak ada yang sempurna, terlepas dari segala hal baiknya, New pasti juga punya sisi yang tak baik. Pria manis berkulit seputih susu itu selalu mendahulukan kepentingan orang lain, itu baik, cuma terkadang jadi merepotkan dirinya sendiri. New tipe manusia yang sungkan untuk berkata tidak.

Tay ingat pertama kali mereka bertengkar karena New membatalkan secara sepihak acara makan malam mereka yang sudah di rencanakan jauh-jauh hari, Tay masih begitu ingat bagaimana dirinya menunggu kehadiran New yang tak kunjung menampakkan dirinya di hadapan Tay.

Terhitung tiga jam ia menunggu sampai akhirnya sebuah notifikasi dari sang kekasih muncul di layar ponsel, tulisannya begini.

'Tay maaf ya, tadi Kay minta tolong aku buat nemenin dia bawa Mamanya kerumah sakit. Maaf ya Tay.'

Kadang Tay bingung sendiri, ini sifat baik atau buruknya seorang New? Tidak sekali dua kali begini, terlampau sering malahan.

Namun balik lagi, segimana marahnya ia pada New, ketika matanya menangkap iris kelabu itu redup, Tay sudah kalah.

Tay juga ingat pertama kali ia sakit semasa kuliah karena tugasnya begitu menumpuk hingga ia tidak tidur selama tiga hari dan berakhir dengan jatuh sakit. Tay ingat bagaimana paniknya New ketika itu. Bagimana isakan pria itu terdengar ketika mengompres dahinya, bagaimana lembutnya suara New ketika menanyakan sesuatu padanya, kembali pada bahasan awal, Tay ingat semuanya.

Semesta memang tau, jika Tay butuh tempat untuk mengadu, jika Tay butuh bahu untuk bersandar, jika Tay butuh orang seperti Newwiee. Karena awalnya, menurut Tay jatuh cinta itu sesuatu hal yang mengerikan, sesuatu hal yang tidak mungkin ia rasakan, membagi kesedihan bersama? Bukan Tay banget. Namun, lagi-lagi iris kelabu itu membuat semua hal buruk yang ada di kepalanya hilang seketika.

Perlahan, tangan kirinya terulur untuk meletakkan tangan New di pahanya, sesekali mengelus punggung tangan halus milik sang kekasih dengan begitu pelan, ia tak mau lekaki manis itu terusik dalam tidurnya. Kedua kelopak mata itu mengerjap pelan, memamerkan iris kelabunya yang begitu indah di pandang, “Kamu sudah makan?” pertanyaan dengan nada serak milik New terdengar di telinga Tay.

Lantas membuat yang lebih tua menoleh sebentar, “Sudah, kebangun gara-gara aku ya?”

New menggeleng pelan lengkap dengan senyumannya, membiarkan ibu jari Tay terulur mengelus tangan kanannya yang masih berada di paha lelaki berkulit tan itu.

New bahagia, perlakuan Tay begini terlampau manis untuknya, terlebih dengan watak Tay tawan yang begitu pendiam dan susah mengutarakan perasaannya.

Berbicara tentang Tay tawan, tak akan lengkap jika tidak membahas tentang wajah datar dan tatapan tajamnya, jatuh cinta pada Tay tawan itu sebuah hal yang tak New bayangkan sebelumnya, berada di dekat Tay tawan itu awalnya sebuah hal yang ia hindari, dan menjadi kekasih seorang Tay tawan selama enam tahun terakhir merupakan hal yang sama sekali tak pernah terbesit dalam kepalanya.

Namun, semesta memang punya caranya sendiri untuk menyatukan dua hati.

Tay itu bukan pria romantis, bukan pula pria humoris, Tay bukan pria yang selalu memberi hadiah ketika New ulang tahun, bukan juga orang yang selalu mengucapkan selamat hari jadi untuk hubungan mereka, Tay itu beda, dia punya caranya sendiri dalam menunjukkan kasih sayangnya, dia punya caranya sendiri dalam memperlakukan orang yang ia anggap istimewa di hidupnya.

Dan Newwiee begitu bahagia karena dia masuk kedalam urutan yang Tay tawan cintai.

“Kenapa ngeliatin aku terus?” Suara milik Tay membuyarkan lamunan si manis, New menggeleng beberapa kali lalu mengulurkan tangan kanannya untuk mengelus pipi sang kekasih, “Kumis kamu mulai tumbuh, nanti cukur ya” ucap New membuat Tay mengangguk setuju.

Sekitar empat puluh menit, akhirnya mobil milik New sudah terparkir rapi di depan kost-annya. Keduanya turun dan langsung masuk kedalam, Tay langsung mendaratkan tubuhnya di kasur empuk milik New.

Memejamkan matanya secara perlahan, hingga kedua kelopaknya kembali terbuka tak kala suara decitan pintu kamar berbunyi, menampilkan Newwiee dengan handuk berwarna putih bersih yang berada di tangan kanannya, lalu si manis berucap “Mandi dulu gih”

Tay beranjak dari tempatnya, mengampiri sang kekasih, kembali memeluk tubuh New, kembali mengecup pucuk kepala New, dan kembali menghirup aroma vanila menenangkan pikirannya.

“Kamu udah gak marah sama aku?” New memberanikan diri untuk bertanya.

Tay masih setia memeluknya, namun sebuah helaan napas terdengar “Kita bahas nanti ya, aku mandi dulu.”

New mengangguk, membiarkan Tay berjalan meninggalkannya, menunggu pria berkulit tan itu menyelesaikan kegiatannya terlebih dahulu, ia mendaratkan bokongnya di pinggir kasur, menghembuskan napas berkali-kali, debaran jantungnya kembali hadir, membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi di hubungannya dan Tay tawan, New tak siap.

“Sayang.”

Perlahan, kedua telapak tangan yang menutupi bagian wajahnya menurun, ia menengadah menampilkan wajahnya dengan mata yang memerah, membuat dahi yang lebih tua mengerut heran, menatap dalam-dalam wajah sang kekasih.

“Newwiee kenapa nangis?” suara Tay begitu lembut, menautkan jemari mereka berdua, pertahanan New runtuh, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia menangis di hadapan Tay tawan. Pria berkulit tan dengan kaos hitamnya itu lantas duduk di samping New, memeluk si manis dan mengelus punggungnya, membiarkan New menangis sampai ia tenang dan berhenti sendiri.

“Kamu masih marah sama aku?” yang lebih muda kembali bertanya setelah merenggangkan pelukan mereka, Tay masih terlihat begitu tenang, masih diam dan itu membuat New takut.

“Newwiee minta maaf, sama Tawan.”

“Emang tau salahnya dimana?” Tay bertanya, iris hitamnya masih menatap New dengan begitu dalam.

New mengangguk dua kali, menyerka air matanya yang terus mengalir “Tau, aku bohong ke kamu, aku gak jujur sama kamu. Aku minta maaf.”

Yang lebih tua kembali diam, tangan kanannya terulur untuk merapikan poni New yang menusuk kelopak mata sang pujaan hati, New yang gelisah karena bungkamnya sang kekasih pun lantas memegang tangan kanan milik Tay “Tawan.” rengekan itu terdengar setelahnya, “Jangan diem aja, aku takut.”

“Kamu kurusan.” Tay berucap.

“Jangan ngalihin topik Tay, kalau kamu masih marah, aku bakalan terus-terusan ngerasa bersalah.”

“Aku kangen banget sama kamu, tapi mau segimana kamu peluk, mau segimana kamu cium, kalau kamu masih marah, aku gak tenang.”

“Aku minta maaf, seharusnya aku jujur sama kamu, tapi aku takut kamu bakalan marah sama aku, tapi nyatanya aku bohong kamu jadi lebih marah, aku minta maaf karena gak bisa nganter kamu ke bandara padahal aku udah janji sama kamu, tapi aku ingkar.”

“Tawan, jangan putusin Newwiee, ya.”

Iris kelabu itu kembali berkaca-kaca, menatap sang kekasih dengan perasaan bersalah, New paham betul letak salahnya dimana.

Namun yang lebih tua masih saja diam seribu bahasa. Mungkin, jika di bahas, masalah yang terjadi antara mereka itu bisa di bilang sepele? Tay sudah berkata jika ia tak suka dengan kedekatan New dan Luke.

Terlebih Tay tau jika Luke menyukai kekasihnya, sehari sebelum kepergian Tay ke Medan untuk perkejaannya sebagai seorang fotografer, iris hitamnya menangkap seseorang yang begitu ia cinta tengah berada di depan teras kost-an milik New, bersama Luke. Tay awalnya diam saja, memerhatikan kedua anak adam yang tengah berbincang ringan karena terselip kekehan yang terdengar di telinganya, Tay bukan orang yang cemburuan tak jelas, sampai batas kesabarannya menipis tak kala matanya menangkap Luke mencium New, kekasihnya, tepat di bagian bibir. Setelah kejadian itu, Tay benar-benar mendiami New, tak mengabari, ia benar-benar hilang selama seminggu.

Sampai malam ini, keduanya kembali bertemu, saling memeluk, bertatap, mengutarakan kerinduan, namun masih terselip perasaan tak mengenakkan di antara keduanya. Tay memang sudah tampak biasa saja, namun New sadar, ia masih perlu mengucapkan kata maaf.

Tay beranjak dari tempatnya, berjalan membuka jendela kamar New, rintik hujan mulai turun membasahi bumi, ia duduk di sofa panjang yang sengaja New letakkan tepat di depan jendela, lalu iris hitamnya menoleh ke New, mengisyaratkan agar pria manis itu duduk di sebelahnya.

New menurut, berjalan mendekat dan mendaratkan bokongnya di sebelah Tay, mata keduanya saling beradu untuk benerapa waktu, lagi-lagi New ingin menangis karena Tay tak kunjung bersuara. Tay memang pendiam, tapi diamnya kali ini begitu berbeda.

“Kamu tau kan aku benci banget sama sama orang yang bohong?” ucap Tay membuat New mengangguk pelan, “Lalu kenapa bohong New? Kenapa bilangnya kamu lagi di rumah Ibu dari sore? Padahal kamu di kost-an.” yang lebih tua melanjutkan ucapannya.

“Awalnya aku memang mau kerumah Ibu, tapi, begitu aku buka pintu, Luke ada disana. Dia bilang mau ngomong sebentar, aku gak tau dia bakalan nyium aku.”

“Tapi itu kejadiannya malam Newwiee, kamu bilang ke aku, kamu kerumah Ibu dari sore.” tandas Tay.

“Aku, aku gak mau kamu menyempatkan diri untuk nganterin aku kerumah Ibu, aku gak mau ngerepotin kamu, karena kalo aku bilang aku pergi malam. Kamu bakalan maksa buat nganterin aku, kan? Tay aku gak bakal ngebelain diriku lagi, aku tau aku salah, aku minta maaf.”

“Minta maaf kalau di lakuin lagi, ya, untuk apa?”

New menggeleng cepat, memegang kedua tangan Tay, berusaha meyakinkan yang lebih tua jika ia benar-benar meminta maaf, “Enggak, gak bakal di lakuin lagi. Aku gak mau kamu marah, Tawan.”

“Kamu kurusan.”

“Kamu jangan ngubah topik pembahasan dulu.”

“Aku serius, kamu kurusan.” Tay kembali berkata, kali ini benar, New memang terlihat lebih kurus dari seminggu yang lalu, pipinya pun tampak lebih tirus.

“Maaf. Newwiee minta maaf.”

“Iya di maafin, sini peluk.”

Mata New mengerjap beberapa kali, senyumnya terukir indah, menerima pelukan Tay tawan dengan senang hati. Menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kekasih, menikmati angin malam yang masuk lewat vetilasi dan jendela yang sengaja di buka oleh Tay.

“Jangan marah lagi, aku takut banget sama kamu kalo lagi marah. Serius aku takut banget Tawan.”

“Jangan bohong makanya” Tay menjawab sembari mengelus rambut sang kekasih.

“Gimana hari kamu seminggu di Medan?” New mulai membuka obrolan baru. Tay tersenyum begitu tulus, pertanyaan sederhana yang memang selalu terucap jika mereka berjumpa, menghambiskan waktu bersama, hanya sebuah pertanyaan bagaimana hari ini? Namun, tetap balik lagi, jika yang bertanya Newwiee, bakalan jadi beda arti.

“Biasa aja, kamu, gimana?”

“Gak biasa-biasa aja. Aku gak dapat kabar kamu, gak tau keadaan kamu gimana, gak tau kamu lagi sedih atau bahagia.” jawab New.

“Maaf juga ya, udah hilang.”

New mengangguk, senyum manisnya tak kunjung pudar dari wajahnya, “Kamu tau gak, kemarin malam tuh sebelum kamu nelepon aku” yang lebih muda menggantungkan ucapannya, mengubah posisi menjadi bersandar pada dada Tay, memainkan jemari lelaki berkulit tan itu dengan santai, sedangkan Tay hanya diam, menerima semua perlakuan New dengan senang hati.

“Aku udah ngetik, mau ngirim pesan ke kamu. Tapi aku takut karena kamu kan kalo lagi marah gak pernah mau di gangguin.”

New menengadah, menatap kekasihnya “Tay, sayang gak sih sama aku?”

Tay terkekeh mendengarnya, harus kah ia menjawab pertanyaan tak jelas dari pria manis berponi lucu ini?

“Kenapa bertanya kalau kamu udah tau jawabannya?” Tay balik bertanya.

“Memastikan, kamu ingat gak pertama kali kamu bilang suka sama aku?”

Tay semakin menundukkan kepalanya, hingga berada di telinga New, lalu berbisik “Aku ingat semua tentang kamu, tentang kita.”

New tak bisa menyembunyikan senyumnya, semburat merah di pipi si manis kembali hadir mendengar kata-kata Tay tawan, “Newwiee malu banget.” New berujar pelan.

“Newwiee, terimakasih udah selalu ada untuk aku, terimakasih untuk kebahagiaan tiada tara yang kamu berikan, terimakasih sudah menjadi orang tempat aku untuk berpulang,” yang lebih tua kembali berbisik, namun kalimat ini lebih panjang dari yang sebelumnya, Tay sengaja menggantung ucapannya, membiarkan New yang terus berkata jika ia sedang malu, lucu sekali.

“Newwiee, i love you.”

“Tawan aku malu banget, serius.”

Tay terkekeh lagi, menggerakkan tubuhnya dan tubuh New kekanan dan kekiri dengan perlahan, mengecup berkali-kali pipi kiri sang kekasih “Newwiee, i love you.” bisikan itu kembali terdengar bersamaan dengan rintikan hujan yang turun membasahi bumi.

New menoleh kebelakang, menengadahkan kepalanya, menatap iris hitam itu begitu dalam, “Cium aku” lirihan New terdengar.

Senyum tipis itu terukir menghiasi wajah tampan yang lebih tua, perlahan ia mengikis habis jarak diantara mereka, mempertemukan kedua bibirnya dan New, membiarkan debaran jantung yang mengila, Tay tersenyum di sela cumbuannya, memangutnya dengan penuh perasaan, hingga remasan jemari New di tangan Tay menandakan jika lelaki manis itu sudah kehabisan napas.

“Newwiee, yang harus kamu tau, perasaan aku gak akan pernah pudar ke kamu, selamanya.”

—Kisah ditutup.

•••

-Joya-

[Malu]

•••

Senyum malu-malu itu masih terpantri di wajah manis Thitipoom, sedangkan yang lebih tua malah asik memandangi rona di pipi kekasih hatinya.

Thitipoom pelahan menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan, membuat Tay langsung berucap “Kok di tutup?”

“Kamu kenapa liatin aku terus? Malu tau.” balas Thitipoom.

Tay terkekeh pelan, beranjak dari ranjang kekasihnya, mengambil kotak makan berisikan buah naga yang tadinya ia letakkan di meja belajar Thitipoom.

Setelah itu Tay kembali duduk di samping yang lebih muda, membuka penutup kotak makan transparan, menampilkan buah naga segar yang sudah di potong-potong berbentuk dadu.

“Liat nih, tadinya aku mau potong bentuk hati. Cuma gak bisa.” Tay berucap.

Thitipoom terkekeh pelan mendengarnya “Kamu kenapa ngide beli bunga segala?”

“Gak tau, tadi aku liat ada toko bunga baru buka pas jalan kerumah kamu, yaudah mampir aja, gak suka ya, Thi?” ucap Tay sembari menyuapkan sepotong buah naga pada Thitipoom.

“Ih enggak gitu, aku suka, beneran, cuma aneh aja kamu tiba-tiba bawa bunga.”

“Dari pada aku bawa orang tuaku? Nanti kamu pingsan.”

Keduanya tertawa, percakapan tak penting, sangat random ini malah terasa begitu menyenangkan. Memang begitu kalau sudah bucin. Namanya juga remaja, maklumi saja ya, pemirsa.

•••

-Joya-

[Pacar]

•••

Pintu mobil itu di tutup rapat bersamaan dengan seseorang yang duduk di kursi penumpang sebelah Tay.

Yang lebih tua mengulas senyum manisnya, menatap sang kekasih dengan ekspresi bahagia.

“Cantik banget sih.” Tay berucap sembari mencubit dengan begitu pelan pipi sang kekasih, membuat sang empunya merengut kesal.

“Aku cowok.” balasnya.

Tay mengangguk setuju, lantas mengubah sedikit posisinya agar lebih leluasa menikmati pemandangan paling indah yang pernah ia lihat, remaja.

“Iya kamu cowok, tapi curang. Pas pembagian kecantikan, keimutan, kegantengan, kepintaran, kamu datengnya dari subuh kan? Ngaku!”

Kekehan dari cowok beriris kelabu itu terdengar, lengkap gelengan kepalanya yang tak habis pikir dengan ucapan Tay tawan lontarkan barusan.

“Berlebihan Tay.”

“Enggak, aku serius, Thi. Kamu indah banget.” balas Tay tak mau kalah.

Pemuda dengan panggilan Thi itu tersenyum tipis, menatap sang kekasih dengan wajah teduh miliknya “Makasih ya, Tawan.”

Newwiee thitipoom namanya, cowok berkulit seputih salju dengan poni yang menutupi dahi, tak lupa pula matanya yang menyipit bak bulan sabit ketika ia tersenyum manis.

“Thi, mau kemana nih? Makan?”

“Boleh, tapi dirumah ya, Tawan”

Tay menyetujuinya, ia menyetujui semua permintaan Thitipoom, tanpa bantahan sama sekali. Semuanya.

•••

-Joya-

[Tatap]

•••

Langkah kedua anak manusia itu begitu tergesa-gesa, lengkap dengan gerutuan kesal dari cowok bermata sipit yang menjadi pelengkap kesialan Tay dihari senin.

“Pasrah gue kena hukuman lagi, makasih Tawan.” ketus Off menatap teman karibnya yang hanya mengulas cengiran tak bersalah.

Upacara sudah di mulai sejak sepuluh menit yang lalu, Tay dan Off langsung di arahkan oleh guru pengawas untuk masuk kedalam barisan murid tak taat peraturan.

Tay santai saja, ia sudah terlampau biasa berada di dalam barisan ini.

Iris hitamnya menyapu keseluruh penjuru lapangan, mencari seseorang yang ia tunggu kehadirannya.

Gotcha!

Tay berhasil mengangkap sepasang iris berkilau yang tengah menatapnya dengan ekspresi cemberut. Tanpa sadar cowok berkulit tan itu terkekeh bersamaan dengan gelengan kepalanya.

“Lucu banget.” gumam Tay.

“Jangan ngebucin lo, pacar lo siapa?”

Tay melirik sini temannya itu, namun tak berkata lagi, yang di lakukannya hanyalah beradu tatap dengan seseorang pemilik hatinya.

Orang itu, Dia.

•••

-Joya-

[Nice day]

•••

Baru saja New melihat notifikasi jika Tay sudah berada di depan teras rumahnya. Baru saja ia ingin berjalan menuruni anak tangga dan menemui orang yang satu harian ini ia hindari, ternyata seorang Tay tawan sudah berada di depannya.

New diam, menatap cowok berkulit tan itu dengan senyum kikuknya, sedangkan yang lebih tua tampak begitu santai dan tenang.

“Boleh aku tutup pintunya?” suara Tay terdengar, membuat New langsung mengangguk pelan.

Setelah pintu tertutup dan terkunci rapat, Tay memutuskan untuk melangkah mendekati si manis yang sedari tadi diam di samping kasurnya.

Kamar New sangat bersih, banyak sekali kumpulan novel yang berjajar rapi di rak sudut kamar, tumpukan kertas warna-warni lengkap dengan tulisan tangannya, menciptakan rangkaian kata-kata indah jika di baca dan tentu saja wangi seorang Newwiee mendominasi ruangan ini.

“Hai.” sapaan canggung itu keluar dari mulut New.

“Lo suka nulis quotes?” ucap Tay menoleh kearah New.

Yang lebih muda mengangguk dengan cengirannya, dia malu. “Iseng doang.” jawabnya.

“Akan ada orang yang membuat mu menatap dunia dengan cara yang berbeda.” Tay mengambil salah satu kertas berwarna itu lalu membacanya.

Iris hitamnya perlahan menatap New, lalu memberi senyum simpul “Udah ketemu orangnya?” Tay bertanya.

New diam, namun entah mengapa wajahnya terasa memanas.

Kekehan dari Tay terdengar, cowok itu berjalan mendekati New dengan tangan kanannya yang terulur untuk mengelus pelan pipi kanan yang lebih muda “Merah kayak tomat.”

New menepisnya, kelihatan sekali ia malu karena tertangkap basah, sedang tersipu “Apaan sih.”

“Boleh ngomong sekarang?” Tay lagi-lagi bertanya, memastikan New sebenarnya.

Si manis mengangguk, lalu duduk di atas karpet bulu, menepuk-nepuk pelan bagian sampingnya, bermaksud menyuruh Tay untuk duduk disana.

Tay menurut, duduk di samping New, masih dengan menggengam kertas berwanrna merah muda yang ia ambil dari meja belajar New tadi.

“Gue ceritain dari awal, ya?”

Setelah mendapat anggukan setuju dari New, barulah Tay mulai bersuara kembali. Meluruskan segala hal yang membuat mereka berdua saling hilang beberapa waktu lalu.

“Kita ketemu bukan beberapa waktu yang lalu, gue udah tau lo sejak pertama kali seorang Newwiee menginjakkan kakinya di sekolah.”

“Newwiee dengan senyum manis, Newwiee dengan pipi gembulnya, Newwiee dengan mata sipit kayak bulan sabitnya, dan Newwiee dengan topi kerucut berwarna pink.”

“Iris kelabunya bikin gue benar-benar jatuh sama pesona seorang Newwiee. Gue suka saat dia tersenyum, ngobrol sama teman-temannya, tawanya, cemberutnya, pun dengan mulutnya yang menggembung ketika ia mengunyah makanannya.”

“Kenapa hal yang sebenarnya biasa aja, bisa jadi beda kalau dia yang ngelakuin? Gue suka semua tentang lo, semuanya.”

“Gue juga heran, kenapa ngeliat lo di kantin bisa jadi hal yang paling gue nantikan, tapi gue cupu, gak berani deketin lo,” Tay menggantungkan ucapannya, ia menghela napas sejenak “Terlebih saat gue tau lo suka sama Off.”

“Kamu gak tau kan segila apa aku galaunya saat aku tau kamu ngasih dia bekal untuk pertama kali, dan yang makan bekal itu aku.”

“Kadang juga aku mikir, aku tuh seneng makan makanan dari kamu, tapi dengan cara yang salah.”

“Kadang juga aku suka nanya ke diri sendiri, kurangnya aku tuh apa sampe kamu gak pernah sedikit pun mau ngelirik aku?”

“Cuma aku sadar, orang punya seleranya masing-masing.”

“Tapi, aku gak bohong, kalau aku sayang sama kamu Newwiee.”

New diam, jatungnya berdebar tak karuan mendengar semua penjelasan dari Tay tawan, selama itukah Tay memerhatikannya?

“Jangan salah nangkap ya, aku gak mau kamu terpaksa untuk balas perasaan aku. Gak usah, aku cuma mau ungkapin apa yang aku rasain, pure cuma itu.”

“Tay, aku boleh ngomong?” New bertanya.

Tay mengangguk patah-patah, sedikit takut dengan ucapan yang akan New berikan nantinya.

Tay menghela napas panjang “Aku udah siap patah hati, kamu boleh ngomong.” ucapnya.

“Sebelumnya, seperti yang udah aku bilang. Belum pernah ada yang berani menyatakan perasaan secara langsung ke aku, belum pernah ada orang yang segininya merhatiin aku.”

“Aku ngerasa, kayak apa ya, gak percaya? Gak percaya, ternyata ada lho orang yang sayang sama aku terlepas dari keluarga ku. Ternyata ada lho orang yang ingat semua hal tentang aku, bahkan aku sendiri aja udah lupa dengan topi kerucut itu.”

“Makasih ya, udah sayang.”

“Selama ngejauh dari kamu, jujur aku rindu. Kayak semua hal yang udah kita lakuin itu bikin aku benar-benar mau kamu.”

“Dan kemarin malam, aku marah, marah karena tau kamu jalan sama Mild, itu namanya cemburu kan, Tay?”

“Aku gak suka perhatian kamu teralih dari aku, aku gak suka ada yang dekatin kamu, tapi aku nyangkal perasaan itu.”

“Aku keukeh bilang ke diriku sendiri kalo aku gak suka sama kamu, padahal aku tau aku bohong.”

“Tay, aku gak mau kamu patah hati dan aku gak mau kamu pindah kelain hati.”

Setelah menyelesaikan kata-katanya, New benar-benar lega luar biasa, senyum manisnya terukir sempurna.

“Newwiee, kamu butuh pulang, lalu kusiapkan kamu rumah. Hanya ada dua pilihan, mau pulang sendiri atau ku jemput?”

New terkekeh mendengar penuturan Tay barusan, lalu kedua alisnya naik turun, sengaja membuat Tay lebih lama menunggu jawabannya.

“Awalnya mau minta di jemput, tapi kayaknya aku udah pulang sendiri deh kerumah ku.” New menjawab.

“Tay, jadi pacarku, ya?”

Tay membelalak “Lho kok aku yang di tembak?”

“Kenapa emangnya? Tinggal jawab mau atau enggak? Kalau jawabannya enggak, pintu keluar ada di belakang kamu.”

“Kalau jawabannya mau?”

“Tetap disini.”

“Aku mau disini, sekarang, kita sepasang kekasih?”

“Kok terselip tanda tanya di perkataan kamu barusan?”

“Memastikan.”

New tersenyum lagi, kali ini lebih indah, entah mendapat keberanian dari mana, yang lebih muda memangkas habis jarak keduanya, mempertemukan kedua bibir itu dengan pasangannya, saling menyesap dan melumat dengan kondisi jantung yang sedikit lagi mau copot dari tempatnya.

Bibir ranum nan manis milik New sekarang benar-benar menjadi candu seorang Tay tawan, remasan di bagian tengkuk menandakan jika yang lebih muda hampir kehabisan napas, membuat Tay rela tak rela pun melepas pangutan keduanya.

“Kita pacaran.”

“Karena udah ciuman?”

Setelah percakapan tak jelas yang terjadi, keduanya sama-sama terkekeh pelan.

•••

-Joya-

[Remaja]

•••

Motor milik Tay berhenti tepat di parkiran warung sate madura langganannya. Kedua anak manusia itu langsung berjalan, mencari kursi kosong untuk di duduki.

Setelah memesan dan menunggu pesanan sampai, Tay dan Mild asik menggobrol santai.

“Kalo Off tau lo bawa gue tanpa ngajakin dia, ngamuk pasti anaknya.” ucap Mild yang di angguki Tay sambil terkekeh pelan.

“Off cemburu mampus sama lo, heran gue padahal dia punya pacar.” Tay membalas.

“Off tuh cemburu karena kalo soal hati lo lari ke gue, sue.”

“Nah itu, kalo gue lari ke Off yang ada bukan di kasih solusi, gue di anjing-anjingin sama dia.”

Keduanya tertawa setelahnya, memang kalau membicarakan soal Off jumpol tak akan pernah ada abisnya.

“Tapi dua minggu yang lalu Off ada cerita kagak sama lu?”

Mild menggelengkan kepalanya bertanda ia tak tau apa-apa.

“Biasa, bokapnya pulang.”

“Oh pasti lo berdua balapan lagi kan setan!”

Tay terkekeh, membuat Mild memutar bola matanya malas. Tay dan Off ini memang selalu begitu, padahal dulu Off pernah koma di rumah sakit karena kecelakaan akibat balap liar.

“Lo gak liat aja muka tipsy dia kemaren kayak apa, ngakak banget gue kalo ngingetnya.”

Tay tertawa mengingat bagaimana lucunya wajah Off jumpol saat cowok bermata cipit itu dalam pengaruh alkohol.

Meski tak paham, entah mengapa hanya karena mendengar tawa Tay, Mild pun ikut tertawa.

Tay menoleh ke kanan, mellihat orang-orang yang mulai berdatangan memcari kursi tempat duduk.

“Liat, giliran gue dateng jadi rame.” Tay berucap.

“Dih, sapelu?”

“Tay tawan si pembawa berkah.”

Keduanya kembali tertawa, dengan tangan kanan Mild yang terulur untuk memukul lengan cowok berkulit tan yang berada di depannya.

Pandangan Tay terhenti pada seseorang yang baru datang, gelak tawanya perlahan terhenti, menatap iris kelabu itu dalam diam. New disana.

“Kita pulang aja, Kay.”

•••

-Joya-

[Jarak]

•••

Pena yang tengah di genggam oleh cowok manis itu menari-nari di atas buku tulis, mencatat materi penting yang tengah di terangkan gurunya.

Sesekali ia mengangguk paham, lalu senyum itu terbit tak kala jawabannya benar.

“Fungsi xilem tadi apaan New?” bisikan dari Tu membuat New menoleh ke samping, menatap gadis cantik yang menjadi teman sebangkunya itu.

“Mengangkut air ke atas daun.” New menjawab.

“Tadi yang bu Sika bilang tentang penebalan dinding? Gue lupa nyatetnya.” Tu kembali bersuara.

“Penebalan dinding pada endodermis yaitu pitakaspari. Udah ngerti belum?”

Tu mengangguk, mengulas senyum manisnya pada New “Udah, makasih ya New.”

New mengangguk, lalu kembali memerhatikan wanita paruh baya yang berada di depan kelas dengan seksama.

“Kok gengnya Off lewat kelas kita ya? Padahal kan kelas mereka di bawah.”

Samar-sama ucapan dari Kit dapat di dengar oleh New, cowok yang duduk tepat di samping jendela itu lantas melirik keluar, benar saja, New dapat melihat wajah Bright yang tengah tertawa disana.

Hingga akhirnya, iris kelabunya menangkap manik hitam yang tengah menatapnya dengan begitu dalam, New tenggelam pada sang pemilik manik itu beberapa waktu, hingga akhirnya ia tersadar, dan langsung memutuskan kontak mata yang terjadi tadi.

•••

Bel istirahat sudah bebunyi sekitar tiga belas menit yang lalu, New mengunyah sandwich miliknya dengan santai, sembari membaca novel yang baru di belinya dua hari yang lalu. Hanya sebuah novel remaja yang tengah hangat di perbincangkan, kisahnya pun ringan.

Tentang dua anak manusia yang bingung dengan perasaannya sendiri, dan cara mereka melawan ketakutan masing-masing untuk memulai sesuatu yang terasa asing.

New melahap potongan terakhir sandwichnya, mengunyahnya dengan perlahan, New mengasingkan diri ke perpustakaan, ia terlalu malas untuk berbicara, karena sejujurnya, membaca dan sepi itu pelarian yang paling sukses membuat dirinya merasa jauh lebih baik.

Cowok manis berkulit putih itu meletakkan pembatas di novelnya dan meletakkan novel itu di atas meja, tangan kanannya meraih sebotol air mineral, meneguknya hingga tandas, lalu beranjak dari tempatnya bersamaan dengan bel bertanda berakhirnya jam istirahat bebunyi di seluruh penjuru sekolah.

Ia berlenggang santai keluar dari perpustakaan, berpapasan dengan cowok jangkung bermata sipit yang melempar senyum manis padanya.

“New.” sapaan itu terdengar begitu ramah.

“Kak Off.” New membalas dan mengulas senyum tipis.

“Gue deluan ya Kak.” ucapan New di angguki oleh Off.

Sedangkan seseorang yang kehadirannya tak di anggap pun hanya bisa menatap nanar tubuh si manis yang kian menjauh, lalu hilang di balik tembok.

Tay tersenyum kecut, New benar-benar tak ingin melihatnya lagi.

“Dih galau, belum juga berjuang lu Tay.”

Tangan kanan Tay lantas memukul lengan teman karibnya “Gimana mau berjuang kalo dia aja gak mau gue perjuangin?”

•••

-Joya-

[Gue suka]

•••

Kerutan di bagian dahi si manis tercipta tak kala iris kelabunya menangkap seseorang berjaket hitam yang tengah berdiri membelakanginya, di depan teras rumahnya pula, lengkap dengan motor yang sangat New kenal.

New diam saja, berjalan masuk kedalam rumah seakan menganggap kehadiran orang itu tak ada. Sampai tangannya di cekal, ingatan itu kembali hadir, pertama kali mereka bertemu, Tay juga begini sebelumnya.

“Gue mau ngomong.” cowok berkulit tan itu berucap.

“Gue gak mau ngomong sama orang tukang bohong.” balas New.

“Demi apapun gue gak akan bohong lagi.”

New tampak memutar bola mata malas, lalu beralih menatap pergelangan tangannya yang masih di genggam erat oleh Tay.

Tay yang sadar akan hal itu pun langsung menjauhkan tangannya dari New, lalu berucap “Please New, dengerin gue sekali ini aja.”

“Enggak, sekali lo bohong, bakalan ada kebohongan selanjutnya, dan gue gak mau lagi ngomong sama lo.”

Tay menghela napas berulang kali “Tapi kali ini, gue rubah kalimat tadi, gue mau memaksa lo untuk dengerin penjelasan gue.”

“Engg-”

“Gue suka sama lo, dari pertama kali gue liat mata lo, Newwiee.”

New diam, tubuhnya menegang seakan kesambar petir di siang bolong, bukan ini yang ia ingin dengar. New tak menginginkan pengakuan ini, terlebih ia baru saja patah hati karena Off.

“Tapi lo tau gue suka sama temen lo! Harusnya lo sadar, gue gak suka sama lo Tay tawan. Gue gak mau ngeliat lo lagi.”

•••

-Joya-

[Salah siapa.]

•••

Setelah mengantar Tu pulang, cowok itu tak langsung pulang kerumahnya, ia malah mengendarai mobilnya tanpa arah.

Sesak itu terasa, semua yang ia pikirkan itu ternyata hanya sebuah kebohongan? Iya kan, Tay dan Off berbohong.

“Bodoh banget lo, Newwiee.” gumam New.

Disini, sebenarnya New marah kenapa? Karena sejujurnya ia bingung dengan semua. Ia kecewa karena di bohongi itu benar, namun marah pada siapa, dia juga tak tau.

Mungkin, ekspektasinya yang terlalu tinggi, sampai-sampai tanpa sadar ia melukai diri sendiri. New bingung, kenapa kekesalannya lebih condong ke Tay?

Dari awal mereka bertemu dan saling tatap, semua terasa biasa saja bukan? Namun mengapa perasaan kecewa ini harus ada?

Sebenarnya, untuk sekarang, dia suka siapa?

•••

-Joya-

[Tinggal bilang, dan gue tanggung jawab.]

•••

Mobil putih bernama nong polar milik New melaju dengan kecepatan sedang, setelah mengantarkan motornya, Tay langsung mengambil alih menjadi supir pribadi New. Begitu katanya.

New lantas dengan cepat mengiyakan saja, karena sejujurnya New memang sangat malas menyetir.

Lagu milik Pamungas berjudul nice day mengalun, senyum tipis itu terukir di wajah si manis, bibirnya bergerak mengikuti lirik demi lirik yang terputar.

“And i couldn't feel a thing, and everyone, they're home.” New bersenandung pelan.

“Lo tau lagunya?”

“Ya tau lah gila aja enggak.” balas New.

“Gue juga suka anjrit.”

“Bisa sama gitu ya.”

Tay terkekeh, ikut bernyanyi bersama New, sesekali kepala keduanya bergerak kekanan-kekiri. Begitu menikmati lagu itu.

Tay dan New saling menoleh, menatap manik masing-masing, senyum keduanya terukir menghiasi wajah, lalu kembali melajutkan lirik lagu secara bersamaan.

“So would you just take me and take me and take me its been a long day, its a nice day.”

Lalu tawa keduanya pecah seketika, perasaan bahagia itu hadir begitu saja, tanpa di duga dan di rencana. Mengapa bersama Tay bisa semenyenangkan ini?

“Lagunya Pamungkas emang gak pernah mengecewakan.” Tay ambil suara.

New mengangguk setuju “Bener banget, tapi nomer satu di gue monolog, lo apa?”

“Modern love.”

•••

“Gue belum pernah pacaran lho.”

“Sama kalo gitu.”

New tampak menyipitkan matanya, meneliti raut wajah Tay yang begitu tenang dengan pandangan lurus ke depan, masih mengendarai mobil itu dengan kecepatan sedang.

“Ardhito pramono, first love, tau gak?”

“Gak begitu tau tapi pernah dengar Kit nyanyi.”

“Ya seperti judulnya, tentang cinta pertama. Gue tuh selalu mikir, cinta pertama gue siapa ya?” yang lebih tua mulai bercerita.

“Ngapain di pikirin, nanti datang sendiri.” New menjawab begitu santai.

“Lo pernah bayangain gak? Kalau jodoh lo itu cinta pertama lo?”

“Pernah, ini lagi ngebayangin, cinta pertama gue kak Off, bisa aja dia jodoh gue.”

“Gue lagi mikirin, gimana ya kalau cinta pertama gue, orang yang ada di sebelah gue?”

New terdiam, mencerna ucapan Tay pelan-pelan. Masih terlalu kaget dengan keadaan.

“Tay, jangan begitu nanti gue baper beneran sama lo gimana?”

Tay menoleh, menyungging senyum tipis, tangan kirinya perlahan terulur untuk mengacak pelan rambut halus New.

“Tinggal bilang, nanti gue bakal tanggung jawab.”

•••

Sekitaran dua puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya mobil yang di kendarai Tay telah terparkir rapi di samping warung Abah

Keduanya langsung membuka pintu dan keluar dari nong polar, New masih terkekeh mengingat cerita konyol Tay yang sangat tak masuk akal manusia, lucu pokoknya.

“Lo emang aneh.” New bertaka sembari berusaha menghentikan tawanya.

Tay tak menanggapinya, ia berjalan masuk kedalam warung, bersama New, mengambil kursi untuk cowok manis itu terlebih dahulu, barulah ia menarik kursi untuknya sendiri.

Guns menatap Tay dengan senyum menyebalkannya “Cie.”

“Cie apaan?”

“Gak papa, cuma cie doang.” Guns berkata.

“New mau mie rebus pake cabe 6?” Gun bertanya dengan ramah.

New lantas mengulum senyum tipis, belum juga suaranya keluar, ucapan Tay langsung terdengar “Dua ye, gue cabenya 6. New gak pake cabe.”

“CIEEEEE PERHATIAN BANGET DAH ABANG.”

Teriakan Bright menimbulkan gelak tawa teman-temannya, termasuk Off. Seseorang yang selalu menjadi pusat bagi New.

“Tay menuju bucin.” sahut Mild.

“Judulnya, cintaku terbit karena memakan bekal dari si manis setiap hari.” sambung Guns.

Air wajah New langsung berubah setelah mendengar ucapan Gun smile barusan, ia langsung beralih menatap Tay dengan tatapan bertanya.

Guns yang sadar akan kesalahannya pun langsung memukul bibirnya berulang kali. Sedangkan Tay dan Off, keduanya terdiam.

“Maksud Guns itu, bekalnya bagi dua New.” ucap Gun menengahi.

New beralih menatap Gun, kembali menampilkan senyumnya, sangat terkesan di paksakan. Ponsel milik New berdering, sumpah demi apapun New sangat bersyukur, siapapun yang meneleponnya, New bakalan mengucapkan terimakasih banyak nanti.

Ia lantas meraih benda pipih yang berada di saku seragam, dengan cepat menggeser tombol hijau.

“Oh Tu, oke gue jemput. Tunggu disana ye lu.”

Dan sekarang, New punya alasan jelas untuk pergi dari sini. Begitu memuakkan.

•••

-Joya-