[Nirmala]
•••
“Terserah kamu lah, aku capek.”
Kata-kata terakhir yang terucap dari mulut seorang Tay tawan masih menghantui New sejak sepekan yang lalu. Bak kaset rusak yang terputar terus-menerus di kepalanya, helaan napas terdengar dari pria manis berkulit putih lengkap dengan poni rapi yang menutupi dahi.
Tangan kanannya beralih menutup laptop yang berada di depan mata, perlahan iris kelabu itu mulai menatap ponsel yang sedari tadi tak berbunyi barang sekejap saja.
Terhitung seminggu sang kekasih sama sekali menghilang, tak bertukar kabar, bahkan untuk sekedar menyapa saja keduanya sama-sama sungkan. Padahal ia disini begitu menantikan bagaimana keadaan pria berkulit tan dengan bulu mata lentik itu selama di kota orang.
New mengambil benda pipih berwarna midnight green yang berada di samping laptopnya, jemarinya mulai menari-nari disana, kalimat itu sudah terketik rapi, lengkap dengan emoticon berbentuk hati di ujungnya, namun untuk menekan tombol kirim, ia ragu, Tay tawan kalau marah memang selalu mendiamkan orang begitu lama.
Terhitung lima menit New menimbang, akhirnya ia memutuskan untuk meletakkan kembali ponselnya di atas meja, menyesap kopi miliknya dengan tenang. Iris kelabu itu mengalihkan fokusnya ke luar ruangan, menatap para pengendara berlalu-lalang menembus hujan deras yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti.
“Tay apa kabar?” pertanyaan itu selalu di sematkan di setiap harinya, karena sebenarnya rindu ini menginginkan titik temu.
“New, mau pulang bareng gue?” suara itu lantas saja membuyarkan semua lamunan si manis, menoleh ke kanan, menatap pria bermata sipit yang mengulas senyum tipis padanya.
New menggeleng pelan, membalas senyum teman paling akrab Tay “Gue bawa mobil kok, Off.” jawabnya.
“Jangan terlalu lama deh pulangnya, nanti dimarahin Tay lho.” gurauan Off membuat New terkekeh pelan, setelahnya pria jangkung itu berjalan menjauh lalu menghilang di balik tembok bercat putih tulang.
Cafe bernama Nirmala milik New masih begitu ramai pengunjung, banyak remaja yang kesini hanya untuk sekedar berbincang dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya, atau ingin foto-foto ala selebgram, ada pula yang mengerjakan tugas, bahkan pacaran. Ia melirik jam yang melingkar apik di tangan kirinya, pukul sembilan malam. New tersenyum tipis tak kala mengingat perdebatannya bersama Tay mengenai masalah memakai jam di tangan mana.
New tentu saja menjawab tangan kiri, dan Tay membalas orang keren memakainya di tangan kanan. Perdebatan-perdebatan kecil yang begitu melekat di ingatan membuat perasaan rindu itu semakin membuncah saja.
Bunyi benda pipih yang tergeletak di atas meja itu tedengar di telinganya, tangan kanannya dengan malas mengambilnya, setelah melihat siapa nama penelpon yang berada di layar, matanya langsung membelalak, senyum manis itu terukir begitu indah, dengan senang hati ia menggeser tombol hijau.
“Halo.” suara yang di rindukannya terdengar, menimbulkan percikan bahagia tiada tara.
“Halo, Tay.” New balik menyapa.
“Besok aku pulang, jam delapan malam, boleh kita ketemu, aku mau ngomong sama kamu?”
•••
Langkah itu terhenti, begitu matanya menangkap seseorang pria manis dengan kemeja biru muda oversize-nya yang berjarak beberapa meter darinya. Senyum manis terukir di wajah yang lebih muda, lambaian tangannya pun terlihat, pemuda dengan parka hitam itu pun kembali melangkah, mendekati sang kekasih, rasa rindu itu sudah pasti ada.
Tay merentangkan tangannya membuat New langsung masuk kedalam pelukan hangat yang seminggu ini tak ia rasakan. Menghirup aroma menenangkan Tawan-nya.
Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya, hanya helaan napas dan kecupan di bagian pucuk kepala New yang berulang kali Tay layangkan.
“Kangen.” cicit New membuat Tay terkekeh pelan, semakin mengeratkan pelukannya, membiarkan beberapa pasang mata menatap mereka yang tengah berpelukan di bandara.
“Pulang ke kost-an aku aja, ya?” suara New kembali terdengar, nadanya pun begitu lembut, membuat Tay tak kuasa menolaknya, lantas ia mengangguk sebagai jawaban.
Keduanya memutuskan untuk beranjak dari bandara, berjalan menuju mobil New berada, lalu kembali beradu argumen tentang siapa yang akan mengemudi. New keukeh meminta agar dia saja yang menyetir, mengingat Tay baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun tolakan mentah-mentah dari Tay tawan membuat New menghela napas pasrah, mengalah jalan satu-satunya.
Setelah perdebatan tadi, keduanya sama-sama diam, New sedikit kesal dan Tay tampak begitu santai mengendarai mobil berwarna putih tulang milik sang kekasih. Lagu milik George benson berjudul nothing's gonna change my love for you terdengar, mengalun begitu indah.
Tay tau betul betapa New menyukai lagu ini, betapa New sangat hafal lagu ini, dan betapa bahagianya ia ketika menyanyikan lagu ini.
Nothing's gonna change my love for you.
You oughta know by now how much I love you.
The world may change my whole life through.
But nothing's gonna change my love for you.
New menoleh tak kala Tay bersenandung, menyanyikan lirik itu dengan suaranya, seulas senyum tipis terukir di wajah si manis setelahnya. Sedetik kemudian, kesunyian tadi berganti dengan suara keduanya, saling bernyanyi bersama, melempar senyum bahagia satu sama lain.
Mobil yang di kendarai oleh pria berkulit tan itu terhenti tak kala lampu merah menyala, menoleh ke kiri, menatap sang kekasih telah beberapa kali menguap, apa kekasihnya kurang tidur hingga ia sudah mengantuk di jam setengah sembilan?
Tangan kiri Tay terulur untuk mengelus dengan begitu lembut rambut New, membenarkan poni lucu yang menutup dahinya, “Tidur aja, nanti aku bangunin.” Tay berujar.
“Nanti yang nemenin kamu ngobrol di jalan siapa? Lagian masih jauh juga sampe ke kost-an aku.” jawab New.
Tay kembali menunjukkan senyum tipisnya “Tidur aja ya, sayang.”
Wajahnya memanas, semburat merah di pipinya tertutup dengan gelapnya keadaan mobil mereka saja. Namun kekehan Tay terdengar, kekasihnya selalu begini, selalu tersipu malu.
“Jangan ketawa kamu, aku malu tau Tay.” New menggerutu kesal, menoleh ke kiri, membuat kekehan Tay semakin terdengar di telinganya, New lantas memejamkan matanya secara perlahan, ia sungguh mengantuk karena kemarin malam tidak bisa tidur sama sekali.
Pria berumur dua puluh lima tahun berkulit tan dengan alis tebalnya itu kembali melajukan mobil yang di kendarainya ketika lampu berwarna merah berubah menjadi hijau.
Sesekali menoleh ke samping, memastikan jika pujaan hati benar-benar tertidur dengan nyaman, kedua matanya tertutup rapat, napasnya terdengar begitu teratur, dan pemandangan New tertidur memang bukan main indahnya jika di pandang lama-lama.
Tay ingat betul bagaimana pertama kali ia bertemu dengan New di semasa sekolah menengah akhir, bagaimana pertama kali iris hitamnya menangkap iris kelabu berseri milik adik kelasnya ini.
Hanya New satu-satunya murid baru yang berani bertanya kepada Tay sedangkan yang lain bungkam karena takut padanya. Hanya New yang berani menjawab ucapan Tay ketika yang lain menundukkan kepalanya menghindari kontak mata darinya.
“Kakak ini bisu ya? Saya tanya sedari tadi kok diam saja?”
Senyum tipis itu terukir ketika ingatannya tentang kejadian di masa lampau kembali hadir, hanya Newwiee, Newwiee dengan keberaniannya, Newwiee dengan kepintarannya, Newwiee dengan segala hal yang bisa membuat Tay bingung bagaimana cara ia mendeskripsikan kekasihnya ini.
Mungkin satu kata yang paling cocok itu adalah, Indah. New indah secara fisik dan pribadinya. Sejak pertama kali kedua mata mereka saling beradu, saat itu juga Tay tau kalau dia sudah jatuh, jatuh pada pesona adik kelasnya, Newwiee thitipoom.
Tay ingat pertama kali ia menyatakan perasaannya pada New, Tay ingat pertama kali New menangis di pundaknya, pertama kali New mengajak Tay bertemu Ibunya, pertama kali New bercerita tentang keluarganya, Tay ingat semuanya, mungkin aneh, karena memang Tay itu pelupa sekali, namun entah mengapa kalau oknumnya New, ia bisa ingat kejadian apa saja, semuanya, asal itu tentang Newwiee-nya.
Mobil yang ia kendarai terus melaju membelah jalanan yang belum juga sunyi, melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit, pantas saja masih ramai.
Tay kembali menoleh ke kiri, menatap wajah begitu tenang milik Newwiee-nya. Lalu ia tersenyum lagi, Tay begitu suka memerhatikan New ketika pria itu tertidur, Tay suka bentuk wajah New, Tay suka dengan bulu mata lentik lelaki ini, Tay suka tahi lalat di ujung hidung mancungnya, Tay suka bibir merah mudanya, semuanya, Tay suka segalanya tentang New.
Namun, namanya juga manusia, tak ada yang sempurna, terlepas dari segala hal baiknya, New pasti juga punya sisi yang tak baik. Pria manis berkulit seputih susu itu selalu mendahulukan kepentingan orang lain, itu baik, cuma terkadang jadi merepotkan dirinya sendiri. New tipe manusia yang sungkan untuk berkata tidak.
Tay ingat pertama kali mereka bertengkar karena New membatalkan secara sepihak acara makan malam mereka yang sudah di rencanakan jauh-jauh hari, Tay masih begitu ingat bagaimana dirinya menunggu kehadiran New yang tak kunjung menampakkan dirinya di hadapan Tay.
Terhitung tiga jam ia menunggu sampai akhirnya sebuah notifikasi dari sang kekasih muncul di layar ponsel, tulisannya begini.
'Tay maaf ya, tadi Kay minta tolong aku buat nemenin dia bawa Mamanya kerumah sakit. Maaf ya Tay.'
Kadang Tay bingung sendiri, ini sifat baik atau buruknya seorang New? Tidak sekali dua kali begini, terlampau sering malahan.
Namun balik lagi, segimana marahnya ia pada New, ketika matanya menangkap iris kelabu itu redup, Tay sudah kalah.
Tay juga ingat pertama kali ia sakit semasa kuliah karena tugasnya begitu menumpuk hingga ia tidak tidur selama tiga hari dan berakhir dengan jatuh sakit. Tay ingat bagaimana paniknya New ketika itu. Bagimana isakan pria itu terdengar ketika mengompres dahinya, bagaimana lembutnya suara New ketika menanyakan sesuatu padanya, kembali pada bahasan awal, Tay ingat semuanya.
Semesta memang tau, jika Tay butuh tempat untuk mengadu, jika Tay butuh bahu untuk bersandar, jika Tay butuh orang seperti Newwiee. Karena awalnya, menurut Tay jatuh cinta itu sesuatu hal yang mengerikan, sesuatu hal yang tidak mungkin ia rasakan, membagi kesedihan bersama? Bukan Tay banget. Namun, lagi-lagi iris kelabu itu membuat semua hal buruk yang ada di kepalanya hilang seketika.
Perlahan, tangan kirinya terulur untuk meletakkan tangan New di pahanya, sesekali mengelus punggung tangan halus milik sang kekasih dengan begitu pelan, ia tak mau lekaki manis itu terusik dalam tidurnya. Kedua kelopak mata itu mengerjap pelan, memamerkan iris kelabunya yang begitu indah di pandang, “Kamu sudah makan?” pertanyaan dengan nada serak milik New terdengar di telinga Tay.
Lantas membuat yang lebih tua menoleh sebentar, “Sudah, kebangun gara-gara aku ya?”
New menggeleng pelan lengkap dengan senyumannya, membiarkan ibu jari Tay terulur mengelus tangan kanannya yang masih berada di paha lelaki berkulit tan itu.
New bahagia, perlakuan Tay begini terlampau manis untuknya, terlebih dengan watak Tay tawan yang begitu pendiam dan susah mengutarakan perasaannya.
Berbicara tentang Tay tawan, tak akan lengkap jika tidak membahas tentang wajah datar dan tatapan tajamnya, jatuh cinta pada Tay tawan itu sebuah hal yang tak New bayangkan sebelumnya, berada di dekat Tay tawan itu awalnya sebuah hal yang ia hindari, dan menjadi kekasih seorang Tay tawan selama enam tahun terakhir merupakan hal yang sama sekali tak pernah terbesit dalam kepalanya.
Namun, semesta memang punya caranya sendiri untuk menyatukan dua hati.
Tay itu bukan pria romantis, bukan pula pria humoris, Tay bukan pria yang selalu memberi hadiah ketika New ulang tahun, bukan juga orang yang selalu mengucapkan selamat hari jadi untuk hubungan mereka, Tay itu beda, dia punya caranya sendiri dalam menunjukkan kasih sayangnya, dia punya caranya sendiri dalam memperlakukan orang yang ia anggap istimewa di hidupnya.
Dan Newwiee begitu bahagia karena dia masuk kedalam urutan yang Tay tawan cintai.
“Kenapa ngeliatin aku terus?” Suara milik Tay membuyarkan lamunan si manis, New menggeleng beberapa kali lalu mengulurkan tangan kanannya untuk mengelus pipi sang kekasih, “Kumis kamu mulai tumbuh, nanti cukur ya” ucap New membuat Tay mengangguk setuju.
Sekitar empat puluh menit, akhirnya mobil milik New sudah terparkir rapi di depan kost-annya. Keduanya turun dan langsung masuk kedalam, Tay langsung mendaratkan tubuhnya di kasur empuk milik New.
Memejamkan matanya secara perlahan, hingga kedua kelopaknya kembali terbuka tak kala suara decitan pintu kamar berbunyi, menampilkan Newwiee dengan handuk berwarna putih bersih yang berada di tangan kanannya, lalu si manis berucap “Mandi dulu gih”
Tay beranjak dari tempatnya, mengampiri sang kekasih, kembali memeluk tubuh New, kembali mengecup pucuk kepala New, dan kembali menghirup aroma vanila menenangkan pikirannya.
“Kamu udah gak marah sama aku?” New memberanikan diri untuk bertanya.
Tay masih setia memeluknya, namun sebuah helaan napas terdengar “Kita bahas nanti ya, aku mandi dulu.”
New mengangguk, membiarkan Tay berjalan meninggalkannya, menunggu pria berkulit tan itu menyelesaikan kegiatannya terlebih dahulu, ia mendaratkan bokongnya di pinggir kasur, menghembuskan napas berkali-kali, debaran jantungnya kembali hadir, membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi di hubungannya dan Tay tawan, New tak siap.
“Sayang.”
Perlahan, kedua telapak tangan yang menutupi bagian wajahnya menurun, ia menengadah menampilkan wajahnya dengan mata yang memerah, membuat dahi yang lebih tua mengerut heran, menatap dalam-dalam wajah sang kekasih.
“Newwiee kenapa nangis?” suara Tay begitu lembut, menautkan jemari mereka berdua, pertahanan New runtuh, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia menangis di hadapan Tay tawan. Pria berkulit tan dengan kaos hitamnya itu lantas duduk di samping New, memeluk si manis dan mengelus punggungnya, membiarkan New menangis sampai ia tenang dan berhenti sendiri.
“Kamu masih marah sama aku?” yang lebih muda kembali bertanya setelah merenggangkan pelukan mereka, Tay masih terlihat begitu tenang, masih diam dan itu membuat New takut.
“Newwiee minta maaf, sama Tawan.”
“Emang tau salahnya dimana?” Tay bertanya, iris hitamnya masih menatap New dengan begitu dalam.
New mengangguk dua kali, menyerka air matanya yang terus mengalir “Tau, aku bohong ke kamu, aku gak jujur sama kamu. Aku minta maaf.”
Yang lebih tua kembali diam, tangan kanannya terulur untuk merapikan poni New yang menusuk kelopak mata sang pujaan hati, New yang gelisah karena bungkamnya sang kekasih pun lantas memegang tangan kanan milik Tay “Tawan.” rengekan itu terdengar setelahnya, “Jangan diem aja, aku takut.”
“Kamu kurusan.” Tay berucap.
“Jangan ngalihin topik Tay, kalau kamu masih marah, aku bakalan terus-terusan ngerasa bersalah.”
“Aku kangen banget sama kamu, tapi mau segimana kamu peluk, mau segimana kamu cium, kalau kamu masih marah, aku gak tenang.”
“Aku minta maaf, seharusnya aku jujur sama kamu, tapi aku takut kamu bakalan marah sama aku, tapi nyatanya aku bohong kamu jadi lebih marah, aku minta maaf karena gak bisa nganter kamu ke bandara padahal aku udah janji sama kamu, tapi aku ingkar.”
“Tawan, jangan putusin Newwiee, ya.”
Iris kelabu itu kembali berkaca-kaca, menatap sang kekasih dengan perasaan bersalah, New paham betul letak salahnya dimana.
Namun yang lebih tua masih saja diam seribu bahasa. Mungkin, jika di bahas, masalah yang terjadi antara mereka itu bisa di bilang sepele? Tay sudah berkata jika ia tak suka dengan kedekatan New dan Luke.
Terlebih Tay tau jika Luke menyukai kekasihnya, sehari sebelum kepergian Tay ke Medan untuk perkejaannya sebagai seorang fotografer, iris hitamnya menangkap seseorang yang begitu ia cinta tengah berada di depan teras kost-an milik New, bersama Luke. Tay awalnya diam saja, memerhatikan kedua anak adam yang tengah berbincang ringan karena terselip kekehan yang terdengar di telinganya, Tay bukan orang yang cemburuan tak jelas, sampai batas kesabarannya menipis tak kala matanya menangkap Luke mencium New, kekasihnya, tepat di bagian bibir. Setelah kejadian itu, Tay benar-benar mendiami New, tak mengabari, ia benar-benar hilang selama seminggu.
Sampai malam ini, keduanya kembali bertemu, saling memeluk, bertatap, mengutarakan kerinduan, namun masih terselip perasaan tak mengenakkan di antara keduanya. Tay memang sudah tampak biasa saja, namun New sadar, ia masih perlu mengucapkan kata maaf.
Tay beranjak dari tempatnya, berjalan membuka jendela kamar New, rintik hujan mulai turun membasahi bumi, ia duduk di sofa panjang yang sengaja New letakkan tepat di depan jendela, lalu iris hitamnya menoleh ke New, mengisyaratkan agar pria manis itu duduk di sebelahnya.
New menurut, berjalan mendekat dan mendaratkan bokongnya di sebelah Tay, mata keduanya saling beradu untuk benerapa waktu, lagi-lagi New ingin menangis karena Tay tak kunjung bersuara. Tay memang pendiam, tapi diamnya kali ini begitu berbeda.
“Kamu tau kan aku benci banget sama sama orang yang bohong?” ucap Tay membuat New mengangguk pelan, “Lalu kenapa bohong New? Kenapa bilangnya kamu lagi di rumah Ibu dari sore? Padahal kamu di kost-an.” yang lebih tua melanjutkan ucapannya.
“Awalnya aku memang mau kerumah Ibu, tapi, begitu aku buka pintu, Luke ada disana. Dia bilang mau ngomong sebentar, aku gak tau dia bakalan nyium aku.”
“Tapi itu kejadiannya malam Newwiee, kamu bilang ke aku, kamu kerumah Ibu dari sore.” tandas Tay.
“Aku, aku gak mau kamu menyempatkan diri untuk nganterin aku kerumah Ibu, aku gak mau ngerepotin kamu, karena kalo aku bilang aku pergi malam. Kamu bakalan maksa buat nganterin aku, kan? Tay aku gak bakal ngebelain diriku lagi, aku tau aku salah, aku minta maaf.”
“Minta maaf kalau di lakuin lagi, ya, untuk apa?”
New menggeleng cepat, memegang kedua tangan Tay, berusaha meyakinkan yang lebih tua jika ia benar-benar meminta maaf, “Enggak, gak bakal di lakuin lagi. Aku gak mau kamu marah, Tawan.”
“Kamu kurusan.”
“Kamu jangan ngubah topik pembahasan dulu.”
“Aku serius, kamu kurusan.” Tay kembali berkata, kali ini benar, New memang terlihat lebih kurus dari seminggu yang lalu, pipinya pun tampak lebih tirus.
“Maaf. Newwiee minta maaf.”
“Iya di maafin, sini peluk.”
Mata New mengerjap beberapa kali, senyumnya terukir indah, menerima pelukan Tay tawan dengan senang hati. Menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kekasih, menikmati angin malam yang masuk lewat vetilasi dan jendela yang sengaja di buka oleh Tay.
“Jangan marah lagi, aku takut banget sama kamu kalo lagi marah. Serius aku takut banget Tawan.”
“Jangan bohong makanya” Tay menjawab sembari mengelus rambut sang kekasih.
“Gimana hari kamu seminggu di Medan?” New mulai membuka obrolan baru. Tay tersenyum begitu tulus, pertanyaan sederhana yang memang selalu terucap jika mereka berjumpa, menghambiskan waktu bersama, hanya sebuah pertanyaan bagaimana hari ini? Namun, tetap balik lagi, jika yang bertanya Newwiee, bakalan jadi beda arti.
“Biasa aja, kamu, gimana?”
“Gak biasa-biasa aja. Aku gak dapat kabar kamu, gak tau keadaan kamu gimana, gak tau kamu lagi sedih atau bahagia.” jawab New.
“Maaf juga ya, udah hilang.”
New mengangguk, senyum manisnya tak kunjung pudar dari wajahnya, “Kamu tau gak, kemarin malam tuh sebelum kamu nelepon aku” yang lebih muda menggantungkan ucapannya, mengubah posisi menjadi bersandar pada dada Tay, memainkan jemari lelaki berkulit tan itu dengan santai, sedangkan Tay hanya diam, menerima semua perlakuan New dengan senang hati.
“Aku udah ngetik, mau ngirim pesan ke kamu. Tapi aku takut karena kamu kan kalo lagi marah gak pernah mau di gangguin.”
New menengadah, menatap kekasihnya “Tay, sayang gak sih sama aku?”
Tay terkekeh mendengarnya, harus kah ia menjawab pertanyaan tak jelas dari pria manis berponi lucu ini?
“Kenapa bertanya kalau kamu udah tau jawabannya?” Tay balik bertanya.
“Memastikan, kamu ingat gak pertama kali kamu bilang suka sama aku?”
Tay semakin menundukkan kepalanya, hingga berada di telinga New, lalu berbisik “Aku ingat semua tentang kamu, tentang kita.”
New tak bisa menyembunyikan senyumnya, semburat merah di pipi si manis kembali hadir mendengar kata-kata Tay tawan, “Newwiee malu banget.” New berujar pelan.
“Newwiee, terimakasih udah selalu ada untuk aku, terimakasih untuk kebahagiaan tiada tara yang kamu berikan, terimakasih sudah menjadi orang tempat aku untuk berpulang,” yang lebih tua kembali berbisik, namun kalimat ini lebih panjang dari yang sebelumnya, Tay sengaja menggantung ucapannya, membiarkan New yang terus berkata jika ia sedang malu, lucu sekali.
“Newwiee, i love you.”
“Tawan aku malu banget, serius.”
Tay terkekeh lagi, menggerakkan tubuhnya dan tubuh New kekanan dan kekiri dengan perlahan, mengecup berkali-kali pipi kiri sang kekasih “Newwiee, i love you.” bisikan itu kembali terdengar bersamaan dengan rintikan hujan yang turun membasahi bumi.
New menoleh kebelakang, menengadahkan kepalanya, menatap iris hitam itu begitu dalam, “Cium aku” lirihan New terdengar.
Senyum tipis itu terukir menghiasi wajah tampan yang lebih tua, perlahan ia mengikis habis jarak diantara mereka, mempertemukan kedua bibirnya dan New, membiarkan debaran jantung yang mengila, Tay tersenyum di sela cumbuannya, memangutnya dengan penuh perasaan, hingga remasan jemari New di tangan Tay menandakan jika lelaki manis itu sudah kehabisan napas.
“Newwiee, yang harus kamu tau, perasaan aku gak akan pernah pudar ke kamu, selamanya.”
—Kisah ditutup.
•••
-Joya-