Joya.

Ibunya Newwiee.

[Ragu]

•••

Sepertinya jika sedang berada di dalam mobil tak lengkap jika musik tidak di nyalakan, sama hal-nya yang sedang New lakukan sekarang, memilih lagu yang ingin dirinya dengar, dan harus Tay juga suka.

Hingga pilihannya jatuh pada lagu milik Sezairi berjudul It's you mengalun dengan indah mengisi kesunyian yang tercipta diantara dirinya dan sang kekasih.

“Tay.” New memanggil, nadanya lembut sekali.

Pria yang tengah menyetir dengan kecepatan lamban itu menoleh ke arah sang kekasih, lalu menyunggingkan senyum simpul. Tay senyap.

Perlahan, yang lebih muda meletakkan tangannya di atas paha pria berkulit tan itu, mengelusnya dengan begitu pelan, “Ada yang ganggu pikiran kamu kah?”

Tay menggeleng sebagai jawaban, namun tangan kirinya menggenggam tangan sang kekasih, mengelus punggung tangan pria berkulit seputih salju itu dengan sayang.

“Gimana kalau kita suatu saat pisah?”

Helaan napas si manis terdengar, “Udah gitu jalannya mau bilang apa, kan? Tugas kita sekarang ya jalanin aja yang terjadi saat ini. Tapi kalau boleh sih aku maunya sama kamu terus.”

“Oh begitu.”

Setelahnya mereka kembali diam.

“Tay, kamu gak bakalan ninggalin aku kan?”

“Kenapa pertanyaan kamu itu mulu sih.” ketus yang lebih tua.

“Kok kamu jadi marah?”

“Siapa yang marah?”

“Nada bicara kamu berubah.”

Pria berkulit tan itu perlahan menepikan mobil yang di kendarainya, menoleh ke arah sang kekasih dengan tatapan yang sebelumnya tak pernah New lihat.

“Kamu tuh ragu sama aku? Kenapa pertanyaan kamu itu-itu mulu?”

“Aku cuma bertanya Tawan.”

“Kamu ragu, ragu akan rasa sayang aku, ragu akan kesetian aku, ragu sama semua hal yang ada pada aku. Kalau masih ragu kenapa bilang mau saat aku nyatain cinta ke kamu?”

Si manis terdiam untuk beberapa saat, karena sejujurnya ia belum pernah berada di posisi sekarang, mereka memang pernah bertengkar namun sebelum-sebelumnya masih batas wajar, belum sampai bawa-bawa masalah perasaan yang begitu rumit ternyata.

“Maaf kalau pertanyaan aku bikin kamu g-”

“Maaf, besok pertanyaan ini bakal keluar lagi kan dari mulut kamu?”

“Tawan.”

“Apa? Aku salah?”

“Aku mau pulang, sekarang.”

Setelah ucapan New terlontar, keduanya kembali dalam keadaan diam, Tay menuruti ucapan kekasihnya, melajukan mini cooper itu dengan kecepatan tinggi, melupakan jika manusia yang berada di bangku penumpang begitu membenci sekaligus begitu takut di bawa ngebut.

•••

-Joya-

[Olphie]

•••

Sepasang sepatu itu terlihat menginjakkan tempat parkir di sebuah coffe shop yang ia dirikan dengan kerja kerasnya sendiri, pemuda dengan kemeja longgar berwarna biru muda itu mengulas senyum begitu manis sembari menutup pintu mini cooper milik sang kekasih.

“Hati-hati, lihat kanan-kiri, jangan ngebut Tay tawan.”

Yang lebih tua mengangguk dua kali, sembari menurunkan kaca agar bisa menatap pria manis pemilik hatinya, netra mereka bersitatap, “Cantik banget sih.” ujar pria berkulit dengan dengan pakaian yang kali ini serba hitam itu.

New tersenyum, “Kamu juga ganteng, udah sana berangkat kerjanya tapi mau punya rumah.”

“Beli tanah dulu, aku beneran lagi nyari tanah hahaha.”

“Aku pergi, Sayang.” lanjutnya.

•••

Terhitung dua jam lebih pria berumur dua puluh empat tahun itu berkutat dengan laptop yang berada di depannya, menyesap kopi buatannya, mengamati jalanan kota, dan hal-hal yang sering ia lakukan ketika sedang menulis sebuah cerita.

“Mas Newwiee.” ucapan itu membuat perhatian pemilik iris kelabu itu teralih dari laptopnya, ia menoleh ke kanan lantas saja senyum manisnya langsung terukir dengan begitu indah di wajahnya.

“Olphie, ketemu lagi kita.” New membalas.

“Saya boleh duduk disini Mas?'

“Boleh-boleh, silahkan.”

Gadis berparas ayu dengan rambut di biarkan tergerai itu mendaratkan bokongnya di kursi tepat di depan New. Senyum gadis itu masih ada, “Dari tadi, Mas?”

“Iya, lagi nyelesai-in kerjaan nih, kalau kamu?”

“Saya tuh rencananya mau ketemuan sama tunangan saya, cuma dia gak bisa datang katanya ada kerjaan mendadak. Salah saya juga sih karena langsung ngajak ketemuan tanpa di obrolin dulu sebelumnya.” Olphie berucap.

New mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menutup laptopnya, memerhatikan gadis yang tengah asik menyeruput matcha latte miliknya.

“Saya baru tau deh disini ada cafe yang bikin betah banget hahaha.”

Pemilik iris kelabu itu hanya mengulum senyum simpul, “Habis ini kamu rencananya mau ngapain?” New bertanya.

“Pulang sih Mas, lagian juga saya mau kemana lagi? karena niat awal kan maunya ketemuan sama orang yang saya anggap istimewa. Tapi ya gitu, dianya belum sayang sama saya.”

“Maaf, kata kamu belum sayang?, tapi kok bisa udah di tahap tunangan?”

Gadis mungil itu hanya tersenyum tipis, kembali meminum minumannya. “Menurut saya, cinta itu bakalan tumbuh seiring berjalannya waktu. Jadi mau seberapa lama pun, saya bisa nunggu, saya bisa nunggu sampai kata aku cinta kamu keluar dari mulutnya.”

“Olphie, ini menurut saya pribadi yang isi kepalanya susah sekali di jabarkan, boleh saya menanggapi ucapan kamu barusan?”

“Boleh banget Mas, saya tuh memang lagi pengen cerita tapi gak punya temennya.”

“Perkara menunggu dia bilang cinta sama kamu itu gak salah, sama sekali gak salah menurut saya. Tapi ada baiknya kamu tau dulu, orang yang lagi kamu tunggu itu benar-bener tertuju sama kamu apa enggak.”

“Menurut Mas sendiri lebih baik dicintai atau mencintai?”

“Dua-duanya, harus sama rata. Kalau di kepala saya, dua orang yang memutuskan untuk punya hubungan adalah mereka yang punya rasa sayang yang seimbang. Yang berat sebelah itu endingnya gak bakal bagus.”

“Jadi maksudnya Mas itu punya porsi yang sama tentang mencintai dan dicintai?”

“Benar, saya jadi penasaran siapa sih orang beruntung yang sedang kamu tunggu itu?”

•••

-Joya-

[Olphie]

•••

Sepasang sepatu itu terlihat menginjakkan tempat parkir di sebuah coffe shop yang ia dirikan dengan kerja kerasnya sendiri, pemuda dengan kemeja longgar berwarna biru muda itu mengulas senyum begitu manis sembari menutup pintu mini cooper milik sang kekasih.

“Hati-hati, lihat kanan-kiri, jangan ngebut Tay tawan.”

Yang lebih tua mengangguk dua kali, sembari menurunkan kaca agar bisa menatap pria manis pemilik hatinya, netra mereka bersitatap, “Cantik banget sih.” ujar pria berkulit dengan dengan pakaian yang kali ini serba hitam itu.

New tersenyum, “Kamu juga ganteng, udah sana berangkat kerjanya tapi mau punya rumah.”

“Beli tanah dulu, aku beneran lagi nyari tanah hahaha.”

“Aku pergi, Sayang.” lanjutnya.

•••

Terhitung dua jam lebih pria berumur dua puluh empat tahun itu berkutat dengan laptop yang berada di depannya, menyesap kopi buatannya, mengamati jalanan kota, dan hal-hal yang sering ia lakukan ketika sedang menulis sebuah cerita.

“Mas Newwiee.” ucapan itu membuat perhatian pemilik iris kelabu itu teralih dari laptopnya, ia menoleh ke kanan lantas saja senyum manisnya langsung terukir dengan begitu indah di wajahnya.

“Olphie, ketemu lagi kita.” New membalas.

“Saya boleh duduk disini Mas?'

“Boleh-boleh, silahkan.”

Gadis berparas ayu dengan rambut di biarkan tergerai itu mendaratkan bokongnya di kursi tepat di depan New. Senyum gadis itu masih ada, “Dari tadi, Mas?”

“Iya, lagi nyelesai-in kerjaan nih, kalau kamu?”

“Saya tuh rencananya mau ketemuan sama tunangan saya, cuma dia gak bisa datang katanya ada kerjaan mendadak. Salah saya juga sih karena langsung ngajak ketemuan tanpa di obrolin dulu sebelumnya.” Olphie berucap.

New mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menutup laptopnya, memerhatikan gadis yang tengah asik menyeruput matcha latte miliknya.

“Saya baru tau deh disini ada cafe yang bikin betah banget hahaha.”

Pemilik iris kelabu itu hanya mengulum senyum simpul, “Habis ini kamu rencananya mau ngapain?” New bertanya.

“Pulang sih Mas, lagian juga saya mau kemana lagi? karena niat awal kan maunya ketemuan sama orang yang saya anggap istimewa. Tapi ya gitu, dianya belum sayang sama saya.”

“Maaf, kata kamu belum sayang?, tapi kok bisa udah di tahap tunangan?”

Gadis mungil itu hanya tersenyum tipis, kembali meminum minumannya. “Menurut saya, cinta itu bakalan tumbuh seiri berjalannya waktu. Jadi mau seberapa lama pun, saya bisa nunggu, saya bisa nunggu sampai kata aku cinta kamu keluar dari mulutnya.”

“Olphie, ini menurut saya pribadi yang isi kepalanya susah sekali di jabarkan, boleh saya menanggapi ucapan kamu barusan?”

“Boleh banget Mas, saya tuh memang lagi pengen cerita tapi gak punya temennya.”

“Perkara menunggu dia bilang cinta sama kamu itu gak salah, sama sekali gak salah menurut saya. Tapi ada baiknya kamu tau dulu, orang yang lagi kamu tunggu itu benar-bener tertuju sama kamu apa enggak.”

“Menurut Mas sendiri lebih baik dicintai atau mencintai?”

“Dua-duanya, harus sama rata. Kalau di kepala saya, dua orang yang memutuskan untuk punya hubungan adalah mereka yang punya rasa sayang yang seimbang. Yang berat sebelah itu endingnya gak bakal bagus.”

“Jadi maksudnya Mas itu punya porsi yang sama tentang mencintai dan dicintai?”

“Benar, saya jadi penasaran siapa sih orang beruntung yang sedang kamu tunggu itu?”

•••

-Joya-

[Ciuman]

•••

Senyum manis menenangkan hati terukir begitu indah di wajah tampannya, bagaimana lelahnya langsung hilang, melayang entah kemana saat netra hitam pekatnya tertuju pada pemuda berumur dua puluh empat tahun yang berada beberapa meter darinya, dengan kemeja kebesaran melekat di tubuh rampingnya, poni rapi yang menutupi dahi, pun dengan iris kelabu yang paling ia suka dilihat lama-lama.

Pria bernama lengkap Tay tawan vihokratana itu melangkah dengan santai sembari menutup pintu kost-an miliknya, merentangkan kedua tangannya yang langsung di sambut dengan senang hati oleh sang kekasih.

Yang lebih tua langsung memberi kecupan bertubi-tubi, mencium kedua pipi gembul dengan sesuka hatinya, gemas betul lelaki bernama Newwiee ini.

“Padahal aku udah bilang bakal pulang cepat, tapi tetap aja kalah cepat dari kamu.” pria berkulit tan itu berujar.

“Ya gimana enggak, aku jam empat udah cabut dari kantor, langsung ke apotek, belanja, pulang dulu buat mandi biar ketemu kamu aku udah wangi hehehe.”

“Niat banget, aku cium lagi nih.” setelah menyelesaikan kalimatnya Tay benar-benar mencium seluruh wajah si manis, berujung dengan gigitan super gemas di bagian pipi kiri.

Ringisan pelan langsung terdengar, namun New sama sekali tak merengek atau apapun, dia hanya diam menerima semua perlakuan Tay tawan. Karena malam ini, ia mau hanya ada dirinya dan sang kekasih, ia hanya mau mereka berdua saja, itu sudah cukup.

Yang lebih muda melepas pelukan mereka, berjalan ke sofa panjang yang berada di ruang televisi, mendaratkan bokongnya disana, Tay mengikuti pujaan hatinya dengan mulut terkunci rapat.

“Kenapa kancing kemejanya di buka?” Pertanyaan begitu polos keluar dari mulut yang lebih muda saat Tay membuka dua kancing teratas kemeja hitam yang melekat di tubuh atletisnya.

“Panas, sayang.”

“Kenapa kamu mepet-mepet ke aku?”

“Kangen.”

New hanya menanggapi sayang kekasih dengan seulas senyuman tipis, mengubah posisinya dengan berbaring, menyenderkan kepalanya di pegangan sofa. Dan yang lebih tua dengan begitu semangatnya langsung mengurungnya, mengukung si manis dengan kedua alis di naik-turunkan.

“Jangan di gigit bibirnya.”

New tak mendengar larangan pria berkulit tan yang berada di atasnya, malah semakin mengigit bibir bawahnya, lalu ia berucap “Emang kenapa kalau aku gigitin? toh ini bibirku sendiri.”

“Terus aja gigitin, aku cium kamu.”

“Kalau begitu aku bakal terus gigitin bibirku biar di cium kamu.”

“Aku udah peringatin kamu, Cantik.”

Helaan napas panjang terdengar, netra hitam pekat itu menggelap, semakin mengikis habis yang namanya jarak di antara mereka, New tersenyum begitu manis, seakan memang ini yang ia mau, setelahnya, kedua bibir anak adam itu menyatu, menemukan pasangannya masing-masing, melumat, saling menyesap, memagut dengan begitu mesra, melupakan kegiatan yang sebenarnya harus mereka kerjakan berdua, yaitu memasak bersama, sepertinya kegiatan itu sudah tak ada lagi di dalam ingatan mereka.

Karena sejak awal ia menginjakkan kakinya di kost-an milik Tay tawan, New hanya mau mereka menghabiskan waktu seperti ini. Bermesraan.

•••

-Joya-

[Hati-hati]

•••

Seusai dari apotek terdekat, pria berumur dua puluh empat tahun itu memutuskan untuk pergi ke salah satu supermarket yang berada di daerahnya.

Iris kelabu itu menyapu keseluruh area yang bisa di jangkaunya, sembari mendorong troli belanjaan yang berada di depan mata.

New begitu banyak mengambil buah-buahan karena ia mau kekasihnya banyak mengonsumsi buah.

“Buah udah, apaan lagi ya?” si manis bergumam sendiri, meneliti barang belanjaannya hingga fokusnya terpecah saat mendengar bunyi berisik akibat jatuhnya makanan kalengan dari tempatnya.

Ia lantas saja memunguti kaleng-kaleng yang berjatuhan, meletakkan kembali di tempatnya, setelah selesai seulas senyum tipis ia tampilkan pada wanita berparas cantik yang berada di depannya.

“Makasih banyak lho Mas sudah bantu saya.”

New mengangguk “Iya sama-sama, kamu lain kali hati-hati.”

“Iya saya gak bisa jangkau karena terlalu tinggi, sekali lagi terimakasih ya Mas.”

Pemilik iris kelabu itu mengangguk dua kali, sebuah uluran tangan dari wanita berumur sekitar dua puluh tiga tahunan itu membuat New dengan senang hati menerimanya.

“Salam kenal Mas, saya Olphie.”

“Salam kenal kembali, Newwiee.”

•••

-Joya-

[Bucin]

•••

Usai makan malam bersama, kedua manusia yang tengah di mabuk asmara itu kini tengah berada di balkon kamar milik Newwiee.

Pria berkulit tan itu dengan santainya melingkarkan kedua tangannya di tubuh sang kekasih, meletakkan dagunya di bahu kanan Newwiee-nya.

Perlahan kelopak mata itu menyembunyikan iris hitam pekat sang empu, terpaan angin malam membuat ia tersenyum tanpa sadar, “Off bener sih New, kayak mimpi bisa pacaran sama temen sendiri.”

Yang lebih muda hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis, perlahan ia memutar tubuhnya agar lebih leluasa menatap ciptaan Tuhan yang satu ini, Tay tawan.

“Aku baru sadar deh kalo kamu itu ganteng.” New berujar.

“Tay, kok merah telinganya?”

Yang lebih tua diam, menarik New kedalam sebuah pelukan, sebenarnya ucapan yang New lontarkan itu sudah sering sekali di dengar Tay, namun kenapa ia bisa tersipu malu-malu ketika pemuda beriris kelabu itu yang mengatakannya?

“Kamu jangan begitu, gak baik buat jantung aku. Belum terbiasa Newwiee.”

New tersenyum, membalas pelukan kekasih dua harinya itu, membiarkan Tay yang terus mengecup pucuk kepalanya, ia malah dengan santainya menyandarkan kepalanya di dada bidang Tay.

“Newwiee.”

“Hmm?”

“Bayar hutang dulu sama aku?”

Di dalam pelukan, kerutan di bagian kening si manis tercipta, “Hutang apa?”

“Ah pura-pura lupa. Males nih aku.”

New melepas pelukannya, berdiri tepat di depan Tay tawan, menatap manik hitam pekat itu dalam-dalam, lalu seulas senyum begitu memakat ia tampilkan, “Hutang apa sayang?”

“Gak usah di bayar lagi, udah lunas hutangnya. Newwiee kamu kalau begini terus aku pulang aja deh, Mama aku gak kuat.”

•••

-Joya-

[Pagi]

•••

Perlahan, sang surya mulai menampakkan dirinya, bersinar di balik gorden yang masih tertutup rapat-rapat, kedaan kamar dengan lampu tidur sebagai penerang, di balik selimut tebal ada dua manusia yang tengah bergelung dengan mimpinya masing-masing.

Bunyi dari jam yang berada di nakas sontak membuat pemilik kamar menggeliat, mengerjapkan matanya beberapa kali, hingga iris kelabu itu mulai menangkap seseorang yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dirinya.

New diam, mengamati pria berkulit tan yang masih tertidur pulas, hingga tatapannya terhenti di bagian bibir tipis sang kekasih? Ia tersenyum geli saat mengingat jika mereka bukan lagi hanya sekedar teman, sudah naik level. Sepasang kekasih.

Bibir tipis itu yang tadi malam ia rasa, ia sesap, dan pipinya langsung memanas ketika kejadian tadi malam kembali hadir bak kaset rusak di kepala, bagaimana cara Tay berkerja di atasnya, bertanya apakah ia nyaman atau tidak, lanjut atau berhenti, semuanya. Perlakuan manis yang memang baru New sadari.

“Belum siap ngeliatin aku? Kalau belum aku pura-pura tidur lagi aja.”

Si manis tersentak, lantas membalikkan tubuhnya agar tak lagi menatap pria berkulit tan itu, namun rasa perih di bagian bawahnya langsung menghampiri, ringisan pelan yang lebih muda dapat di dengar Tay.

Pria berumur dua puluh enam tahun itu perlahan memegang lengan yang terasa begitu halus milik New dengah perlahan, “Sakit banget, ya?”

Gelengan dari yang lebih muda terlihat, ia kembali pada posisi semula, berhadap-hadapan bersama Tay tawan.

“Gak apa-apa, jangan minta maaf lagi. Kan kita ngelakuin ini karena berdua sama-sama mau, bukan kemauan kamu aja.”

“Tapi tetap aja, aku bi-”

“Tawan, udah ya. Udah kejadian, mau bilang apalagi coba?” New menggantungkan kalimatnya, lalu menunduk-menyembunyikan rona pipinya, “Yang tadi malam juga enak kok.”

Bisakah Tay tawan pingsan sekarang?

•••

-Joya-

[Mau?]

•••

Kelima jemari lentik milik pemuda berumur dua puluh empat tahun itu menyingkirkan poninya yang menusuk mata, setelah mencuci bersih apel yang sudah ia potong-potong barulah dirinya berjalan menaiki anak tangga rumahnya, menutup pintu kamar dengan gerakan pelan.

Netranya bertemu dengan iris hitam pekat yang tengah mengurus proyektor, Tay melempar seulas senyum tipis setelahnya.

“Mau nonton apa ya kita?” Tay bertanya.

Pemuda berkulit seputih susu itu lantas mendaratkan bokongnya di atas ranjang, tepat di sebelah Tay tawan, ikut menaruh fokusnya pada laptop yang berada di pangkuan temannya, “Ini aja.” New berujar.

Tay menoleh ke kiri, menatap yang lebih muda dengan begitu dalam setelah mengetahui film apa yang menjadi pilihan New.

Teman tapi menikah.

Tay menurut, setelah menyambungkan laptop dan proyektor milik New, keduanya langsung mencari tempat senyaman mungkin, pun dengan lampu yang sudah di padamkan, New kembali menyuapkan sepotong apel kedalam mulutnya, lalu menyuapkannya untuk Tay tawan juga.

Keduanya sama-sama diam, namun mulut si manis tak berhenti mengunyah, banyak sekali jenis camilan yang di bawa Tay untuk temannya ini, hingga ia bingung mau memakan yang mana terlebih dahulu.

“Dito tahan banget ya mendam perasaan begitu lama sama Ayu.” yang lebih muda ambil suara di tengah-tengah film berlangsung.

Tay hanya diam, namun ia langsung mengambil segelas air yang berada di nakas, menenggaknya dengan begitu terburu-buru, ucapan yang di lontarkan New barusan terdengan begitu polos, pria yang berada di sampingnya masih begitu santai menyaksikan film yang tengah di putar, sedangkan Tay tawan malah sudah kelimpungan sendiri di buatnya.

Film berdurasi satu jam dua puluh empat menit itu akhirnya selesai di saksikan kedua anak adam yang tengah berbaring santai, New menepuk kedua tangannya, sontak lampu kamar si manis langsung menyala. Jemari milik Tay dengan begitu lembut mengelus rambut temannya, dengan kepala si manis yang bersandar begitu nyaman di dada bidang yang lebih tua sepanjang film berlangsung.

“Ternyata ada ya, teman tapi menikah, di angkat dari kisah nyata pula.” ujar pria berkulit putih bersih itu, ia kembali menyuapkan Tay sepotong apel terakhir yang berada di mangkok, yang lebih tua dengan senang hati menerima suapannya.

“Ya ada, semesta kan gak bisa di duga. Mungkin di luaran sana ada beribu pasangan yang awalnya hanya sebatas teman.” Tay menjawab.

“Berarti ada beribu Dito dong di dunia ini, maksud aku, yang suka sama temannya dari lama cuma gak berani bilang.”

Tay mengangguk membenarkan, “Banyak.”

“Tawan.”

“Hmm?” dehaman dari pria berkulit tan itu terdengar, dengan jemari yang masih setia memainkan rambut halus yang lebih muda.

“Apa kamu salah satu dari sekian banyak orang yang punya rasa sama teman mu sendiri?”

New mengubah posisinya menjadi duduk tegak, menatap pria berkulit tan yang berada di depannya dengan tatapan penuh tanya, namun yang lebih tua belum jua membuka suara, menjawab pertanyaannya barusan, Tay benar-benar bungkam.

“Apa kamu juga sama seperti Dito yang suka sama Ayu?”

“Tay taw-”

“Iya, aku suka sama kamu.” Tay dengan cepat memotong ucapan New.

Pemilik iris kelabu berkilau itu mematung di tempat, ia diam dengan tatapan yang masih tertuju pada manusia yang berada di depannya, hingga suara Tay kembali terdengar bersamaan dengan tangan kanannya yang terulur untuk menggenggam tangan New.

Yang lebih tua menghela napas begitu panjang, “Udah saatnya kali ya aku jujur sama kamu, aku suka sama kamu, cinta sama kamu, sayang sama kamu, dan itu lebih dari sebatas teman.”

“Tapi kita cuma teman, kenapa kamu berharap lebih akan hal itu?” New masih sempat-sempatnya bertanya.

“Kenapa aku gak boleh berharap lebih atas perlakuan kamu yang terlampau perduli, perhatian, penuh kasih sayang sama aku.”

“Jatuh cinta sama kamu itu memang bukan rencana ku, tapi buat berhenti sayang sama kamu, itu di luar kendali aku. Aku gak bisa, semakin aku diam, aku malah semakin sayang, semakin mau kamu.”

“New, aku tau kamu juga ngerasa kita beberapa hari ini udah beda, setelah ciuman kemarin malam, kita makin beda lagi. Kamu cuma ragu dengan perasaan mu terhadap aku. Jadi supaya gak ragu-ragu lagi, gimana coba dulu jadi pacar ku?”

Di tengah keraguannya, pun dengan di kebungkaman mulutnya, malam itu, tepat di pukul menginjak angka sebelas, yang lebih muda menarik pria yang berada di depannya, mengalungkan tangannya pada leher Tay dengan begitu mesra, menyatukan kedua bibir mereka, saling menyesap dengan begitu seirama, di sela cumbuan berlangsung pun dengan beribu kupu-kupu menggelitik perut, si manis tersadar akan suatu hal, kalau mereka serasi, dan malam ini ia ingin berbagi tentang apa-apa yang dirinya rasakan, pada Tawan-nya.

Iya, Tawan-nya.

•••

-Joya-

[You and I]

•••

Tepat di jam delapan malam, setelah singgah lagi untuk mengisi perut masing-masing, barulah keduanya sepakat untuk melanjutkan perjalan pulang kerumah. Tay dan New berjalan keluar dari warung pecal lele menuju parkiran, yang lebih tua lantas menggunakan jaketnya menutupi kepala si manis agar tidak terkena air hujan.

New bimbang, ia benar-benar bimbang, perlakuan manis dari Tay selama ini baru terasa sekarang, dan itu masih begitu asing untuknya. Namun tampaknya yang lebih tua malah terlihat biasa aja.

“Gantian nyetir mau gak?” New menawarkan namun gelengan kepala dari yang lebih tua langsung terlihat.

Kedua tangan Tay perlahan memegang kedua sisi wajah New, “Kamu duduk aja disini bagus-bagus, kalau ngantuk boleh tidur, gak bakal aku culik. Ngerti?”

Layaknya anak kecil yang mematuhi ucapan orang tuanya, New lantas mengangguk dengan ekspresi wajah begitu polos, “Kamu jangan gemesh-gemesh banget dong.”

“Perasaan aku diam aja deh.”

Tay tersenyum tipis, setelah memaikan sabuk pengaman untuk New barulah ia melajukan mobil yang di kendarainya dengan kecepatan sedang. Iris hitam pekat itu sesekali melirik ke kiri, karena sejujurnya menatap New itu adalah hal yang paling ia suka.

“Cantik, siniin tangannya.” Tay bercap sembari menepuk-nepuk dengan pelan pahanya.

“Ngapain ih?”

“Mau aku genggam, genggam tangannya aja dulu, baru hatinya.”

New diam, membuang pandangan ke sembarang arah, tak mau memperlihatkan semu di wajahnya yang hanya akan membuat dirinya malu.

Take me home, I'm fallin' Love me long, I'm rollin' Losing control, body and soul Mind too for sure, I'm already yours

Tay bernyanyi dengan santainya, dan New malah merasa itu adalah pesan tersembunyi untuk drinya, aneh, mengapa hari ini ia merasa begitu sensitif?

“Tay pinggirin dulu dong mobilnya.” New berujar pelan.

“Kamu kenapa?” pertanyaan dengan nada khawatir itu jelas terasa, Tay lantas menepikan mobil yang di kendarainya, lalu mengalihkan seluruh fokusnya pada pemuda berkulit seputih susu yang berada di sampingnya, mengamati wajah New lamat-lamat, “Kamu kenapa? Mau muntah?” New hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Cantik-nya aku kenapa? Apanya yang sakit?”

“Aku gak kenapa-napa Tawan, serius.”

“Kenapa minta berhenti?”

Yang lebih muda mengulum bibirnya, ragu untuk berucap karena ia benar-benar bimbang pada perasaannya sendiri, namun sialnya debaran ini masih terasa begitu nyata saja.

“Kamu suka sama aku?” New berujar, malah terdengar seperti lirihan, ia menunduk, tak berani menatap netra hitam pekat yang mengamatinya.

“Newwiee.”

“Jawab aja kalau kamu mau jawab, kalau enggak, lanjut jalan pula-”

Ucapan si manis terpotong tak kala jemari Tay mengangkat dagunya, tanpa di duga sama sekali yang lebih tua malah menyatukan kedua bibir mereka, menyesapnya dengan begitu lembut, memabukkan.

New awalnya diam, namun entah bagaimana ia mulai ikut bergerak, melumat bibir bawah teman karibnya dengan gerakan seirama, mengalungkan kedua tangannya pada leher Tay tawan, hingga beberapa menit setelahnya yang lebih tua terbih dahulu melepas pagutan.

Keduanya sama-sama diam dengan deru napas begitu tak beraturan, dahi mereka menyatu, dengan kedua netra yang masih saling menatap, membiarkan jantung yang berdetak dua kali lipat dari biasanya.

Biarkan malam ini mereka begini, masalah besok, di urus nanti.

•••

-Joya-

[Air terjun]

•••

Iris kelabu berkilau itu masih mengamati jalanan Jakarta yang sepertinya tak mengenal kata lengang, lagu milik Endah N Rhesa berjudul When you love someone mengalun dengan indahnya mengisi kesunyian yang terjadi di antar dirinya dan Tay tawan. Sesekali bibir si manis bergerak mengikuti lirik lagu yang terdengar.

When you love someone. Just be brave to say that you want him to be with you.

New melirik ke kiri, lantas saja ujung mata keduanya bertemu, semu merah itu perlahan tercipta menghiasi pipi gembulnya, sedangkan yang di sebelah sedang menetralkan debaran jantungnya yang berdetak tak wajar, hanya karena sebuah lagu. Pun dengan cuaca mendung yang semakin membuat atmosfer di antara mereka semakin terasa asing.

“Kamu tau gak kalau tadi aku di kasih bubur dua porsi sama Off.” yang lebih tua mulai membuka suara.

“Kamu habiskan?” New bertanya, dan langsung mendapat anggukan dua kali dari temannya.

“Iya dong, kan kamu yang bilang kalau kita tuh gak boleh buang-buang makanan, karena masih banyak di luaran sana orang yang kelaparan.”

“Kekenyangan kan? Pantes aja tadi aku minta singgah kerumah makan aku gak mau makan.”

Tay tersenyum tipis mendengarnya, perlahan tangan kirinya terulur untuk menggenggam tangan kanan milik yang lebih muda, “Jangan nolak ya cantik, aku cuma kepengen genggam tangan kamu aja.”

New terdiam, tak tahu harus berbuat apa atas perlakuan Tay tawan, jantungnya kembali berdebar, lebih menggila dari yang tadi, di perparah dengan dengan lagu milik Situasi berjudul Kau ku sebut pulang mulai terdengar.

•••

Sekitar satu jam melakukan perjalanan, akhirnya mini cooper yang di kendarai oleh Tay berhenti tepat di parkiran yang telah di sediakan, lengkungan sempurna terukir begitu indah di wajah New, dia tersenyum begitu manis.

“Kamu ngajakin aku ke air terjun.” New berujar.

“Suka?”

Anggukan begitu semangat terlihat, pemuda berumur dua puluh empat tahun itu lantas menjawab, “Kamu tuh kayaknya selalu ingat apa yang aku bilang ya?”

“Emang kamu bilang apa?” Tay bertanya, bermaksud menggoda.

“Aku bilang aku pengen mandi air terjun, dan ini kamu kabulin.”

“Kalau aku bisa apapun yang kamu minta bakal aku iya-kan.”

Apa kamu masih ingat tentang Fulan fehan yang pernah kita bahas, Tawan?

•••

Rintik-rintik hujan perlahan turun membasahi bumi dan seluruh isinya, namun tampaknya kedua anak adam itu masih begitu asik dengan kegiatan yang mereka lakukan, begitu enggan untuk beranjak dari air yang membasahi tubuh keduanya.

Tawa bahagia New terdengar tak kala kepala yang lebih tua muncul di balik air, “Kamu menang deh kalau tahan napas begini.” si manis berujar.

“Cantik, naik yuk?” ajakan Tay langsung di tolak mentah-mentah, gelegan kepala beserta mengerucutnya bibir merah muda itu langsung terlihat.

“Ih gak mau, bentar lagi deh.”

“Nanti hujannya makin deres, bibir kamu juga udah pucat.”

New tetap pada pendiriannya, menyapu seluruh pandangannya pada keadaan sekitar, masih banyak orang-orang yang main dan mandi di bawah air terjun ini, seakan-akan tak menyadari jika hujan perlahan mulai deras.

“Naik yuk, nanti aku ajakin makan mie rebus paling enak yang ada disini.”

•••

Entah bagaimana cara semesta bekerja, Tay juga tak paham mengapa ia bisa menyimpan rasa pada teman dekatnya sedari sekolah menengah atas ini, karena semakin hari yang ada dia makin mencintai orang yang berada di depannya.

Mulut si manis menggembung, bergerak, dan tersenyum tak kala netra keduanya bertumbrukan, ia mengunyah makanan yang berada di dalam mulutnya dengan begitu santai, tangan pria berkulit tan itu perlahan terulur untuk menyerka sebulir air yang jatuh dari poni basahnya.

“Makan yang banyak, kalo mau lagi bilang sama aku.”

“Pergi sama kamu aku jadi makan mulu hehehe.”

“Seneng gak?”

New mengangguk, menenggak segelas teh hangan hingga tersisa setengah. “Kamu paling tau ya cara bikin aku bahagia.”

“Tapi aku gak tau cara agar kamu bisa jatuh cinta sama aku.”

•••

-Joya-