Joya.

Ibunya Newwiee.

[Kalau]

•••

Pria berkulit tan itu memejamkan matanya sembari menetralkan debaran jantung yang menggila di tempat, setelah menghembuskan napas panjang, dan meyakinkan dirinya, barulah Tay membuka pintu mobil.

Langkah kaki di balut sneakers putih itu bertehenti di depan pagar sembari menampilkan seulas senyuman tipis pada sang pemilik rumah.

“Tay kemana aja ya ampun.” begitu ucapan wanita paruh baya berparas ayu itu.

“Ayo masuk-masuk.”

Tay lagi-lagi hanya bisa tersenyum, berjalan masuk kedalam rumah bercat putih gading yang dulunya hampir setiap hari ia singgahi, netra hitam pekat sang empu mengalihkan perhatiannya pada sebuah foto yang terpajang apik di dinding ruang tamu.

Matanya terus memandangi foto berbingkai itu, senyuman yang sudah lama sekali tak ia lihat secara langsung, tangan yang sudah lama tak ia genggam, air matanya turun tanpa permisi, seakan tersadar dari semuanya Tay langsung menyerka sebulir air mata yang membasahi kedua pipi.

“Maaf Bu.” ia berucap pada Ibu Newwiee.

Wanita cantik berumur itu mengangguk, lalu mempersilahkan Tay untuk duduk, “Tay mau minum apa?”

“Gak usah Bu, aku gak lama kok, Ibu gak usah repot-repot.”

“Enggak repot sama sekali, Ibu buatkan coklat panas sebentar ya.”

Tanpa menunggu persetujuan Tay, yang tua sudah berjalan kedapur meninggalkannya sendiri, kesepuluh jemarinya saling meremat tak megizinkan air matanya jatuh sembarangan, ia tak mau menangis namun rasa sesak langsung menggerayangi dirinya sejak ia memasuki rumah ini.

“Di minum Tay, maaf adanya cuma ini, Ibu jarang beli camilan sekarang gak ada yang makan, kalau dulu kan Ne-” wanita itu terdiam sesaat lalu mengalihkan pembicaraannya “Diminum Nak.”

Ia tersenyum maklum, meyesap cokelat hangat yang berada di genggamanya. Lantas setelahnya ia mulai membuka pembicaraan “Ibu apa kabar?”

“Ibu baik, kamu sendiri gimana kabarnya?”

Sebuah senyuman tipis lagi-lagi ia tampilkan “Aku sendiri sejujurnya gak tau kabar ku bagaimana.” sebuah jawaban di susul kekehan terdengar.

“Bu, Tay boleh nanya sesuatu?” lelaki itu kembali bersuara.

“Boleh, kamu mau nanya apa sama Ibu?”

“Bu, Tay cuma mau nanya Newwie kabarnya bagaimana?”

Wanita paruh baya itu mengulas senyum begitu tipis, “Kamu mau tau jawaban Newwiee ketika di tanya kabarnya?”

Tay diam sembari menatap Ibu kekasihnya yang kembali berucap “Sama seperti jawaban kamu ketika Ibu tanya Tay bagaimana kabarnya?”

Pria berkulit tan itu menghela napas panjang, “Bu, besok hari pernikahan ku dengan seseorang yang gak pernah aku mau.” ia memberi tau.

“Tay gak boleh ngomong seperti itu, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik dari yang baik untuk anaknya.”

“Tapi gak dengan memaksa Bu, aku udah capek hidup dengan segala tuntutan yang harus di penuhi.”

Sang Ibu menyerka air matanya, perlahan tangan kanan wanita paruh baya itu terulur untuk mengelus punggung tangan kekasih anaknya, “Kamu kuat. Rasa lelah, sedih, itu sementara.”

“Kalau Tay tanya Newwiee dimana Ibu mau gak ngasih taunya?”

•••

-Joya-

[Tawan]

•••

Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa hanya tinggal hitungan minggu acara pernikahan Tay dan Olphie akan segara terlaksana. Gadis yang berdiri tepat di samping pria beriris hitam pekat itu perlahan memberanikan diri untuk menautkan jemarinya dan jemari milik Tay.

Sontak yang lelaki menoleh, tatapannya begitu datar namun ia tak menunjukkan penolakan, “Kamu suka gaun yang aku coba tadi?” Olphie bertanya dan sebuah anggukan kepala ia terima sebagai jawaban.

“Ayo duduk di ayunan.” gadis itu mengajak, menarik tangan Tay yang masih setia ia genggam, berjalan ke sudut taman belakang-tempat dimana sebuah ayunan berada.

Di langkah kelima Tay berhenti sontak membuat Olphie menoleh kebelakang, “Kenapa?”

Lelaki berkulit tan itu mulai menatap gadis di depannya dengan tatapan sulit diatikan, keduanya sama-sama diam tepat di pinggir kolam begitu luas kediaman keluarga Vihokratana, mengabaikan semilir angin malam yang mulai menerpa wajah, netra keduanya saling beradu, tak ada yang mau memutuskannya terlebih dahulu.

Dengan begitu perlahan, sebuah senyum manis kembali di tampilkan gadis bergaun selutut berwarna putih tulang itu, “Kamu mau ngom-”

“Apa kamu sudah yakin dengan perjodohan ini?” potong yang lebih tua.

Olphie mengangguk dengan senyum yang masih tersaji, “Aku yakin, kamu itu hanya belum mencintai aku.”

“Tepatnya, saya gak pernah bisa mencintai kamu.”

Senyumnya memudar dengan sendirinya, mendengar ucapan begitu pelan dari lelaki yang berada di depan, “Kamu sudah yakin bisa hidup dengan orang yang gak mencintai kamu?”

Olphie diam.

“Hidup dengan saya, satu atap bersama saya dalam jangka waktu yang lama sudah jelas membuat hati kamu akan terluka, saya berterus terang sekarang.” Yang lebih tua kembali melanjutkan kalimatnya, tatapannya masih tertuju betul-betul pada sang tunangan, “Hati saya sejak awal sudah ada di orang lain.”

“Tapi aku bakalan tetap nunggu sampai kamu bisa cinta, bisa nerima aku. Selama apapun itu Tay.” jawab Olphie.

Sebuah senyum tipis terukir menghiasi wajah tampan Tay tawan, “Waktu kamu buat nunggu saya bilang begitu akan terbuang sia-sia, sampai kapanpun gak ada yang bisa menggantikan nama manusia ini di hati saya.”

“Kamu kenal dia kan.” Tay bertanya sembari memperlihatkan layar kunci ponselnya pada Olphie, “Kamu kenal manusia ini kan?”

Sang gadis diam namun sebuah anggukan ia tunjukkan.

“Dia Newwiee, pemilik hati saya, sepenuhnya.”

“Dan dia sudah pergi, bersamaan dengan hati saya yang di bawa lari olehnya.”

“Aku tetap mau berjuang buat dapetin cinta kamu.” keukeh gadis itu.

“Saya gak cinta sama kamu, saya gak akan pernah cinta sama kamu. Kenapa kamu harus mengemis cinta dari orang yang ujung-ujungnya membuatmu terluka? Olphie.”

“Bahkan udah hampir setahun kita bersama, baru kali ini kamu manggil nama aku.”

Tay mengangguk setuju, karena nyatanya memang ia tak pernah mau menyebut nama gadis yang berada di depan matanya.

“Newwiee pergi gara-gara kamu, kalau aja kita gak pernah bertemu dan kamu gak dengan gampangnya cinta sama saya, kita gak bakal pernah ada di hubungan gak jelas seper-”

“Hubungan gak jelas seperti apa? Bahkan hubungan kita berdua lebih maju satu langkah dari hubungan kamu sama mas Newwiee.” suara gadis itu meninggi, bersamaan dengan pecahnya tangisan yang lebih muda, ucapan terlampau menyakitkan dari pria yang begitu ia cinta menimbulkan sesak bukan main didada.

“Mau maju berapa langkah pun, mau bagaimanapun. Kamu tetap orang asing yang melenyapkan kebahagiaan saya. Kamu gak bakal tau segimana gilanya saya kehilangan dia, kamu gak bakal pernah ngerasain mencari dengan peta buta sampai rasa putus asa tercipta.”

“Tawan, Olphie.”

Tay diam, tak jua menoleh kebelakang karena ia sudah begitu tau siapa pemilik suara, wanita berumur lima puluh lima tahun itu menatap sang anak dengan tatapan bertanya sembari memeluk tubuh mungil gadis yang masih menangis.

“Kalian kenapa?”

“Ma, aku gak bisa menikah sama orang yang gak aku cinta.” Tay bersuara.

“Aku bakal menyetujui apa aja, asal pernikahan ini di batal-”

“Mau bagaimanapun, pernikahanmu akan tetap terlaksana.” suara bariton itu terdengar, memotong ucapan Tay.

“Pa, Tay mohon banget sama Papa. Kali ini aja, tolong kabulin permintaan aku yang ini.”

Untuk pertama kali di hidupnya seorang Tay tawan vihokratana menurunkan nada suaranya, memohon pada Papanya.

“Enggak.”

Helaan napas panjang terdengar, pria berkulit tan itu menatap Ayah kandungnya dengan mata berkaca-kaca, kekecewaan terlihat jelas disana. Setelahnya tanpa bersuara, ia melangkah menjauh, keluar dari rumah dengan bantingan pintu terdengar jelas di telinga.

•••

-Joya-

[Persetujuan]

•••

Dua anak manusia itu duduk berhadapan lengkap dengan berbagai macam makanan yang sudah berada di depan mata, suasana diantara mereka benar-benar senyap. Pria berkulit tan itu hanya diam, menatap gadis cantik yang berada di depannya dengan tatapan datar. Pemilik wajah imut itu mengulas senyum tipis, lalu mulai menyuapkan spaghetti kedalam mulutnya.

“Kamu, gak makan?” Olphie bertanya dan sebuah gelengan langsung pria itu berikan sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.

“Oh iya Tay, tadi bekalnya gimana? Enak kah?” gadis itu tak menyerah, kembali mencari topik obrolan.

“Enak.” Tay menjawab sekenanya.

Dan kesepian kembali hadir setelahnya.

•••

Tepat di jam menunjukkan angka delapan malam, Tay dan Olphie sampai di kediaman milik keluarga Vihokratana, pria berkulit tan itu langsung duduk di sofa kosong, di susul gadis itu setelahnya, Duduk di sampingnya.

Tay mengulas senyum tipis pada kedua orang tua Olphie. Ia hanya diam, menutup mulutnya rapat-rapat mendengar obrolan tentang acara yang akan di laksanakan, ia tak lagi punya niat untuk berdebat, yang di lakukannya setelah sang kekasih pergi hanyalah menganguk setuju. Meng-iyakan apapun yang orang tuanya minta.

“Tay,” usapan di punggung tangan sebelah kanan dari Olphie membuat dirinya tersentak, lantas menoleh kearah gadis itu dengan alis terangkat satu.

“Kamu maunya dimana?” Olphie bertanya.

“Terserah.”

“Tay tawan.” suara pria paruh baya di balut dengan pakaian formal itu naik satu oktaf setelah mendengar jawaban anaknya.

Kedua netra Ayah dan anak itu bertemu, saling menatap untuk beberapa saat, “Perbaiki ucapanmu.”

“Semuanya terserah, karena mau bantah juga percuma. Papa atur aja bagaimana baiknya.”

•••

-Joya-

[London]

•••

London, November 2021

Di tengah dinginnya kota London, sepasang boots yang melekat di kedua kaki menyusuri jalanan kota di malam hari, sang langit nampak semakin gelap, pun dengan matahari yang telah lama meninggalkannya sendiri, namun rasa kantuk belum jua datang mehampiri lelaki ini.

Netranya menyapu kesepenjuru tempat yang bisa ia jangkau, cahaya menyala dari gedung-gedung bertingkat menjulang keatas, layar-layar LED, dan berbagai icon-icon yang terkenal di sini, salah satunya adalah menara Big ben.

Kedua tangan pemuda itu sesekali membenarkan letak syal yang melingkar apik menutupi leher jenjangnya, hari ini, tepat sebulan sudah ia menginjakkan kakinya di tanah United kingdom.

Pemuda itu terus berjalan hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti sebentar sembari menyesap kopi hangatnya yang berada di genggaman tangan kanan, netranya mengamati sebuah jembatan yang membentang di atas sungai Thames di London, Inggris raya. Tidak lain dan tidak bukan adalah Tower Bridge.

Berbicara tentang Negara maju di kawasan benua Eropa ini, ada cerita di baliknya, cerita mengapa seorang Newwiee thitipoom akhirnya memutuskan Ibu kota dari negara Inggris menjadi sebuah tempat pelarian atas luka menganga di hatinya.

Cerita lama yang masih begitu membekas di kepala, tak akan pernah bisa hilang karena ucapan mereka masih terekam begitu jelas di ingatan, lelaki dengan coat cokelat tua menyembunyikan tubuh rampingnya itu menghela napas pelan, pada akhirnya ucapan mereka semua benar, kalau ia memang tak pantas untuk bahagia, tak pantas untuk punya teman selamanya.

Sembilan tahun silam.

Seharusnya, di pengujung masa-masa akan berakhirnya sekolah menengah pertama ya identik dengan para murid yang semakin rajin, semakin kompak, dan saling menciptakan kenangan-kenangan manis jika di ingat akan membuat tersenyum hangat.

Namun memang semesta banyak bercandanya dengan New, hampir tiga tahun berada di Smp itu, yang ia rasakan hanyalah tatapan sinis, cibiran, bahkan tak jarang hal-hal yang tak mengenakkan terjadi padanya. New sudah begitu kebal dengan segala macam umpatan yang teman kelasnya berikan. Yang ia inginkan sekarang hanyalah lulus dengan nilai memuaskan agar dia tak perlu susah-susah melanjutkan jenjang sekolahnya.

Tepat di hari rabu usai jam istirahat, ia melangkahkan kakinya menuju kelas sendirian, selalu sendirian karena memang ia tak punya teman, New sudah terlampau biasa sendiri, sudah terlanjur nyaman atas kesepiannya.

Keningnya mengernyit tak kala iris kelabunya menangkap pintu kelas tertutup rapat, pemuda berponi rapi menutupi dahi awalnya hanya menaikkan kedua bahunya, berpikiran jika memang sengaja di tutup setelah mendapat kabar jika rapat antar guru-guru berlangsung hingga berakhirnya sesi belajar-mengajar.

Dengan perlahan ia memutar knop pintu kayu yang berada di depannya itu, namun siapa yang menyangka begitu pintu terbuka guyuran air langsung membasahinya. Gelak tawa langsung terdengar di telinga.

“Aduh jadi basah deh anak Ayah, eh tapi Ayahnya aja kabur yak.”

“Angel jangan gitu lo, Ayahnya dia bukan kabur, emang gak punya ups.”

Yang bisa di lakukannya hanyalah diam, menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuknya dengan sekuat tenaga, langkah seorang siswa seusianya membuat perhatian seluruh teman kelas terutuju pada ia dan lelaki itu.

“Lo tuh banyak kurangnya, gak punya kelebihan. Lebihnya cuma bisa ngayal.”

“Tau New, lo tuh gak pantes bersanding sama siapa aja.”

“Ini poster yang ada di loker lo kan,” Sambung teman kelasnya yang lain, memamerkan sebuah poster negara yang memang ingin sekali ia kunjungi, “Lo gak bakal pernah bisa kesini, jadi jangan kebanyakan mimpi.” setelah ucapannya selesai poster yang siswa itu pegang pun dengan perlahan ia robek, tepat di depan New.

“Ingat, lo tuh gak pernah pantes buat bahagia. Dasar anak gak jelas.”

London, November 2020

Sebuah helaan napas panjang terdengar, karena sampai sekarang tanda tanya besar masih berada di kepala mengenai kenapa teman-teman kelas begitu membencinya. Namun balik lagi ada beberapa hal memang tak butuh alasan.

Sejak kejadian itu, ucapan mereka selalu bisa membuat rasa percaya dirinya terkadang hilang, sejak itu New merasa memang dia tak pantas merasakan bahagia dalam jangka yang panjang.

Kalau boleh jujur, seorang Newwiee yang di besarkan oleh seorang Ibu paling hebat yang ada di bumi memang tak pernah tau dimana sang Ayah, bahkan ia sudah lupa bagaimana rupa lelaki itu, yang ia ingat malam dimana adiknya lahir, sang Ayah pergi tanpa perpisahan.

Dan New sendiri juga enggan bertanya kenapa pada Ibu-nya.

Balik lagi mengapa ia memutuskan untuk kesini karena London adalah gambar yang ada di poster itu, karena London yang ingin ia tuju, London dengan segala isinya.

•••

Setengah jam setelah ia sampai di apartemen, rinai hujan perlahan turun membasahi bumi, lama-lama rintikan itu menjadi deras, mengguyur kota London dini hari. Pemilik iris kelabu itu termenung menatap keluar jendela, memeluk tubuhnya sendiri, selanjutnya rasa sepi menyesakkan hati mulai menghampiri.

Bohong kalau di bilang ia baik-baik saja, bohong kalau di bilang ia sudah bisa melupakan pria berkulit tan itu, bohong kalau ia tidak rindu. Karena nyatanya London tak semenarik yang ia bayangkan, ia tetap merasa sunyi di keramaian, ia tetap merasa kurang di setiap harinya, ia ingin lelakinya disini.

Air mata di pelupuk tak dapat ia tahan, mengalir membasahi pipi tanpa permisi sama sekali, kenangan manis bersama mataharinya itu langsung berputar bak kaset rusak di kepala.

Senyum, tawa, bahagia, yang tak lagi bisa ia rasakan.

Lama-lama bakalan lupa. kalimat itu selalu ia ucapkan di setiap malamnya.

Karena mau bagaimanapun ceritanya, melupakan seorang Tay tawan adalah sebuah keharusan.

•••

-Joya-

[Bukan lagi aku]

•••

Langkah gontai dari sepasang sneakers berwarna putih itu membuat siapa saja tau, jika sang pemilik sepatu sedang tak ingin di ganggu. Kepalanya menengadah, menatap gumpalan awan mendung sembari tertawa sumbang, bahkan sang langit ikut andil dalam kesedihannya perkara kepergian sang kekasih, entah kemana.

Pria manis itu sungguh-sungguh dengan ucapannya, benar-benar pergi setelah kata pamit terucap dari mulutnya, dan benar-benar mundur, meninggalkan Tay tawan sendirian.

Langkahnya terhenti di tengah-tengah jembatan lama yang jarang di gunakan, duduk di sana, terdiam dengan sebuah surat yang belum berani ia buka dan ia baca isinya.

Getaran ponsel yang berada di saku celana membuat perhatiannya teralih sementara, dengan malas ia meraih benda pipih itu, harapannya nama Newwiee tertera disana, namun harapan ya hanya sebuah harapan, kenyataannya tidak begitu.

Ia sama sekali tak punya niat untuk menjawab, lantas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. Iris hitam pekat lengkap dengan sendu terpampang nyata, mulai teralih pada sepucuk surat yang berada di genggaman tangan sebelah kanan.

Hembusan napas panjang dari lelaki berkulit tan itu terdengar, dengan jantung berdetak tak karuan, ia mulai membukanya secara perlahan. Tulisan rapi milik sang kekasih langsung bisa ia lihat.

Teruntuk Tay tawan vihokratana.

Tawan, maaf jika keputusan ku terlalu kekanak-kanakkan. Maaf karena aku kembali mengucapkan kata pisah, namun kali ini melalui sebuah tulisan. Maaf karena aku membuat semuanya menjadi lebih rumit. Maaf karena aku tak bisa lagi bersama kamu. Perihal rasa cinta dan sayang ku, gak usah kamu tanya lagi segimana besarnya.

Dan sekarang sudah tiba saatnya dimana tempatmu mengadu bukan lagi aku. Kamu keliru tentang rumah mu untuk berpulang. Aku ini hanya tempat singgah mu, tepat untuk melepas penat, sementara. Biar sementara tapi aku bahagia, biar pun keliru tapi aku mempersilahkan kamu untuk masuk, sebentar.

Terima kasih untuk segala kebahagiaan tiada tara yang kamu berikan secara percuma. Tawan, bukan cuma hati kamu di aku, karena kalau boleh jujur, sejak awal hatiku udah sepenuhnya milikmu. Seperti yang aku bilang kemarin malam, aku benar-benar pergi, namun caranya begini. Maaf tak langsung mengucapkan pamit secara langsung untuk yang kedua kalinya sama kamu.

Tawan, nyatanya nama kita gak ada di dalam buku catatan semesta berjudul kalian bersama selamanya.

Matahari yang ini, bukan milikku lagi. Karena sejak awal, kamu memang bukan punya aku.

Sayang, jangan cari aku. Temui kebahagiaan mu yang baru.

Dengan ini, Tay New benar-benar usai.

Untuk pertama kalinya, sesak di dada terasa begitu nyata, jemarinya bergetar dengan sepucuk surat yang selesai ia baca, pun air mata yang jatuh sendiri membasahi pipi.

•••

-Joya-

[Pergi]

•••

Tepat di ketukan kesembilan kalinya, pintu bercat putih tulang itu terbuka, menampilkan wanita berumur lima puluh tahunan dengan rambut di ikat rapi, senyum manis wanita itu mirip sekali dengan Newwiee.

Pria berkulit tan dengan kaos hitam yang melekat di tubuhnya itu membalas senyum dari Ibu kekasihnya, “Pagi Bu, Newwiee-nya ada kah?” suara pria itu terdengar.

Seulas senyum begitu sukar diartikan terukir, wanita paruh baya itu mempersilahkan Tay terlebih dahulu untuk masuk kedalam, namun Tay malah menolak dengan halus dan berakhir keduanya duduk di kursi yang ada di depan teras setelah Ibu kekasihnya meletakkan dua gelas air di atas meja.

Kesepuluh jemari wanita berumur setengah abad itu saling meremat, lengkap dengan senyum tipisnya. “Sebelumnya, Ibu mau minta maaf atas nama Newwiee sama kamu.”

“Ibu minta maaf jika selama ini ada perkataan ataupun tindakan baik di lakukan secara sengaja atau tidak oleh anak Ibu ke Tay, yang bikin kamu gak enak hati ataupun jengkel sama Newwiee.”

“Kamu tau kan cara anak Ibu yang satu satu itu berpikir sulit sekali di tebak. Newwiee sudah pergi Tay.”

Pemilik iris hitam pekat itu terdiam, menatap Ibu sang kekasih sembari berucap, “Kemana Bu?”

Helaan napas panjang wanita itu terdengar, “Newwiee ada bilang apa ke kamu sebelum dia pergi? Dia cuma bilang ke Ibu kalau hatinya lagi gak baik-baik aja, dia butuh tempat untuk sembuh.”

“Ibu gak tau apa yang terjadi antara kalian berdua, tapi dia nitip surat ini sama Ibu buat kamu.” wanita ayu itu memberikan sepucuk surat berwarna biru muda pada Tay.

“New juga berpesan, bacanya di saat kamu sedang sendiri aja. Dia malu katanya.”

Tay mengangguk bertanda ia mengerti, “Tay minta maaf udah bikin hati anak Ibu terluka, dan Tay gak ada pembelaan apa-apa tentang itu, Tay salah, salah karena melibatkan Newwiee dan hatinya dalam masalah yang dia sama sekali tak tau apa-apa.”

“Bu, Tay minta maaf.”

Senyuman manis wanita itu terlihat, mengangguk sembari mengelus lengan kekasih anak sulungnya itu dengan lembut, “Ibu cuma bisa bilang, turutin aja dulu apa yang New ucapkan, dia memang seperti itu.”

“Tay tawan jangan takut, jika semesta memang berkata kalau kalian itu akan bersama, mau siapapun yang memisahkan, akhirnya akan kembali di pertemukan.”

“Namun, jika memang kamu bukan tempat dia untuk berpulang, mau segila apapun menemukannya, tetap tak bisa bersama apapun ceritanya.”

•••

-Joya-

[Kehilangan]

•••

“Tawan.” Panggilan dari lelaki berkulit putih dengan mata sipit itu membuat sang empunya nama menoleh kebelakang, menatap teman sejawatnya dengan tatapan datar. Tak berniat membuka suara barang sedikit saja.

“Ayo pulang.” Off berujar.

“Gue mau nunggu New keluar.”

Helaan napas terdengar, Off memang tak tau jelas apa yang terjadi antara mereka berdua, namun sedikit banyak ia paham, karena Tay terlihat begitu berantakan, guratan lelah tercetak begitu jelas di wajahnya.

“Besok kesini lagi, gue temenin lo buat nyamperin Newwiee. Gausah bego ini udah larut, lo mau sakit?”

“Tapi New gak bakal ninggalin gue kan?”

Pertanyaan itu tak bisa di jawab oleh temannya, helaan napas dari pemuda berkulit tan itu terdengar bersamaan dengan kedua telapak tangan yang mengusap wajah dengan gerakan kasar.

“Lo gak bisa jawab kan?” Tay ambil suara, lagi.

“Pulang dulu, ke kost-an gue dah. Lo mau Ibunya New tau lo berdua lagi ada masalah? Ayo pulang anjing.”

•••

Off mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar cerita yang keluar dari mulut Tay tawan, “Jadi lo maunya gimana sekarang?”

Yang di tanya bungkam.

“Newwiee bakalan sama gue terus kan Off?”

Lagi-lagi, pertanyaan berisikan harapan itu terucap, terdengar di telinga pria bermata sipit yang tengah duduk di depan Tay tawan.

“Kehilangan Newwiee lebih mengerikan dari kematian gue sendiri.”

•••

-Joya-

[Gak usah di cari]

•••

Netra keduanya saling betemu, bersitatap beberapa waktu, karena mau bagaimana pun mereka sama-sama tau jika sebuah kata usai kemungkinan akan terucap dari salah satu pihak.

Pria berumur dua puluh enam tahun itu melangkah mendekat, namun yang lebih muda langsung mundur selangkah, helaan napas dari pria berkemeja lusuh dan rambutnya yang berantakan itu terdengar, “Sayang, jangan nangis.” Tay bersuara sedangkan New masih bungkam.

“Newwiee sumpah demi apapun aku gak bakal mau nerima perjodohan itu.”

“Dan membantah kemauan Papa kamu?” si manis membuka suara.

“New, hati aku di kamu.”

Pemilik iris kelabu itu tersenyum tipis, “Jadi ketakutan aku selama ini tentang kamu yang akan pergi bakalan terjadi.”

“Aku gak bakal pergi kemana-mana New, kita bakalan tetap kita.”

“Bagaimana bisa kata kita tetap ada kalau orang tua-mu saja gak bepihak sama aku dan kamu, konon lagi semesta?”

Yang lebih muda langsung menyerka air matanya dengan kasar, karena New sangat membenci dirinya yang terlihat lemah di depan orang lain. Iris kelabu itu terlihat begitu sedu, redup. Sinarnya tak lagi ada di situ.

Atmosfer di depan teras kediaman pria berkulit putih ini terasa begitu nestapa, lagi-lagi yang lebih tua mencoba untuk menggapai kekasihnya, namun sebuah penolakan langsung ia terima.

“Newwiee, aku sayang sekali sama kamu, kamu harus tau itu.”

“Kamu mau tau gak teman baru ku yang pernah aku kasih tau ke kamu itu siapa?” yang lebih muda bertanya.

“Tunangan kamu, Olphie.” lanjutnya.

“Lihat, semesta lagi-lagi bercanda sama aku, mungkin ini peringatan semesta, kalau aku sama kamu gak bisa bersama sampai tua, waktu kita cuma segini.”

“Newwiee” panggilan dengan nada begitu lirih bersamaan dengan gelengan kepala yang lebih tua terlihat, bermaksud agar New menghentikan ucapannya.

“Kamu itu orang baik, dan Olphie pun begitu. Dia bilang ke aku kalau dia akan nunggu kamu bilang kamu juga cinta sama dia selama apapun, dia bakal nunggu kamu Tawan.”

“Dia gak bakal pernah bisa mendengar kalimat itu dari mulut aku, karna sampai kapan pun kata itu akan aku ucapkan sama kamu aja.” Tay menjawab.

“Newwiee, kamu tetap sama aku, kan?” itu bukan pertanyaan, sangat jelas jika yang lebih tua meminta New untuk terus bersamanya.

“Kamu mau tau bagian paling menyedihkan aku saat ini apa?”

“Nyatanya aku adalah orang ketiga diantara kalian berdua, aku itu cuma pemeran pengganti yang menginginkan bersanding bersama pasangan pemeran utama.”

“Aku-” ucapannya terhenti bersamaan dengan sebuah isakan menyayat hati terdengar, begitu pilu. Dan Tay tawan baru melihat New dengan keadaan sehancur ini, itu karena ulahnya.

“Mungkin udah saatnya kamu menemukan rumahmu, dan itu bukan aku.”

“Mungkin juga udah saatnya kebersamaan kita berhenti, porsinya cuma segini.”

“Lupain aja tentang Fulan fehan dan berbagai impian yang ingin kita raih berdua. Itu udah gak ada, aku mundur.”

“Aku gak mau.” sargah yang lebih tua.

“Kamu suka kue-nya?” New bertanya.

“New-”

“Kamu suka kue-nya? Atau enggak?” lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya.

“Aku suka, sayang.” Tay menjawab.

Si manis kali ini tersenyum tulus, merentangkan kedua tangannya, Tay tawan langsung menerima tanpa bertanya. Mereka berpelukan, begitu erat, Tay berkali-kali mengecup pucuk kepala sang kekasih dengan sayang, hingga bisikan dari yang lebih muda terdengar, dan hatinya hancur seketika.

“Aku pergi, tak usah lagi kamu cari. Bahagia sama Olphie ya, kamu sama dia pantas sama-sama selamanya.”

•••

-Joya-

[Consequences]

•••

“Anak Ibu bikin apa nih?”

Pemuda berumur dua puluh empat tahun itu menoleh kebelakang, mengulas sebuah senyum lebar pada wanita paruh baya yang tengah berjalan mendekat ke arahnya.

“Aku belajar bikin kue tart hehe.”

“Siapa yang ulang tahun?”

New menghentikan kegiatanya, mulai menaruh semua perhatian pada wanita paling cantik di dunia ini, “Gak ada yang ulang tahun Ibuku sayang, New cuma mau menormalisasikan ngasih kue tart bukan karena ada acara tertentu.”

Ibunya hanya menggeleng sembari menaampilkan senyum tipis, “Kamu ini ada-ada saja. Mau bikin kue yang gimana, nak?”

“Seperti ini Bu,” New menjawab sembari memperlihatkan ipad-nya pada yang Ibu, “Ala-ala Korea hehe.”

“Ayo kita bikin, ini untuk Tay tawan ya?”

Anaknya tak menjawab, namun kedua pipi gembul itu langsung tersipu bersamaan dengan ekspresi malu-malunya yang terlihat, sang Ibu hanya bisa tersenyum simpul, tak lagi butuh jawaban anaknya atas pertanyaan yang ia berikan sebelumnya.

•••

Sebuah senyum pemilik iris kelabu itu perlahan terukir dengan begitu indahnya, menatap pantulan dirinya di depan cermin, setelah dirasa cukup, lelaki manis itu langsung meraih botol kaca berisikan pafrum miliknya.

Melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, pukul delapan malam tertera disana, lekas-lekas ia berjalan ke arah nakas, mengambil kunci mobil dan sebuah paper bag berisikan kue buatannya bersama sang Ibu tadi sore.

Usai berpamitan pada Ibunya, pria manis berponi menutupi dahi itu berjalan kegarasi rumahnya, langsung mengendarai mobilnya keluar dari pekarangan rumah, melajukan Honda Jazz itu dengan kecepatan sedang, dengan lagu milik Payung teduh berjudul Resah mengalun menemani kesendiriannya.

Debaran jantungnya langsung berdetak tak teratur tak kala iris kelabu itu melirik sebuah paper bag yang tergeletak di kursi penumpang-tepat di sampingnya, seulas senyum tipis tanpa ia sadari terukir, membayangkan senyum manis sang kekasih membuat hatinya menghangat.

Dua hari ini mereka berdua memang terlibat perang dingin, New yang tak kunjung menjawab pesan dan telepon dari pria berkulit tan itu, namun malam ini ia akan mengakhiri pertengkaran mereka, pun jua akan meminta maaf pada pujaan hatinya.

Sekitar dua puluh menit mengendarai mobilnya, pria berkulit putih bersih itu pun tiba di kediaman Tay, memarkirkan mobilnya di samping pagar luar kost-an kekasihnya, keluar dari mobil putih tulang itu dengan detakan jantung yang menggila luar biasa.

Ia melangkah masuk, keningnya mengerut ketika melihat sebuah mobil terparkir rapi tepat di depan kost-an yang lebih tua, pun dengan pintu kost yang terbuka lebar, karena biasanya Tay tawan tak pernah mau membiarkan pintu kost-nya terbuka.

Si manis tetap berjalan, namun langkahnya memelan, ia memutuskan untuk berhenti, berdiri di depan jendela karena tak lagi punya nyali untuk masuk ketika suara Tay tawan terdengar di telinganya.

“Kenapa Papa gak pernah mau mendengarkan suara aku? Kenapa ekspektasi Papa di limpahkan semua ke aku? Kenapa aku hidup selalu dalam aturan yang Papa mau? Kalau bisa milih aku gak mau jadi anak Papa.”

“Tay tawan vihokratana!” suara bariton itu terdengar, New sempat terlonjak kaget.

“Kamu itu Papa sekolahin tinggi-tinggi bukan untuk membangkang begini.”

“Aku gak minta buat di sekolahin tinggi-tinggi sama Papa, aku capek dengan semua kemauan Papa yang ujung-ujungnya jadi beban buat aku. Pa, aku ini anak kadung Papa, bukan boneka yang bisa Papa atur hidupnya sedemikian rupa.”

“Aku udah cukup dewasa, aku bisa nentuin bagaimana kehidupan ku selanjutnya.” Tay berucap panjang.

“Gak bisa, keputusan Papa tentang itu gak bisa di bantah oleh siapapun, apalagi kamu.”

“Aku capek banget ngomong sama Papa, aku gak bakal mau nerima perjodohan aku sama dia.”

New terdiam mendengarnya, tubuhnya mematung di tempat dan jantungnya seakan berhenti berdetak.

“Kamu gak bisa nolak, sejak awal keputusan Papa sudah bulat Tay tawan.”

“Agar perusahaan dan bisnis Papa tetap berjalan lancar, sampai rela ya Papa begini sama aku? Kenapa gak Papa aja yang menikah dengan wanita pilihan Papa itu?” Tay kembali menjawab.

“Papa gak mau tau, bulan depan kamu tunangan, dan tanggal pernikahan segera di tentukan. Kamu yang antar Olphie pulang.”

Kelima jemari yang menggenggam tali paper bag itu bergetar, dengan perlahan ia meletakkan bungkusan berwarna biru muda berisikan kue buatannya itu di samping pintu, lalu berjalan keluar dari kost-an kekasihnya dengan sesak yang terasa bukan main didada.

Dan pada akhirnya, hal yang begitu ia hindari dari masalah hati terjadi dengan sendirinya, luka itu kembali datang tanpa di undang, sebulir kristal jatuh membasahi pipi lelaki manis itu malam ini.

•••

-Joya-

[Consequences]

•••

“Anak Ibu masak apasih?”

Pemuda berumur dua puluh empat tahun itu menoleh kebelakang, mengulas sebuah senyum lebar pada wanita paruh baya yang tengah berjalan mendekat ke arahnya.

“Aku belajar bikin kue tart hehe.”

“Siapa yang ulang tahun?”

New menghentikan kegiatanya, mulai menaruh semua perhatian pada wanita paling cantik di dunia ini, “Gak ada yang ulang tahun Ibu ku sayang, New cuma mau menormalisasikan ngasih kue tart bukan karena ada acara-acara tertentu.”

Ibunya hanya menggeleng sembari menaampilkan senyum tipis, “Kamu ini ada-ada saja memang, mau bikin kue yang gimana, nak?”

“Seperti ini Bu,” New menjawab sembari memperlihatkan ipad-nya pada sang Ibu, “Ala-ala korea begitu hahaha.”

“Ayo kita buat bareng-bareng, ini buat Tay tawan ya?”

Anaknya tak menjawab, namun semburat merah itu hadir mengiasi pipinya, sang Ibu mengulas senyum tipis, ia tak lagi butuh jawaban dari anak sematawayangnya ini.

•••

Sebuah senyum pemilik iris kelabu itu perlahan terukir dengan begitu indahnya, menatap pantulan dirinya di depan cermin, setelah dirasa cukup, lelaki manis itu langsung meraih botol kaca berisikan pafrum miliknya.

Melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, pukul delapan malam tertara disana, lekas-lekas ia berjalan ke arah nakas, mengambil kunci mobil dan sebuah paper bag berisikan kue buatannya bersama sang Ibu tadi sore.

Setelah pamit, New langsung saja mengendarai mobil bewarna putih miliknnya dengan kecepatan sedang, debaran jantungnya menggila hanya karena wajah Tay tawan tiba-tiba muncul di ingatannya, lagu berjudul Resah milik Payung teduh mengalun menemani kesendiriannya malam ini.

New memang tak memberi tahu sang kekasih dengan kedatangannya kali ini, ia mau memberi kejutan saja. Karena beberapa hari sebelumnya mereka sempat terlibat perang dingin.