Joya.

Ibunya Newwiee.

[Peluk]

•••

Senyum manis khas pemuda berumur dua puluh enam tahun itu terukir tak kala ia keluar dari mini cooper miliknya, kedua tangan sengaja ia rentangkan tepat di depan si manis yang hanya berjarak beberapa meter saja dari dirinya.

Kerutan di bagian dahi yang lebih muda terlihat, menatap lawannya dengan gelengan kepala, menolak untuk di peluk teman sejawatnya.

“Ih Newwiee kamu tuh harus bayar hutang sama aku.” pria berkulit tan itu berucap, melangkah mendekati si manis, dan langsung memeluk tubuh temannya dengan begitu erat, mengecup beberapa kali pucuk kepala New.

Rengekan dari pemuda berkulit seputih susu itu tak lama terdengar bersamaan dengan bibir Tay yang sudah habis menjajah kedua pipi gembulnya, teman kok begini?

“Tawan ih.”

Tay tersenyum manis, menatap wajah lucu temannya sambil terkekeh pelan, dengan kedua tangan yang masih setia melingkar di tubuh New, keduanya berada di depan rumah pula. Haduh.

“Hutangnya sudah lunas, tapi aku masih mau peluk kamu, wangi bayi.”

“Lepasin gak?”

Tay menggeleng, semakin mengeratkan pelukannya.

“Lepasin Tawan.”

“Enggak mau Newwiee.”

“Aku hitung sampe tiga kalau gak di lepasin juga, aku gak mau ikut kamu jalan-jalan hari in-”

“Udah, udah aku renggangin ini.”

New menghela napas panjang, iris kelabunya menata netra hitam pekat yang berada di depan mata “Ini kita tetap aja namanya masih pelukan.”

“Ya salah kamu kenapa enak di peluk.”

“Kok jadi salah aku? Sadar hey kita itu cuma teman.” ucap yang lebih muda.

“Yaudah, kamu jadi pacar ku aja. Gimana?”

•••

-Joya-

[Mau kamu]

•••

Iris kelabu yang sedari tadi masih setia menatap layar datar yang berada di depannya, sesekali seulas senyum simpul memikat hati tersungging begitu indah di wajahnya, kedua ibu jari yang terus menari-nari di atas ponselnya, dia sedang asik dengan dunianya.

Dunia-nya yang berisikan tentang Tay tawan disana.

Sebuah pesan bertulisakan Aku udah di parkiran membuat senyum pemuda berumur dua puluh empat tahun itu semakin mengembang.

Begitu dentingan pintu berbunyi, netra keduanya bertemu, saling melempar senyum manis, dan Tay tawan langsung saja berjalan mendekati pria yang di tujunya.

“Udah gak ngambek nih?” ia langsung bertanya.

“Aku bercanda, tapi tadi kesel juga sih sedikit.”

“Aku tau, tapi kamu gak boleh makan terlalu banyak es krim, aku gak mau kamu pilek.”

“Iya Tawan, udah gausah ngomel.” New membalas.

“Kamu mau minum apa?”

“Kamu yang bikin nih?” yang lebih tua menaik-turunkan sebelah alisnya, lantas membuat New mengangguk dua kali, lengkap dengan senyum memikat hati.

“Iya, punya kamu aku yang bikin. Jadi mau apa?”

“Mau kamu aja, boleh?”

•••

-Joya-

[Hehe]

•••

Iris keduanya bertemu, yang lebih tua lantas menyengir kuda sembari memasukkan ponsel kedalam saku celananya.

“Hehe.”

“Hehe.” New meniru.

Pemuda berkulit sawo matang itu lantas beranjak dari motornya, melangkah mendekati si manis dan memaikan New helm.

Iris kelabu milik pemuda berkulit seputih susu itu mengamati seseorang yang berada beberapa centi meter darinya, menatap lamat-lamat wajah Tay tawan dalam jarak begitu dekat, tanpa sadar debaran jantungnya menggila. Ini maksudnya apa?

New tak mungkin menyukai teman sejawatnya, mereka itu teman, hanya sebatas itu dan tak akan pernah bisa lebih.

“Kamu wangi sekali.” Yang lebih tua ambil suara, sedangkan New hanya diam mematung, masih belum paham arti dari debaran jantungnya.

“Manis, hey, kok melamun?”

Yang di panggil manis pun tersentak, menatap yang lebih tua dengan alis terangkat satu, “Enggak melamun, cuma bengong aja.”

“Iya terserah Newwiee.”

“Sudah sarapan kah kamu?” Tay berujar lagi.

Gelengan dari yang lebih muda membuat hembusan napas Tay terdengar, namun dengan cepat New membuka suara terlebih dahulu dari pemuda berkulit tan yang berada di depannya itu.

“Aku ada janji sarapan sama Joss, jangan marahin Newwiee.”

“Duh gimana bisa marah kalau kamu udah bertingkah gemesh begini. Aku tuh cuma gak mau kamu skip-skip makan, nanti gak gembul, gak enak di peluk-peluk.”

“Tay.”

“Hmm?”

“Kita ini sebenarnya apa?”

•••

-Joya-

[Selaras]

•••

Ini cerita pertama yang berani saya bagi untuk kalian para jomblowan dan jomblowati, tapi buat kamu yang sudah punya kekasih juga boleh aja sih baca cerita ini, mana tau bisa jadi referensi tapi tidak bermaksud menggurui hahaha. Pertama kali saya bertemu manusia sok akrab namun sialnya punya senyum paling memikat, untung juga kala itu saya sedang sendiri, niatnya kan mau jalan-jalan di sore hari, siapa sangka malah bertemu sama lelaki yang membuat saya berhenti mencari orang yang pas di hati.

Dulu waktu saya tanya namanya siapa dia bilang “Percuma juga saya kasih tahu nama saya kalau ujung-ujungnya nanti kamu panggil sayang.” aneh kan, saya dulu ingin sekali cepat-cepat pulang untuk menghindari lelaki dengan parka hitam ini.

Dua hari setelah kejadian, saya datang lagi, sama sekali tidak mengharapkan bertemu dengan manusia aneh itu, namun ya namanya juga semesta yang suka bercanda, ketika sepasang sepatu usang milik saya berada di ambang tempat yang di tuju, lelaki dengan parka hitam itu malah berdiri beberapa meter dari saya, lengkap dengan senyum yang begitu candu di pandang lama-lama.

Saya mau putar balik, namun kayaknya dia memang punya seribu satu cara untuk membuat saya terus sama dia aja sore itu, dia bilang “Anggap saja kalau saya ini tour guide-nya kamu.” padahal saya sudah hapal sekali apa saja yang ada disini, namun karena senyuman manisnya itu, saya kalah untuk pertama kali.

“Selamat datang di pasar antik jalan surabaya, kamu mau kita kemana dulu? Asal jangan minta saya kerumah kamu bawa orang tua saja, tapi kalau kamu mau boleh juga sih.” ucapan kepalang panjang itu keluar dari mulutnya, saya masih begitu ingat bagaimana gaya dia berbicara dan gestur tubuhnya.

Tapi entah mendapat keberanian dari mana saya malah menjawab, “Emang kamu siapa sampai harus repot-repot bawa keluarga datang kerumah saya?'

Dia tersenyum begitu manis waktu itu, dia menjawab dengan santai namun kenapa jantung saya berdebar-debar tak karuan, begini jawabannya. “Bisa jadi saya adalah orang untuk kamu berpulang.”

Dari ketidakjelasan dan bicaranya yang asal keluar, dia benar-benar menemani saya sore itu, benar-benar menjadi seorang tour guide (abal-abal) untuk saya. Dia mengajak saya untuk melihat apa saja yang ada di tempat ini, mulai dari melihat berbagai macam barang antik seperti pajangan logam, telepon jaman dari tahun 70-an, kamera kuno, lukisan, dan lainnya.

Lalu setelah itu dia mengajak saya untuk berfoto bersama, katanya untuk kenang-kenangan, dia kayaknya memang tau banyak soal kamera, karena pada saat itu saya terlampau malas berdebat, ya akhirnya hanya mengikuti saja arahan yang dia berikan, tanpa bantahan sama sekali, saya masih ingat bagaimana wajah bingungnya melihat deretan kios, lalu dia berucap. “Kita tuh bisa dapet foto dengan background yang vintage banget lho, saya jadi bingung mau dimana kita fotonya, bagus-bagus semua.”

Saya pikir berfoto sama dia itu gak ada seru-serunya, ternyata saya salah, malah di saat itulah saya bisa tertawa hanya karena cara dia berpose sangat tak di duga, lucu sekali. Selesai mengabadikan yang katanya akan menjadi kenangan itu dia mengajak saya kembali masuk pada sebuah toko, pemuda dengan parka hitam itu bertanya begini pada saya, “Menurut kamu kalau saya mau ngasih untuk orang yang di anggap istimewa bagusan kacamata yang mana ya?”

Iris kelabu saya mengamati berbagai macam kacamata yang berada di depan mata. Sampai akhirnya pilihan saya jatuh pada kacamata berwarna cokelat gelap bebahan kayu jati, kata penjualnya begitu. Tanpa menimang-nimang pilihan saya pria itu langsung setuju, membeli kacamata pilihan saya sambil berkata. “Pasti orang itu suka sama kacamata ini.”

Saya ya diam saja, hingga tepat di pukul lima sore seluruh toko sudah tutup semua, tapi itu belum menjadi akhir dari pertemuan saya dan dia, pria beriris hitam pekat lengkap dengan bulu mata lentik dan alis tebal rapi itu mengajak saya untuk berjalan-jalan lagi, tapi kali ini katanya tanpa tujuan yang pasti.

Entah bagaimana alurnya, saya bisa jadi banyak bicara sama dia, di sepanjang perjalanan kami tak berhenti bertukar cerita, dan banyak tertawa bersama. Dari pertemuan kedua itu saya memutuskan untuk meng-iyakan ajakan dia agar kami punya pertemuan-pertemuan berikutnya.

•••

Aneh gak sih seminggu setelah kejadian itu saya selalu ingin bertemu sama dia, kami tak bertukar nomor telepon, pun tak tau nama satu sama lain, yang saya ingat dia bilang dia mau di panggil sayang.

Kesepuluh jemari saya menyisir rambut agar terlihat rapi, tak lupa memakai parfum agar wangi, sepasang sepatu usang yang selalu saya pakai sudah melekat dengan pas di kedua kaki. Senyum manis milik saya terukir tanpa sadar, karena hari ini adalah pertemuan ketiga saya dengan dia.

Kali ini kami tak lagi bertemu di pasar antik, melainkan di Taman Suropati, salah satu taman yang cukup menarik yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pemilik iris kelabu berkilau itu mulai melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, angka empat sore tertera disana, Langkah saya terhenti tak kala pandangan kami bertemu.

Kala itu seulas senyum simpul saya berikan padanya, dia lantas berkata. “Kamu tuh kalau senyum bukan main indahnya.” tapi untung saja dulu pipi saya tidak bersemu, kalau iya kan bukan main malunya.

Pria itu masih mengenakan parka hitamnya, namun kali ini ada tulisan kecil sebagai pemanis di bagian dada sebelah kiri, tulisannya Memento mori, saya sendiri gak tau artinya apa.

“Manis, kali ini saya gak mau jadi tour guide-nya kamu.” ia berucap, namun saya hanya menaikkan sebelah alis, lantas pria itu kembali melanjutkan katanya, “Saya mau jadi teman, teman yang bisa memberi kenangan indah kalau tiba-tiba kamu ingat saya.”

“Iya terserah aja mau gimana, sekarang kita mau ngapain?”

Seusai saya bertanya, pria dengan parka hitam itu mulai mengajak saya untuk memberi makan merpati, katanya kalau kesini itu lebih cocok bawa anak kecil, tapi dia bilang karena dia belum punya anak pun dengan dia anak satu-satunya di keluarga jadi dia mengajak saya, katanya lagi muka saya kayak anak kecil.

“Tadi malam saya cari di google apa aja yang bisa di lakuin disini, dan saya dapet tujuh aktivitas yang bisa kita lakuin berdua, tapi kayaknya mending kita ngikutin enam saja, soalnya di nomor lima tuh di suruh olahraga.”

“Kamu sampai searching di google untuk ini?” Saya bertanya, karena merasa tak habis pikir saja sama jalan pikiran pria yang berada di depan mata saya ini, aneh-aneh saja kelakuannya.

Sebuah anggukan dia berikan lengkap dengan senyuman manis yang di tampilkannya, “Iya, yang pertama itu memberi makan merpati. Kan itu sudah kita lakukan tadi, yang kedua adalah menghirup udara segar.”

Mendengar tiga kata di akhir kalimat yang dia lontarkan, gelak tawa saya tak bisa di tahan, apaan itu? Dia memang aneh, namun kenapa keanehannya dia malah bikin saya suka?

“Ayo manis, hirup udara segar sebanyak-banyaknya.” dia berkata dengan begitu santai saat itu.

“Udara segar itu adanya di pa-”

“Ikutin aja ya petunjuk dari google-nya.” potong pemuda berkulit tan itu dengan cepat.

Lagi-lagi, kekoyolan itu kami lakukan berdua, setelah menghirup udara yang katanya segar, dia mengajak saya untuk melihat monumen ASEAN, tak lupa mengabadikan moment lewat kamera yang selalu di bawanya kemana-mana. Hingga tanpa sadar matahari sudah hilang, di gantikan dengan bulan dan hamburan bintang yang menghiasi langit malam.

“Dua aktivitas berikutnya adalah, wisata kuliner sambil menikmati malam hari di taman Suropati.”

Saya kembali menyetujui, dia bilang kalau kesini tak lengkap jika tidak makan nasi gila, di karenakan ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di taman ini, jadi saya lagi-lagi meng-iyakan ucapan pria itu. Ternyata semakin malamnya hari semakin banyak orang yang datang kesini, apa mungkin karena ini malam minggu? iris kelabu milik saya menyapu keseluruh tempat, area taman cukup banyak di hiasi lampu-lampu bernyala kuning, angin malam yang berhembus membuat taman Suropati kian terasa syahdu.

“Nanti uang kamu saya gant-”

“Kita bertemu hari ini karena ajakan saya minggu lalu, jadi biarin aja ya pake uang saya.” dia memotong ucapan saya dengan cepat.

“Jadi, kalau minggu depan saya yang ngajak kamu untuk bertemu, jajannya pakai uang saya, ya?”

“Jadi kamu mau ngajak saya untuk melakukan pertemuan tanpa ujung?”

Pertanyaan yang dia lemparkan tak bisa saya jawab, berakhir dengan sebuah senyum manis yang terpantri di wajah lelaki itu.

Tepat di jam delapan malam saya dan dia berakhir duduk di kursi besi dengan es krim yang berada di tangan masing-masing, awalnya sama-sama bungkam, hanya mengamati orang-orang yang berlalu lalang, hingga akhirnya suara dari pemuda yang berada di samping saya terdengar. “Kita belum kenalan sama sekali, perkenalkan, nama saya Tawan vihokratana.”

“Saya kira nama kamu benar-benar sayang.” Saya menjawab.

Kekehan ringan pria itu terdengar, lantas saya menerima uluran tangannya, “Saya Newwiee thitipoom techaapaikhun. Bukan manis yang seperti kamu panggil sebelumnya.”

“Tapi kamu itu benar-benar manis, apalagi kalau lagi tertawa, matanya hilang.”

“Terima kasih pujiannya, Tawan.”

“Gak di panggil sayang?” dia bertanya dengan alis terangkat satu lengkap sebuah senyum menyebalkan miliknya yang tersungging.

“Memento mori, itu tulisan yang ada di parka kamu, artinya apa kalau boleh tau?” si manis bertanya.

“Ingat mati, dari bahasa latin, saya cuma pengen ngingetin diri sendiri aja agar selalu berbuat baik sebelum mati haha, aneh ya?”

Saya menggeleng, “Kali ini kamu gak aneh.”

“Kamu memang suka jalan-jalan sendirian Newwiee?”

Saya saat itu langsung mengangguk dua kali, “Iya, karena saya terlalu malas punya teman kali ya? Gak tau juga, saya lebih nyaman sendiri.”

“Oh begitu, kalau saya sebenarnya suka jalan-jalan bareng temen, bisa saya jadikan buat objek foto juga sih, dan dia dapet foto bagus dari saya, semacam simbiosis mutualisme.”

“Tapi kenapa kita seringnya selfie?” Saya bertanya, karena sepanjang kami bersama pria bernama Tawan ini selalu mengajaknya untuk foto berdua.

“Gak tau, tapi yang saya mau saya harus foto bareng kamu terus.”

“Kamu memang terbiasa gombal ya?”

“Saya bahkan belum pernah pacaran haha, ini gak tau kenapa bisa tertarik sama kamu.”

Kala itu di Jakarta, tepatnya di taman Suropati, pukul delapan malam, 23 desember 2012 semburat merah di pipi Newwiee hadir tanpa permisi sama sekali.

•••

Joya's point of view.

Bandung, 22 mei 2021.

Sebuah senyum manis masih terpantri di wajah tampan namun juga cantik miik pria berumur dua puluh sembilan tahun itu. Iris kelabunya mengamati puluhan photo card yang berada di genggamannya. Hingga sebuah usapan di bagian lengan tertutup kemeja longgar berwarna cokelat susu yang ia kenakan membuatnya menoleh ke kanan.

“Kamu ngapain?” Yang lebih tua bertanya, nadanya lembut sekali.

“Ngeliatin foto-foto kita, liat deh Mas ini tuh pas kita di Banda neira.” Si manis berucap sembari memperlihatkan sebuah photo card pada orang terkasihnya.

Yang lebih tua tersenyum, lalu perhatiannya teralih pada sebuah foto mereka yang tengah tersenyum bahagia, “Ini pertemuan kita yang kedua kali di pasar antik, Newwiee.” ia berujar.

Iris kelabu itu mulai teralih pada photo card yang berada di genggaman suaminya, iya, manusia yang awalnya ia angap aneh itu sekarang malah menjadi teman hidupnya, bercanda sekali memang semesta bekerja.

“Ini di Kelimutu, aku jadi pengen liburan ke Marauke deh Newwiee, kita kan udah tuh ke Sabang.”

“Kita cari waktu ya Mas.”

Keduanya duduk bersila di lantai laminate berdua, dengan setumpuk photo card yang berserakan di depan mata, Tawan meraih ponsel yang berada di saku celananya, lalu mulai menyalakan lagu yang dulu sering sekali mereka dengarkan di kala sedang menghabiskan waktu bersama. Sebuah lagu lama milik Monica berjudul Angel of mine.

Netra keduanya bertemu, saling melempar senyuman manis, Newwiee mulai asik pada kegiatannya memandangi Tawan yang tengah sibuk melihat-lihat kembali kenangan yang pernah mereka lalui bersama-sama, berdua.

Semakin hari, Newwiee merasa jika cintanya pada manusia yang berada di depan mata ini malah semakin besar saja, debaran-debaran ketika ia bersama Tawan masih terasa begitu jelas, tidak mengada-ngada karena memang begitu nyatanya.

Terhitung sembilan tahun bersama membagi segalanya berdua, Newwiee masih begitu senang ketika suaminya memanggil namanya, cara pria berumur tiga puluh dua tahun itu memanggil nama Newwiee memang sempurna, tak di singkat menjadi New, Nuwi, Uwi, ataupun Nunu. Tawan selalu memanggilnya dengan Newwiee, secara utuh.

Berbicara tentang Tawan membuatnya mengingat sesuatu yang pernah Ibunya sampaikan, “Jangan pernah cari pasangan yang kaya, tapi temukanlah dia yang membuat mu merasa bahagia.” Namun sepertinya semesta sangat berbaik hati sekali pada Newwiee, pria berkulit putih bersih itu malah di pertemukan oleh orang yang bisa membuat bahagia dan kaya pula hahaha.

“Newwiee.”

Lamunannya seketika buyar ketika namanya di panggil, Newwiee memajukan tubuhnya lengkap dengan alis terangkat satu, “Saya Mas.”

“Kenapa senyum-senyum begitu?”

“Kamu tampan.” Newwiee menjawab.

pria berkulit tan itu hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum geli mendengar ucapan Newwiee-nya. “Ini di photo card-nya ada tulisan, Tawan dan cuci piring.” yang lebih tua berucap.

Newwiee tertawa mendengarnya, “Ah aku jadi ingat, kan dulu kamu pernah bahas pas kita lagi duduk berdua di halte-”

“Newwiee kalau kita bertengkar masalah besok siapa yang cuci piring kayaknya keren juga. Aku bilang begitu, kan?” Potong Tawan yang langsung mendapat dua acungan jempol dari pria manis yang berada di depannya.

“Kamu harus tau kalau setelah pertama kali kita bertemu, aku setiap sore datang ke pasar antik buat nemuin kamu.” Tawan berucap, sembari menyusun kembali photo card yang berserakan, meletakkannya di sebuah kotak berwarna abu gelap.

“Aku udah nebak, makanya gak mau datang.” Newwiee menjawab.

Yang lebih tua tampak mencibir tak terima, “Bohong banget, kamu aja selalu meng-iyakan ajakan dari aku setelahnya.”

“Itu biar kamu gak patah hati sebelum berjuang aja.”

Kalau kamu mengangap kami itu akur, itu salah besar, nyatanya semu merah di pipi sering tercipta karena bertengkar.

“Iya, aku iya-kan saja. Yang penting sekarang kalau di tanya nama lengkap kamu siapa, jawabannya Newwiee thitipoom vihokratana.” Tawan kembali ambil suara.

“Mas.”

“Hmm?”

Perlahan, yang lebih muda memutar tubuhnya, menyenderkan dirinya di dada bidang milik Tawan, lalu mengamit dan memainkan jemari suaminya dengan begitu santai, Tawan tersenyum melihat tingkah manja Newwiee padanya.

“Ternyata lirik lagunya Kunto aji itu beneran lho Mas.”

“Lirik yang mana?”

“Dari yang sudah-sudah, hanya kau lah arti rumah.”

“Udah bisa gombal sekarang?”

Yang lebih muda berdecak sebal, “Aku gak gombal, itu kenyataan.”

“Rumah itu bukan perkara atap dan bangunannya, rumah adalah siapa yang ada di dalamnya.” Newwiee kembali berucap.

“Ternyata pertengkaran kita perkara besok siapa yang mencuci piring benar-benar keren ya Newwiee, buktinya sekarang aku benar-benar sama kamu, ujung-ujungnya juga mau siapapun namaku kalau sebelum tidur kamu panggil sayang.”

Newwiee mengangguk, tak mau membantah yang berujung mereka akan berdebat, dia mau berduan, bermesra-mesraan di minggu pagi yang mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun.

Iris kelabunya berhenti mencari, menatap sebuah kacamata berwarna cokelat gelap dari kayu jati yang terpajang begitu rapi di rak kayu ruang tamu.

“Ternyata kaca mata buat orang spesial itu, buat aku haha.” yang lebih muda bersuara di susul dengan kekehan ringannya.

“Kamu kira buat siapa?”

“Orang spesial-nya kamu.”

“Orang spesial-nya aku ya Newwiee.”

—Kisah ditutup.

•••

-Joya-

[Cemburu]

•••

Lagu milik Rasukma berjudul Inti bumi mengalun dengan indah, biasanya mereka berdua akan bersenandung bersama, namun kali ini beda, Tay yang biasanya tak bisa diem benar-benar bungkam, pandangannya lurus kedepan tak jua ingin melirik pemuda dengan poni lucu menutupi dahi yang berada di sampingnya.

Helaan napas dari si manis terdengar, iris kelabunya menyapu keseluruh pandangan yang bisa ia jangkau, “Pulang ajalah Tay, macet juga.” New berucap, memecah kesunyian yang terjadi sedari tadi.

“Tadi kamu ngajak pergi.”

“Kalau diam-diam begini mending aku dirumah aja.” New membalas, ia kesal.

Pemuda berkulit tan itu membelokkan mobil yang ia kendarai ke jalanan sepi-perlahan menepikan mobilnya dan berhenti.

“Jadi mau pulang?”

“Ya.”

“Pulang nih?”

“Heem.”

“Kamu gak mau ya jalan sama aku?”

Iris kelabu yang sedari tadi menatap manusia berkulit tan itu pun mengerut kan dahinya, heran saja mengapa Tay hari ini begitu sensitif sekali.

“Kan aku yang ngajak, kamu tuh kenapa sih, cemburu gak jelas, sama Suho pula.”

“Aku pikir kamu tuh bercanda ya kayak biasanya Tay, tapi kenapa di bawa serius kali ini? Konyol.”

Cowok dengan kaos hitam itu masih bungkam, mulai memutar sedikit posisinya agar menatap sang kekasih, iris hitam pekatnya mulai menelisik wajah manis yang tampak dengan lampu temaram dari mobil.

“Emang cemburu harus punya alasan? Nyatanya juga kamu lebih sayang dia kan ketimbang aku.”

“Astaga Tay tawan.” helaan napas cukup panjang terdengar dari pemuda berkulit putih itu, “Kamu tau gak sih? Sadar gak kalau orang yang kamu cemburuin itu gak akan pernah bisa jadi milik aku, Tawan please dong jangan konyol begini.”

“Tetep aja cemburu.” Yang lebih tua menjawab.

“Yaudah iya, terserah. Jalanin mobilnya aku mau pulang.”

“Newwiee.”

“Apalagi?”

“Beneran gak sayang sama aku?”

Si manis menggaruk kepala bagian belakangnya yang sebenarnya tak terasa gatal sama sekali, “Kamu mau aku jawab apa? Percuma juga aku ngomong kalau kamu gak percaya.”

“Yang jujur.”

“Sayang sekali, kamu itu pacar-nya aku Tay.”

“Yang bohong.”

“Benci banget aku sama kamu jelek.”

“Tapi kenapa yang bohong kedengarannya jujur?”

“Terserah kamu lah, capek banget aku.”

Kekehan dari yang lebih tua perlahan terdengar, membuat air muka si manis menjadi heran, pacarnya gila beneran kah?

“Heh, kesurupan ya?” New bertanya sembari memegang lengan kekar kekasihnya.

“Sini mbul, aku peluk.”

“Mbul apaan? Cabul? Perasaan aku yang cabul itu kamu deh.”

“Gembul, aduh kamu kuno banget.”

Tay menarik New untuk masuk kedalam pelukannya, lalu kekehan ringan yang berasal dari cowok berkulit tan itu terdengar lagi.

“Lucu banget ngeliat kamu ngomel-ngomel.”

“Lo bercanda ya jelek?”

“Hahaha, maaf cantik.”

“Gak lucu, mau pulang. Sekarang!”

•••

Mobil milik Tay akhirnya berhenti depat di depan pagar rumah Newwiee, yang lebih muda lantas berniat langsung keluar namun cekalan tangan dari kekasihnya membuat ia kembali pada posisi awal.

“Beb, duh kok jadi lo ngambek sih.”

“Lo mikir lah anjir, kesel banget gue.”

“Ih iya aku tuh bercanda, yakali aku cemburu beneran sama Suhi. Bercanda aku sayang.”

Lipatan di bagian dahi si manis terlihat sembari mencibir Tay tawan, “Sayang-sayang biasanya minta cium kan lo?!”

“Hehe.”

“Gak ada, udah lepasin tangan gue mau pulang.”

“Gak mau Newwiee, kita ngobrol dulu disini.”

Gelengan kepala langsung di layangkan oleh yang lebih muda, wajah yang ia buat menjadi galak malah terlihat begitu lucu di mata kekasihnya.

“Males ngobrol mulu, makan kagak. Laper gue.”

“Yaudah ayo kita beli ja-”

“MALES.”

“Beb aku sayang banget sama kamu.” Tay berucap.

“Gak nyambung, tapi gue juga sayang.”

“Kita masak aja yuk, masak mie juga boleh dah hahaha. Terus nonton film, mau New?”

“Mau.”

Senyum keduanya terukir, ketidak jelasan mereka memang suka bikin kepala geleng-geleng tak habis pikir. Dasar remaja alay.

“Sini deketan gue kasih hadiah karena pacar virtual lo ulang tahun.” Tay berujar.

New menaikkan sebelah alisnya, namun tetap menurut, perlahan bibir mereka hampir menemukan pasangannya masing-masing, pun dengan debaran yang menggila, New menutup kedua matanya, menyembunyikan iris kelabu miliknya, di saat bibir mereka ingin memagut mesra, ketukan di jendela kaca mobil terdengar, lantas saja kedua anak adam itu saling berjauhan, menatap seseorang yang berada di luar.

“ISTIPAR LO BERDUA.” itu Off jumpol.

•••

-Joya-

[Fetching]

•••

Seulas senyum simpul begitu memikat siapa yang melihat muncul di ujung bibir ranum merah jambu miliknya. Kedua ibu jarinya masih terus menari-nari di atas benda pipih berwana putih-notifikasi dari sebuah pesan berbunyi, lekas-lekas ia membuka dan membacanya dengan perasaan bahagia tiada tara.

Mungkin bahagianya kali ini memang di dapat karena kesedihan-kesedihan beberapa hari yang lalu datang menghampiri tanpa permisi, pria berumur dua puluh tiga tahun itu meletakkan ponselnya di atas meja, beralih menyesap kopi hangat miliknya sembari menunggu manusia yang katanya sebentar lagi akan tiba.

Jam tangan berwarna putih tulang melekat dengan apik di tangan kiri lelaki berkulit seputih salju itu, pukul sembilan malam tertera disana, senyum manisnya kembali terukir indah tak kala iris kelabu miliknya menangkap sesosok pria yang melempar senyum kearahnya.

“Macet banget, maaf ya.” suara milik seseorang yang menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir itu terdengar di telinga.

Yang lebih muda tersenyum maklum, ia tau betul bagaimana keadaan jalan raya di kota besar, macet itu seperti makanan sehari-hari bukan? Jadi tak perlu heran.

“Minuman kamu baru saja aku pesan, takut kalau pesannya barengan sama aku jadi gak enak lagi karena di diamkan begitu lama.”

“Duh jadi cantik-nya aku sudah dari tadi ya? Maaf sayang.”

“Tak apa-apa Tawan, sebenarnya ada yang mau aku perlihatkan sama kamu.” si manis berujar.

Iris hitam pekat milik manusia yang berada di depannya menyipit lengkap dengan senyuman miring pria itu tampilkan, “Mau ngasih tau kalau kamu makin cinta sama aku?” pria bernama lengkap Tawan vihokratana itu bertanya pada kekasihnya.

Kekehan ringan dari pemuda berkulit putih bersih itu terdengar, “kalau yang itu gak perlu di kasih tau kamu juga udah tau hahaha.” jawab si manis, “Tapi kali ini beda, aku mau ngasih tau ini.” sambungnya sembari melepaskan topi bucket yang sedari tadi melekat dengan sempurna di kepala.

Netra keduanya bertemu, tepuk tangan dari Tawan terdengar ketika matanya menatap surai sang kekasih, “Keren banget kamu.” ia berucap jujur.

Hembusan napas terdengar dari yang lebih muda, kembali memaikan topi bucket berwarna hitam dengan hiasan kecil di ujungnya sebagai pemanis, “Dari banyaknya manusia yang aku kasih tau, cuma kamu yang berkata begitu.”

“Emang yang lain bilang apa, Newwiee?”

“Katanya aneh, rambut bagus-bagus hitam kok segala di ganti-ganti, malah milih warna merah pula, begitu kata mereka. Makanya aku pakai topi.”

Perlahan, yang lebih tua mengelus punggung tangan kekasihnya dengan begitu pelan, penuh perasaan, dan tentu saja ada rasa teramat sayang di dalamnya. “Biarin mereka mau ngomong apa, kamu gak perlu ngerubah dirimu untuk memuaskan ekspektasi seseorang.” pria bernama Tawan itu bangkit dari duduknya, kembali melepas topi yang berada di kepala sang pujaan hati, “Karena bagi aku, selama yang kamu buat itu gak merugikan siapa-siapa, aku bakalan dukung apa aja.”

“Ah, itu karena aku pacar kamu, makanya kamu bilang begitu.”

Yang lebih tua mengangguk, kembali pada posisinya-duduk manis menatap iris kelabu dengan seulas senyum tipis, jemari telunjuk pria berkulit tan itu memutar-mutar topi kekasihnya. “Mungkin iya, karena aku kekasih mu, tapi terlepas dari itu kamu itu kamu. Newwiee, kamu itu milik dirimu sendiri, apa yang kamu lakukan pada dirimu itu ya simple-nya terserah kamu. Orang lain gak perlu ikut campur tentang dirimu.”

“Mereka bilang kamu aneh karena mereka gak tau fashion seorang Newwiee saja.”

“Emang kamu paham fashion?” yang lebih muda bertanya, menimbulkan gelak tawa dari Tawan, setelahnya sebuah gelengan terlihat.

“Mana paham aku yang begitu hahaha, tapi sayang, kamu dengan rambut merah mu itu sebuah kombinasi sempurna. Jangan mikirin kata orang terus, ya?”

“Jadi gak aneh? Jujur Tawan.”

Gelengan dari pria berumur dua puluh delapan tahun itu terlihat, “Enggak sama sekali, kamu kelihatan beda, bikin aku jadi pengen nyoba bagaimana.”

“Nyoba apa?” si manis bertanya.

“Buka hape kamu coba.”

New menatap mataharinya dengan curiga, namun tetap menuruti apa yang pria itu katakan, setelah membaca pesan dari kekasihnya, si manis mendengus sebal menatap senyum merekah di wajah Tawan-nya.

Isi pesannya begini, pengen nyobain gimana kamu dengan rambut merah mu kalau sedang di bawah ku, cobain yuk sayang.

“Dasar tua bangka mesum.”

Pria berkulit tan itu langsung saja membelalakkan matanya tak terima, “Kita cuma beda setahun.”

“Setahun bibirmu, aku tuh pacaran sama om-om.”

Pria berkulit tan itu melepas jas yang dikenakannya, menyisakan kemeja putih membentuk tubuhnya, terlihat begitu sempurna. Iris hitam pekat yang lebih tua menelisik wajah manis nan cantik kekasih hatinya, “Coba kamu tanya sama pengunjung disini, aku kelihatan kayak om-om enggak.”

Gelak tawa dari yang lebih muda terdengar, Tawan memang begitu sensitif jika membahas perbedaan umur mereka berdua, dan New begitu suka menggoda kekasihnya.

“Bercanda Tawan, kamu ganteng sekali malahan. Gak kelihatan kayak om-om beranak dua.” New berkata.

“Gimana mau kelihatan punya anak orang aku-nya saja belum menikahi kamu.

Semburat merah langsung menghiasi kedua pipi gembul si manis, ia gelagapan sendiri membalas ucapan yang lebih tua, sedangkan Tawan hanya tersenyum tipis sembari menyesap minuman miliknya.

“Kuliah kamu gimana?”

“Ya begitulah om.”

“Newwiee.”

New kembali tertawa, menggoda Tawan memang menjadi candu untuknya, melihat wajah kesal kekasihnya memang hal yang paling ia suka, “Aku udah kayak oppa-oppa korea?”

“Sudah.”

“Besok kita ke salon buat warnain rambut kamu, ya?”

Tawan tersedak, tawa New kembali terdengar di telinganya, agaknya sang kekasih menjadi lebih jahil dari sebelumnya kali ini, “Tunggu kamu di apartemen.”

“Aku pulang kerumah Ibu malam ini.” New menjawab sembari menjulurkan lidahnya pada sang kekasih.

Tawan tak lagi berucap, hanya menampilkan senyum manis mencurigakan, membuat kerutan dibagian dahi yang lebih muda tercipta, lalu ia berkata. “Kalau kamu ngelakuin hal yang gak terduga, awas saja.”

“Hal tak terduga yang aku berikan acap kali membuat kamu bahagia kan, cantik.”

•••

Nyatanya mau bagaimana pun seorang Tawan vihokratana, Newwiee akan senang hati mengalah dan mengatakan iya, seperti hal-nya sekarang dengan sedikit rayuan saja ia sudah kalah dan meng-iyakan ajakan sang kekasih untuk menginap di apartemen milik pria berumur dua puluh delapan tahun yang tengah berada di kamar mandi itu.

Lelaki berkulit seputih susu dengan begitu telaten meletakkan telur dadar buatannya kedalam piring, pun juga dengan sup wortel dan kentang yang sudah berada di mangkok-senyumnya mengembang sempurna tak kala melihat hasil masakannya diatas meja makan.

Pria berumur dua puluh tiga tahun itu melepas apron yang melekat di tubuhnya, menyisir poninya dengan kelima jemari, lalu melangkah ke arah lemari pendingin, mengambil sebotol minuman soda untuknya saja, karena Tawan tak begitu menyukai minuman bersoda.

“Keringin dulu rambutnya ganteng.” New berucap, berjalan mendekati kekasihnya yang tengah berdiri beberapa meter darinya.

“Sini aku bantuin.” si manis kembali berucap, menarik pergelangan tangan Tawan, mengajaknya untuk duduk di sofa ruang keluarga.

Tawan dengan senang hati memberikan handuk kecil yang melingkar di lehernya pada sang kekasih, membiarkan New mengambil alih atas dirinya, memerhatikan bagaimana New berkutat pada surai hitamnya, seulas senyum tipis terukir di wajah yang lebih tua tanpa sadar.

“Selesai, ayo makan.”

Langkah si manis terhenti karena cekalan tangan dari Tawan, pria berkulit tan itu semakin menarik lengan kekasihnya, membuat New terduduk di atas pangkuannya, lalu ia tersenyum manis.

“Makan dulu, ayo.” New berujar lembut.

“Kamu kurusan banget.”

“Iya aku kan sering bergadang, kamu tau lah tugas ku seperti apa.”

Ibu jari yang lebih tua masih setia mengelus pipi kekasihnya, “Kamu harus naikin berat badan, aku gak suka kamu kurusan begini.”

“Kan seksi, Tawan.”

“Seksi apanya, kayak ulat keket.”

Kedua kelopak iris kelabu itu membelalak, memukul lengan yang lebih tua dengan sebal. “Kayak gak ada persamaan yang lain aja. Kesel Newwiee.” ucapnya dengan bibir yang di majukan beberapa senti, lucu sekali.

“Kamu seperti indomie.”

“Kenapa?”

“Seleraku.”

Tawa Newwiee meledak mendengar penuturan yang lebih tua, kedua tangannya berlarih memegang sisi wajah sang kekasih, “Orang tua kalau nge-gombal memang jayus begitu.”

“Tapi gak apa-apa, kalau Tawan yang ngomong jadi beda.”

“Bedanya apa?”

New tak lagi menjawab, hanya mengulas sebuah senyum simpul, lalu beranjak dari pangkuan yang lebih tua, mengajak kekasihnya untuk makan malam bersama-sama.

•••

“Keasinan ya?”

Tawan menggeleng, menyuapkan sesendok nasi berserta lauk-pauk kedalam mulutnya, mengunyahnya dengan santai sembari sesekali menatap sang kekasih yang berada di depannya.

“Kamu makin pinter masaknya, gak mau buka rumah makan?”

“Pembeli tetapnya seorang pengusaha tua Tawan vihokratana.” New menjawab dengan senyum manisnya.

Yang lebih tua mendengus sebal, “Bisakah kamu hilangkan kata tua di setiap kalimat yang keluar dari mulut kamu, Newwiee?”

“Gak bisa, karena memang faktanya begitu.”

“Tapi kamu cinta sama aku.”

“Iya, aku juga gak tau itu sebuah keberuntungan apa bukan.”

•••

Setelah ucapan New beberapa menit yang lalu, Tawan benar-benar senyap, bahkan pria itu langsung berjalan ke kamarnya setelah menghabiskan makanannya, ia benar-benar merajuk pada New.

New hanya menggelengkan kepala sembari terkekeh geli, sisi yang tak pernah ia lihat sebelum Tawan menjadi kekasihnya memang awalnya membuat New terkejut, siapa sangka pria super dingin itu bisa ngambek perkara perbedaan umur mereka.

Setelah selesai mencuci piring kotor, pemuda berkulit seputih susu itu berjalan masuk kedalam kamar sang kekasih, netranya langsung menangkap pria dengan kaos belel dan celana pendek sepahanya-Tawan tengah duduk bersandar di atas sofa yang berada di sudut kamarnya. Yang lebih tua sibuk bermain pada ponsel yang berada di genggamannya, bahkan tak mau mengalihkan perhatiannya.

New diam saja, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Tawan memang begitu, jadi dia sudah begitu maklum.

Tak lama, si manis keluar dengan piyama berbahan satin yang melekat di tubuh rampingnya, Tawan melirik ke arah sang kekasih tak kala bau bunga dan buah langsung menyapa indera penciumannya, Newwiee sehabis mandi bukan main wanginya.

New kembali terkekeh geli melihat kelakuan kekasihnya itu, “Masih ngambek? Aku pulang aja apa ya? Percuma juga disini kalau di diam-kan sama kamu.” pancing si manis.

“Jangan pulang cantik.”

Kan, Tawan itu lemah.

Yang lebih muda berjalan mendekati pujaan hatinya, berdiri tepat di depan Tawan lalu merentangkan kedua tangannya, “Mau di peluk kamu.”

Tawan langsung berdiri, menerima pelukan si manis dengan senang hati, menghirup aroma segar Newwiee-nya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia sejatuh ini pada seorang anak kemarin sore yang ia temui di rumah keluarga besarnya.

“Wangi sekali Newwiee.” Tawan berbisik.

“Kamu juga, enak kalo di peluk kamu.”

Tawan tersenyum, mengelus surai merah kekasihnya dengan sayang, “Besok kamu kelas jam berapa?”

“Jam sepuluh, gak mau di antar nanti pada heboh.” New menjawab dengan cepat, ia tau betul kalau Tawan sudah bertanya begitu.

“Punya pacar ganteng itu harusnya di pamerin.” Tawan berujar pelan, mengajak New untuk duduk di sofa, membiarkan si manis menyenderkan kepalanya di dada bidang Tawan.

“Gak mau, kamu tau segimana egoisnya aku soal kepemilikan.” jawab yang lebih muda sembari mengeratkan pelukannya.

“Anak bayi posesif.”

“Biarin aja wle.” New menjulurkan lidahnya pada Tawan.

“Sayang.” Tawan memanggil, dan di balas dehaman oleh yang lebih muda.

“Kalau aja dua tahun yang lalu Mama gak ngenalin kamu sama aku, mungkin kita gak bisa begini.”

“Kamu tau gak Tawan, aku tuh paling gak suka datang-datang ke acara koleganya Ayah. Tapi hari itu aku mau, aneh kan?” New pun berujar.

Kelima jemari yang lebih tua masih setia berada di surai lembut sang kekasih, “Kalau dua tahun yang lalu aku gak ketemu sama kamu, mungkin aku masih sendiri.”

“Pertama kali kamu ngajak aku kenalan aku tuh langsung heran tau, kenapa kamu yang ganteng begini bisa melihat keberadaan aku. Karena biasanya aku tuh selalu jadi pilihan paling akhir di antara ketiga teman ku.”

“Aku malah udah kepalang biasa kalau ketemu orang baru, namun yang mereka tanya tentang teman-teman ku.”

“Bagus dong, indahnya kamu itu gak bisa di lihat sembarangan orang. Pertama kali aku lihat kamu lagi duduk di samping Ibu-mu sambil masang muka mau pulang, aku langsung bilang ke Mama, kalau mau jodohin aku ya sama kamu saja.”

“Mama langsung ngangguk dan kenalin aku sama kamu haha.”

New mengangguk setuju, perlahan kepalanya menengadah, menatap wajah Tawan “Aku tuh heran banget dulu ngeliat kamu, pake pakaian formal tapi kok pakenya sneakers.”

“Tapi lama-kelamaan aku sadar, setiap manusia punya gayanya masing-masing, punya rasa nyaman yang gak boleh di ganggu gugat sama orang lain.”

“Aku gak mau nyembunyiin warna rambut ku lagi haha, besok gak pake topi.”

“Gitu dong, harus percaya diri karena kamu itu keren dengan cara mu sendiri.”

“Makasih ya selalu mau dengerin keluh kesah-nya aku, selalu bisa ngasih saran paling dewasa untuk aku, gak salah deh Newwiee punya pacar yang tu- maksud aku itu dewasa Tawan, jangan begitu dong natapnya Newwiee kan takut.”

Tawan terkekeh pelan, mencium kedua pipi sang kekasih dengan brutal lalu mengigitnya sampai sang empu meringis dan menjabak rambut Tawan.

“Anda pikir pipi saya ini mochi apa, sakit tau.” si manis cemberut, mengusap kedua pipinya yang basah karena ulah sang kekasih.

“Maaf Newwiee, abisnya kamu gemesh.”

“Cepet cium pelan-pelan pipinya Newwiee.” si manis meminta.

Dengan senang hati yang lebih tua mengabulkannya, mengecup dengan begitu lembut seluruh wajah sang kekasih, “Tawan jangan natap Newwiee begitu, aku deg-deg-an.”

Tawan terkekeh mendengar penuturan yang lebih muda, perlahan ia memangkas habis jarak yang ada di antara keduanya, pandangannya tertuju pada bibir merah muda milik Newwiee-nya, “Boleh aku cium kamu?”

“Bisa gak kalau mau ngelakuin hal begini gausah nanya-nanya aku dulu? Lakuin saja Tawan, aku gak bakal marah.”

“Semuanya harus ada persetujuan antara dua be-”

“Kamu lama.” potong New, ia terlebih dahulu menyatukan kedua bibir mereka, pagutan itu terjadi, mata keduanya tertutup rapat, Tawan menyesap bibir tebal sang kekasih dengan begitu nikmat.

Kedua tangan yang lebih muda bermain pada rambut Tawan, meremasnya dengan gerakan tak teratur, dengan begitu mudah pria berkulit tan itu mengubah posisi keduanya, mengukung sang kekasih yang sudah berbaring di bawah kuasanya. Tawan melepas pagutan yang terjadi ketika dirasa si manis kehabisan napas.

“Kok di buka kancing bajunya?” Tawan bertanya, bermaksud menggoda.

Rona merah di pipi yang lebih muda kembali hadir, “Tawan gak mau, ya?” ia bertanya, terselip nada khawatir dan kecewa disana.

“Aku gak bilang begitu, kata siapa gak mau?”

“Jadi Tawan mau?”

Pria berkulit tan itu tak menjawab, melayangkan kecupan kecil di bagian leher putih bersih kekasihya, lalu beralih mencium dagu, kedua pipi, dan terakhir berhenti di dahi, ia menciumnya dengan cukup lama, mencurahkan segala rasa cinta dan sayang pada Newwiee-nya.

“Aku sayang sekali sama kamu, Newwiee.”

—Kisah ditutup.

•••

-Joya-

[Renjana]

•••

Kedua tangan pria berkulit seputih susu dengan iris kelabu itu dengan begitu mahir menguncir rambut panjang putri kecilnya, “Cantik sekali anak Papa.” New berujar dengan senyum yang masih terukir di wajah manisnya.

“Papa, Lona beneran cantik kah?” pertanyaan polos yang keluar dari mulut putrinya membuat pria berkulit putih itu langsung mengangguk tanpa pikir panjang.

“Cantik sekali, kamu adalah gadis paling cantik di dunianya Papa dan Daddy.”

Senyum cerah anaknya terukir indah, kedua tangan gadis kecil itu terangat keatas, agar New menggendognya. Kekehan New terdengar, mengangkat anaknya dan berjalan menuju ruang keluarga.

“Papa, kita jadi pergi kan hari ini?” Alona bertanya.

Lantas saja pria berumur dua puluh tujuh tahun itu mengangguk ringan, “Jadi dong cantik, kita tunggu Daddy pulang dulu, ya?”

Senyum bahagia anaknya terlihat, New dengan sangat hati-hati mendudukkan putrinya di atas sofa sembari menyalakan televisi, perhatian Alona langsung teralih pada objek yang berada di dalam layar besar di depannya, “Papa, kenapa Spongebob gak pernah ganti baju?”

“Dia gak punya uang buat beli? Kalau Lona yang ngasih baju buat dia, boleh gak Pa?”

New mengulas senyum simpul, “Spongebob itu ganti baju lho, cuma semua bajunya itu mirip jadi dia kelihatan seperti gak ganti baju.”

“Gak gaul, baju Lona aja beda-beda.”

New hanya bisa terkekeh saja mendegarnya, ia melirik jam yang berada di dinding, pukul delapan malam namun pesan dari New belum juga ada balasan.

•••

“Papa, kenapa kita belum pergi juga? Katanya mau kepasar malam, kenapa Daddy gak pulang-pulang? Lona ngantuk.”

Pertanyaan-pertanyaan itu sudah beberapa kali keluar dari mulut gadis kecilnya, iris kelabu itu memerhatikan wajah mengantuk Alona, lalu menarik putrinya kedalam sebuah pelukan, “Sebentar lagi sayang.”

“Kita bakal pergi kan Pa hari ini? Gak di batalin lagi kan?”

New tak mampu menjawab, yang di lakukannya hanya diam sembari mengelus rambut panjang anaknya dengan sayang, jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, namun orang yang sedari tadi di tunggu kehadirannya tak jua memberikan kabar apa-apa. Dengkuran halus terdengar di telinganya, New menunduk, helaan napas terdengar begitu netranya melihat Alona sudah terlelap di dalam pelukannya, “Maafin Papa ya cantik, kita gagal pergi lagi.”

“Papa, Alona nakal kah?” gadis kecilnya mengigau.

Pria berkulit putih bersih itu masih diam di tempatnya, membiarkan Alona tertidur lebih lama lagi baru ia akan memindahkannya ke dalam kamar, karena jika di pindahkan sekarang, gadis kecilnya akan kembali terjaga. Jemarinya mengelus surai lembut sang anak, mengecup pipi Alona sesekali.

Pintu utama bercat putih rumahnya terbuka, tepat di jam sepuluh malam seseorang yang sedari di tunggu menampakkan batang hidungnya, pria dengan kemeja putih yang bagian tangan di gulung hingga ke lengan itu berjalan menghampirinya, meletakkan jas hitam di kepala sofa. Berlutut di depan New, mengelus pipi gadis kecilnya dengan begitu hati-hati.

“Aku telat.” pria berkulit tan itu berucap.

“Lagi.” New menambahi.

Netra keduanya bertemu, Tay menatap suaminya dengan perasaan bersalah, helaan napas dari si manis terdengar, “Aku mau mindahin Lona.” New kembali berucap.

“Aku aja ya, sayang.”

•••

Iris kelabu itu memerhatikan sang suami yang tengah menyelimuti buah hati mereka, berdiri tepat di ambang pintu bercat merah muda-kamar Alona dalam diam, samar-samar ia mendengar ucapan permintan maafan Tay pada Alona.

Tak lama, pria berkulit tan dengan wajah lelah yang begitu kelihatan itu membalikkan tubuhnya, berjalan mendekati si manis, lagi-lagi saling tatap namun tak ada satupun yang ingin bersuara terlebih dahulu.

Pria berumur dua puluh sembilan tahun itu perlahan menyandarkan dagunya di bahu si manis, menghirup aroma vanila yang langsung menyapa penciumannya, menenangkan. Kedua tangannya terulur untuk memeluk tubuh ramping orang tercintanya itu, “Maaf Newwiee.” lirihnya.

New masih diam, tak kunjung mengucapkan sepatah kata, membiarkan Tay melakukan apa yang ia mau, New kesal bukan main pada suaminya.

•••

Kelima jemari kecil yang berada di pipi kanannya membuat pria berkulit putih bersih itu mengerjapkan mata beberapa kali, iris kelabunya langsung menangkap objek paling menarik untuk di lihat, Alona di sana.

“Pagi, Papa tadi Lona udah minum susu yang ada di kulkas.” ucap gadis kecil berambut panjang terurai itu.

New tersenyum tipis, menepuk dadanya beberapa kali, bermaksud agar Alona bersender di sana, gadis itu menurut , perlahan kepalanya berada dengan begitu nyaman di dada sang Papa, membuat pria berkulit putih itu langsung mengelus rambut lembut anaknya.

“Lain kali kalau mau minum susu bilang ke Papa ya, gak bagus kalau pagi kamu minum yang dingin-dingin.” ia berucap begitu lembut.

“Iya Papa, gak Lona ulangin lagi, maaf.”

“Cantik, Daddy juga mau di peluk kamu.” suara serak itu membuat Alona langsung mengalihkan perhatiannya pada Tay.

“Daddy kenapa batalin pergi lagi? Gak mau ya pergi sama Lona? Lona nakal ya Daddy?”

Tay dan New saling tatap untuk beberapa saat, helaan napas dari yang lebih tua terdengar, mengubah posisinya menjadi duduk lalu menarik tubuh kecil anaknya kedalam sebuah pelukan, mengecup pucuk kepala Alona berkali-kali, “Lona gak nakal sayang, Daddy minta maaf ya cantik.”

“Tapi udah tiga kali kita batal pergi kepasar malamnya, Daddy gak mau ya ngajakin Alona kesana?”

“Maafin Daddy ya nak, nanti malam kita pergi, mau?”

“Tadi malam itu malam terakhir adanya pasar malam.” New berucap bersamaan dengan beranjaknya ia dari tempat tidur.

Tay dan Alona saling tatap, rasa bersalah kembali menyapa dirinya, pelukannya pada tubuh gadis sematawayangnya itu semakin erat, “Lona mau maafin Daddy?”

•••

Benda pipih berwarna putih yang tergeletak di nakas berdering, New yang tengah mengeringkan rambutnya pun melangkah dengan santai mendekati nakas, meraih ponselnya, langsung menggeser tombol hijau.

“Hallo, Newwiee.” suara dari seberang sana langsung terdengar.

“Hallo Mama.”

“Tawan tuh kebiasaan sekali matiin hapenya, Mama kesal banget sama dia.” omelan dari mertuanya membuat New terkekeh pelan, Tay memang selalu mematikan ponselnya jika ia sedang libur bekerja.

“Hahaha emang kebiasaan Ma, Mama mau ngomong sama Tay? sebentar ya New temuin dia dulu, Tay di kamar sebelah lagi mandiin Alona.”

“Gausah New, males Mama ngomong sama dia, Mama cuma mau bilang ke kalian, hari ini kerumah ya. Mama masak banyak soalnya, lagian juga sepupu-sepupu Tay pada kerumah.”

“Oke Ma, nanti jam sepuluhan kami kesana.”

•••

Acara sarapan keluarga kecil Tay tawan sama seperti hari-hari biasanya, ocehan Alona, kekehan mereka masih sama, namun ada sedikit yang berbeda, tatapan New padanya. Pria beriris kelabu itu memang tampak biasa aja, masih juga berbicara pada Tay, namun tatapannya terlihat tak bersahabat, dia masih kesal ternyata.

“Tadi Mama nelepon nyuruh kita buat kerumah.” si manis berucap tanpa mau menatap mata yang lebih tua.

“Kita bakalan kerumah Moma? Asik dong ada Bara, Athala, Gio, sama si ngeselin Nathan.” ucap Alona menyebut nama ke-empat sepupunya.

“Alona mau kerumah Moma sekarang Dad.” sambungnya.

“Oke kita kesana, tapi kamu habisin dulu dong roti panggangnya, nanti Papa sedih kalo Lona gak habisin masakannya Papa.” Tay berujar, lantas saja membuat Alona langsung mengangguk serta tersenyum, memamerkan gigi rapinya.

“Papa, kenapa diam aja?”

New menoleh kekiri, menatap si buah hati dengan tersenyum tipis, “Kalau lagi makan, gak boleh ngobrol cantik.”

•••

“Moma, Nathan mau ayam bakar kayak punya Alona tapi yang lebih besar.” suara milik bocah berumur lima tahun itu terdengar.

“Gak boleh serakah Nathan, nanti kalau kamu gak habisin makanannya kan mubazir.” Alona berucap sembari mengunyah makanannya.

“Biarin aja wle.”

“Ngeselin banget kamu. Jangan deket-deket aku, sana jauh-jauh.”

“Kamu aja yang jauh-jauh dari aku, sana hush-hush.

Decakan kesal dari Alona membuat senyum Nathan mengembang sempurna, gadis berambut panjang di kuncir kuda itu bangkit dari duduknya, pindah ke sofa sebelah New.

“Kok cantik-nya Papa cemberut?”

“Nathan ngeselin.”

New dan yang lainnya hanya bisa mengglengkan kepala lengkap dengan senyum maklum yang menhiasi wajah masing-masing, memang sudah kebiasaan jika Alona dan Nathan yang selalu bertengkar dan tak akan pernah bisa akur.

“Jelek, kamu nginap disini kan sama Newwiee?” wanita paruh baya berparas ayu itu bertanya pada anaknya-Tay tawan.

“Gak bisa Ma, besok senin, aku udah harus kerja.”

“Yaudah lo pulang aja sendiri, biar Kak New sama Alona nginap disini.” tambah sepupunya.

Tay hanya diam, menatap wanita berumur dua puluh empat tahun yang tengah menggendong anak keduanya itu dengan tatapan datar miliknya.

“Bener tuh, New mau kan?”

“Ma.”

Wanita paruh baya itu tampak tak perduli dengan ucapan anaknya, “Ya lagian kamu tuh akhir-akhir ini sering banget pulang larut malam Mama perhatiin.” ia berucap lalu beralih menatap menantunya, “Kamu bermalam disini ya New sama Alona?”

“Alona nginap dirumah Moma kan sayang?” tambah mertuanya, membuat Alona langsung mengangguk semangat.

Senyum tipis ia tampilkan, “Aku pulang sama Tay aja, Ma.”

•••

Mini cooper milik Tay sudah terparkir rapi dalam garasi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun New langsung membuka pintu dan keluar, meninggalkan Tawan-nya seorang diri.

Helaan napas terdengar, New kalau sedang marah memang lebih baik dibiarkan saja dulu seharian, perlahan netranya melihat cincin yang melingkar dengan manis di jari manisnya, memandangi cincin itu dalam diam, lalu sebuah senyum simpul terukir di wajahnya.

Pria berkulit tan itu berjalan menyusul suaminya, memutar knop pintu dengan perlahan, pintu bercat putih itu terbuka, menampilkan seseorang yang tengah berdiri memunggunginya. Tay berjalan mendekat, langsung memeluk Newwiee-nya dari belakang.

“Newwiee.” ia memanggil namun masih tak ada sahutan sama sekali dari sang empunya nama.

“Boleh aku ngomong?”

“Newwiee.”

“Apa?”

Seulas senyum langsung tersungging di wajah yang lebih tua, dengan perlahan ia memutar tubuh Newwiee-nya agar mereka bisa saling tatap. “Maafin aku ya.”

“Ya.”

“Kalau ngobrol sama suaminya di lihat dong matanya, cantik.”

Perlahan, iris kelabu itu mau menatap iris hitam pekat milik suaminya, wajahnya masih begitu datar “Ya.” ia berkata, nadanya sangat cuek.

Pria berkulit tan itu tersenyum tipis melihat Newwiee-nya, “Kalau nada kamu masih ketus begitu artinya masih belum benar-benar bisa maafin kesalahan aku.”

“Gimana gak marah kalau kamu tiga kali berturut-turut batalin acara sama Alona, dia nanyain kamu kapan pulang sampai ketiduran padahal dia udah pake gaun supaya Daddy-nya lihat dan bilang kalau dia cantik.”

“Tiga kali Tawan, kamu ingkar janji sama anakmu.”

“Maaf Newwiee.”

“Aku cari pasar malam buat Alona, kita pergi kesana, ya?” Tay berucap.

“Bukan perkara pasar malam Tay tawan, perkara janji yang harus kamu tepati. Terlebih kamu memberi janjinya pada putri mu sendiri, kamu gak liat gimana dia nanyain kapan Daddy-nya pulang padahal dia lagi tidur.”

“Dia sampai pilih sendiri gaun yang mau di pakai buat pergi sama kamu, tiga kali Tay.”

Iris kelabu itu tampak berkaca-kaca, dan Tay hanya bisa diam, membiarkan New melampiaskan semua yang ada di pikirannya pada Tawan tanpa terkecuali.

“Kamu gak lihat kan segimana takutnya Alona berpikir kalau kamu memang gak mau bawa dia buat pergi menghabiskan waktu sama-sama, berkali-kali dia nanya ke aku apa dia nakal sampai Daddy-nya gak mau ngajakin dia pergi.”

“Aku tau kamu sibuk akhir-akhir ini, aku juga gak pernah ngeluh apa-apa tentang keterlambatan kamu pulang kerumah. Tapi kali ini masalahnya keterlibatan Alona di dalamnya.”

“Padahal kamu sendiri yang pernah bilang ke aku kalau jangan berjanji jika kamu belum tentu bisa menepati, tapi kamu sendiri malah begitu.”

“Aku kesal banget sama kamu Tawan.”

“Sudah?” pertanyaan yang terlontar dari mulut pria berkulit tan terdengar begitu lembut, dengan perlahan menarik Newwiee-nya kedalam sebuah pelukan hangat.

“Maaf ya, aku harus apa biar kamu gak kesel lagi?'

“Maaf udah buat kamu sama Alona nunggu, maaf gak balas pesan kamu, maaf gak ngasih kabar apa-apa, maaf gak ngangkat telepon dari kamu.”

“Maaf sudah bikin Newwiee kesal, masih mau diemin aku? kalau masih mau aku gak bakal ngelarang karena memang salah.”

“Newwiee mau sendiri dulu kah?”

Tangan kanan Tay terus mengelus surai lembut yang lebih muda, sebuah gelengan kepala terlihat, yang lebih muda malah semakin mengeratkan pelukannya, menengadah menatap wajah suaminya, “Udah gak kesal lagi, tapi masih kesal.”

“Gimana maksudnya cantik?”

“Di maafin, tapi tolong jangan di ulang lagi.”

“Di usahain mati-matian kali ini.”

“Kamu belum ada nyentuh makanan dari tadi siang aku perhatiin, terakhir makan juga pas sarapan.” sambung si manis.

Seulas senyum simpul milik Tay terlihat, “Lagi marah saja kamu masih memperhatikan aku.”

“Mas, mau dimasakin apa?”

“Seneng banget kalau kamu udah manggil aku begitu lagi.” Tay berkata jujur, New kalau sedang marah pasti memanggil dirinya menggunakan nama, dan Tay tak suka itu.

“Kamu mau di masakin apa? pasti lapar kan ini saja sudah jam setengah sebelas.”

“Aku gak selera apa-apa, mau pelukan aja.”

New lantas melepas pelukannya pada Tay, menatap suaminya dengan wajah cemberut yang ia punya, gemash sekali.

“Gak, makan dulu.”

“Beneran gak kepengen apa-apa sayang, aku cuma mau di peluk sampai pagi sama kamu. Mumpung kita berdua dirumah.”

“Nanti kamu sakit kalau gak makan.”

“Mau di peluk karena kemarin malam aku cuma bisa meluk guling.”

“Tay tawan.”

“Mau di peluk Newwiee, mau ciuman juga.”

“Mas.”

“Oke minum susu aja.”

Senyum kemenangan milik New tersungging, ia mengangguk lalu kembali berucap, “Aku microwave dulu susunya, kamu bisa mandi.”

“Mandi bareng ya?”

“Kok manja banget? Ingat umur.” New berucap.

“Karena kemarin malam di cuekin kamu habis-habisan, minum susu hangat sendirian, rambut basah ngeringin sendiri.”

“Tapi kan aku yang siapin semuanya.”

“Tetap aja yang aku tatap punggung kamu.”

“Lelah sekali berdebat dengan bapak Tawan ini.”

“Jadi? Mandi bareng?” Tay bertanya dengan kedua alis naik-turun, pun dengan senyum manisnya yang tersungging di wajah tampannya.

“Tapi aku capek.”

“Tau sayang, tadi kamu juga ikut masak, pasti capek. Aku cuma mau mandi bareng, ciuman, dan pelukan sampai pagi sama Newwiee.”

“Permintaan di kabulkan, ayo temani aku ke bawah buat manasin susu buat kamu terlebih dahulu.”

-Kisah ditutup.

•••

-Joya-

[Camaraderie]

•••

Minggu, 16 januari 2042.

“Mosha, handuk yang habis kamu pake letakkan kembali pada tempatnya”

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu menoleh pada seorang pria paruh baya berumur empat puluh dua tahun yang tengah berjalan mendekatinya, cengiran itu terukir di wajahnya sembari meletakkan kembali handuk berwarna putih bersih itu di gantungan belakang pintu kamar mandi miliknya.

“Hehe, aku lupa.” Mosha berucap setelahnya.

Pria berumur itu hanya menggelengkan kepalanya dua kali, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengambil selembar kertas yang tergeletak di lantai, mengamati gambar yang di buat oleh Mosha, senyum simpul tanpa sadar terbit di wajahnya, kerutan tipis di bagian matanya pun terlihat.

“Gambar kamu memang bagus sekali, Nak”

Mosha yang tengah menyisir rambut basahnya dengan kesepuluh jemarinya itu pun terkekeh malu “Jangan gitu ah Pa, Mosha malu nih.”

“Kamu mau pergi main?”

Gelengan kepala dari Mosha terlihat, pemuda berusia tujuh belas tahun itu pun dengan cepat berjalan ke sofa yang terletak di depan jendela, mendaratkan kepalanya di pangkuan sang Papa.

“Mosha cuma mau latihan basket sama temen-temen jam tiga sore nanti Pa.”

“Rambut kamu masih basah, Mosha!”

Mosha tertawa saja, namun tak urung membuatnya bangkit dari posisinya, sedangkan pria dengan iris kelabu itu masih diam, membiarkan pahanya bersentuhan langsung dengan rambut basah sang anak.

“Pa, jatuh cinta itu seperti apa?” Mosha bertanya.

Seulas senyum tipis dari pria itu kembali muncul di wajah tampannya, mengelus dengan pelan rambut anaknya “Setiap manusia punya jawabannya sendiri untuk mejawab pertanyaan kamu tadi, tapi menurut Papa, jatuh cinta adalah kamu yang siap untuk patah.”

“Kenapa harus siap untuk patah?”

“Karena, cinta bukan hanya tentang bahagia dan tawa saja, dia lebih dari itu, suatu saat nanti bakalan ada orang yang bikin kamu patah dan sembuh secara bergantian.”

“Mosha gak ngerti, tapi Pa tadi di sekolah ada cewek yang terang-terangan nyatain perasaannya sama Mosha.” pemuda berkulit tan itu kembali berucap.

“Reaksi kamu bagaimana?”

“Mosha senyum sambil bilang terima kasih, tapi untuk menerima Mosha gak bisa. Cinta itu aneh, ribet, susah, aku gak ngerti cara kerja cinta.”

“Papa juga pernah mikir kayak yang kamu pikirin tentang cinta, sampai Papa ketemu sama orang yang bisa patahin semua hal buruk itu. Kamu mau dengar kisah Papa?”

Anggukan begitu antusias terlihat dari Mosha “Aku selalu kepo kenapa Papa bisa jatuh cinta.”

•••

Senin, 6 februari 2017.

Seperti hal yang sering terjadi pada senin-senin sebelumnya, hari yang paling di kutuk oleh manusia, decakan pelan itu terdengar tak kala buku-buku paket yang berada di pelukannya jatuh berserakan kelantai akibat seseorang yang dengan sengaja mencekal kakinya.

Bayangkan saja, baru selesai melakukan upacara bendera, masih lelah akibat berdiri di lapangan beberapa menit di temani teriknya matahari pagi, belum sempat ia untuk duduk barang sekejap namun dengan begitu baik hati wali kelasnya meminta tolong untuk mengambil beberapa buku paket dari perpustakaan, dan sekarang ia kesabarannya harus di uji lagi?

“Yah, jatoh deh.” suara paling menyebalkan itu terdengar di telinganya, pemuda berkulit seputih susu itu menghela napas kasar, mengumpulkan buku-buku yang berserakan di lantai lalu menatap pelaku dengan tatapan kesal bukan main, ia tak berkata namun sebelum meninggalkan musuhnya, cowok beriris kelabu itu dengan sekuat tenaga menginjak kaki manusia yang berada di sampingnya kuat-kuat.

Senyum manisnya terbit ketika sebuah ringisan dari musuhnya terdengar.

•••

“Pak, saya gak mau sekelompok sama dia.” protes-an dari pemuda beriris kelabu itu masih terus terdengar dari beberapa menit yang lalu, namun tampaknya guru fisika berusia kepala lima itu tak perduli sama sekali.

“Lo mau ngemis-ngemis pun gue bakalan tetep jadi bagian dari kelompok lo. Terima aja napa sih, ribet amat.” suara menyebalkan itu kembali terdengar.

“Masalahnya lo manusia yang paling gue hindari di kelas ini.” tandas pemuda beriris kelabu itu dengan lugas.

Senyum manis lawannya terukir “Newwiee thitipoom techaapaikhun, murid paling berprestasi yang ada di kelas dua belas mia empat, gue kasih tahu sesuatu hal yang harus lo ingat.” ia sengaja menggantungkan ucapannya, menoleh ke arah guru fisika yang tengah menerangkan materi di depan kelas “Semua hal yang terlalu bakalan bikin lo kelimpungan sendiri nantinya, termasuk terlalu membenci gue.”

“For your information, benci sama cinta itu bedanya tipis sekali, jadi hati-hati.”

•••

Ocehan berserta selipan makian masih terdengar dari mulut New, sembari mengunyah keripik kentang yang berada di depannya “Sumpah ya Gun, seharusnya gue masuk Sma Garuda aja.”

“Lagian kenapa bisa itu si bangke sampe daftar di Sma Petra coba? padahal lo bilang dia masuk Garuda?!!!!”

“Kenapa gue harus di pertemukan lagi sama makhluk semacam Tay tawan vihokratana!!!!”

“Gue udah berusaha banget lho enam tahun ngehindar dari dia, TAPI KENAPA SIALNYA GUE SELALU SEKELAS, HAMPIR DUA BELAS TAHUN BERTURUT-TURUT”

Cowok berkacamata bulat bernama lengkap Gun athaphan itu hanya menghela napas pelan, beranjak dari kasurnya untuk mengambil sebuah laptop yang berada di meja belajarnya “New, lo sadar gak sih, ucapan lo tadi adalah ucapan ke dua ribu enam puluh tiga kali yang pernah gue dengar.”

“Gak ada ucapan lain?” Gun bersuara lagi.

“Gun, lo gak di posisi gue, lo gak jadi gue, lo gak bakal tahu segimana bencinya gue sama itu manusia.”

“Dan itu ucapan yang ke dua ribu enam puluh-”

“Stop ngitungin ucapan gue!” potong New cepat.

Gun menaikkan bahunya acuh, kembali duduk di atas ranjangnya, menatap teman sejawatnya itu dengan kedua tangan di lipat di depan dada “Gak ada niatan buat berdamai aja?”

“Berdamai kata lo? dia itu pernah-”

“Mukul lengan gue” Gun memotong sembari mengikuti bagaimana cara bicara New ketika menjelaskan asal-muasal mengapa ia sangat memenci seorang Tay tawan vihokratana.

“New, lo tau kan dia gak sengaja, enggak sengaja. Lagi pula itu kejadian enam tahun yang lalu, kita masi Sd New.”

“Tetap aja, dia salah. Dia selalu mengacaukan hari gue, ngeliat bayangannya aja gue udah kena sial.”

“Yaudah, terus aja lo nyimpan dendam kesumat lo itu. Tapi hati-hati sama permainan semesta.”

•••

Hari berlalu seperti biasanya, New yang harus menerima jika ia memang sekelompok dengan musuhnya, “Gak apa-apa New, dikit lagi lo lulus.” itu adalah kata yang terus terucap setiap paginya. Helaan napas terdengar tak kala netranya menangkap seseorang yang tengah melambaikan tangan padanya.

New diam, ingin sekali rasanya ia menjambak rambut cowok itu hingga botak, tepukan di bagian bahu membuatnya tersentak, lantas menoleh ke samping mengalihkan perhatian pada Gun.

“Katanya musuh kok tatap-tatapan penuh kemistri begitu.” godaan Gun terdengar.

“Kemestri gigi lo gendut, lo gak liat gue mau makan orang?”

“Lo mau makan Tay tawan?” Krist menyambar.

New diam, tak ingin membuat urusan semakin panjang, mengunyah potongan terakhir batagornya, keadaan kantin perlahan mulai sepi akibat bel bertanda di mulainya kembali acara belajar-mengajar berbunyi sekitar lima menit yang lalu.

“Makan aja lama, dasar anak kecil.”

Kedua matanya membelalak dengan mulut mengembung berisikan makanan yang tengah di kunyahnya, New menggenggam garpu yang berada di tangannya kuat-kuat “Awas aja lo monyet.”

•••

“Minggir!”

“Kata gue minggir.”

“Kenapa harus gue yang minggir? lo aja kalo mau.” cowok berkulit tan itu meyahut dengan begitu santainya.

New menghela napas panjang, ia mati-matian menahan kekesalannya pada pemuda jangkung yang berada di depannya “Lo tuh kenapa hobi banget gangguin gue coba?”

Kekehan dari lawan bicaranya terdengar “Siapa juga yang punya hobi gangguin lo? kepedean banget.”

“Yaudah minggir gue mau pulang.” New kembali berucap, namun Tay tak urung mengindahkan permintaannya.

Keadaan sekolah sudah cukup sepi, murid yang masih berada di sini bisa di hitung jari, tak mau membuang waktunya New mendorong Tay dengan sekuat tenaga hingga cowok itu terhuyung beberapa langkah kebelakang, lantas saja ia berjalan meninggalkan cowok itu di koridor sekolah seorang diri.

“Motor gue,motor gue mana anjir?” ia bergumam, bagaimana bisa motornya tak ada di parkiran.

“Gue suruh Off bawa pulang, kan rumah dia selorong sama lo. Oh ya tadi gue juga nyolong kunci motor lo di tas.” suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar.

New menoleh kebelakang, napasnya tak lagi beraturan, ia menatap Tay dengan begitu kesal, melangkah mendekati cowok berkulit tan itu lalu siap menyumpah serapahinya, namun jemari telunjuk Tay lebih cepat berada di depan bibirnya.

“Jangan ngomel, lo makin kayak anak kecil. Mau pulang bareng gue, gak?”

•••

Minggu, 16 januari 2042.

“Daddy pulang!” suara itu terdengar, kedua anak manusia yang tengah asik bercerita dan mendengar cerita masa lalu itu menoleh ke arah pintu kamar Mosha dengan tatapan super datar.

“Daddy ngapain pulang jam segini? udah balik aja lagi kerumah Moma sana.” Mosha mengusir.

“Mosha.”

“Mosha kesal Pa, ayo cerita lagi.”

“Emang lagi cerita apaan sih?” yang lebih tua bertanya, berjalan mendekati anak dan suaminya.

“Papa nyeritain kisah cinta pertamanya.” Mosha menjawab.

“Duh jadi tersipu.” pria berkulit tan itu berucap sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan, membuat Mosha langsung memutar bola mata malas, Daddy-nya lebay.

“Udah gak cocok berlagak seperti itu Tawan.”

Pria bernama Tawan itu membungkuk tepat di depan kekasih hatinya, menatap orang yang begitu ia cintai dengan senyuman manis “Kita masih cocok kok jadi remaja, New.”

“Daddy di sini masi ada Mosha.”

Keduanya terkekeh ringan, Tay mendaratkan bohongnya di lantai karena tak lagi muat berada di sofa, sang anak tak mau membagi tempat untuk Daddy-nya.

“Sha, Papa udah cerita sampai mana? Udah sampai Daddy memberanikan diri buat nyium Papa pertama kali belum?” Tay bertanya.

“Tawan!” cubitan dari New di bagian lengan kiri membuat Tay meringis pelan sembari memamerkan cengiran khasnya pada sang kekasih.

“Belum, baru sampai motor Papa di bawa pulang sama OmJum.”

“Ah masi jauh banget, kalo di ceritain bisa sampe dua bulan baru kelar. Singkatnya saja, Papa kamu jalan, gak mau Daddy anter pulang masa itu.”

“Terus gimana lagi? Mosha mau tau semuanya.”

“Ah gausah, nanti kamu iri.” Tay berujar.

Pemuda berumur tujuh belas tahun itu mencibir sang Daddy “Mosha juga banyak kali yang naksir.”

“Ya pasti, kamu turunan Daddy sama Papa.”

“Papa,” Mosha memanggil, membuat New hanya berdeham pelan, lantas remaja itu melanjutkan ucapannya “Kenapa Papa akhirnya mau bersama sampai sekarang sama Om ini? Mosha kasihan sama Papa.”

“Maksud kamu apa Mosha? Daddy ganteng, kaya, baik hati, rajin menabung, seksi jangan di tanya, saya-”

“Daddy itu brisik.”

Tawa New pecah mendengar ucapan anak semata wayangnya, Tay dan Mosha memang jarang sekali akur dari dulu, namun keduanya tak bisa pula berjauhan. Mosha itu berkulit kecoklatan seperti Tay, hidungnya, bibir tipisnya, rahang kokohnya, hampir semuanya turunan Tay tawan sekali, hanya satu yang tidak. Mosha itu memiliki iris kelabu seperti Newwiee.

“Alasan Papa mau berjalan beriringan bersama Daddy kamu adalah, dia satu-satunya orang yang menawarkan sebuah pelukan saat Papa sedang dalam keadaan tak baik-baik saja, dia satu-satunya orang yang mengulurkan tangannya saat Papa tak lagi bisa berdiri, Daddy kamu itu yang membuat Papa berfikir kalau kita itu butuh berbagi, kita butuh orang untuk berpulang.”

“Kenapa pas Sma dulu Papa bisa luluh sama Daddy yang begini bentukannya?”

“Mosha, Daddy kamu ini ganteng ya nak!” Tay tak terima.

New menoleh kearah suaminya, senyum tipis itu masih terpantri di wajah manisnya “Karena Papa liat bagaimana dia dengan keluarganya, bagaimana perlakuan Daddy sama Moma, Daddy sama adiknya.”

“Dulu, Papa kira Daddy kamu ini anak yang begajulan sekali, hingga Papa di buat tersadar kalau kita gak boleh asal menebak bagaimana seseorang. Papa masih ingat sekali bagaimana Daddy berusaha nyari bahan yang mau di bawa tante Letta untuk persentasinya besok, padahal pada saat itu Daddy baru aja pulang dinas tengah malam.”

“Di balik hal-hal ngeselin yang Daddy kamu tampilkan, Daddy punya hati yang bikin Papa gak bisa lagi kemana-mana, maunya sama Daddy aja.”

“Satu lagi, harus hati-hati main hati, benci sama cinta itu bedanya tipis sekali.” New mengakhiri ucapan panjangnya, Tay terkekeh pelan mendengar kalimat terakhir dari suaminya.

“Kalau Papa yang ngomong jadi beda auranya.” Mosha berucap.

“Emang kalau Daddy yang ngomong kenapa?”

“Daddy beneran mau aku jawab? yakin hatinya kuat?” anaknya melempar pertanyaan balik.

Tay mengembuskan napas pasrah, jemarinya yang sedari tadi masih setia bermain di lutut New “Yaudah lah, emang gak ada keadilan untuk saya dirumah ini.” Tay berucap.

“Daddy.” panggilan itu terdengar begitu cuek.

“Apa?”

“Daddy pernah bikin Papa nangis gak?”

“Pernah, Daddy pernah jahat sama Papa kamu, Daddy pernah bohong sama Papa kamu, Daddy minta maaf.”

“Mosha gak mau tau alasan kenapa Daddy bikin Papa jadi nangis, tapi Mosha minta tolong agar Daddy gak lagi bikin Papa sedih.” Mosha berucap, nadanya pun terdengar begitu serius.

“Tenang aja, Daddy berusaha. Mosha harus tau kalau sebenarnya Daddy udah jatuh cinta sama Papa dari Smp, cuma Daddy gak tau harus dekatin Papa kamu itu bagaimana, ya jalan yang ada di kepala bikin Papa kamu kesal aja selamanya hahaha.”

“Eh semesta malah berkata iya, jadi suami sekarang.”

“Kenapa Daddy bisa cinta sama Papa?”

“Kenapa Daddy harus punya alasan buat jatuh cinta sama Papa kamu?”

“Daddy tuh emang di lahirkan jadi ngeselin banget ya?” Mosha bertanya.

“Iya kali? coba deh nanti kamu tanya sama Moma.” jawab Tay dengan begitu santai.

“Daddy tuh em-”

Ucapan Mosha terhenti karena ponsel yang berada di nakas kamarnya berbunyi, lantas saja remaja itu bangkit dan berjalan meraih benda pipih berwarna hitam, menggeser tombol hijau dengan sesegera mungkin.

Tay dan New hanya diam, dengan Tay yang sudah berpindah tempat-mendaratkan kepalanya di paha New, gak mau kalah sekali memang sama anaknya sendiri.

“Pa, Mosha pamit mau latihan.”

“Sama Daddy gak pamit?”

“GAK DADDY NGESELIN, PA AKU PERGI.” Mosha berteriak sembari berlari menuruni anak tangga rumahnya.

“Kok cepet pulangnya? padahal aku mau nyusul kamu kerumah Mama.” New membuka suara, hanya ada mereka berdua.

“Kata Mama kalau aku sendiri yang datang ya buat apa, aku disuruh jemput kamu.” Tay menjawab.

“Udah rame kah?”

“Belum rame banget sih, kan acara makan-makannya malem sayang.”

“Mas.” New memanggil, nadanya begitu lembut, pun dengan jari telunjuk yang bermain dengan anak rambut sang suami.

“Kenapa cantik?”

“Udah keriput haha, aku masih suka gak nyangka aja kalau kita udah punya Mosha. Bahkan anaknya udah remaja, tadi Mosha bilang ada yang nyatain perasaannya sama dia, cuma ya anaknya memang sulit sekali buat buka hati, cuma bilang makasih aja.”

“Kamu banget kan, dulu pas aku tembak selalu nolak. Setelah aku pikir-pikir kita memang gak ada pacaran ya New, cuma teman tapi demen aja.”

“Iya juga ya.”

“Kita bakalan pacaran kalau kamu bilang iya pas aku nyatain suka.”

“Tapi kan aku akhirnya bilang iya saat kamu datang kerumah sama Mama.” si manis menjawab.

New menoleh keluar jendela kamar anaknya, cuacanya mendung namun tak ada tanda-tanda akan hujan turun, senyum tipisnya terukir lalu kembali menaruh semua perhatian pada pria yang kepalanya berada di pangkuan.

“New, aku gak sabar ngeliat rambut kamu putih semua.” yang lebih tua berucap.

“Kita tetap sama-sama, beriringan, aku juga gak sabar ngeliat Mosha bawa orang yang dia cinta kerumah.”

“Mas, aku mau kamu jadi orang terakhir yang aku liat saat mataku akan tertutup rapat.”

“Dan aku juga mau hal itu terjadi jika aku yang lebih dahulu pergi suatu saat nanti.”

“Aku sayang kamu.”

—Cerita ditutup.

•••

-Joya-

[Amerta]

•••

Helaan napas panjang terdengar setelah putusnya sambungan telepon, pria berumur dua puluh tiga tahun itu lantas membereskan barang-barangnya sebelum melangkah meninggalkan tempat kerjanya. Raut wajah cemasnya begitu kelihatan, tak jua menyapa balik rekan kerja yang tersenyum padanya. Karena sekarang, isi kepalanya hanya di penuhi dengan seseorang yang namanya selalu ada dalam doa.

Mobil bercat putih tulang itu melaju dengan kecepatan tinggi, berkali-kali menekan klakson dengan terburu-buru, seakan ingin memberitahu semua orang jika hanya ialah yang punya urusan penting sekarang, padahal sejatinya tidak begitu.

Umpatan pelan terucap dari bibirnya tak kala lampu yang tadinya hijau berubah menjadi merah, helaan napas itu kembali terdengar, mengusap wajah kusutnya dengan kedua telapak tangan, lalu kembali menginjak gas-melaju membelah jalanan yang masih belum ada tanda-tanda akan lengang.

Sekitar tiga puluh menit menempuh perjalanan, di perburuk karena malam ini merupakan sabtu malam, sepasang pantofel mengkilap itu melangkah memasuki rumah bertingkat dua, seorang wanita berumur tengah abad langsung menyapanya.

“Bapak di atas Den, gak mau makan.”

Anggukan dua kali ia berikan, langsung berjalan dengan terburu-buru menaiki anak tangga rumahnya, membuka pintu bercat abu-abu gelap itu dengan pelan, hal yang pertama kali membuat netranya berhenti mencari adalah seseorang yang tengah terbaring dengan mata tertutup dan tak lupa selimut tebal yang membalut tubuh gagahnya.

Langkah pria beriris kelabu itu memelan, tak ingin membangunkan kekasihnya. Menanggalkan jas hitamnya dan menyisakan kemeja putih yang melekat di tubuh rampingnya. Dengan sangat perlahan, ia meletakkan punggung tangannya di dahi pria yang lebih tua darinya itu, “Panas banget.” cicitnya.

Sepasang kelopak itu terbuka secara perahan, memamerkan iris hitam pekat begitu sayu, tangan pria berumur dua puluh lima tahun itu perlahan mencari pasangannya-menggenggam tanggan kekasihnya, menautkan jemari mereka berdua, seulas senyum tipis ia berikan setelahnya.

“Sayang.” suara serak itu terdengar.

“Aku panggil dok-”

“Aku cuma butuh kamu, Newwiee.” yang lebih tua langsung memotong ucapan kekasihnya dengan begitu cepat, padahal suara yang keluar dari mulutnya begitu pelan, cenderung terdengar seperti lirihan.

Pria bernama Newwiee itu kembali menghela napas panjang, masih berdiam diri, duduk di pinggir ranjang sang kekasih dengan tatapan begitu khawatir. “Tay, kalau kamu gak mau semuanya, kapan mau sembuh?”

Yang lebih tua malah tersenyum saja, karena sejujurnya kepalanya sangat pusing, “Besok sembuh” ia menjawab, seadanya.

“Makan ya? aku buatin bubur.”

“Neww-”

“Kamu bantah aku pulang.”

•••

Semangkuk bubur sudah ia habiskan, perutnya pun sudah cukup kenyang, keadaanya bisa di bilang lebih baik dari beberapa menit yang lalu, New juga sudah memberikannya obat penurun panas.

Tay tawan, pria berumur dua puluh lima tahun, memiliki alis tebal, hidung mancung, rahang kokoh, bibir tipis, pahatan sempurna. Kalau karyawannnya bilang dia tampan. Senyum tipis kembali terukir menghiasi wajahnya saat kedua netranya menangkap New yang tengah sibuk dengan baskom berisikan air es yang berada di tangan, berjalan mendekati Tay dan kembali duduk di pinggir ranjang kekasihnya.

Setelah selesai menyuapkan bayi besarnya, tugas yang harus New kerjakan adalah mengompres tubuh kekasihnya, Tay hanya diam, menikmati perlakuan New yang selalu perhatian padanya, selalu ada di setiap ia butuh tanpa perlu berkata terlebih dahulu, selalu bisa jadi orang yang Tay andalkan di segala kondisi.

Sebulir kristal jatuh membasahi pipi si manis masih terus menge-lap tangan dan bagian tubuh Tay yang lain dengan sapu tangan. “Aku gak apa-apa, New.”

“Kamu selalu bilang gitu, selalu bilang gak apa-apa padahal kamu sedang kenapa-napa.” si manis berucap.

“Kalau nangis terus, nanti kamu jelek.”

“Biarin aja, biarin aku jadi jelek di depan kamu.”

Kekehan begitu pelan dari Tay namun masih dapat di dengar, tangan kanannya terulur menyerka air mata sang kekasih, kadang Tay berpikir mengapa New mau ia repotkan, mengapa New selalu punya waktu untuknya, dan mengapa New bisa dengan mudahnya meng-iyakan segala yang Tay minta?

“Malam ini kamu nginap, ya?” Tay meminta.

“Menurut kamu aku bisa pulang dengan keadaan tenang sementara kamu begini?”

Tay tersenyum mendengarnya, walau nada sang kekasih terdengar judes namun di balik itu Tay tau kalau orang yang berada bersamanya sekarang adalah orang yang benar-benar mencintainya tanpa tapi.

“New”

“Aku nyuruh kamu tidur, Tay.”

“Mandi gih, di meja makan sudah ada makan malam untuk kamu.”

•••

Sesendok nasi lengkap dengan lauk pauknya sudah berada di dalam mulut pemuda berkulit seputih susu itu, duduk sendirian di dapur tanpa ada teman merupakan hal yang paling ia hindarkan sebenarnya, namun apa boleh buat, sang kekasih tengah tak sehat.

Setelah mengabiskan makanannya New memutuskan untuk melangkah ke kamar Tay, sembari menge-lap tangannya yang basah di karenakan selesai mencuci piring kotornya. Memutar knop pintu kamar sang pujaan hati lalu menutupnya kembali.

Netra keduanya bertemu, ternyata Tay-nya masih terjaga, yang lebih tua mengulas senyum manis, mengisyaratkan agar pria manis berbalut piyama satin berwarna putih itu berbaring di sampingnya.

New menurut, berjalan mendekati sang kekasih lalu mendaratkan tubuhnya di ranjang empuk, tepat di sebelah Tay, lalu berujar pelan “Kenapa belum tidur juga?”

“Gak ada Newwiee.” dia menjawab.

Si manis hanya menggelengkan kepala dua kali, lalu bergerak untuk memeluk sang kekasih, suhu tubuh Tay masih tinggi, kepalanya juga pasti pusing, namun tak urung memejamkan matanya agar beristirahat.

“Tadi Mama nelepon, kamu mau di masakin apa besok?” New bertanya, nadanya begitu lembut masuk ketelinga pria berkulit tan yang tengah berbaring lemas.

“Kapan ya aku di masakan Mama ku?”

“Tawan.”

“Mau berapa kali aku ngitung pun Mama gak bakal pernah kembali buat bawa anaknya pulang dari pantai.” pria berulit tan itu kembali berujar, membiarkan jemari New yang terus memainkan helai rambutnya, sesekali mengelus pelan dengan perasaan teramat sayang.

“Kamu jangan buang aku juga ya New.”

“Hei, Tawan. Hilangin semua pikiran buruk kamu, karena aku gak bakalan pergi kemana-mana. Bakalan sama kamu terus kalau semesta bilang iya.”

“Kalau semesta bilang enggak?” yang lebih tua kembali memberi tanya.

“Kita usaha sama-sama ya.”

Sekilas pertemuan kedua memang bisa di bilang biasa aja untuk di ceritakan kembali, Tay itu butuh pendamping untuk menghadiri pesta pernikahan mantannya, dan ia di pertemukan semesta pada New dengan perantara Off. Layaknya dua orang tak saling kenal yang baru pertama kali tatap muka, hanya mengulas senyum namun Tay sudah jatuh sejak awal pada pria manis dengan iris kelabu yang bukan main indah di pandang.

Sejak itu, sepertinya semesta memang menginginkan mereka berdua untuk bersama-sama, menciptakan banyak kenangan begitu membekas di ingatan masing-masing, memberi bahagia dan cinta yang tak kunjung menemukan akhir.

Tay itu pendiam bukan main, namun beda kalau di sedang sakit. Bakalan jadi rewel sekali, namun hanya pada New, kalau bahasa gaulnya dia mau sama Newwiee-nya terus 24/7.

“Pusing.” Tay mengadu.

“Tidur makanya, ganteng.”

“Kalau tidur nanti gak bisa mandangi kamu.” ia menjawab.

New terlihat memutar bola mata malas, namun jemarinya malah terus mengelus wajah sang kekasih “Besok-besok gak ada ya lembur-lembur begini, kesehatan itu nomor satu Tay.”

“Kan mau nikah, harus lebih giat kerjanya.”

Si manis menghela napas, mengubah posisinya menjadi bersandar di kepala ranjang, membuat Tay malah berpindah tempat-menjadikan paha kekasihnya sebagai bantal paling empuk sedunia.

“Kamu jangan begini dong, aku khawatir banget ya dengar Mbok bilang bapak gak mau makan, malah ngurung diri di kamar. Pas aku tanya kenapa bilangnya gak apa-apa.”

“Jangan sok kuat Tay, kamu juga manusia.”

“Iya cantik, jangan di omelin dulu dong aku-nya.”

Kedua kelopak pria berkulit tan itu mulai tertutup, namun kembali terbuka karena helusan tangan New di kepalanya terhenti, “Elus lagi.”

“Manja.”

“Sayang-sayangin aku.”

“Manja.”

“Mau di peluk, tapi nanti kamu ketularan batuk.”

“Tidur jangan ngoceh mulu.” si manis mengingatkan.

“New jangan buang aku, cukup Mama aja.”

“Newwiee aku sayang banget sama kamu, kita bakalan nikah dan hidup bahagia, kan?”

“Newwiee aku mau jadi orang tua yang bikin anaknya bangga punya kita.”

“Aku janji kalau punya anak, aku gak bakal ninggalin dia, gak bakal buang dia, dan gak bakal buat dia ngerasain apa yang aku rasain.”

“Newwiee.” pria berkulit tan itu terus meracau, Tay memang begini kalau sedang sakit, selalu membahas masa kecilnya yang begitu tak menyenangkan untuk di rasakan.

Tay bercerita pada New saat mereka sedang berada di pantai dua tahun yang lalu, kala itu pertama kalinya Tay meng-iyakan ajakan New untuk mengabiskan waktu bersama di pantai, pria itu bilang dia benci pantai karena sang ibu mengatakan jika beliau ingin membeli minuman dingin untuknya, namun di hitungan keseratus untuk yang kesekian kalinya, wanita cantik itu tak kunjung datang, tak juga menjemputnya, hingga ia harus bermalam di pantai seorang diri. Tay juga bilang kalau dia hanya punya Mama, namun sekarang tak lagi punya siapa-siapa.

pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu menunduk, mencium pipi Tay sedikit lama, “Iya Tay, kita usahain semua keinginan kamu agar terwujud.”

“Aku anak nakal, makanya Mama ninggalin, kan?”

“Aku suka berantem disekolah sampe Mama marah, Mama capek ngurusin aku, kan?”

“Tapi kan sekarang udah gak nakal.”

“Aku gak nakal kan New?”

New dia saja, membiarkan Tay berucap sesukanya, karena sesungguhnya semua pertanyaan yang Tay tanya itu tak dapat ia jawab dengan baik, semua orang punya jawaban berbeda untuk setiap pertanyaan yang terlontar.

“Kamu bahagia gak sama aku?”

Elusan tangan New belum juga berhenti, mendengar pertanyaan terakhir dari Tay membuatnya tersenyum manis, mata lelaki itu sudah tertutup rapat namun mulutnya tak kunjung berhenti berucap.

“Sekecil apapun perlakuan kamu, bahagia di aku pasti ada. Tawan, kamu itu satu-satunya hal yang aku minta pada semesta agar tidak pergi kemana-mana.”

“Kamu hebat, gak semua orang bisa berada di posisi kamu.”

New tau, ia pun juga sadar, semua manusia punya topengnya masing-masing, kebanyakan tawa adalah salah satu hal untuk menutupi luka yang ada, banyak sekali manusia berbohong tentang senyuman yang ia tampilkan. Sama halnya dengan semesta, manusia juga gemar bercanda dan tak terduga.

Seulas senyum manis ia tampilkan, menatap wajah sang kekasih yang sudah terlelap. Tay terlihat begitu tampan jika ia tertidur, pun wajahnya begitu damai. Jika boleh meminta, New ingin bersama Tay selamanya. Karena ia, begitu mencintai Tawan-nya.

“Ini aku tidurnya duduk?” ia bertanya pada dirinya sendiri, melihat Tay yang baru saja tertidur membuatnya tak tega untuk membangunkan sang kekasih hanya untuk membenarkan posisi.

Tubuh si manis kembali membungkuk dengan perlahan, kembali mendaratkan bibirnya di pipi kiri Tay, menciumnya dengan begitu lama, mencurahkan segala cinta yang ada, hanya untuk Tawan.

“Lekas sembuh, sayang.”

•••

-Joya-

[Prepossess]

•••

“Gila selesai juga, mau mampus gua.” suara pria berdarah Tionghoa itu terdengar. Lantas merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang berada di sudut studio, perlahan kedua matanya terpejam sempurna.

“Mau kemana nyed, buru-buru amat.” Dia kembali bersuara, namun kelopak itu belum juga terbuka.

Lawan bicaranya yang sedari tadi bungkam pun menoleh sembari memakai parka cokelat tua menutupi kaos hitam yang ia kenakan. Pria berumur dua puluh lima tahun itu hanya memerhatikan teman sejawatnya dalam diam.

“Tawan, mau kemana?” ujar Off, lagi.

“Pulang”

•••

Jam yang melingkar di tangan kanannya sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga menit, hembusan napas pemuda itu terdengar sesekali membenarkan ransel yang berada di punggungnya.

Sepasang kaki jenjang di balut jeans hitam itu melangkah santai, dengan kedua netranya menyapu kesegala arah hal-hal menarik untuk di pandang mata, orang-orang berlalu lalang untuk pulang kerumahnya masing-masing, pedagang kaki lima yang mulai membuka lapaknya, pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir mobil ketik lampu merah menyala, dia melihat semuanya, segala bentuk hiruk pikuk di kota besar.

Boots hitam pekat yang di kenakan pria itu berhenti di sebuah warung nasi padang. Seulas senyum ia tampilkan pada pria paruh baya dengan kopiah yang melekat di kepalanya.

“Uda, nasi bungkusnya dua.”

•••

Suara dentingan pintu kaca itu berbunyi tak kakinya mulai melangkah masuk kedalam coffe shop yang setahun belakangan ini sering sekali ia kunjungi.

Senyum itu mengembang sempurna ketika matanya menangkap hal yang paling menarik untuk di lihat, lantas saja ia berjalan mendekat, mendaratkan bokongnya di kursi kosong, meletakkan sebungkus plastik berisikan nasi padang yang ia beli sebelumnya.

“Capek banget ya, sampe apartemen mandi air hangat, nanti aku pijit.” suara itu terdengar, suara yang sedari tadi di nanti, iris kelabu berkilau itu menatapnya dengan perasaan penuh cinta, ibu jari pemuda yang berada di depannya itu pun tengah mengelus pipinya.

“Gimana hasilnya Tawan?” ia kembali berkata.

Pria bernama lengkap Tawan vihokratana itu tersenyum tipis, memegang tangan kekasihnya yang sedari tadi terus mengelus pipinya begitu pelan, “Alhamdulillah, sesuai harapan.”

“Newwiee, gimana hari ini?” yang lebih tua bertanya setelah menjawab pertanyaan dari pemuda berkulit putih bersih dengan senyum manis dan tahi lalat mungil di hidungnya.

Helaan napas terdengar dari yang lebih muda “Cafe sepi hari ini.” dia menjawab, lesu.

“Gak apa-apa, berarti rezeki hari ini memang segitu baiknya” yang lebih tua ambil suara.

Newwiee mengangguk mengerti sembari mengulas senyum simpul pada sang kekasih, kedua saling tatap, sejenak melupakan kepenatan yang terjadi hari ini hanya lewat tatapan mata dan kedua mulut yang sengaja di kunci rapat-rapat.

“Aku bawa nasi bungkus, tau kamu gak masak, hari ini sibuk kan.” Tawan berkata sembari membuka dua bungkus nasi padang yang ia beli sebelum kesini, meletakkannya di atas meja mereka berdua lalu makan bersama sembari bercerita berdua saja.

“Liat sebungkus nasi ini aku jadi ingat semasa kuliah, dulu kalau mau beli nasi padang tunggu gajian, alias sebulan sekali hahaha.” Newwiee berucap.

“Sekarang kamu bisa makan kapan aja, kan.” Tawan menambahi.

Newwiee kembali terkekeh lengkap dengan anggukan kepalanya, “Alhamdulillah banget, dulu jangankan beli nasi padang, buat beli beras aja aku harus ngutang dulu sama Mbok Minah.”

“Terimakasih, Sing.” Newwiee berucap ramah pada karyawannya ketika dua gelas air putih hangat sudah berada di depannya.

“Nanti, habis makan aku mau dong dengerin kisah kamu.”

“Gak boleh kisah aku aja, kamu juga dong.”

•••

Tawa bahagia yang tercipta antara dua anak adam yang tengah berbincang di dalam mobil milik Newwiee sembari melihat orang berlalu-lalang dengan lagu I start of something right yang tengah mengalun dengan indahnya.

“Kamu tuh suka banget ya ngobrol di dalam mobil begini aku perhatiin.” Newwiee berucap.

Yang lebih tua mengangguk membenarkan “Enak aja gak tau kenapa, suka gak perlu alasan kan?” ucapnya sembari menoleh kekiri, menatap sang kekasih yang tengah tersenyum tipis.

“Klasik Tawan vihokratana.”

“Newwiee, dulu aku pernah di suruh nyetrika sama Mama tapi karena kurang ilmu, bajunya malah jadi bolong.”

Tawa Newwiee kembali terdengar, Tawan memang aneh, namun yang lebih anehnya lagi Newwiee bisa jatuh pada pesona pria yang ada di sampingnya.

“Ngomongin soal nyetrika, aku dulu nyetrikanya pake setrikaan arang, berat banget Tay, kadang kalo baju yang mau di setrika terlampau banyak tangan aku sampe merah.”

“Kok banyak? Kan kamu tinggal berdua sama Ibu?” Tawan bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Ah aku belum pernah cerita ya ke kamu, dulu kerjaan sampingan Ibu itu nyuciin baju tetangga, nah aku kadang bantuin nyetrika, aku gak tega Ibu ngerjain segala sesuatu seorang diri.”

Tawan tampak tertarik dengan masa lalu kekasihnya, lantas memutar sedikit tubuhnya agar lebih leluasa memerhatikan si manis, “Lanjut dong, aku mau tau semuanya tentang kamu.”

“Gak ada yang menarik tentang aku.”

Yang lebih tua menggeleng, perlahan ibu jarinya mengelus pipi sang kekasih “Menarik enggaknya, tergantung dengan siapa kamu berbagi cerita, dan aku begitu tertarik untuk mendengarkannya.”

Helaan napas terdengar “Mau dari mana dulu?” ia bertanya pada pemuda berkulit tan itu.

“Terserah kamu mau berbagi yang mana.”

“Kamu jadi bawel banget ya akhir-akhir ini.”

Kekehan dari pria berkulit tan itu membuat si manis menggeleng pelan. Lalu yang lebih tua berkata “Ke kamu aja aku begini.”

“Aku pernah kerja di laundry pakaian pas kuliah dulu, kerja paruh waktu, terus kalau pelanggan lagi banyak-banyaknya aku suka nangis pas pulang di kost-an karena capek, tangan ku juga pernah sampai luka-luka, kapalan, dan kasar bukan main”

“Kadang suka iri sama teman-teman yang kalau pulang kuliah bisa santai-santai, jalan-jalan, nongkrong, lah sedangkan aku harus kerja. Terus mikir malam ini uang di saku cukupnya buat beli apa.”

“Ada lagi, dulu aku kepengen banget ganti hape android, sampai aku tabungin gajiku buat itu, tapi ya namanya juga semesta suka bercanda sama manusia, di malam aku mau beli hapenya malah dapat kabar Ibu sakit di kampung.”

“Aku suka kesel ngeliat orang yang buang-buang makannya, dia belum ngerasain kali ya nahan lapar sampe lemes banget.”

“Tawan, kok matanya berkaca-kaca?” Newwiee dibuat panik seketika.

Yang lebih tua menggeleng dengan senyumannya “Aku bangga banget sama kamu.”

“Cerita kamu barusan itu kayak nampar aku banget, dulu aku sering marah ke Mbak kalau masakannya kurang berkenan di lidah, suka beli hal-hal gak jelas, boros. Beda banget sama kamu.”

“Nasib manusia itu beda-beda Tawan, aku mau boros juga gimana orang duit gak punya.” kekehan Newwiee terdengar, lucu juga kalau masa lalunya di ingat.

“Kamu tuh dewasa banget tau, padahal kamu lebih muda dua tahun dari aku.”

“Menurutku, umur itu cuma angka yang tua belum tentu dewasa. Kebanyakan manusia itu dewasanya karena di paksa oleh keadaan, iya gak sih?”

“Mungkin benar.”

“Cita-cita kamu pengen jadi apasih Newwiee?” Tawan bertanya dengan pandangannya yang tak lepas dari iris kelabu menenangkan milik kekasihnya.

“Jangan ketawa ya.” si manis berucap, lantas membuat yang lebih tua mengangguk-mengiyakan.

“Pengen jadi pilot hahaha. Kalau kamu?”

“Gak tau, gak pernah punya cita-cita, hidup ku tuh kayak datar aja sebelum ketemu kamu.”

“Gombal banget tua bangka ini.” ceplos Newwiee dengan kekehannya.

“Beneran sayang, percaya gak percaya ketemu kamu bisa bikin aku mikirin masa depan mau gimana, bukan cuma ngandelin uang orang tua.”

“Dulu boro-boro mau kerja, habis kuliah rencananya aku malah mau tiduran aja dirumah selamanya.” Tawan melajutkan ucapannya.

“Untung itu gak beneran kejadian.” Newwiee berucap.

Tawan mengangguk setuju, bagaimana jadinya jika ide gila yang pernah berada dalam kepalanya itu terlaksana?

“Makasih ya Newwiee, makasih udah kuat, makasih udah berjuang, sekarang kamu adalah Newwiee dengan versi paling baik.”

“Tawan, kamu sadar gak kalau kamu juga udah keren banget?”

“Gak sekeren kamu yang bisa sukses dari nol, aku mah cuma ngelanjutin perusaaan Papa, fotografer karena hobi aja.”

Alis yang lebih muda membentuk beberapa gelombang, tak suka mendengar ucapan Tawan yang selalu saja tak percaya pada kemampuan dirinya, “Kamu hebat, tergantung siapa yang melihat, mudahnya, ini semua perkara siapa.”

“Kalau menurut kamu, emang aku bagaimana?”

“Gak punya kata-kata buat deskripsiin gimana hebatnya kamu, aku bangga sama kamu, kamu itu berharga, Tawan.”

Pemuda berkulit dengan itu terlihat menarik senyum lebarnya, mengacak pelan rambut halus kekasih manisnya hingga ia menggerutu “Tawan ih rambut aku berantakan jadinya.”

Tawa yang lebih tua kembali terdengar, menarik si manis kedalam pelukan hangat, mengecup berulang kali pucuk kepala Newwiee-nya.

“Sekarang anak Ibu ini udah sukses, sekarang kalau mau apa-apa tinggal tunjuk aja, ya.” Tawan berucap sembari memainkan pipi gembul kekasihnya.

“Alhamdulillah, bagian paling bikin aku seneng kalau Ibu minta apa aja, Insya Allah aku udah bisa bilang iya hahaha.”

“Hebat banget sih pacar Tawan ini.”

“Pacarnya Newwiee juga gak kalah keren, ganteng pula.”

•••

Kedua tangan milik pemuda berkulit putih itu terus bergerak dengan handuk menjadi alasan untuk ia mengeringkan rambut kekasihnya. Tawan memejamkan matanya dengan perlahan, menikmati perlakuan Newwiee yang selalu menyempatkan diri untuk memerhatikan dirinya, semua perlakuan Newwiee itu terlampau manis untuk di tolak.

Tay dan New memang memutuskan untuk tinggal bersama di sebuah apartemen, katanya Tawan mau ketika ia pulang, hal pertama yang di lihatnya itu Newwiee, gombal sekali.

“Habis ini mau tidur atau nonton dulu?” Tawan bertanya.

“Kamu maunya apa?” yang lebih muda malh balik bertanya, meletakkan handuk kecil itu di tempatnya lalu kembali melangkah mendekati sang kekasih.

Keduanya saling melempar senyuman bahagia, tangan kanan Tawan menepuk pahanya beberapa kali, mengisyaratkan agar Newwiee duduk disana.

Si manis lantas saja mengerti, langsung mendaratkan bokongnya di paha sang kekasih, mengecup kedua pipi yang lebih tua dengan lembut, lalu merapikan rambut Tawan dengan kesepuluh jemarinya.

“Kamu wangi banget.” Tawan berbisik pelan.

“Kamu juga.”

“Newwiee, jangan tinggalin aku.”

Iris kelabu itu perlahan menemukan pasangannya, menatap iris hitam pekat yang tengah menatapnya dengan begitu dalam, ada cinta disana, Newwiee bisa merasakannya.

“Gimana mau ninggalin kalau aku bahagianya sama kamu?”

“Tawan, aku tuh cinta cinta cinta banget sama kamu. Mana ada orang yang mau bersihin muntah ku ketika aku sakit kecuali kamu dan Ibu, mana ada orang yang mau meluangkan waktunya untuk mendengarkan semua hayalan ku yang sebenarnya minim sekali untuk menjadi nyata selain kamu.”

“Aku gak pernah ketemu orang yang bisa mengerti isi kepalaku sebelum aku ketemu kamu.”

“Satu yang harus kamu tau, hatiku milik kamu.”

Newwie tersenyum setelah mengakhiri ucapannya, dengan perlahan mencium dahi, kedua mata, hidung mancung, dan dagu Tawan-nya, lalu bangkit dari posisinya-berjalan menjauh dari sang kekasih.

“Newwiee, yang ini belum.” protes dari Tawan terdengar, membuat yang lebih muda terkekeh renyah dengan gelengan kepalanya.

“Newwiee.”

Tangan Tawan menarik lengan kekasihnya, memeluk pemuda dengan piyama biru muda yang melekat di tubuh moleknya.

“Aku gak bisa napas kalau kamu meluknya begini.”

Perlahan, yang lebih tua melonggarkan pelukannya, menatap Newwiee-nya sekali lagi “Yang ini belum dapat hak-nya.” Tawan berujar sembari memegang bibirnya.

“Gak mau ah, aku capek mau tidur.”

“Newwiee aku gak minta itu.” bantah Tawan.

Si manis menyipitkan kedua matanya lengkap dengan senyuman curiga yang menghiasi wajahnya “Yakin gak mau?”

“Emang kamu gak capek, sayang?”

“Kan! Dasar buaya tua.”

Tawa yang lebih tua pecah seketika tak kala pukulan di bagian dada dari Newwiee ia terima “Newwiee yang ini belum lho.”

“Sini.”

Pemuda berkulit tan itu langsung melangkah semakin mendekat, menghapus jarak yang ada diantara mereka, menyatukan bibirnya dengan sang kekasih. Tangan kiri yang lebih tua perlahan mengelus dengan begitu lembut pinggang mulut si manis di balik piyamanya.

Ia tersenyum di sela cumbuannya, setelah dirasa si manis kehabisan napas Tawan melepaskan pangutan yang terjadi, mengelus bibir basah kekasihnya dengan begitu pelan “Aku sayang banget sama Newwiee.”

“Newwiee pun begitu” yang lebih muda menjawab, dengan perlahan mengalungkan kedua tangannya di leher sang kekasih “Tawan” panggilan Newwiee hanya di balas dehaman oleh yang lebih tua.

“Tawan capek kah?”

•••

-Joya-