Joya.

Ibunya Newwiee.

[Sukmaku beteriak menegaskan kucinta padamu]

•••

“Tadi, apa kata dokternya?” Pertanyaan dari lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu langsung terdengar begitu pintu kamar rumah sakit terbuka.

Yang ditanya hanya memberi senyum tipis dengan kelima jemari bergerak lembut pada anak rambut sang suami.

“Thi kalau aku pindahin kamu ke rumah sakit yang lebih bagus mau?” Suaranya terdengar begitu pelan menyusup telinga yang muda.

“Kamu sudah janji bukannya rumah sakit ini yang terakhir?”

Si dia itu berbaring di ranjang, si dia itu hidupnya dibantu alat yang menempel pada tubuh, si dia itu yang wajahnya pucat pasi, si dia itu, Thitipoom.

“Tadi dokter ngomong apa?” Dia, kembali menagih jawaban yang tak kunjung Tawan berikan.

Lelakinya tak menjawab.

Thi paham betul apa yang dirasakan pasangannya, dirinya paham betul ada rasa takut yang membelenggu kekasih hatinya, dan mulai menggenggam—menautkan jemari mereka berdua dengan senyum manis yang dirinya tampilkan pada wajah sayu.

“Gak lama lagi ya, Ta?”

“Aku punya satu lagi kenalan dokter paling bagus, Thi sayang.”

Iris kelabu milik sang empu menelisik netra hitam pekat pasangannya, “Badannya udah gak sanggup, Mas.” Dan dirinya berterus terang, dan ia sudah tak lagi kuat.

Ada air mata yang ditahan untuk tidak jatuh, ada genggaman tangan yang dipererat, ada elusan kepala yang berhenti sekejap.

“Kamu capek sayang?”

“Iya, kamu sendiri gak capek kah bulak-balik ke rumah sakit, tidurnya kurang buat jagain Thi, ngurus diri sendiri dan juga ngurus Thi, kamu gak capek?”

Pria paruh baya itu menggeleng mantap tanpa keraguan, “Kamu katanya nanti mau diajakin liburan ke jepang, kan? Tapi harus sembuh dulu.”

“Thi cuma mau tidur, tapi nanti kamu sedih.”

Air matanya jatuh dengan sendiri—tak lagi kuat dibendung, dan Tawan dengan cepat menyerkanya.

“Maafin aku ya, yang udah terlalu memaksa tubuh kamu untuk terus kuat, maafin aku ya Thi, sakit ya badannya sayangku.”

“Jangan minta maaf, kamu kan gak ada salahnya.”

“Waktu yang ada kita pakai buat ngobrol, mau?”

“Thi deluan ya yang ngomong.”

“Tadi aku telepon Lolly minta tolong sus, anaknya jalan ke sini besok ambil flight pagi, mau ketemu aku.”

“Tapi kalau sekiranya kakak Lolly gak bisa lagi ngobrol sama Thi, tolong kamu sampaikan aku sayang dia banyak sekali.”

“Lolly tadi cerita dia diajak pergi main sama suaminya ketempat seru, dia bahagia, aku senang.”

“Kamu jangan telepon dia ya, biarin dia datang ke sini dengan perasaan tenang dan gembira, tanpa terburu-buru dan air mata.”

“Tetaa, makasih ya udah ajak Thi pergi ke tempat yang belum pernah aku datangi, makasih udah jadi suami Thi.”

“Oh iya, nanti kalau mandi handuknya dibiasakan taruh kembali ke tempatnya, takutnya gak ada yang ingatkan kamu buat itu.”

“Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan ya, kamu bisa pakai waktu luang buat melukis, kamu lagi suka melukis kan, aku tau.”

“Kamu sekarang udah gak pernah lupa pakai kacamata, jadi aku gak lagi khawatir akan itu.”

“Jangan telat makan, makan makanan yang enak, yang kamu suka, biar ada bahagia.”

“Taruh barang-barang ditempatnya biar kamu gak lupa, biar kamu gak bingung nyarinya di mana.”

“Kamu sayang gak sama Thi?”

“Sayang.”

“Thi tau, sayang kamu dari dulu sampai sekarang masih kerasa, makasih ya udah sayang sama Thi.”

“Kamu gak mau ngomong?”

Tak ada rasa untuk melerai genggaman tangan yang sedari tadi mereka lakukan, pria paruh baya yang tengah duduk dalam diam di kursi sebelah ranjang rumah sakit itu mulai bersuara pelan-pelan.

“Lukisan kamu sama Lolly yang aku buat udah aku pajang di ruang tamu.”

“Oh iya?”

“Iya, kamu cantik sekali, dan sekarang pun masih begitu, cantik.”

“Bohong ya, aku tadi ngaca tau Tetaa, udah kayak mayat hidup.”

“Kamu harus lihat pakai mata aku kalau gitu.”

Dan si manis tertawa.

“Tadi sus bilang sama aku, kamu hari ini makannya lahap.”

“Iya, Thi banyak makannya.”

“Keren, Mbul.”

Jemari yang tua perlahan beralih pada punggung tangan sang kekasih, ia memerhantikannya dalam diam untuk beberapa menit.

Hingga yang muda menarik tangan kanannya menjauh, “Jelek kan tangan Thi.” ada rasa malu yang hadir.

“Gak ada yang jelek, cantikku.”

“Maafin aku ya Thi, pas kamu masih sehat aku susah meluangkan waktu dan mengiyakan ajakan kamu untuk berlibur.”

“Kalau waktunya bisa aku putar, aku akan ajak kamu kemana pun kamu mau, aku minta maaf ya sayang.”

“Kamu, marah gak kalau aku nyerah?”

“Enggak, Thi.”

“Kamu pasti sedih, nanti yang peluk kamu pas sedih siapa?”

“Mimpi aku dulu kayak jadi nyata, tapi sekarang aku udah gak takut, kamu ada di sini, kamu gak sepenuhnya meninggalkan aku sendirian. Aku cinta sama aku Thi, selalu.”

“Kamu gak mau peluk Thi?”

Yang tua beranjak dari kursi yang ia duduki, kembali mengelus pipi kanan sang bulan begitu pelan, dan mengecupnya, dan menciumnya, dan ia menangis.

Tawan membungkuk, memeluk kekasihnya hatinya.

Ada tepukan pelan yang terasa dipunggung, Thi mendengarnya, Thi menyaksikannya, dan Thi membiarkan tangis pilu sang suami.

“Aku sayang sama kamu, semoga dilapangkan hatinya, semoga dikuatkan, semoga ikhlas.”

Yang tua mengangguk.

“Thi pamit ya Mas.”

“Tidur yang tenang Cantikku.”

Thitipoom memberikan sebuah senyum hanya untuk suaminya, masih sempat menghapus sisa air mata yang ada pada wajah Tawan.

“Kamu, Cintaku Tawan vihokratana.”

Dan tarikan napas panjang, dan mata yang perlahan tertutup, dan bunyi alat yang terdengar, dan tangis Tawan yang pecah memeluk raga tak lagi bernyawa,

Ia harus menerima jika sepi akan menjadi teman setia untuk hari-hari selanjutnya, harus menerima jika tak ada lagi senyum yang menyambut dirinya, Thi telah menyelesaikan segala apa yang ada di bumi.

“Tunggu aku, Thipum.”

Menit berikutnya kamar terbuka, dan Tawan mundur beberapa langkah membiarkan para medis mengelilingi sang bulan yang tengah tertidur pulas.

•••

—Joyana.

—Hadiah.

•••

“Boleh ku cium gak bibirnya?”

Gelengan pelan dari pria manis itu tercipta, membuat si pemberi tanya mengangguk dua kali, menerima penolakan dari sang suami.

“Kok kamu langsung nyerah gitu?”

“Ya kamu udah gak ngasih izin, cantik.”

“Kalau kamu, boleh gak ku gigit bibir bawahnya?”

“Nakal, Thipum.”

Ada gelak tawa yang terdengar, ada mata sang empu menyipit bak bulan sabit, cantik sekali.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, kedua anak adam itu masih setia di dalam ruang kerja yang muda, Thi masih sibuk berkutat pada laptopnya, dan Tawan sibuk menyuapkan buah potong pada si manis.

“Pinggang aku kayak mau lepas.”

“Nanti aku pasang lagi.”

Thi merespon dengan decakan mendengar jawaban asal bunyi lelakinya.

“Oh iya Taa, aku lupa sampaikan, anaknya kemarin ada kepingin main ke pantai, katanya kalau kita ada waktu aja hahaha tua banget ngomongnya.”

“Mungkin kalau terlalu jauh belum ada waktunya sayang, ke bali aja gak apa?”

“Bali juga hitungannya jauh Mas, yang dekat-dekat sini aja.”

“Coba nanti kita tanya anaknya mau di mana ya, Mbul.”

Sebuah anggukan Tawan terima, hingga dimenit kelima tampak jelas si manis mulai memberserkan segala yang ada pada meja kerjanya, menghela napas panjang, “Selesai juga, ayo pulang.”

Thi itu belum sepenuhnya bangkit dari duduk, ada tangan yang menahan, ada gerakan si dia yang menghapus jarak, ada jemari pelan-pelan menyingkirkan poni rapi menutupi dahinya.

Dan Tawan mendaratkan sebuah ciuman pada kening yang muda dengan lama-lama.

“Hadiah dari aku karena kamu udah lembur.”

Perasaan hangat itu menyergap dirinya, tak lagi bisa menahan senyum yang mengembang sempurna di wajah.

“Pipinya masih merah aja.”

“Salah kamu, kenapa tiba-tiba cium kening Thi.”

“Hadiah.”

Setelah menjawab, yang tua itu mulai bergerak, melangkah menjauh, namun Thi menahannya, “Thi juga mau ngasih kamu hadiah.”

“Apa?”

“Ini”

Pemilik iris kelabu itu menyatukan bilah bibir mereka, mulai memangut dan Tawan menerima dengan senang hati atas cumbuan yang lelakinya tawarkan, mulai mengikutsertakan lidahnya menciptakan banyak friksi di sana, menjamah deretan gigi rapi yang muda, mengigit bibir bawah merah merekah sang pasangan.

Sebelum cumbuan itu turun pada leher jenjang sang bulan, Tawan menyelesaikan segalanya, “Nanti kelepasan, kita masih di kantor.”

“Kalau kelepasan ya tinggal dilepasin semua.”

“Nakal.” Lengkap dengan jentikkan jari pada dahi Thi.

“Gak mau nih kamu?”

“Enggak.”

“Aku buka baju sekarang.”

“Biar aja, nanti ku teriakin ada orang gila.”

“Ih beneran keliatan banget udah gak sayang Thi.”

Diberinya kecup ringan pada tiap-tiap bagian yang ada pada wajah Thitipoom, “Aku sayang banget sama kamu, Thi. Makasih hadiahnya.”

“Tetaa, makasih ya udah sayang Thi.”

•••

—Sebentar pagi.

•••

“Kamu kenapa ngeliatin aku terus?”

“Gak ada.”

Lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu mengangkat kedua bahu—mengabaikan yang tua, mulai sibuk pada kegiatan sebelum tidurnya, menggunakan skincare.

Bermenit-menit mendiamkan sang suami hingga ia melangkah mendekat, “kamu itu hampir 24 jam di dalam ruangan ber-AC, pake pelembab.”

Yang diberitahu hanya diam membiarkan jemari-jemari sang lelaki manis bergerak pada wajahnya.

“Cantik.”

“Makasih udah puji Thi, kamu tadi gimana harinya?”

“Gak gimana-gimana.”

Decakan sebal itu keluar dari mulut yang muda setelah mendengar jawab Tawan, “Apa gak ada yang lain jawaban kamu? Hampir 10 tahun nikah jawabannya gak pernah diganti.”

“Mbul gimana harinya?”

“Hmmm baik, tadi Thi pas jemput Lolly makan siang di monsieur spoon nyobain yang lagi viral, kamu tau gak Taa makanan yang lagi naik daun?”

“Enggak.”

“Nanti deh aku ajakin kamu.”

Thi melangkah meninggalkan yang tua sendirian di ujung ranjang mereka untuk meletakkan pelembab wajah yang ia pakaikan pada Tawan barusan.

Iris kelabunya melirik jam dinding di sudut kamar, dan berjalan, dan kembali mendekat, dan mendaratkan bokongnya tepat dipangkuan si dia.

Perlakuan tanpa alasan yang Thi lakukan itu membuat si pria tan mendesis lengkap dengan tangan kanannya meremas paha yang muda.

“Thi, ngapain?”

“Menurut kamu ini ngapain?”

“Kamu lagi pengen ya sayang?”

“Seharusnya aku yang nanya gitu? Kamu kenapa ditahan-tahan terus coba.”

“Besok harus kerja.”

“Gak mau jadinya?”

Ada menit-menit dimana Tawan tak bersuara namun jemarinya bergerak menggerayangi paha dalam si manis dalam bungkam yang dirinya berikan.

“Tangannya gak sopan ya, Tawan.”

“Boleh Thi?”

Yang ditanya mengembangkan senyumnya—bangkit dari pangkuan Tawan vihokratana untuk sekedar membalikkan tubuh agar bisa saling tatap, saling pandang, dan berujung saling melumat, mengecap bibir sang pasangan, mengigit kecil bilah bawah yang muda dengan lidah sesekali ikut serta didalam kegiatan yang keduanya lakukan.

Tangan Tawan itu tak bisa diam sepanjang cumbuan dilakukan—menyelinap masuk masuk tanpa izin kedalam baju tidur yang dikenakan Thi.

Dia meraba, mengelus, memilin, hingga desis dari yang muda dirinya dapatkan.

“Kamu maunya aku gimana?” Thi memberi sebuah begitu cumbuan keduanya terlepas.

“Kamu nyamannya gimana Thi, lakuin aja.”

Thi tak pernah merasa dirinya benar-benar puas dengan jawaban Tawan ketika mereka melakukan hubungan seks, lelaki itu terus-menerus menempatkan Thi kedalam urutan pertama dan mengabaikan keinginan dirinya yang sesungguhnya.

“Gak boleh aku terus, kamu, maunya gimana?”

“Kamu gimana aja aku suka.”

“Gak ada jawaban kayak gitu Tawan.”

“Kulum dong.”

Thi kembali mengembangkan senyumnya mendengar jawaban yang Tawan berikan, setelahnya ia berlutut di depan kepunyaan sang suami.

Ada tangan bergerak menciptakan friksi lebih banyak di sana, membiarkan napas berat yang tua masuk dengan begitu merdu kedalam indera pendengarannya—ia memberikan Tawan nikmat tiada dua malam itu.

Si dia itu tak sepenuhnya dapat mengontrol diri begitu netra hitam pekat miliknya mulai terbuka secara perlahan—mulai berani menatap apa yang tengah Thi kerjakan di bawah sana, mulai berani mengikutsertakan jemari untuk meremat rambut yang muda, menekan semakin dalam, menuntut semakin cepat, mengabaikan barang sebentar rengekan yang muda.

“Aku udah mau keluar sayang.”

Memangnya apa yang bisa Thi lakukan selain mengangguk dan setuju ketika sang suami akan sampai pada titik terpuasnya.

“Jangan ditelan.”

“Telat banget ngelarangnya, rahang aku mau lepas deh.”

Tawan terkekeh pelan mendengarnya, mengelus sisi-sisi wajah yang muda dengan begitu pelan, “Maaf ya, sakit gak?”

“Kamu mau dilanjutin yang tadi apa engga?”

“Aku tanya apa tadi Thi.”

“Jangan marah.”

“Aku gak marah, cuma bertanya dan kamu belum menjawab.”

“Enggak sakit, mas.”

“Yaudah.”

“Yaudah apa?”

“Ayo dilanjut.”

Dan malam ini Thi tak perlu memutar otak lebih banyak untuk mendapatkan jawaban persetujuan dari suaminya.

Tawan itu adalah sebenar-benarnya tepat berpulang, tempat mengadu yang siap menyedia bahu, tempat tertawa berbagi bahagia bersama.

“Ahhhh.”

Satu desahan tak dapat dirinya samarkan begitu dua jemari sang suami berada di dalam dirinya.

“Cantik.”

“Cantik banget Thitipoom.”

Thi ingin menangis.

Dirinya sudah menangis mendengar kalimat dari yang tua, dirinya sudah menangis mengais putih yang akan datang, sebentar lagi, sedikit lagi.

Dan Tawan, tak sampai hati untuk mengentikannya.

Titik-titik keringat itu disapu pelan-pelan, diberi pula kecup lembut penuh kasih dan sayang yang semoga dapat dirasa oleh Thi, pun dengan kalimat-kalimat manis yang terucap—memuja paras ayu sang bulan terang-terangan.

“Terima kasih Thi, sudah menjadi suami aku.”

Yang muda napasnya masih satu-satu, belum sepenuhnya sadar akan apa yang Tawan ucapkan sedari tadi, ia masih bergelung pada sisa-sisa nikmatnya.

“Aku udah gak tahan banget, ayo dong.”

“Aku minta izin dan maaf ya kalau sekiranya nanti ada perlakuan diluar kendali yang membuat kamu gak nyaman, tolong dibilang aja ya sayang.”

Dan Thi menangis.

Dan ia terharu.

Dan dirinya merasa disayang.

Tak ada balasan kalimat yang bisa Thi berikan sebagai jawaban atas apa yang Tawan katakan, maka dari itu ia memberikan sebuah ciuman paling romantis sebagai bentuk bahasa cintanya.

“Aku buka bajunya boleh, Thi?”

Dan apalah Thi untuk menolak tawaran manis itu.

Satu persatu kancing baju tidurnya dibuka menampilkan kulit telanjangnya pada yang tua, membiarkan bibir sang pria menjelajahi seisi tubuhnya—memberi tanda, mengingit pelan, atau sesekali lidah nakalnya meliuk-liuk pada puting susu pasangannya.

“Masukin, please.”

“Apanya?”

“Kamu.”

Tawan benar-benar menyukai bagaimana wajah putus asa Thitipoom-nya saat ini, bagaimana si dia bergerak gelisah di atas ranjang berisikan mereka berdua, bagaimana mulutnya terbuka lengkap dengan desahan merdu yang terdengar, pun jua bagaimana jemarinya menarik apa yang bisa ia raih sebagai bentuk pelampiasan atas apa yang Tawan berikan.

Nikmat, sangat.

“Cantik.”

“Mas, kamu besar banget.”

Dan Tawan bergerak cepat, membenamkan keseluruhan dirinya pada sang tercinta, menimbulkan racauan tak jelas dari pria di bawahnya.

Hingga dihentakan terakhir yang diberikan oleh Tawan membuat seluruh kewarasannya mengawang entah kemana, kedua matanya terpejam erat membiarkan deru napas yang saling berkejar-kejaran.

“Makasih ya Thi.”

“Aku minta maaf ya Tetaa kalau tadi ada salah-salah sama tubuh kamu.”

“Kamu gak ada salah, kan udah bikin enak.”

“Cukup memangnya sekali?”

“Cukup Thi, makasih ya, udah jadi suami aku, makasih udah menerima kelebihan dan kekurangan aku, tetap sama aku sampai lama-lama.”

“Sama-sama ya Tawan, kembali kasih atas semuanya, kembali kasih karena udah sayang aku, perasaannya terasa sampai sini....” Thi berucap dengan tangan kanan memegang dadanya, “Kembali kasih karena kamu gak kemana-mana dan tetap sama aku, mari hidup yang sehat, bahagia, dan sampai lama-lama.”

•••

—Joyana.

[Jikalau]

•••

Lampu kamar dimatikan, menyisakan lampu tidur menjadi penerangan satu-satunya yang ada pada sebuah kamar sang empu.

Netra hitam pekat itu bergerak mencari bingkai foto yang berada di nakas sebelah kanan, jemari-jemari lentiknya mengusap sosok yang ada di dalam bingkai tersebut, tanpa sadar ia ikut tersenyum, ikut masuk ke dalam memori lampau penuh bahagia yang ada di dalamnya.

Rindu.

Rindu akan presensinya.

Rindu akan dekap hangat lelakinya, rindu akan perhatian-perhatian yang sang bulan berikan, rindu akan marahnya yang datang, rindu akan eksistensinya di dalam hunian.

“Aku kangen kamu Thi.”

Adalah kalimat yang terus terlontar setiap malam.

Lelaki cantik dengan senyum paling indah itu berpulang tepat tiga tahun yang lalu, lelaki yang selalu menjadi alasan dirinya untuk punya alasan berbahagia.

Thitipoom telah menyelesaikan tugasnya.

Suaminya tengah beristirahat dengan lelap dan tenang di sana.

Yang ia lakukan sekarang adalah, menunggu.

Menunggu dengan sabar hingga ia bisa bertemu separuh dirinya.

Menunggu dengan ikhlas hingga ia bisa kembali pada potongan-potongan menjadi utuh.

“Aku baik-baik saja di sini, Thi.”

“Lollita sudah punya putri yang cantik, rumah sedang ramai suara anak kecil, kamu pasti suka itu kan sayang.”

“Kita sudah punya cucu, Thi.”

“Namanya Ayane eshania, berumur dua tahun.”

Jemari ringkihnya tak henti bergerak mengelus foto sang bulan, senyumnya masih terpantri di sana, tak pergi kemana-mana.

“Aku selalu merindukan kamu, Thitipoom.”

Hingga di detik berikutnya, ada suara pintu kamar yang terbuka, ada seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun yang menyelinap masuk kedalam kamar sang ayah.

Ia melangkah dalam remang kamar, duduk di pinggir ranjang orang tuanya, “Dad, kok belum tidur?” Adalah pertanyaan basa-basi yang Lolly berikan.

“Ayane ditinggal sendirian?”

“Ada papanya.”

Tawan mengangguk dua kali, “Kenapa ke sini?”

“Kamu, gimana kabarnya?”

Netra hitam pekat milik Tawan menelisik lamat-lamat wajah sang anak sematawayang, “Dad baik.”

Sang perempuan memberikan sebuah senyum hangat, tangan kanannya bergerak menggenggam jemari keriput sang ayah, mengamati kantong mata mengendur yang ada pada wajah seorang Tawan vihokratana.

“Kangen ya sama papa Thi.”

“Setiap saat pasti kangen, kak.”

“Tadi Ayane lihat foto papa Thi yang ada di meja kamar aku, katanya eyang Thi punya senyum yang cantik.”

“Ayane juga nanya ke Lolly, katanya eyang Thi itu orang seperti apa, aku bilang besok kamu harus tanya sama Opa.”

“Dad siap-siap mendongeng besok.”

“Kakak Lolly, gimana kabarnya?”

“Lebih dari baik, maaf kalau Lolly jarang mengunjungi kamu.”

“Tak apa.”

Sang ayah merentangkan tangannya dalam diam, mengundang sang anak untuk masuk kedalam pelukan yang dirinya ciptakan dengan damai.

“Sekarang udah gak ada teman rebutan kamu, ternyata gak semenyenangkan ini rasanya.”

“Kalau dulu, Daddy sampai pusing kamu dan papa bertengkar hanya karena sebuah pelukan.”

“Waktu Ayane lahir, kamu bilang sama Lolly kalau tujuan utama kamu datang ke rumah sakit untuk melihat putrimu, setelahnya cucumu.”

“Kamu langsung bertanya gimana kabar aku, apa yang sakit, kamu bahagia atau tidak.”

“Dan Dad juga bilang, itu pertanyaan dari papa Thi yang dititipkan sama kamu.”

“Lolly kangen papa Thi.”

Tangis sang putri pecah ruah lengkap dengan tubuh bergetar yang terasa dalam pelukan erat sang ayah.

Dirinya bisa merasakan tepukan pelan yang Tawan berikan, dirinya bisa merasakan jika sang ayah juga sama merasakan kehilangan.

“Papa Thi itu gak kemana-mana, nak, dia ada di dalam hati kita.”

“Dia juga sedang menunggu di tempat terbaiknya, menunggu kita untuk kembali berjumpa, berkumpul bersama-sama lagi.”

“Rasa rindu itu adalah hadiah dari Tuhan untuk kita selalu mengingat dia.”

“Kakak Lolly mau tahu sesuatu tidak?”

Sang anak mengangguk, tak ada berniat untuk melonggarkan pelukannya pada sang ayah.

“Dulu, kami punya keinginan merayu semesta, agar aku yang pergi terlebih dahulu meninggalkan dirinya sendirian di bumi.”

“Tapi ternyata, di sini, aku yang kuat, kuat menahan rindu pada dia yang akan ku temui nantinya.”

“Suatu hari nanti, papa Thi akan menyambut kepulanganku dengan senyuman paling indah yang ia punya.”

“Dan kamu, anakku dan Thi, adalah anugerah paling indah yang kami syukuri.”

“Jika tiba hari di mana aku ikut bersama papa Thi, akan kutitipkan rindu yang kamu rasakan padanya.”

“Dan akan Daddy sampaikan, putri sematawayangnya sudah menjadi seorang Ibu yang hebat.”

“Kamu, akan menjadi bahan obrolan paling menyenangkan untuk kami.”

•••

—Joyana.

—Jangan biarkan aku pulang, kerumah yang bukan engkau.

•••

Cengiran sang empu terpantri pada wajah begitu kakinya melangkah masuk kedalam rumah—sepasang iris kelabu menatap tajam, lengkap pula dengan kedua tangan dilipat di dada.

“Bagus.” Suaranya langsung terdengar, datar.

Tawan kembali menunjukkan cengirannya sungguh-sungguh tak berani berucap apapun, karena Thi tampak benar-benar marah saat ini.

“Dad, kok lama pulangnya?”

Kedua anak adam itu sontak mengalihkan perhatiannya pada sang anak sematawayang, “Tadi ada yang harus diurus dulu kak.” Tawan menjawab—berjongkong mensejajarkan tingginya dengan Lolly.

“Tadi papa Thi check phone, terus crying.”

“Oh ya?”

Gadis kecil berusia sembilan tahun itu mengangguk sungguh-sungguh, “Iya, tapi sudah diam Lolly give him some chocolate candies.”

“Makasih ya Lollita.”

Sebuah ciuman Tawan berikan pada sang putri, “Daddy mau ngomong sama Papa sebentar boleh?”

“Berdua aja?”

“Berdua aja.”

“Oke, aku ke kamar, nanti kamu susul ya dongengin aku sebelum tidur.”

“Siap princess.”

Menit setelah Lollita meninggalkan mereka berdua, yang tua melangkah mendekati sang suami, memerhatikan wajah si manis dengan jarak cukup dekat, sangat dekat hingga Thi mulai bergerak mundur satu langkah.

“Nangis karena pesan aku ya Thi.”

“Kebiasaan tau gak.”

“Maaf ya.”

“Kebiasaan.”

“Aku gak kenapa-napa, cuma bumper depannya aja yang kena, tadi agak lama soalnya aku ngobrol dulu sama yang punya mobil yang enggak sengaja aku serempet.”

“Kamu gak pernah sayang sama dirimu sendiri.”

“Thi.”

“Tapi aku sayang banget sama kamu, Tawan.”

“Aku gak suka, aku benci liat kamu sakit, aku takut, takut Tawan, aku takut kamu kenapa-napa.”

“Sama kayak yang kamu bilang 'kalau kamu pergi aku tinggal sendiri' aku juga mikir kayak gitu, kalau naasnya kejadian lebih buruk, aku harus kayak gimana Tawan.”

Kedua tangan yang tua bergerak merengkuh tubuh bergetar sang kekasih hati, namun lagi, Thi mundur selangkah, terang-terangan menolak.

“Gak ada pegang-pegang.”

“Iya maaf ya, gak ada pegang-pegang.”

“Ada yang sakit gak badannya?”

Pertantanyaan bernada ketus terselip khawatir yang sangat terasa itu membuat Tawan tersenyum tipis, lalu menggeleng, lalu memperlihatkan pada si manis jika diri sungguh benar dalam keadaan baik.

“Yaudah, bersih-bersih sana.”

“Kamu di sini sendirian? Gak mau ke kamar aja?”

“Males, ada kamu.”

“Biar gak bosan-bosan banget, aku beneran beliin kamu sop buah, dimakan ya aku mandi sebentar, sekiranya kamu masih gak mau lihat aku malam ini, aku tidur di kamar Lolly gak apa-apa sayang.”

Kedua tangan pria berkulit tan itu meletakkan mangkuk berisikan sop buah di meja ruang tengah rumah mereka.

“Udah makan malam belum kamu?”

“Gampang nanti kalau lapar aku bisa masak sosis.”

“Aku tanya udah makan malam atau belum?”

“Belum, Thi.”

“Habis mandi ke bawah, Ibu tadi ada ngasih ayam woku sama sop buntut.”

“Iya Cantik.”

“Yaudah, kenapa masih di sini.”

“Maaf ya, maaf sekali, maaf bikin kamu khawatir, maaf bikin kamu takut, maaf bikin kamu nangis, pasti tadi pikirannya Thi gak tenang ya gara-gara aku, maaf ya sayang.”

“Besok ke rumah sakit buat periksa, takut ada kenapa-napa.”

“Iya.”

“Jangan iya-iya aja kamu Tawan.”

“Iya, besok ke rumah sakit.”

Pemilik iris kelabu itu bergerak merengkuh sang suami, kedua telapak tangannya bergerak mengusap punggung lebar yang tercinta.

“Siapa yang kasih izin pegang-pegang aku?”

Cepat-cepat Tawan menjauhkan tangannya dari tubuh si dia—dan terkekeh pelan setelahnya.

“Kena marah kamu sama Thi.”

“Gak apa-apa.”

“Jangan diulangin lagi, tolong lebih hati-hati Tetaa.”

“Iya Thi.”

“Gih bersih-bersih terus makan dan istirahat, biar anaknya Thi yang dongengin.”

“Kamu yang istirahat, aku gak ap—”

“Gak ada bantah ucapan aku.”

“Iya Thipum.”

Thi perlahan melerai pelukannya pada tubuh tegap lelakinya, mengecup bibir yang tua hanya untuk beberapa detik lamanya.

“Thi minta maaf ya Tetaa, udah gak sopan sama kamu tadi.”

•••

—Joya.

Sebentar lagi.

•••

“Kalau kita hidup gak butuh uang, kamu mau ngapain?” Sebuah tanya diberikan sang buah hati pada pria paruh baya berkulit seputih salju yang berada di hadapannya.

“Hmmm.” Ia tampak menimang-nimang jawaban yang akan diberikan, hingga setelahnya kata ini terucap, “Aku mau punya toko bunga, yang ada tempat ngopinya juga karena aku suka kopi, nanti setiap paginya aku mau ngasih orang-orang yang lewat satu tangkai bunga, satu cangkir kopi berserta satu kue kering.” Thi menjawab dengan binar tampak jelas sebelum kembali melanjutkan ucap yang belum selesai.

“Aku mau pergi sama kamu dan Daddy, kemana aja asal kita bersama tanpa perlu ngatur jadwal karena kita bertiga punya kesibukan sendiri.”

“Kalau Daddy?” Kini, netra coklelat yang termuda menoleh pada pria tan yang berada tepat disebelah sang Papa.

“Punya waktu lebih banyak untuk Papa Thi dan kakak Lolly.

Singkat, setelahnya pria berkepala enam itu tak lagi bersuara, hanya diam dengan kedua tangan yang sibuk memotong buah naga untuk suami dan anaknya.

“Kalau kamu sendiri?” Thi bersuara setelahnya.

“Apa ya, belum ada jawabannya.” Lolly menjawab dengan tangan kanan meraih satu potong buah naga.

“Yaudah, Lolly jawabnya nanti aja, pas jawabannya udah ada, gak perlu sekarang.”

“Oke, nanti kalo udah ada jawabannya aku kasih tau Papa Thi sama Daddy.”

“Anak Thi apa yang kurang? Bahan makanan masih ada kah? Peralatan mandi sudah ada yang habis?”

“Masih ada semua kok.”

“Nanti kalo ada yang habis atau mau diganti baru, bilang Papa atau Daddy aja.”

“Kamu sama Daddy tidur di sini malam ini?”

“Pulang deh, sebentar lagi.”

“Tidur di sini aja ya, Pa.”

Thi menoleh kesamping hingga yang tua menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, persetujuan.

“Bapak Tawan udah approved, jadi iya.” Si putih salju kembali bersuara lengkap dengan ibu jari yang ia pamerkan pada sang buah hati.

“Kalau Lolly gak keterima di perusahaan ini, gak apa-apa kan?” Cicit yang dapat di dengar sepasang orang tua di sana, nada ragu yang sayup-sayup masuk ketelinga Thi dan Tawan, kepala yang menunduk dalam-dalam dari sang gadis berkepala dua.

“Gak apa-apa banget.”

“Gak apa-apa, Kak. Berarti rezekinya kamu bukan di sana.”

“Papa sama Daddy gak kecewa kan?”

“Anak Thi, kamu itu kan lagi usaha, dan setiap usaha gak selalu serta merta sesuai sama apa yang kamu inginkan, gak apa-apa kalau bukan di perusahaan itu, kamu bisa usaha lagi di tempat lain, kami akan selalu dukung kamu, akan ikut di setiap usaha kamu, jangan takut sendirian Lolly, Papa sama Daddy ada buat kamu.”

“Tapi Lolly belum bisa bahagiaan kamu sama Daddy.”

“Kakak Lolly, bahagia kami bukan tanggung jawab kamu, gagal kamu pun bukan sebuah kesalahan. Gak apa-apa kalau yang ini gagal, coba lagi di tempat yang lain, gak usah buru-buru karena kami nunggu kamu selalu.” Tawan ambil suara.

“Daddy bener banget tau, kamu tuh gak perlu gimana-gimana untuk buat kami bahagia, Lolly cukup bahagiain diri sendiri, sayang sama diri sendiri, aku sama Daddy ikut bahagia.”

“Aku udah bahagia sejak kamu mau jadi anakku, udah sayang sama aku, udah mau di peluk sama aku, udah mau berantem sama aku, Papa Thi udah bahagia, kamu gak perlu usaha terlalu keras untuk kebahagian aku dan Daddy.”

“Anak Thi kalau mau nangis jangan ditahan-tahan, keluarin aja karena kami akan peluk kamu setelahnya.”

Kesepuluh jemari gadis itu bergerak menyembunyikan wajah sedunya, isak tangisnya terdengar jua, air matanya pun keluar dengan sendirinya.

“Lolly takut.”

Pemilik netra hitam pekat itu bergerak dari tempatnya, menarik sang anak sematawayang untuk masuk kedalam rengkuhan.

Telapak tangan besar yang selalu bisa menenangkan, usapan pelan yang selalu bisa mengusir segala hal buruk yang ada di kepala, dan kedua orang tuanya yang selalu siap pasang badan untuk segala hancur yang terasa.

“Perasaan yang sedang kamu rasakan itu wajar, kak, gak apa-apa.”

Tangisnya mulai mereda, rengkuhan sang ayah mulai melerai, dan wajah sembab mulai terlihat m, tak lagi bersembunyi di dada Tawan.

“Anak Thi, malam ini nyerah dulu sama dunia, nangis semaunya, capek sepuasnya, besok pagi kita berjuang lagi ya, pelan-pelan aja.” Thi ikut memeluk anak gadisnya, ikut mengusap rambut panjang yang tergerai indah.

“Lolly mau makan roti bakar keju.” Sang gadis berucap setelah tangis panjangnya.

“Lihat Mbul, kamu versi wanita.”

•••

—Joyana.

Kelima jemari pemilik iris kelabu berkulai itu bergerak pelan menyusuri tiap tiap bagian album berdebu yang ia temukan di laci, sudah lama tak terbuka hingga senyum merekah sempurna lantas menghiasi wajah cantiknya semakin menjadi.

Sepasang indera penglihatan sang empu tak berpaling kemana-mana, di sana, ada dia yang tertangkap kamera tengah menghambur tawa, ada dia yang tengah tersenyum dengan pasangannya, ada dia dan keluarga kecilnya yang memamerkan senyum paling indah yang mereka punya.

Thi paling suka mengoleksi lembar demi lembar foto yang selalu ia jadikan kenang-kenangan, yang akan tetap terasa hangat begitu album lama kembali terbuka lebar, akan kembali masuk kedalam waktu lampau yang pernah dilalui bersama sang tercinta.

Satu tahun, dua tahun, hingga dua belas tahun bersama Tawan adalah hal yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan, bagaimana tawa dan tangis yang terdengar, bagaimana rayu dan marahnya yang terucap, bagaimana senang dan sedih yang dibagi berdua, semuanya diselasaikan bersama.

Pada akhirnya Tawan adalah satu satunya orang yang bertahan, orang yang mengerti, orang yang bisa ia ajak berbagi, adalah orang yang bisa membuat Thi menjadi dirinya sendiri.

Di lembar selanjutnya, ada pemilik hatinya dengan senyum mengembang sempurna dengan gadis kecil berada di rengkuhan, ada gadis kecil yang selalu menjadi syukur di tiap-tiap hari.

Kehidupan yang dulu tak berani ia impikan telah terlaksana dengan cukup sempurna, dan Thi tak berani meminta apa-apa lagi.

Cukup, sudah cukup.

Tawan dengan kasih sayang dan Lollita dengan kebahagiaan.

“Thi, kamu lupa matiin kompor ya?” Ah, suara yang tua memecah segalanya, dan yang di panggil cepat-cepat berlari mematikan kompor dengan panci diatasnya, isinya sudah ranap.

Terima kasih, sudah menjadi pelengkap hidup, panjang umur kamu.

•••

—Joyana.

Selamat ulang tahun Thitipoom.

•••

Hari ini, tepat di tanggal 30 januari seseorang dengan poni rapi menutupi dahi itu tengah merayakan hari ulang tahunnya untuk yang kesekian kali. Ranumnya tak henti melengkung indah memamerkan senyum terbaik yang ia punya, binar matanya tak pudar memandang bagaimana orang-orang terdekatnya menyambut harinya, hari Thitipoom.

Kedua ibu jari lelaki itu bergerak cepat membalas segala pesan berisikan ucapan dan doa untuk umur barunya tahun ini, sesekali terkekeh pelan tak kala ada saja kalimat lelucon yang ada di dalam benda pipih di genggamannya.

“Mbul.”

Pria berkepala tiga itu menoleh ke sumber suara netra keduanya bertemu untuk beberapa waktu hingga yang muda memberikan sebuah kedipan untuk suaminya, Thi bangkit dari sofa yang ia duduki—melangkah mendekati Tawan hingga ujung jemari keduanya tersentuhan.

“Thi mau balikin ini. Aku jajan banyak banget tadi, gak apa-apa kan?” Yang muda bersuara lengkap dengan memulangkan kartu kredit kepada pemilik aslinya.

“Gak apa-apa, kan aku yang ngasih.”

Senyum lelaki Cantik itu kembali merekah, kembali menghiasi wajah cerahnya lantas mengangguk dua kali, “Makasih ya Tetaa.”

Sang pemilik netra hitam pekat memberi sebuah senyum tipis sebagai jawaban, detik berikutnya ia merentangkan tangan lebar-lebar bermaksud mempersilahkan orang yang berada di hadapannya untuk masuk kedalam pelukan yang sepenuhnya ia berikan dan ciptakan untuk Thitipoom seorang.

Thi, menerima pelukan suaminya tanpa suara.

“Senang gak hari ini?” Suara berat yang tua menyusup masuk kedalam indera pendengarannya, Thi mengangguk—menyandarkan kepalanya di dada mataharinya.

“Senang, Thi tadi beli makanan yang aku suka, ganti kacamata baru, dapat kue ulang tahun dari banyak orang, dapat kado, dapat doa yang baik-baik, dipinjamin credit card sama suami Thi buat jajan sepuasnya satu harian ini, ketiban uang 1M juga hahaha.”

“Tetaa.”

“Iya sayang.”

“Tadi ayah ucapin selamat ulang tahun untuk aku, terus beliau minta maaf lagi, terus Thi di peluk deh. Pelukan ayah tuh sama kayak di peluk kamu, rasanya hangat, nyaman, dan aman.”

“Thi udah lama banget ya gak di peluk sama ayah, Tetaa makasih udah peluk anak Thi setiap hari.”

“Sama-sama Cantik.” Lirihan yang tua masih dapat di denger oleh pasangannya, pun juga dengan telapak tangan besar sang empu tak henti mengelus kepalanya dengan begitu pelan, satu kata yang dapat Thi katakan, menenangkan.

“Gak boleh nangis, hari ini ulang tahun Thi.”

“Gak apa-apa nangis aja.”

“Enggak boleh.”

“Enggak apa-apa, Thipum.”

“Aku mau di peluk yang lama, boleh?”

“Boleh, Cantikku.”

“Tetaa, sayang sama Thi selalu, ya.”

“Kita sudah sama-sama berapa lama Thi?”

“Dua belas tahun.”

Ada sepuluh detik senyap yang melanda hingga si manis kembali bergerak pelan di dalam rengkuhan lelakinya, semakin menyamakan dirinya di sana. Berpelukan di tengah-tengah ruang keluarga rumah mereka berdua, membiarkan sunyi yang tak kunjung merasa sepi hingga suara Tawan terdengar.

“Selamat ulang tahun, Thitipoom vihokratana.”

“Selamat ulang tahun Thi, terima kasih sudah lahir.”

“Selamat ulang tahun Mbul, terima kasih karena kamu sudah kuat.”

“Selamat ulang tahun bapak Thitipoom, terima kasih sudah mau berjalan beriringan bersama.”

“Selamat ulang tahun Cantik, terima kasih sudah sabar dengan alur yang di buat oleh semesta.”

“Selamat ulang tahun Thipum, semoga di umur kamu yang sekarang, kamu menjadi yang lebih baik dari yang baik.”

“Selamat ulang tahun sayang, semoga kamu di cukupkan dan selalu merasa cukup.”

“Selamat ulang tahun cintaku, semoga kamu dilapangkan hatinya, menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia.”

“Selamat ulang tahun Newwiee, semoga banyak kebahagiaan yang mengelilingi kamu.”

“Selamat ulang tahun suamiku, semoga kamu gak banyak sedihnya tinggal dan menua bareng aku.”

“Selamat ulang tahun Thi langsing, semoga kamu panjang umur, semoga kamu sehat selalu, semoga kamu bisa sama aku terus dalam jangka waktu yang lama.”

“Semoga umurnya berkah ya Thi.”

“Aku sayang banget sama kamu, Cantikku.”

“Aku sayang kamu.”

“Aku selalu sayang sama kamu.”

“Gak pernah satu hari pun aku gak sayang sama kamu.”

“Aku selalu sayang sama kamu, Thi.”

“Ku Aamiinkan segala doa mu di tahun ini dan puluhan tahun kedepannya.”

Telapak tangan sang empu tak henti-hentinya bergerak menenangkan tubuh bergetar si manis, tangis lelaki itu tak lagi ia tahan-tahan, sesekali mengangguk menyetujui ucapan panjang sang suami.

“Tetaa, makasih banyak ya.”

“Makasih udah ngucapin ulang tahun untuk aku untuk yang pertama kali, makasih sudah ingat, makasih sudah sayang sama Thi.”

“Aamiin, semoga doa baik yang kamu berikan balik ke kamu ya, aku ikut bantu meng-Aamiinkan segala doa mu juga, Tawan.”

“Makasih sudah ada di setiap keadaan, makasih sudah mau nemenin aku terus.”

“Thi minta maaf ya kalau aku kadang kala bikin kamu kesal dan marah, jangan bosan untuk bimbing aku jadi yang lebih baik dari yang baik.”

“Terima kasih ya Tawan, sudah menerima segala kurang-kurang ku yang super banyak.”

“Kamu diciptakan oleh sang pencipta dengan sebaik-baiknya, dan aku menerima keseluruhan yang ada di diri kamu tanpa terkecuali. Thipum, aku sangat sayang sama kamu, terima kasih sudah lahir dan terima kasih sudah bertahan sampai sekarang.”

“Thi paling sayang kamu banyak sekali.” Pria berkulit putih bersih itu bersuara dengan kepala yang masih setia bersandar di dada kekasih hatinya.

“Terus melangkah beriringan bersama ya Thi, sampai salah satu diantara kita menyerah akan dunia. Jika orang pertama yang mengalah adalah aku, ayo kembali bersama di kehidupan selanjutnya, Thitipoom.”

Lirihan itu masih dapat di dengar, hingga kedua iris kelabu yang muda bergerak mencari pasangannya, menelisik netra hitam pekat lelakinya lamat-lamat, dan sebuah anggukan tanpa ragu Thi berikan begitu indera penglihatan mereka bersinggungan.

“Ayo bertemu dan bersama lagi di kehidupan selanjutnya, nanti.”

Lengkung indah pemilik netra hitam pekat itu benar-benar mengembang sempurna begitu jawaban yang diberikan Thi menjamah telinga. Kelima jemarinya tanpa ragu bergerak menangkup sebelah kiri sisi wajah sang suami paling cantik tiada dua, perlahan, ibu jari sang empu bergerak dengan lembut mengelus pipi sang bulan.

Detik berikutnya, yang tua mempertemukan ranum dua insan di sana untuk saling memagut, mencurahkan segala cinta yang mereka rasakan dalam sebuah ciuman lembut tanpa menuntut. Thi semakin memperdalam cumbuannya begitu dirasa air mata lelakinya mengalir membasahi pipi, Tawan menangis dalam ciuman yang tengah mereka lakukan.

“Selamat ulang tahun, Papa dari anakku.”

Dua belas ucapan Thi terima dari Tawan di ujung pergantian tanggal 30 januari tahun ini.

•••

—Joya.

—Semoga ada tempat di mana dirimu untuk mengadu.

•••

Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu membenarkan sekali lagi kacamata yang dikenakannya, senyum manis itu langsung menghiasi wajah cantiknya begitu netranya menangkap range rover melaju kearahnya.

Lollita semakin mengembangkan senyumnya ketika pintu mobil ia buka menampilkan pria tan paruh baya yang menatapnya dengan teduh, “Makasih Dad udah jemput kakak.”

Tawan hanya mengangguk, setelah anaknya duduk dengan nyaman di kursi penumpang barulah ia kembali melajukan kendaraan beroda empat itu membelah jalanan malam kota jakarta di guyur hujan deras.

“Papa kok gak ikut?”

“Daddy tinggal di starbucks ada om Nattawin, papa nunggu di sana katanya. Kakak mau langsung balik ke apartemen atau ikut Daddy?”

“Ikut Daddy dong! Aku mau nyamperin papa Thi sama mau ketemu om Aponat.”

Lelaki tan itu kembali mengangguk, tangan kirinya terulur mengelus pucuk kepala sang buah hati, “Gimana harinya?” Ia bertanya.

“Good, Daddy gimana hari ini?”

“Baik-baik aja.”

“Dad, kenapa kamu gak pernah lagi aku perhatiin ganti-ganti jam tangan?”

“Ini yang bagus.”

Perempuan vihokratana itu mendengus, “Jam tangan kamu banyak yang lebih mahal dari itu juga ada, harus di pake juga dong.”

“Tapi ini kakak yang beli, pake uang kamu.”

Lollita tak bisa menjawab, benar-benar kehilangan kata-katanya setelah mendengar ucapan yang keluar dari mulut sang ayah, jam tangan itu ia beli dua tahun yang lalu begitu gaji pertamanya ia terima, jam yang melingkar di pergelangan tangan sang empu itu tak semahal milik Tawan yang berjejer apik di lemari kaca kamarnya.

“Nanti aku beliin yang lebih bagus ya.”

“Gak usah, kamu pake uangnya buat keperluan kamu sendiri aja, bahagiakan diri kamu ya, mana tau pas tinggal sama Daddy ada keinginan kakak yang gak tercapai.”

“Permintaan aku yang gak kamu turutin itu apa coba? Gak ada Dad.”

“Sudah makan?”

“Udah, tadi di gojekin Papa nasi bebek.”

“Cokelatnya udah di makan?”

“Kamu belinya banyak banget padahal aku cuma minta satu, udah aku makan tapi ya masih banyak di kulkas.”

“Patah hati itu sembuhnya gak sehari, Lollita.”

Sang anak kembali terdiam, kedua kelopak matanya mengerjap berulang kali hingga suara sang ayah kembali terdengar.

“Bukan Papa yang bilang, kak, Daddy tau pas kamu telepon malam itu minta cokelat bukan karna kamu lagi kepengen, Daddy tau suara kamu gemetar nahan nangis.”

“Kamu sekarang beneran udah gede, nangisnya bukan lagi karena gak di izikan Papa untuk ikut Momma arisan, udah ada orang lain yang buat air mata kamu jatuh.”

“Daddy gak bisa cegah sakit hati kamu nak. Jadi Daddy akan bantuin kamu untuk sembuh dari patah hati itu, gak apa-apa sedih, gak apa-apa kakak nangis tengah malam, gak apa-apa juga kalau mau nangis sambil Daddy peluk, Daddy akan buat kamu bahagia lagi.”

“Daddy pernah bilang ke kamu kan pas kamu gagal kuliah hukum, kalau satu jalan ketutup jalan-jalan yang lain bakal kebuka, jalan yang lebih baik.”

“Sama kayak jatuh cinta, kalau kamu gagal sama yang ini itu mungkin pertanda dari semesta kalau dia memang bukan yang terbaik buat anak Daddy.”

“Dan semesta akan ganti sama yang lebih baik lagi. Semesta akan kasih kamu bahagia.”

“Kamu kalau nangis mirip sekali sama Papa.” Sang Ayah melirik sembari menyerahkan tisu pada anaknya.

“Aku kenapa gak dapet yang kayak kamu aja?”

“Kamu harus dapat yang lebih dari Daddy, tapi jangan cepat-cepat ya nak.”

Lollita terkekeh di sela tangisnya, mengangguk dua kali menyetujui ucapan Tawan vihokratana, “Aku masih mau jadi anak kecilnya kamu sama Papa Thi.”

“Makasih ya Daddy, makasih udah sayang sama aku, masih udah mau nganterin aku cokelat malam-malam, makasih banyak-banyak.”

“Sama-sama Lollita.”

“Kamu lagi nyetir jadi gak bisa minta peluk, nanti peluk aku ya di depan papa Thi.”

•••

—Joyana.

—Tidak baik baik saja.

•••

“Dad.”

“Hmm?”

“Gak enak ya ternyata jadi orang gede, cape, tapi gak boleh ngeluh terus nanti semesta ngira aku gak bersyukur.”

Telapak tangan besar milik sang ayah perlahan mulai mengelus rambut panjang gadis berusia dua puluh lima tahun itu dengan perasaan sayang luar biasa.

“Dad, kamu tuh hebat ya, bisa menghidupi aku sama Papa dengan cukup, gak pernah kurang kalau soal aku sama Papa. Tapi kamu pasti pernah ya nahan keinginan dan kebutuhan kamu buat aku.”

“Lolly minta maaf ya, maafin pas masih kecil banyak permintaannya, maafin pas remaja sering ngelawan sama kamu, maafin pas udah dewasa belum bisa ngebahagiain kamu.”

“Lollita.”

Gadis cantik itu menyerka dengan cepat air mata jatuh tanpa permisi membasahi pipi.

“Aku lagi aneh, Dad. Bawaannya mau nangis.”

“Kamu mirip sekali sama Papa Thi.”

“Memang anak bapak Thitipoom banget ya aku ini.”

Lelaki paruh baya yang berada di sebelahnya itu terkekeh pelan, tangan kanannya bergerak melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.

“Anak Daddy sudah dewasa, jadi wanita cantik yang mandiri, udah bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan Daddy ya kak.”

“Tapi masih suka minta jajan sama kamu.” Lolly menjawab.

Yang tua hanya memberi sebuah senyum.

“Papa udah sampai di mana Daddy?”

“Kejebak macet.”

“Hahaha pasti mukanya Papa Thi cemberut.”

“Cantik.”

“Iya Cantik sekali Papa Thi, kamu sama Papa semoga di kasih umur yang panjang sama semesta ya, biar bisa nemenin aku wisuda lagi, pergi liburan bareng, foto studio sama-sama,”

“Daddy, pas Lolly bilang aku kadang gak mau jadi anak kamu itu, jangan di ingat lagi ya, Lolly minta maaf banget sama kamu, aku selalu mau jadi anak kamu, gak pernah enggak.”

“Lolly sayang sekali sama kamu sama Papa Thi, sama Momma, sayang sekali. Ternyata gak seenak yang aku kira tinggal sendirian, gak ada omelan Papa Thi itu sunyi banget ya Daddy, pulang kerja buka pintu apartement sunyi.”

“Jadi orang dewasa tuh tanggung jawabnya besar banget ya ternyata, gak boleh bilang gak bisa, gak boleh nangis di depan orang banyak, gak ada yang peluk.”

“Aku mau jadi anak kecilnya kamu aja, tapi gak bisa ya. Aku gak mau berdiri di atas kaki ku sendiri, aku mau mengandalkan kamu aja, aku mau apa apa sama kamu aja.”

“Daddy, kaka cape.”

Tangis sedari di tahan itu tumpah ruah, raganya tak lagi bisa menahan semua beban yang ada di pundak, hingga jalan terakhir yang wanita itu ambil adalah mengadu—menangis di pelukan sang ayah.

“Nangis sampai kamu puas, nak.” Suara bernada lembut itu masuk kedalam indera pendengarannya, bahunya semakin bergetar pun dengan isak tangis menggema di ruang tengah.

Telunjum kiri Tawan vihokratana bergerak tepat di depan bibirnya, mengisyaratkan agar sang suami Cantik yang baru tiba itu tak menimbulkan suara.

Tawan benar-benar membiarkan gadis kecilnya menangis sepuas yang ia mau, di dalam rengkuhannya.

Hingga beberapa saat setelahnya Lollita menyudahi semua yang ia mulai, perlahan menjauh dari sang ayah, kepalanya menoleh ke kanan—menatap sang Papa dengan mata sembab memerah.

“Anak aku kenapa sayang.” Thi baru bersuara, melangkah mendekat pada anak sematawayangnya.

“Ada yang jahatin kamu? Bilang aja sama Papa biar Papa samperin orangnya.”

Lolly menggeleng.

“Cape anaknya.” Tawan membalas.

“Sayang anak Thi sayang, cuti kamu sisa berapa nak? Liburan yuk kita?”

“Thi.”

“Tetaa gak gaul, anak jaman sekarang tuh kalau cape butuh healing.”

“Aku cuma mau tidur sama Daddy sama Papa.”

“Iya, kak.”

“Ayo anak Papa Thi jangan lama-lama sedihnya, kita masak bareng mau? Papa tadi tuh dapet resep cara bikin sup buntut anti gagal ala Momma.”

“Itu resep dari jaman aku kuliah tapi kamu tetap gagal.” Lolly menjawab.

Pria paruh baya berkulit putih itu tampak cemberut, “Ya namanya Papa masih belajar, iyakan Tetaa kalau gagal gak apa-apa kan Tetaa kamu tetap sayang Thi kan?”

“Sayang.”

“Tuh dengerin suami aku.”

“Doain aku ya biar dapet pasangan hidup yang kayak kamu sama Daddy.”

“Lollita, masih kecil jangan bahas nikah.”

“Tetaa anak kamu udah dua puluh lima tahun bukan anak kecil lagi.”

Selanjutnya, Lolly hanya diam menyaksikan perdebatan tiada henti dari kedua orang tuanya dengan seulas senyum tipis menghiasi wajah, ia sadar bahkan di saat dunianya sedang tidak baik-baik saja, dirinya selalu punya tempat untuk berpulang, tempat mengadu, tempat membagi pilu, dan tempat ternyaman untuk ia menangis keras-keras tanpa ada siapapun yang melarang.

•••

—Joyana.