[Sukmaku beteriak menegaskan kucinta padamu]
•••
“Tadi, apa kata dokternya?” Pertanyaan dari lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu langsung terdengar begitu pintu kamar rumah sakit terbuka.
Yang ditanya hanya memberi senyum tipis dengan kelima jemari bergerak lembut pada anak rambut sang suami.
“Thi kalau aku pindahin kamu ke rumah sakit yang lebih bagus mau?” Suaranya terdengar begitu pelan menyusup telinga yang muda.
“Kamu sudah janji bukannya rumah sakit ini yang terakhir?”
Si dia itu berbaring di ranjang, si dia itu hidupnya dibantu alat yang menempel pada tubuh, si dia itu yang wajahnya pucat pasi, si dia itu, Thitipoom.
“Tadi dokter ngomong apa?” Dia, kembali menagih jawaban yang tak kunjung Tawan berikan.
Lelakinya tak menjawab.
Thi paham betul apa yang dirasakan pasangannya, dirinya paham betul ada rasa takut yang membelenggu kekasih hatinya, dan mulai menggenggam—menautkan jemari mereka berdua dengan senyum manis yang dirinya tampilkan pada wajah sayu.
“Gak lama lagi ya, Ta?”
“Aku punya satu lagi kenalan dokter paling bagus, Thi sayang.”
Iris kelabu milik sang empu menelisik netra hitam pekat pasangannya, “Badannya udah gak sanggup, Mas.” Dan dirinya berterus terang, dan ia sudah tak lagi kuat.
Ada air mata yang ditahan untuk tidak jatuh, ada genggaman tangan yang dipererat, ada elusan kepala yang berhenti sekejap.
“Kamu capek sayang?”
“Iya, kamu sendiri gak capek kah bulak-balik ke rumah sakit, tidurnya kurang buat jagain Thi, ngurus diri sendiri dan juga ngurus Thi, kamu gak capek?”
Pria paruh baya itu menggeleng mantap tanpa keraguan, “Kamu katanya nanti mau diajakin liburan ke jepang, kan? Tapi harus sembuh dulu.”
“Thi cuma mau tidur, tapi nanti kamu sedih.”
Air matanya jatuh dengan sendiri—tak lagi kuat dibendung, dan Tawan dengan cepat menyerkanya.
“Maafin aku ya, yang udah terlalu memaksa tubuh kamu untuk terus kuat, maafin aku ya Thi, sakit ya badannya sayangku.”
“Jangan minta maaf, kamu kan gak ada salahnya.”
“Waktu yang ada kita pakai buat ngobrol, mau?”
“Thi deluan ya yang ngomong.”
“Tadi aku telepon Lolly minta tolong sus, anaknya jalan ke sini besok ambil flight pagi, mau ketemu aku.”
“Tapi kalau sekiranya kakak Lolly gak bisa lagi ngobrol sama Thi, tolong kamu sampaikan aku sayang dia banyak sekali.”
“Lolly tadi cerita dia diajak pergi main sama suaminya ketempat seru, dia bahagia, aku senang.”
“Kamu jangan telepon dia ya, biarin dia datang ke sini dengan perasaan tenang dan gembira, tanpa terburu-buru dan air mata.”
“Tetaa, makasih ya udah ajak Thi pergi ke tempat yang belum pernah aku datangi, makasih udah jadi suami Thi.”
“Oh iya, nanti kalau mandi handuknya dibiasakan taruh kembali ke tempatnya, takutnya gak ada yang ingatkan kamu buat itu.”
“Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan ya, kamu bisa pakai waktu luang buat melukis, kamu lagi suka melukis kan, aku tau.”
“Kamu sekarang udah gak pernah lupa pakai kacamata, jadi aku gak lagi khawatir akan itu.”
“Jangan telat makan, makan makanan yang enak, yang kamu suka, biar ada bahagia.”
“Taruh barang-barang ditempatnya biar kamu gak lupa, biar kamu gak bingung nyarinya di mana.”
“Kamu sayang gak sama Thi?”
“Sayang.”
“Thi tau, sayang kamu dari dulu sampai sekarang masih kerasa, makasih ya udah sayang sama Thi.”
“Kamu gak mau ngomong?”
Tak ada rasa untuk melerai genggaman tangan yang sedari tadi mereka lakukan, pria paruh baya yang tengah duduk dalam diam di kursi sebelah ranjang rumah sakit itu mulai bersuara pelan-pelan.
“Lukisan kamu sama Lolly yang aku buat udah aku pajang di ruang tamu.”
“Oh iya?”
“Iya, kamu cantik sekali, dan sekarang pun masih begitu, cantik.”
“Bohong ya, aku tadi ngaca tau Tetaa, udah kayak mayat hidup.”
“Kamu harus lihat pakai mata aku kalau gitu.”
Dan si manis tertawa.
“Tadi sus bilang sama aku, kamu hari ini makannya lahap.”
“Iya, Thi banyak makannya.”
“Keren, Mbul.”
Jemari yang tua perlahan beralih pada punggung tangan sang kekasih, ia memerhantikannya dalam diam untuk beberapa menit.
Hingga yang muda menarik tangan kanannya menjauh, “Jelek kan tangan Thi.” ada rasa malu yang hadir.
“Gak ada yang jelek, cantikku.”
“Maafin aku ya Thi, pas kamu masih sehat aku susah meluangkan waktu dan mengiyakan ajakan kamu untuk berlibur.”
“Kalau waktunya bisa aku putar, aku akan ajak kamu kemana pun kamu mau, aku minta maaf ya sayang.”
“Kamu, marah gak kalau aku nyerah?”
“Enggak, Thi.”
“Kamu pasti sedih, nanti yang peluk kamu pas sedih siapa?”
“Mimpi aku dulu kayak jadi nyata, tapi sekarang aku udah gak takut, kamu ada di sini, kamu gak sepenuhnya meninggalkan aku sendirian. Aku cinta sama aku Thi, selalu.”
“Kamu gak mau peluk Thi?”
Yang tua beranjak dari kursi yang ia duduki, kembali mengelus pipi kanan sang bulan begitu pelan, dan mengecupnya, dan menciumnya, dan ia menangis.
Tawan membungkuk, memeluk kekasihnya hatinya.
Ada tepukan pelan yang terasa dipunggung, Thi mendengarnya, Thi menyaksikannya, dan Thi membiarkan tangis pilu sang suami.
“Aku sayang sama kamu, semoga dilapangkan hatinya, semoga dikuatkan, semoga ikhlas.”
Yang tua mengangguk.
“Thi pamit ya Mas.”
“Tidur yang tenang Cantikku.”
Thitipoom memberikan sebuah senyum hanya untuk suaminya, masih sempat menghapus sisa air mata yang ada pada wajah Tawan.
“Kamu, Cintaku Tawan vihokratana.”
Dan tarikan napas panjang, dan mata yang perlahan tertutup, dan bunyi alat yang terdengar, dan tangis Tawan yang pecah memeluk raga tak lagi bernyawa,
Ia harus menerima jika sepi akan menjadi teman setia untuk hari-hari selanjutnya, harus menerima jika tak ada lagi senyum yang menyambut dirinya, Thi telah menyelesaikan segala apa yang ada di bumi.
“Tunggu aku, Thipum.”
Menit berikutnya kamar terbuka, dan Tawan mundur beberapa langkah membiarkan para medis mengelilingi sang bulan yang tengah tertidur pulas.
•••
—Joyana.