Joya.

Ibunya Newwiee.

[Thi-Tayta]

•••

Langkahnya terlihat begitu tergesa-gesa, sesekali berlari kecil agar mempersingkat waktu. Lantas langsung mendobrak pintu kelas yang tadinya tertutup rapat.

Rahang pemuda itu mengeras tak kala netranya menatap sang pujaan hati tengah menangis tersedu-sedu di pelukan Gun.

Tatapan tajamnya mulai menelisik satu-persatu anak manusia yang berada di dalam ruangan ini, lalu dengan perlahan melangkah mendekati Thitipoom.

“Siapa?” tanya Tawan pada Namtan.

Gadis dengan rambut rapi di kuncir kuda itu menunjuk ke arah seorang murid dengan senyum tengilnya. Tawan diam, namun napasnya memburu, lantas melangkah cepat dan memukul manusia yang menyepelekan ketakutan manusia lain.

Thitipoom itu sangat takut pada kucing, dan bodohnya orang yang berada di depannya ini malah menjadikan ketakutan itu sebagai bahan bercandaan.

“Anjing Tay marah serem banget.” ceplos Gun smile sembari melangkah mendekati temannya, bermaksud untuk memisahkan mereka.

Tawan masih terus memukul lawannya yang sudah terkapar lemas, hingga tarikan dari Bright membuatnya menjauh dari sang pelaku. Tawan lantas melirik Bright dengan tatapan tajam, menepis tangan cowok blasteran itu darinya.

Ia berjongkok, tak memperdulikan banyak pasang mata yang tengah menaruh perhatian padanya, “Habis lo sama gue anjing.”

Setelah berkata, pemuda berkulit tan itu lantas berjalan mendekati Thitipoom, menatap iris kelabu itu dengan tatapan begitu teduh, membawa kekasihnya pergi dari sini, dan kali ini Thitipoom menurut.

•••

Mini cooper milik Tawan menepi bersamaan tengan rintikan hujan yang mulai membasahi bumi, isakan dari sang kekasih masih terus terdengar di telinganya.

“Thi.” panggilan itu membuat yang lebih muda menoleh ke kiri, lantas menerima pelukan Tawan dengan senang hati.

“Aku takut Tawan, gak bohong.”

“Iya tau.” jawab Tawan masih terus mengelus kepala Thitipoom-nya.

Setelah beberapa menit sama-sama diam, saling memeluk satu sama lain, akhirnya Thitipoom terlebih dahulu melepasnya. Menyerka air matanya yang terus mengalir membasahi pipi, Tawan masih diam, namun dengan tatapannya yang begitu dalam.

“Tadi aku balik deluan dari kantin, kelas sepi. Cuma aku sama dia yang lagi gendong kucing.”

“Tawan aku takut.”

Ibu jari Tawan perlahan menyerka air mata Thitipoom, lalu ia berucap dengan begitu lembut “Kalau ada yang begitu lagi bilang ke aku, ya Thi?”

“Tawan kenapa baik banget sama aku?” cicit Thitipoom dengan kepala menunduk, tak berani menatap Tawan-nya.

“Karena aku sayang sama kamu, Thitipoom.”

Jemari yang lebih tua perlahan memegang dagu Thitipoom agar menatap matanya, “Thi, salah aku sama kamu itu apa?”

“Thi yang salah Tawan, Thi yang jahat sama kamu.” si manis menjawab.

Helaan napas dari Tawan terdengar “Thi masih mau gak berjalan beriringan sama aku?”

“Kenapa kamu masih begini sama aku, Tawan? Kenapa kamu gak marahin aku? Kenapa kamu masih begitu baik?”

“Aku sayang sama Thitipoom.”

“Kenapa? Kenapa sayang sama aku?”

“Karena Thitipoom itu, Thitipoom, bukan orang lain.”

“Marahin aku, jangan begini, aku tuh udah jahat sama kamu.”

Tawan terkekeh pelan mendengarnya “Gimana bisa marah? Kamunya begini.”

“Thi, aku gak mau lagi ngabulin ucapan kamu tentang aku yang cocoknya sama Mild. Aku gak bisa Tipum.”

“Thi minta maaf ya Tawan, Thi salah sama kamu, Thi udah jahat, Thi gak jelas, Thi kekanak-kanakan, Thi bikin kamu capek, Thi maunya di ngertiin terus, Thi minta maaf.”

Kedua ujung bibirnya melengkung, membentuk senyuman manis, ibu jari Tawan perlahan mengelus pipi gembul kekasihnya.

“Thi, apa masih mau berjalan beriringan sama aku? Apa Thi masih mau jadi tempat aku mengadu? Apa Thi masih mau jadi pacarnya aku?”

“Bohong kalo aku bilang enggak, Tawan.”

“Thitipoom, dari masalah ini kita belajar bareng buat saling jujur ya, buat saling terbuka satu sama lain.”

“Ya, Thi?”

Anggukan yang lebih tua terlihat, senyum Tawan merekah sempurna, menatap Thitipoomnya dengan bahagia, sebenarnya sederhana saja, mereka perlu memperbaiki komunikasi satu sama lain, mereka harus belajar terbuka, dan harus saling percaya.

“Thi, aku tau kamu sedang tidak percaya pada diri mu sediri, tapi kamu harus tau ya sayang, kamu itu sempurna buat aku.”

“Thi, jangan pernah mikir aku bakalan berpaling dari kamu, tolong kata-kata aku ini di rekam aja takutnya kamu lupa.”

“Thi, aku sayang banget sama kamu.”

“Tawan mau berhenti disini sampai kapan?”

“Sampai kamu nge-iyain untuk berjalan beriringan sama aku.”

Thitipoom menarik Tawan untuk saling memeluk, senyum keduanya terukir indah di wajah masing-masing, “Aku mau kita tetap sama-sama, berjalan beriringan, aku masih mau sama kamu Tawan.” Thi berbisik pelan.

“Terimakasih ya, cantik.”

“Maaf ya, Tawan.”

Lagu milik Bon jovi berjudul thank you for loving me mengalun indah, sontak Thitipoom beralih menatap Tawan dengan senyum manisnya “Bisa aja gombalnya pake lagu.”

“Makasih ya, Thi, aku sayang banget sama kamu.”

“Aku juga sayang banget sama Tawan.”

Ibu jari itu terus mengelus pipi kekasihnya, mata keduanya terkunci, menciptakan sepi yang terasa begitu berarti, hujan semakin deras, lagu masih terus berputar, Tawan perlahan semakin mendekatkan wajahnya pada Thitipoom, membiarkan debaran jantungnya yang menggila.

“Thi, boleh?” yang lebih tua berbisik dengan napas beratnya.

Thitipoom mengulas senyum tipis, lantas mengangguk, mengalungkan kedua tangannya pada leher sang kekasih. Hembusan napas hangat Tawan menerpa wajahnya, perlahan namun pasti bibir keduanya menyatu, bergerak seirama, ciuman pertama ini menjadi candu untuk mereka berdua.

Hujan dan ciuman, memang perpaduan tiada dua.

Thitipoom semakin bersandar pada pintu mobil karena Tawan semakin mengikis habis jarak yang tercipta, membuka dua kancing teratas kekasihnya di sela cumbuan mereka, ciuman itu terlepas tak kala remasan tangan dari Thitipoom terasa di tengkuk Tawan, yang lebih muda menengadah, memberi akses lebih pada Tawan-nya, pemuda berkulit tan itu menyesap leher putih mulus milik kekasihnya dengan nikmat, memberi tanda disana, hingga satu desahan dari Thitipom lolos begitu saja.

Seakan sadar, Tawan langsung menjauh, lantas mengancing kembali seragam Thitipoom “Maaf Thi, aku minta maaf.”

Thitipoom tersenyum saja sembari merapikan rambut Tawan yang terlihat acak-acakan akibat ulahnya, “Gak apa-apa, kita sama-sama mau.”

“Maaf ya sayang, gak harusnya aku begitu.” lirih yang lebih tua, mengecup dahi, kedua mata, hidung, kedua pipi, dagu, dan terakhir bibir bengkak kekasihnya, hanya kecupan ringan bertanda ia benar-benar sayang pada pemuda bernama Newwiee thitipoom.

“Tawan, aku sayang kamu.”

•••

-Joya-

[Sepuluh hari tanpa kita]

•••

Sepuluh hari berlalu dengan sedu. Thitipoom memang masih bisa terlihat biasa di depan para teman-temannya, kadang kala juga mengamati Tawan yang makin hari semakin dekat saja pada Mild.

Aneh ya, Ia yang melepaskan, lalu ia pula yang merasa kehilangan. Sepuluh hari tanpa kehadiran Tawan sama sekali, harinya berubah total, tak ada notifikasi yang di nanti dari sang pujaan hati, tak ada bawelan seorang Tawan yang membuat ia senyum-senyum sendiri. Semuanya berubah setelah terucap kata pisah.

Thitipoom dan ketiga temannya berjalan beriringan ke kantin, bel bertanda istirahat telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu, ke empatnya langsung menjatuhkan bokong mereka di kursi pojok tempat biasa.

Iris kelabunya sesekali melirik Tawan yang tengah berbincang dengan temannya, semua tampak biasa saja sampai ketika matanya menangkap gadis yang berada di samping Tawan, menyenderkan kepalanya di bahu pemuda itu dengan begitu nyaman.

Sesak di dada tentu saja hadir tanpa di undang, kedua netra anak adam itu bertubrukan untuk beberapa saat, hingga akhirnya yang lebih tua memutuskannya terlebih dahulu dan kembali melanjutkan obrolan pada teman sebayanya.

•••

-Joya-

[Bukan lagi kita]

•••

Perlahan perhatian Thitipoom mulai teralih tak kala kakinya berjalan menelusuri rak-rak berjajar rapi, mengamati satu-persatu buku yang mungkin berkenan di hati, lalu ia beli.

Gun diam, berjalan mengikuti Thitipoom dari belakang, benar-benar mengekori temannya, karena sejujurnya cowok bertubuh lebih pendek dari Thitipoom itu tak suka membaca.

“Gue udah punya yang ini, seru banget lho Gun.” Thitipoom berujar.

“Ini gak mau New?” ucap Gun memamerkan novel bersambul hitam dengan tanda 21+ di ujungnya.

Sontak Thitipoom memukul pelan lengan teman sebayanya “Anjir lu.”

Kekehan keduanya terdengar, Gun senang, setidaknya Thitipoom bisa tertawa untuk saat ini, karena kalau mau melihat lansung, mata pemuda berponi rapi itu cukup sembab.

Setelah lebih dari tiga puluh menit berkeliling, akhirnya Thitipoom berjalan ke kasir dengan lima buah novel yang berada di dekapannya.

Senyum tipis si manis terukir di wajahnya, merasa puas karena ada satu novel yang begitu ia cari akhirnya dia temukan.

“Udeh?”

Thitipoom mengangguk, kedua anak adam itu berjalan keluar, katanya Thitipoom mau nyari nasi padang, Gun meng-iyakan saja, karena ia tau Thitipoom itu susah sekali di ajak makan di luar.

Cowok berkulit putih itu tepi manusia yang beli di bungkus, makan dirumah.

Keduanya berjalan keluar dari mall, sesekali terkekeh pelan dengan obrolan yang mereka ciptakan.

Sesuai ucapan Thitipoom di uks tadi, ia tak ingin membahas Tawan, dan Gun menyanggupinya, toh nanti Thi bakalan cerita sendiri.

Senyum tipis yang menghiasi wajah si manis lantas memudar, air mukanya langsung berubah tak kala netranya menangkap dua anak manusia dengan gelak tawa yang tercipta diantara mereka.

Tawan dan Mild berada tak jauh darinya.

•••

-Joya-

[Alibi]

•••

Mentari sudah menunjukkan diri, mata cowok berkulit tan yang tengah tertidur pulas di atas ranjangnya itu pun perlahan mengerjap tak kala gorden jendela terbuka lebar.

“Bangun Tay, sekolah.” ucapan dari wanita paruh baya itu tedengar di telinga Tawan.

“Lima menit lagi Ma.” jawab sang anak kembali menutup matanya.

Tawan benar-benar masih mengantuk, dia baru bisa tidur di jam empat subuh, dan bayangkan saja sekarang jam enam sudah di suruh bangun.

“Tay tawan.”

“Ma, Tay gak sekolah ya hari ini.”

Wanita bernama Wira itu lantas berkacak pinggang di samping ranjang anaknya, “Gak ada Tay tawan vihokratana, mandi atau uang bulanan Mama potong delapan puluh lima persen.”

•••

Sepasang sepatu putih itu melangkah dengan santai di koridor sekolahnya yang masih terbilang sepi.

Thitipoom memang selalu datang lebih awal, dia tak suka berdesakan, tak suka keramaian, dan pula tak suka menjadi bahan pembicaraan.

Begitu kakinya menyentuk ambang pintu, iris kelabu itu menangkap satu-satunya murid yang berada di kelas, Gun di sana.

“Tumben cepet banget datangnya.” New bersuara, duduk di samping Gun.

Cowok bernama lengkap Gun athaphan yang biasa di juliki 'boneka cantik' itu menoleh kearah New “Heem, mobil gue di pake Sing, disini dia lima hari.” jawab Gun.

“Sepupu lo yang itu kalo ke sini emang harus make mobil lo ya hahaha.”

“Tau anjing ribet bener.” setelah menyelesaikan katanya, netra cowok pendek itu menangkap sesuatu yang janggal di wajah temannya.

“Lo habis nangis semalaman?”

Thitipoom diam, tebakan Gun begitu tepat sasaran.

“Iya habis baca novel.” alibi Thitipoom.

Senyum tipis terukir dari wajah Gun, lalu memutar sedikit tubuhnya agar menatap temannya itu “New, gue tau kok lo lagi ada masalah, gue tau novel cuma alasan lo.”

“Gue gak maksa lo buat cerita, tapi kalau ada apa-apa, kalau butuh teman bicara, bilang sama gue ya.”

•••

Usapan handuk pada rambut basahnya semakin memelan tak kala bunyi telepon terdengar, Tawan dengan santai menggeser tombol hijau setelah melihat barisan nama yang tertera di layar datar tersebut.

“Tay, aku nebeng boleh gak?”

“Tapi gue berangkat lima menit sebelum masuk.” Tawan menjawab.

“Iya gue ngikut aja gimana.”

“Oke Mild.”

[Sendiri]

•••

Pelukannya pada boneka besar bergambar minuman kekinian itu semakin erat, wajah yang bersembunyi di balik boneka itu tak kunjung menampakkan diri.

Tangisannya terdengar, namun tetap pelan, bahunya bergetar hebat, seharusnya, setelah kata usai terucap Thitipoom tak boleh menangis, karena yang meminta sebuah usai di antara dirinya dan Tawan adalah dia sendiri.

Tapi, mengapa hilang begitu terasa, dalam kurun waktu kurang dari satu jam, Thitipoom sudah merindukan Tawan-nya.

Perlahan, pemuda berkulit putih itu mengubah posisinya menjadi meringkuk di ranjang dinginnya, tak jua melepas boneka pemberian Tawan pada saat hari jadi satu tahun yang lalu.

Kedua kelopak matanya mengerjap sayu, isakannya perlahan mereda bersamaan dengan beralihnya ia kealam bawah sadar.

•••

Jika tadi tentang Thitipoom, sekarang mari melihat sudut pandang dari Tay tawan vihokratana.

Pemuda berkuli tan dengan kaos hitam yang bersembunyi di balik parka hijau army-nya itu tengah menyesap sebatang rokok yang berada di sela jemarinya.

Kepulan asap keluar dari mulut dan hidung pemuda tampan itu, dia hanya diam, karena sejujurnya Tawan juga tak tau harus melakukan apa.

Memarahi Thitipoom habis-habisan? Tidak mungkin bisa dia lakukan.

Ibaratnya, Thitipoom itu, pemuda berkulit seputih susu itu adalah kelemahannya seorang Tay tawan.

Kalau di tanya bingung, sudah pasti jawabannya iya. Tawan masih heran mengapa Thi bisa dengan mudahnya mengakhiri hubungan yang sudah mereka jalin. Mengapa Thi dengan gampangnya mengatakan kata usai padanya?

Tangan kirinya menggenggam erat pembatas besi balkon kamarnya hingga buku-buku jemari pemuda itu terlihat begitu jelas.

Helaan napas panjang terdengar bersamaan dengan habisnya sebatang rokok yang di sesap dengan nikmat sedari tadi. Tay membuang puntung rokok itu kebawah, lantas kedua tangannya perlahan menyisir rambutnya dengan kesepuluh jemari.

“Salah aku sama kamu apasih Thi?”

•••

-Joya-

[Gampang banget ya]

•••

Pintu bercat putih tulang itu perlahan terbuka, menampilkan sesosok yang begitu di nanti sedari tadi.

Tawan mengulas senyum tipis, namun sang kekasih hanya diam, berjalan mendekatinya tanpa kata.

Keduanya saling tatap, namun dengan cepat Thitipoom kembali memutuskan kontak mata yang terjadi.

“Kamu liat postingan Mild?” Tawan berucap, dan Thitipoom lantas mengangguk jujur.

Helaan napas panjang dari pemuda berkulit tan itu terdengar, perlahan kedua tangannya menggenggam tangan sang kekasih “Kamu tau kan aku sayang banget sama kamu, Thi.”

“Tapi emang bener kok Tawan, kamu lebih cocok sama Mild ketimbang aku.”

Kerutan di dahi sang kekasih tercipta setelah mendengar penuturan tak masuk akal Thitipoom.

“Kok kamu gitu ngomongnya?” yang lebih tua bertanya, nadanya juga terdengar begitu lembut.

“Ya emang gitu faktanya, bagus juga kita punya hubungan yang tau gak banyak, kalau semua orang tau pasti banyak yang gak setuju karena cowok sesempurna kamu malah jadian sama aku.” Thitipoom berucap pelan, kepalanya menunduk dalam-dalam, jelas sekali ia menghindari iris hitam pekat kekasihnya.

“Thi, kamu ngelindur deh.”

“Enggak Tawan, dari awal kita memang gak cocok. Aku gak pantas sama kamu, dan kamu terlalu sempurna untuk aku.”

“Gak gitu, kita setara Thitipoom.”

Kepala yang sedari tadi menunduk perlahan mulai terangkat, memberanikan dirinya untuk menatap iris hitam pekat itu dengan dalam, jantungnya berdetak tak karuan, lalu dengan pelan melepas genggaman tangan Tawan di kedua tangannya.

“Kamu gak mau putusin aku?”

“Kamu makin ngaco, gak mungkin Thi. Sesuai ucapan aku sebelumnya, kata putus gak bakal terucap di mulut aku. Aku sayang banget sama kamu, Thi.”

Hati Tawan ini terbuat dari apakah? Mengapa nadanya juga belum berubah? Masih begitu lembut.

“Yasudah, kalau begitu, biar aku aja yang bilang. Kita udahan aja ya, Tay-ta.”

Raut wajah yang lebih tua langsung berubah, raut kebingungan tampak jelas disana, lantas tersenyum tipis “Mudah banget kata putus keluar dari mulut kamu ya Thi.”

Setelahnya, Tawan berjalan masuk kedalam mini coopernya, meninggalkan Thitipoom yang terisak pelan.

•••

-Joya-

[Rain]

•••

Sebelah alis pemuda berkulit seputih susu itu terangkat tak kala seluruh perhatiannya terfokus pada seorang yang duduk di depannya.

“Kamu kenapa senyum-senyum gitu ngeliatin hape?”

Tawan menoleh ke sumber suara, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Perlahan tangan kanannya meraih tangan kiri Thitipoom -menggenggamnya.

“Anak-anak ngajak ngumpul, untung Off pinter ngibul.” Tawan bersuara, memberitahu.

“Kamu sama Off tuh kayak anak kembar, ya.”

Kekehan dari yang lebih tua terdengar, “Udah kenyang? Apa mau jajan lagi? Mau beli cake?” tawar Tawan.

Thitipoom lantas saja menggeleng cepat “Ini aja jajanan di meja banyak banget masih.”

“Mana tau kamu mau jajan lain, Thi.”

“Tawan, keliling-keliling yuk, sebelum pulang.”

•••

Vespa matic milik Thitipoom melaju dengan kecepatan sedang, yang lebih tua mengendarai motor sang kekasih sembari tersenyum tipis tak kala dagu Thitipoom bersandar di bahunya.

Kedua mata Thitipoom perlahan memejam, menikmati terpaan angin malam, lalu ia menengadah, menatap langit yang menyendiri, tak di temani bintang atau pun bulan.

Malam ini, sang langit benar-benar seorang diri.

“Kayaknya mau hujan deh Tawan.” yang lebih muda berucap pelan.

Tawan mengangguk membenarkan, tangan kirinya mengelus punggung tangan Thitipoom yang melingkar nyaman di perutnya.

Keduanya sama-sama diam setelahnya, hingga suara merdu Tawan kembali terdengar.

Takkan pernah berhenti.

Untuk selalu percaya.

Walau harus menunggu, seribu tahun lamanya.

“Suara kamu bangus banget lho, Tawan.”

Gelak tawan dari Tawan membuat Thitipoom ikut tertawa pelan.

“Masa sih Thi?”

“Bener, sayang.”

“Thi, Tipum, sayang.”

“Saya, Tawan.”

“Aku gak bakal ngelepasin kamu, itu mutlak.”

“Tawan, aku malu.”

Senyum keduanya saling terukir di wajah masing-masing, kupu-kupu menggelitik perut itu terasa begitu nyata adanya.

Tanpa aba-aba, semesta tanpaknya memang punya rencana lain, air turun dari langit dengan bergitu deras.

Tawan lantas membelokkan motornya, menepi di depan ruko. Melepas kemeja flanel yang di kenakannya, lalu memakaikannya agar menutupi tubuh sang kekasih.

“Dingin ya.” Tawan berucap.

New mengulas senyum manis, menggeleng pelan “Kan ada Tawan yang ngengetin.” balas Thitipoom membuat yang lebih tua melepaskan tawa ringannya.

Tawan menarik New kedalam pelukannya, menunggu hujan sedikit reda agar bisa pulang, masalahnya, Thi itu tak bisa lama-lama di bawah hujan, dia akan demam dan Tawan tentu saja tak ingin itu terjadi.

“Bibir kamu udah pucat.” Tawan berkata, mengelus bibir ranum kekasihnya.

“Sayang banget aku sama kamu Thi cantik.”

“Thi juga sayang sama Tay-ta.”

•••

-Joya-

[Nayanika]

Sepasang boots hitam pekat itu melangkah tanpa arah, menyusuri gelapnya malam seorang diri, deru napas tak teratur dari pemuda yang malam ini berumur dua puluh enam tahun itu terdengar. Isakannya di paksa berhenti dengan mulut yang di tutup rapat oleh telapak tangan sebelah kiri.

Akhirnya, air mata yang sedari tadi di tahan kehadirannya pun keluar juga, mengalir membasahi pipi mulus pemuda berjaket kulit itu, jalan setapak yang ia lalui itu sangat sunyi, pun dengan sepi yang menghampiri dirinya.

Seharusnya, malam ini menjadi malam paling bahagia untuknya, menjadi malam paling di nanti oleh dirinya, namun memang semesta selalu punya rencana yang tak pernah terduga oleh manusia. Siapa yang mengira jika malam ini malah menjadi malam paling ia benci sepanjang hidupnya.

Di selingkuhi, di khianati, mungkin memang hal lumrah yang sering terjadi di bumi, tapi dampak yang di timbulkan bukan main sakitnya. Luka menganga yang dulunya sudah sembuh sembilan puluh delapan persen itu kembali terbuka. Sesak yang ia rasakan begitu nyata.

Iris kelabu nan sendu yang sedari tadi di biarkan menunduk itu pun perlahan mulai menengadah, menatap hamparan bintang lengkap dengan bulan sabit yang menemaninya di malam hari.

Isakan menyayat hati bagi siapa yang mendengar kembali keluar, bahunya yang di lapisi jaket kulit itu bergetar hebat.

Tas berwarna senada dengan sepatu dan jaketnya itu pun perlahan ia letakkan di sampingnya, menyerka air mata yang terus-menerus keluar dengan sendirinya.

Jika memang dia hanya pelampiasan, hanya mainan, kenapa semuanya tampak begitu nyata, tak terlihat pura-pura? Mengapa patah hati harus kembali ia rasakan, malah luka kali ini jauh terasa lebih sakit dari sebelumnya.

Dia pikir, seseorang yang sedang bersamanya sejak dua tahun silam memang benar-benar mencintai dirinya, dia pikir lelaki bertubuh jangkung dengan lesung pipi sebelah kiri itu sungguh-sungguh dengan perkataannya tentang masa depan yang pernah mereka rencanakan sebelumnya. Ternyata, pikirannya salah, yang amat dipercaya malah menjadi pembawa luka.

Hembusan angin malam menerpa wajah basah akibat air mata. Duduk seorang diri di pinggir ruko yang sudah tutup ternyata bukan pilihan yang buruk. Perlahan, isakannya mereda, lama-lama berhenti jua.

Yang di lakukannya hanya diam, sedikit meratapi nasibnya, miris sekali. Katanya, setiap manusia punya porsi sendiri-sendiri untuk bahagia, namun kenapa porsi miliknya begitu sedikit?

Pun jua, katanya semesta itu adil, namun apakah pengecualian untuk dirinya?

Lamunannya terpaksa teralih pada suara roda bergesekan dengan aspal, seorang pria dengan topi hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna senada lewat di depannya dengan skateboard yang tengah ia naiki. Siulan pria itu terdengar begitu lucu, lantas membuat si manis yang tengah bersedih hati itu pun terkekeh pelan.

Iris kelabunya masih memerhatikan pria dengan papan skateboardnya itu menjauh, lama-lama menghilang di gelapnya malam.

Menghembuskan napas panjang, pria berkulit putih itu pun memutuskan untuk berkenala tanpa tujuan malam ini, ia butuh waktu untuk sendiri. Selama kakinya terus melangkah, pandangannya menyapu setiap tempat, begitu asing untuknya.

Hingga pada akhirnya, sepadang boots itu berhenti, di depan warung kopi bernuasa tahun 90-an. Mengulas senyum tipis, entah mendapat kemauan dari mana, kakinya melangkah masuk kedalam.

Warung kopi ini tak besar, hanya ada beberapa meja saja. Pun dengan lagu-lagu jadul yang mengalun untuk meramaikan suasana. Pilihannya jatuh pada meja paling pojok, lantas saja ia langsung mendaratkan bokongnya di kursi kayu.

Membuka resleting tasnya, meraih sebuah buku dan pena. Sembari menunggu pesanannya datang, jemari pemuda itu menari-nari di atas kertas yang tadinya putih bersih, kini terdapat tinta yang menciptakan barisan rapi kata-kata disana.

“Terimakasih.” ucapnya ketika suara antara meja dan cangkir kopi beradu.

Iris kelabunya menatap kopi hitam yang berada di depannya dalam diam, belum berniat untuk menyesap minuman hangat itu.

“Halo!! Halo!!”

Ia kembali melamun ternyata, hingga pandangannya teralih pada pria yang tengah berdiri di depannya.

“Tempat yang lain penuh, kamu sendiri? Boleh saya duduk disini?”

Pemuda berkulit putih itu langsung saja mengangguk, tak punya alasan untuk menolak juga bukan. Kerutan di bagian dahi tercipta tak kala ia benar-benar mengamati pria yang duduk di depannya.

“Kamu baca buku itu?” ia mulai membuka suara.

Pemuda yang berada di depannya menoleh, lalu mengangguk sembari memamerkan sebuah novel bersampul cokelat tua dengan judul It was just a memory.

“Iya, saya baca. Apa boleh kita kenalan terlebih dahulu?”

“Saya, Tay tawan vihokratana.” sambung pria bernama Tay itu sembari mengulurkan tangannya di depan si manis.

“Newwiee thitipoom.”

Tay terdiam sesaat, dengan kedua tangan mereka yang masih bertaut, hingga gerakan kaku dari pemuda berkulit tan itu tercipta setelah beberapa saat lamanya dia terdiam.

“Ini, buku karya kamu, ya?” Tay langsung bertanya, merasa tak asing dengan nama pria yang berada di depannya.

Pemuda beriris kelabu itu lantas mengangguk patah-patah, tak enak hati sebenarnya, senyum tipis tersungging di bibirnya, “Iya, punya saya hehehe.”

“Astaga, dunia sempit ternyata. Saya suka sekali sama tulisan-tulisan kamu.” Tay berucap.

“Terimakasih sebelumnya, saya malu sekarang.”

“Bentar, minta tanda tangan kamu dong, di buku ini.” ia memberikan novel yang berada di tangannya pada New.

Dengan senang hati New menerimanya, jemarinya bergerak di atas novel karyanya menciptakan tanda tangan dirinya, setelah selesai ia pun mengembalikan novel pada sang empu.

“Saya sudah baca semua karya kamu. Tapi yang sering saya ulang, ya buku ini, sedihnya kerasa sekali.”

New mengangguk dua kali sembari menyesap kopi hitam miliknya “Itu di tulis saat hati saya lagi tidak baik-baik saja.” New menjawab.

“Sebenarnya, kisah yang ada di buku ini terlampau sering di temui, tapi rangkaian kata-kata kamu itu bagus sekali.”

“Adik saya pasti senang deh, akhirnya novel ini ada tanda tangan penulis aslinya.” sambung Tay memberi tahu.

“Tay, saya benar-benar malu sekarang.”

“Kenapa malu? Karya kamu bagus, layak mendapat pujian.” pria berkulit tan itu berucap, iris hitamnya mengamati wajah penulis buku yang ia baca, “Sorry, saya banyak bicara.”

“Santai aja Tay, saya juga butuh teman buat ngobrol.”

“Kalau begitu, saya bersedia jadi teman mu malam ini.”

•••

“Kamu belum pernah menginjakkan kaki disini?”

Gelengan dari si manis terlihat, membuat Tay tersenyum maklum, tempat ini memang jarang di ketahui banyak orang.

“Kamu sudah makan? Kalau belum di balik pohon jambu itu ada warung nasi kucing. Enak sekali, mau nyoba?”

“Kamu mau nemenin saya?”

“Saya sudah berkata iya sebelumnya, jadi ayo kesana.”

New menerima uluran tangan Tay tawan, jemari yang bertaut itu mengayun santai, keduanya melangkah seirama, berjalan ke warung nasi kucing yang katanya enak sekali.

“Mbah nasinya dua, teh hangatnya juga dua yo.”

•••

Gelak tawa milik si manis terdengar sedari tadi, terduduk di aspal dengan kedua kaki sengaja di lebarkan memanjang, napasnya terengah, dan jaket kulit yang sebelumya ia kenakan sudah berada di dalam tas, menyisakan kaos berwarna maroon yang menutupi tubuhnya.

“Saya gak bisa main skateboard.” suara New terdengar di telinga Tay.

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak yang di biarkan terbuka itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, ia membungkuk di depan New lalu berkata “Gak ada manusia yang gak bisa, ayo belajar bareng saya.”

“Kamu liat ini,” New menunjuk siku yang memerah, “Ini” lalu kembali memperlihatkan betisnya yang sedikit terluka pada Tay “Saya sudah berkali-kali jatuh.” sambungnya.

“Gak apa-apa, itu namanya proses. Jadi kamu mau udahan aja belajarnya?”

“Saya capek, Tay.”

Tay tak tahan untuk tidak tertawa melihat ekspresi lucu pemuda di depannya “Kamu memang semenggemaskan ini aslinya?”

•••

Hari semakin larut, jam yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukkan angka setengah dua belas malam, artinya tiga puluh menit lagi, usianya akan berganti.

Awanya itu di nanti, tapi sekarang tak lagi berarti. Toh spesial atau tidak, orang yang namanya selalu di sebut dalam doa tak ingin menciptakan kenangan bersamanya hingga tua.

Selepas bermain skateboard beberapa menit sebelumnya, akhirnya Tay mengajak New untuk duduk bersama menikmati malam, di pembatas rooftop gedung usang yang tak lagi di gunakan dengan kaki menjuntai kebawah.

Kelopak matanya perlahan menutup, hembusan napas terdengar, ujung-ujung bibir si manis melengkung ke atas, menciptakan sebuah senyuman menenangkan di pandang.

Seulas senyum simpul tanpa sadar terukir di wajah pria berkulit tan yang tengah menaruh seluruh fokusnya pada sesosok pemuda yang berada di sampingnya.

“Kamu itu sebenarnya apa?” Tay tanpa sadar bersuara.

Si manis menoleh ke samping, lengkap dengan sebelah alis terangkat satu, ia bertanya.

“Kamu diam saja, saya sudah jatuh cinta.”

Kekehan New terdengar setelahnya, “Gampang sekali kamu itu mengutarakan sesuatu.”

“Saya juga gak ngerti ini perasaan apa. Kagum kali ya?”

“Orang yang berada di samping kamu ini, sedang patah hati.” New berkata jujur.

“Katanya, cerita sama orang yang gak di kenal itu malah lebih aman. Kenapa? Karena orang asing itu gak tau banyak tentang kamu.”

“Kok kedengarannya seperti kamu mempersilahkan saya untuk bercerita.”

Tay tertawa “Benar sekali, mau berbagi?” imbuhnya.

New menghela napas, kembali mengulang kejadian yang beberapa jam lalu terjadi, di depan mata kepalanya sendiri. Sesak di dadanya terasa lagi, bak besi berat nan runcing yang dulu pernah bersemayam di hatinya kembali hadir, kali ini dua kali lipat lebih sakit.

“Saya bukan tipe manusia yang mudah jatuh cinta, terlebih dahulu mantan saya pernah mendua.”

“Saya kira, orang yang berjalan bersama saya sekarang memang orang yang takut kehilangan saya, ternyata salah. Ternyata, sayalah yang takut orang itu hilang, sedangkan dia? Perduli saja tidak.”

Tay diam, mendengarkan semua ucapan New dengan serius, sesekali ikut menghela napas pelan.

“Seperti sebelumnya, saya kembali mengira jika hari ini bakal menjadi hari bahagia untuk saya dan dia. Ternyata lagi-lagi salah, ekspektasi saya terlampau besar.”

“Beberapa jam yang lalu saya kerumahnya, berniat untuk ngajak lelaki itu makan malam romantis berdua, tapi ternyata dia malah sedang bercinta.”

“Miris sekali bukan.”

“Tay, kamu percaya gak semesta itu adil?”

New menoleh lagi kesamping, menatap pria berkulit lebih gelap darinya itu dengan serius, menunggu jawaban yang keluar dari mulut Tay tawan.

“Percaya, luka yang kamu rasakan sekarang itu buat kamu jadi lebih kuat dari yang sebelumnya, rasa kecewa itu mendewasakan manusia, New.”

“Dan juga, kebenaran menyakitkan yang kamu dapat tentang bajingan itu adalah peringatan dari semesta, agar kamu di jauhkan dari orang yang gak pantas untuk kamu berpulang.”

“Masa iya, kamu yang begini bersanding sama dia yang tingkahnya begitu. Gak seimbang.” Tay tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya.

“Dari setiap kejadian, mau seburuk apapun itu, pasti punya sisi baiknya, walau sedikit sekali.”

“Saya capek.” New berkata lesu.

“Gak apa-apa, kamu perlu waktu untuk sembuh.”

“Kalau kamu, punya kisah cinta menarik, gak?” New bertanya.

Tay tertawa sumbang, lalu menggeleng pelan “Sebelas dua belas lah sama kisah kamu.”

•••

Setiap pertemuan pasti berujung dengan perpisahan, sebaik apapun perpisahan, dia tetap terasa menyakitkan.

Namun kali ini, bertemu dengan Tay tawan merupakan hal yang ternyata bisa membuat luka di hati si manis sedikit terobati. Mungkin benar, dia memang butuh waktu untuk sembuh, lagi.

Ujung sepatu keduanya bertemu, Tay menatap iris kelabu nan sendu itu dalam, mata New memang begitu cantik, makin indah jika di pandang lama-lama.

“Pakai dulu jaketnya, hari sudah larut.” Tay berucap membuat si manis menurut, membuka ranselnya dan mengenakan jaket kulit miliknya.

“Kita usai disini?” tanya pemuda berkulit tan itu lengkap dengan senyumnya.

New mengangguk mantap “Selesai, tapi gak tau bagaimana kedepannya.”

“Saya paham New, seperti tulisan kamu di novel ini.” Tay kembali memamerkan novel yang di bawanya tadi “Yang singgah, suatu saat pasti akan pindah.”

Lantas keduanya terkekeh pelan, membenarkan ucapan Tay barusan.

“Terimakasih untuk beberapa jam menyenangkan yang kamu berikan untuk saya. Saya harap, kita berjumpa di lain waktu, di lain tempat, tapi di kebahagiaan yang sama. Tay.”

“Sama-sama New, hati-hati.”

New tersenyum manis, begitu tulus, lantss memutar tubuhnya, melangkah menjauh dari seseorang yang baru ia kenal beberapa jam lalu.

“Newwiee.”

Panggilan Tay membuat sang empunya nama menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya.

“Selamat ulang tahun. Saya pamit, lekas sembuh manis.”

Senyum pemuda berkulit putih itu mengembang sempurna, setidaknya ulang tahun kali ini tak benar-benar semenyedihkan yang ia bayangkan, Tay tawan benar, semesta itu adil.

“Kamu tahu saya ulang tahun dari mana?!”

Teriakan New hanya di balas lambaian tangan, pemuda dengan kemeja terbuka itu semakin jauh darinya, lalu menghilang.

“Saya berharap sekali betemu kamu lagi, Tay tawan vihokratana.”

—Cerita ditutup.

•••

-Joya-

[Perkara sebuah buku]

•••

Senyum tipisnya terukir tak kala cowok berkulit tan itu berjalan mendekatinya.

“Astagfirullah.”

Ucapan pertama yang Tawan layangkan begitu melihat keadaan mata sang kekasih hati. Bagaimana tidak, kondisi mata Thitipoom sekarang begitu sembab dan bengkak.

Perlahan, tangan kanannya terulur untuk mengelus mata Thitipoom-nya “Kamu nangisnya berapa lama?”

Thitipoom menyengir “Tiga jam, mungkin.”

“Tawan, ayo masuk dulu.”

•••

Sekarang, cowok bernama lengkap Tay tawan vihokrata itu tengah sibuk dengan barang belanjaannya.

Sedangkan Thitipoom? Dia hanya menyaksikan Tawan sambil tersenyum dan sesekali menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan kekasihnya.

“Ini buah naganya udah aku potong, terus potong es krimnya gini gak sih Thi?”

“Thi, yang bener kayak kita potong bolu, kan?”

“Ini sosisnya di microwave dulu apa langsung di makan sih? Tapi kalo makan langsung gak enak dong, ini kan masih dingin.”

“Duh, hapeku mana lagi. Aku mau liat caranya di tiktok dulu.”

Pasrah, karena Tawan memang seheboh itu, kekehan dari cowok berkulit putih yang tengah duduk di kursi makan itu terdengar, membuat Tawan memutar tubuhnya menatap sang kekasih “Thi” panggil Tawan dengan wajah melasnya, lalu ia kembali berucap “Bantuin aku dong.”

Pemuda yang di panggil Thi itu pun kembali terkekeh, lalu bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Tawan, dan mengambil alih semua perkerjaan kekasihnya.

Senyum ceria langsung terbit di wajah tampan cowok berkulit tan itu, dengan senang hati Tawan memberi satu kecupan di pipi sebelah kiri Thitipoom-nya.

“Terimakasih, cantik.”

•••

“Sosisnya enak sih, tapi kalo es krimnya menurutku biasa aja.” Tawan berucap, berceloteh ria tentang makanan yang katanya viral.

“Ini juga enak, banget malah.” ujar Thitipoom sembari memamerkan sepotong buah naga miliknya.

“Kamu habisin ya itu sosisnya, aku beli buat kamu juga.”

“Iya nanti.”

“Oh ya Thi, kalau boleh tau, kamu baca buku apa sampe begitu matanya?”

Thitipoom perlahan meletakkan piring berisikan buah kesukaannya di meja kecil berbentuk bundar- tempat ia biasa menulis di kamarnya.

Tangan kanan Thitipoom meraih sebuah buku yang tergeletak di ranjang, lalu memperlihatkannya pada Tawan.

“Ini, 7 hari untuk keshia.”

“Ceritanya itu tentang seorang anak yang di kasih beberapa waktu untuk membuat kenangan bersama ayahnya.”

“Aku gak pernah bisa memang kalau bahas orang tua, terutama soal ayah.”

“Pas baca ini, aku jadi ingat kenangan sama ayah dulu. Ada satu perkataan ayah yang sampe sekarang masih aku ingat banget, Tawan mau dengerin aku cerita atau makan dulu?”

Tawan tersenyum tipis, mengelus punggung tangan kekasihnya “Cerita, sayang.”

Si manis pun tersenyum, kembali melanjutkan perkataannya “Kamis siang, ayah minta buat nemenin beli kado untuk Ibu. Kami berdua banyak ngobrol di perjalanan, tapi perkataan yang satu ini gak akan pernah terlupakan.”

“Ayah bilang, 'Tugas ayah sekarang itu cuma untuk membahagiakan anak-anak ayah, gak ada lagi yang perlu ayah kejar, selain melihat senyum kamu dan abang.”

“Sialnya, ayah bilang begitu pas lagi keadaan gerimis, pun dengan lagu titip rindu buat ayah yang ke play, aku mau nangis banget tapi gengsi.”

Mata Thitipoom kembali berkaca-kaca, Tawan cukup tau bagaimana kedekatan Tithipoom dengan ayahnya. Namun Tawan malah membiarkan air mata yang mengalir begitu saja membasahi pipi kekasihnya.

“Aku juga ingat sekali, waktu pertama kali aku pulang ke kampungnya ayah sendiri, di Padang.”

“Sangking seringnya ayah nelepon aku untuk nanyain kabar ku bagaimana, Ibu sampe nyebunyiin hapenya ayah hahaha.”

“Ayah bilang 'Ibu kamu iri banget deh, masa ayah gak boleh neleponin anaknya, kan ayah rindu' begitu beliau bilang ketika aku mengangkat teleponnya.”

“Ayah tuh selalu peka, perhatian, dan sebisa mungkin mengabulkan permintaan anak-anaknya.”

“Apalagi kalau hari libur, beliau pasti matiin hapenya, katanya mau fokus sama keluarga. Ayah suka ngajakin main ps, ke puncak, main basket, atau enggak masak sama-sama.”

“Tapi, yang namanya makhluk hidup gak bakal bisa abadi. Tepat di tanggal 23 april, tugas beliau sebagai manusia, suami, dan ayah selesai.”

“Aku di jemput abang pas masih sekolah, Tapi Tawan. Aku udah ngerasa kok Ayah bakal pulang, makanya pas abang jemput aku gak ada nanya apa-apa.”

Tawan masih setia mengelus punggung tangan Thitipoom-nya, mengulas senyum tipis sembari mengangguk pelan-bermaksud menguatkan.

“Yang paling sakit, ketika mata ku ngeliat, orang yang selama ini selalu aku jadikan contoh sudah tertidur pulas di tengah ruang tamu.”

Tangis si manis pecah, Tawan langsung menarik Thitipoom kedalam pelukannya, membiarkan kekasihnya menangis hingga ia diam sendiri.

“Aku kangen Ayah, Tawan.”

•••

-Joya-

[Tatapan]

•••

Bibir merah muda milik cowok berkulit tan itu bergerak teratur mengunyah mie ayam dengan santai, dengan pandangan terus tertuju pada seseorang yang berada di meja kantin-di depannya.

Tepukan di bagian bahu membuat fokus Tawan teralih pada gadis cantik berambut coklat yang kini mengambil alih duduk di sampingnya.

Tawan mengulas senyum simpul pada si gadis bernama lengkap Mild lapassalan yang mulai membuka suaranya untuk mengajak Tay berbicara santai.

“Nanti malam jalan, yuk?” ajakan Mild terdengar, minumbulkan siulan-siulan kegirangan dari teman-teman Tawan.

“Mau kemana?” Tawan bertanya.

“Lo maunya kemana?” si gadis balik bertanya.

Tawan tampak berpikir, lalu tersenyum manis sembari melirik cowok berkulit seputih susu yang tengah asik berbincang bersama teman-temannya.

“Lain kali aja deh, gue ada acara mendadak malem ini.”

•••

-Joya-