Joya.

Ibunya Newwiee.

•••

Semilir angin pantai di sore hari menerpa wajah pemuda berparas cantik yang tengah duduk begitu santai di atas mobil bersama kekasih hati, tatanan poni rapi itu mulai menampakkan dahi sang empu dengan malu-malu, tatapan lurus kedepan menatap pemandangan indah yang berada di depan mata hingga tanpa sadar ujung-ujung bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman manis yang ia punya.

“Cantik.” Suara dari seseorang yang berada di sampingnya terdengar.

Thi menoleh ke sumber suara, “Senjanya? Pantainya?” Ia bertanya.

Pria berkulit tan itu menggeleng dengan pandangan tak kunjung lepas dari kekasihnya, “Kamu.” Jawab Tay yang langsung menimbulkan gelak tawa dari si manis.

“Kamu sekarang makin jago ya ngalusnya.”

“Padahal aku ngomong jujur.”

“Teta, liat ke depan. Jangan liatin aku terus.” Tangan Thi memegang kedua sisi wajah yang tua, menggerakkannya agar Tay menatap pantai dan langit sore yang begitu indah dipandang mata lama-lama.

“Kalah cantik sama kamu.”

“Udah berapa orang yang denger kamu ngomong begini?” Thi bertanya sembari terkekeh pelan, tangan kanannya meraih sebuah kelapa yang berada di samping.

“Thitipoom doang.”

Semburat merah itu hadir tanpa permisi sama sekali menghiasi kedua pipi yang muda, hingga tangan kiri pria tan itu terulur untuk mengelus salah satunya, “Merah banget hahaha.”

“Tetaa jangan begitu makanya! Aku masih belum terbiasa sama mulut manis kamu.”

“Manisan bibir kamu sih Mbul.” Yang tua kembali melempar godaan.

“Teta coba cium pipi aku, masih wangi atau udah enggak.”

Mendengar ucapan si manis membuat Tay langsung menurut tanpa berkata apa-apa, mencium dengan lembut pipi sebelah kanan milik lelaki yang paling ia cintai.

“Masih wangi.” Ia menjawab setelaahnya.

“Jujur?”

Yang tua mengangguk dua kali sebagai jawaban.

“Kalau bohong tambah tua ya?”

“Mulai Thi mulai.”

Pemilik iris kelabu itu tertawa, sedangkan manusia yang berada tepat di sampingnya hanya diam memandangi keindahan sang kekasih.

Untuk kesekian kali, untuk esok dan hari ini, Tay tak akan pernah bosan mengatakan jika Bulan-nya benar-benar indah.

Tawa yang muda lama-kelamaan mereda hingga kedua pasang netra anak manusia itu bertemu untuk beberapa waktu, saling tatap tanpa ada kata terucap, sama-sama melempar senyum manis yang mereka punya untuk pasangannya.

“Aku sayang banget sama Teta.”

Sepasang mata berkaca-kaca itu tak lepas menatap netra hitam kekasihnya, Thi juga tak tau mengapa ia bisa dengan mudahnya menangis jika menyangkut orang yang saat ini bersamanya, membuat cerita berdua.

“Aku ingin sekali bilang terima kasih banyak-banyak sama Jumpol, karena secara gak langsung semesta mempertemukan kita lewat perantara dia. Dan aku sampe sekarang gak pernah bisa membayangkan jika saat itu aku nolak ajakan Jumpol.”

“Aku bukan orang yang percaya atau yakin sama cinta pada pandangan pertama, sampai aku ketemu sama kamu, sampai debaran gila di dada aku benar-benar untuk kamu.”

“Sampai-sampai aku jadi orang bodoh yang kehilangan kata-kata untuk ngajak kamu buat ngobrol, berakhir aku malah nanya Newwiee nama kamu siapa yang bikin kamu mikir dua kali untuk mau aku dekati.”

Thi terkekeh mendengarnya.

“Thi, jatuh cinta sama kamu itu diluar kendali aku, dan mencintai kamu setiap hari itu kayak udah jadi hobi yang gak kenal namanya bosan.”

“Kayak setiap aku buka mata dan ngeliat kamu, dengan mudahnya aku udah jatuh cinta lagi sama kamu. Karena kalau boleh jujur sampe sekarang pun aku juga gak nemuin alasan kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu.”

“Yang jelas, saat aku bilang mau memperjuangkan kamu. Itu sungguh-sungguh.”

Pemuda berkulit seputih susu itu menyerka air mata yang tak dapat lagi ditahannya, senyum merekah indah itu terpampang nyata hanya untuk orang yang berada di sebelahnya.

“Aku gak tau jalan yang udah dibuat semesta kedepannya kayak gimana, aku gak bisa janjiin kamu apa-apa, tapi selama kamu masih mau aku perjuangkan itu udah lebih dari cukup.”

“Maaf kalau selama sama aku kamu pernah nangis dan sedih, Thi aku jatuh cinta sama kamu, lagi.”

“Tetaa diem dulu.” Yang muda berujar kembali meyerka air mata bahagianya.

“Aku tau alasan kamu cemberut selama kita di kebun binatang tadi.” Tay terkekeh pelan sembelum melanjutkan katanya, “Jujur aku sempat lupa, tapi begitu kamu nanya hari ini hari apa aku langsung buka notes di hape.”

“Selamat hari jadi untuk kita.”

Pemuda berkulit seputih susu itu tak lagi menahan-nahan air matanya, ia menangis sembari menerima pelukan yang diciptakan Tay tawan.

“Ngeselin banget, tapi gak apa-apa.” Thi berucap tak jelas.

“Ini ucapan hari jadi pertama kali untuk kita yang keluar dari mulut kamu.”

“Udah romantis belum?”

Lantas yang muda terkekeh sembari mengangguk dua kali, mengendurkan pelukan yang terjadi.

“Kata-kata manis itu kamu ngonsep dulu gak tadi malem?” Thi berujar.

“Minjem kata-katanya Arm buat Alice.”

Keduanya tertawa bersama, mengabaikan jika matahari mulai meninggalkan bumi, melupakan jika tak hanya ada mereka berdua saja di tempat ini.

“Alice nyuruh aku bawa bunga, Jumpol nyuruh aku bawa coklat, dan Arm nyuruh aku bawa sertifikat tanah kita. Tapi aku gak bawa semua itu.”

Tangan kanan pria berkulit tan itu mulai beralih pada saku parkanya, meraih sebuah kotak beludru, memamerkannya pada sang kekasih.

“Tetaa mau lamar Thi sekarang banget?”

Sebuah sentilan di bagian dahi Thi dapatkan hingga membuat ia meringis pelan, “Lulus dulu Mbul.”

Kedua bilah bibirnya maju lima senti.

“Siniin tangannya.” Ucapan yang tua dituruti sang kekasih.

“Anggap aja hadiah dari aku.” Tay berujar sembari memasangkan sebuah cincin emas putih di jari manis sebelah kiri yang muda.

“Hadiah pertama dari Teta untuk aku hahaha.”

“Aku pernah ngadoin kamu kinderjoy Mbul, jangan lupain itu.”

“Iya Om iya.”

“Suka?”

Yang muda mengangguk semangat, memandangi sebuah cincin pemberian Tay tawan yang melingkar begitu apik di jarinya.

“Makasih ya, kado dari Thi buat Teta nyusul.”

“Kamu aja dibungkus kado aku seneng.” Tay menjawab lengkap dengan kekehannya.

“Teta, terima kasih untuk hari-hari sebelumnya, untuk hari ini dan esok juga ikut serta, terima kasih udah mau berjuang bareng-bareng sampai sejauh ini, terima kasih buat kebahagiaan yang kamu berikan, aku juga jatuh cinta sama kamu lagi, lagi, dan lagi.”

“Jangan pernah bosan denger ucapan itu ya Taa.”

“Selamat ulang tahun yang ke-tiga untuk hubungan kita.”

“Berjuang terus ya kita.”

•••

-Joya-

•••

Pemuda berparas cantik lengkap dengan iris kelabu berkilau itu tampak bersenandung pelan menyusuri supermarket yang tengah ia singgahi, kedua netranya tak lepas dari berbagai macam bungkus makanan ringan yang berada di sekitarnya.

Troli yang ia dorong sudah terisi penuh namun sang empu tampaknya belum jua mau menyelesaikan kegiatan berbelanjanya, membiarkan jika waktu semakin berjalan, terlebih juga sebenarnya Thi memang berniat mengulur waktu.

Ia akan menghabiskan waktunya di sini, berkeliling sendiri, membeli apa yang ia mau, ia tak ingin di apartemen sunyi itu seorang diri.

Dering ponsel menghentikan langkahnya, tangan kanan pemuda itu meraih benda pipih yang berada di saku celana, menggeser tombol merah setelah ia melihat nama sang kekasih tertera di sana.

Thi tidak marah, ia cuma kesal.

Setelah di rasa cukup pun jua dengan ia yang mulai mengantuk, pemuda manis itu memutuskan untuk melangkah menuju kasir untuk membayar semua belanjaannya.

Thi hanya diam menyaksikan deretan angka yang terlihat jelas di depannya, hingga sebuah suara dari pegawai supermarket membuyarkan lamunan si manis.

Dengan seulas senyum tipis ia mengangguk dua kali sembari meraih dompet yang berada di saku celana sebelah kiri, sebuah kartu kredit sudah ia pegang namun pergerakannya kalah cepat dengan seseorang yang berada tepat di belakangnya.

“Pake ini aja, mba.” Suara itu sama sekali tak asing, lantas saja pemilik iris kelabu itu menoleh kebelakang.

Thi benar-benar terdiam.

Kedua irisnya tak lepas dari pria yang tengah melempar sebuah senyuman paling manis yang ia punya, “Halo, sayang.”

•••

Duduk dengan mulut terkunci rapat, keterkejutannya akan kehadiran orang yang selalu jadi alasan untuk ia terus berjuang itu masih tersisa walau tak banyak, sepasang netra itu tak kunjung lepas memandangi wajah manusia yang tengah duduk di sampingnya, mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Pria berkulit tan itu menoleh ke kiri, lantas terkekeh pelan.

Perlahan, tangan kirinya mulai terulur untuk mengelus rambut sang kekasih beberapa kali, “Kok diam terus sih Mbul?”

“Ini beneran Teta?”

“Bukan.” Yang tua menjawab.

“Terus siapa?”

“Pacar Thi.” Lagi-lagi kekehan pria tan itu terdengar.

Pemuda bernama lengkap New thitipoom techaapaikhun kembali diam bermenit-menit lamanya, hingga yang tua menepikan kendaraannya.

“Kenapa Mbul?”

“Jahat banget sih! Ngerjain pacarnya segala, jelek tau gak!”

Si manis meledak, tangan kanannya mencari perut sang kekasih dan langsung saja ia cubit, ringisan dari Tay terdengar namun pria itu sama sekali tak melawan, ia menerimanya dengan senang hati.

Tipikal orang jatuh cinta.

“Sakit?”

“Sakit lah.” Jujur yang lebih tua.

“Rasain Thi cubit kecil, abisnya kamu ngeselin banget Teta!”

Tak lagi ingin menyia-nyiakan waktu yang ada pemililik iris hitam pekat itu menarik kekasihnya untuk masuk kedalam sebuah pelukan yang ia ciptakan, pelukan yang akan selalu ia berikan untuk lelakinya, Thitipoom-nya.

Keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, kesepuluh jemari Tay tak henti-hentinya bergerak begitu lembut mengelus punggung setra rambut yang muda, ia mencurahkan semua kerinduan yang ia rasakan, tanpa kata, tanpa suara.

Thi melonggarkan pelukan yang terjadi, ia menengadah mengamati wajah tampan sang kekasih dari bawah, hingga setelahnya entah mendapat keberanian dari mana pemuda itu mengalungkan kedua tangannya di leher Tay tawan, mempertemukan bibir miliknya dan pasangannya.

Paggutan itu sukses membuat debaran jantung keduanya mengila, sama-sama mengikis habis jarak yang tersisa di tengah-tengah mereka, membiarkan ribuan kupu-kupu menggelitik perut.

Karena yang namanya rindu memang membutuhkan titik temu.

Deru napas bersahut-sahutan masih terdengar, dua pasang kelopak itu terbuka memamerkan netra berbeda yang mereka punya, Tay mempertemukan ujung hidung mancungnya dengan milik yang muda, ia gerakkan ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Keduanya saling melempar senyum.

Rasa kesal itu sudah hilang entah kemana.

“Aku kangen sama kamu.” Thi bersuara namun tak kunjung mendapat balasan.

“Aku kangen sama kamu, Tetaa.” Ia mengulang dan tak jua diberikan jawaban.

“Teta, Thi kangen sama kamu.”

“Kamu tau aku Mbul.”

Lekas-lekas yang muda menjauhkan wajahnya, ekspresi sengaja dibuat cemberut terlihat begitu menggemaskan di mata pria berkulit tan itu.

Kedua tangan yang tua terulur untuk menangkup kedua sisi wajah si manis, “Cantik banget, pacar siapa?”

“I miss you.” Thi masih belum menyerah juga ternyata.

“TETAA I MISS YOU.”

Gelak tawa yang tua terdengar.

“Aku kangen sekali sama kamu, Thitipoom.” Ia berbisik.

Si manis terdiam dengan semu kemerah-merahan yang mulai hadir menghiasi kedua pipinya, hingga sebuah suara membuat Thi menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Merah banget Mbul.”

“Jangan liatin aku!”

“Yang menarik perhatian cuma kamu, gimana dong?”

Pemuda berkulit seputih susu itu menoleh kearah jendela mobil, tak mau melihat Tay yang akan semakin gencar menggodanya jika sedang begini, tangan kanannya mendorong lelaki itu agar berhenti mendekatinya, “Sana ah, jalanin aja mobilnya cepet.” Thi bersuara.

“Kalau ngomong sama pacarnya, dilihat dong muka pacarnya.”

“Gak mau kamu jelek.”

“Kamu cantik.”

“Udah dong Tetaa.” Yang muda merengek sembari mendorong tubuh besar itu menjauh darinya.

“Udah apa Mbul?”

“Udahan bikin aku salting.”

•••

-Joya-

•••

Derap langkah kaki berbalut pantofel berkilap itu teredam suara tertutupnya pintu utama sebuah unit apartemen, kedua netranya menyapu kesegala arah yang dapat ia jangkau, meletakkan satu buah koper di sudut ruang tamu.

Pemilik apartemen itu mulai membuka pintu kamarnya, ia akan langsung mandi dan merebahkan tubuhnya yang terasa amat pegal, sepasang iris hitam pekat itu menangkap sesuatu hal yang menarik seluruh perhatiannya, napasnya tercekat begitu menyadari apa yang sedang dirinya pandangi sedari tadi.

Di sana, tepat di tengah-tengah ranjang besarnya seseorang yang paling ingin ia peluk, paling ingin ia cium sembari mengatakan jika dirinya benar-benar gila akan jarak yang tercipta diantara keduanya, Tay merindukan kekasihnya, itu jelas hal nyata dan tidak mengada-ngada.

Pria berkulit sawo matang itu masih mematung tepat di ambang pintu kamarnya sendiri dengan tatapan tak lepas dari pemuda paling indah yang pernah ia temui, mari Tay tekankan jika keadaan sekarang begitu di luar ekspektasinya, lebih tepatnya tak pernah terbesit di pikirannya jika kekasih cantiknya itu mengenakan pakaian yang-sedikit-banyak begitu mengejutkan untuk dirinya.

Bagaimana bisa yang muda mengenakan pakaian maid begitu ketat yang membungkus tubuh rampingnya, oh jangan lupakan bando kucing yang menambah kesan cantik sang empu semakin terpampang begitu nyata.

Pemilik iris kelabu itu beranjak dari tempatnya, mulai melangkah mendekati sang kekasih yang hanya diam sedari tadi, langkahnya di paksa terhenti akibat suara yang tua menginterupsi.

“Berhenti di sana, Thitipoom.”

“Ganti baju.” Ia kembali berucap.

Mendengar ucapan bernada cukup serius dari pujaan hatinya itu membuat pemuda bernama Thitipoom sukses membelalakkan matanya dengan sempurna, “Kamu yang bener aja?”

“Ganti, baju.” Yang tua kembali mengulang katanya.

Pemuda berkulit seputih susu itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, mengabaikan segala peringatan yang keluar dari mulut Tay tawan, hingga kedua ujung kaki berbalut kaos kaki panjang berwarna senada dengan pakaiannya bertemu dengan pantofel milik sang kekasih.

“Kamu gak suka?” Yang muda bertanya, terselip sebuah harapan yang membuat Tay benci untuk mengakui jika kekasihnya benar-benar indah dengan pakaian nakalnya.

“Ganti bajunya Thi.”

“Kamu belum jawab pertanyaan aku.” Pemuda itu membalas.

“Aku masih waras, jadi, tolong ganti baju kamu.”

“Aku mau kamu gila, sekarang.” Si manis benar-benar menantang.

Netra hitam pekat itu menggelap seiring dengan kedua tangan yang muda mulai menjalar di kedua sisi wajahnya, “I miss you.” Pemuda berkulit putih bersih itu berbisik membuat yang lebih tua meremang karenanya.

“Thi.” Peringatan itu kembali dilayangkan oleh Tay tawan, ia masih cukup waras, tentu saja.

“Sampe kapan mau nahan terus?” Yang muda bertanya, mulai memberikan kecupan-kecupan pada seluruh wajah sang kekasih, kedua tangan si manis perlahan mulai melingkar di leher yang lebih tua, iris kelabunya menatap kedua bola mata milik lelakinya, orang yang ia cinta.

Tatapan keduanya sama-sama dalam, membiarkan debaran jantung yang tak wajar, hingga yang muda mulai ambil alih dengan semakin mengikis jarak yang tersisa diantara mereka berdua, kedua kelopak pemuda berkulit seputih salju itu mulai menyembunyikan iris kelabunya, ia mulai memagut Tay tawan setelahnya. Mencium pria yang lebih tua dengan begitu mesra, mengutarakan jika ia benar-benar merindukan lelaki itu, membenci jarak yang sempat terbentang lebar diantara mereka.

Sebuah senyuman tercipta tak kala yang tua mulai membalas, mulai ikut serta akan apa yang baru saja ia mulai, tangan kekar pria berkulit sawo matang itu mulai mengelus pinggang ramping si cantik-menariknya agar mereka semakin mendekat, sangat jelas Tay membenci yang namanya yojana diantara dia dan bulannya.

“Kamu yang mulai.”

Pemuda berbando kucing itu mengangguk membenarkan apa yang diucapkan kekasih hatinya, lengkap dengan senyum menggoda yang ia tampilkan.

“Tetaa mau berdiri di sini sampe besok?” Thi bertanya.

“Kamu dapat baju ginian dari mana Mbul?” Tay bertanya balik.

Pemuda dengan poni rapi menutupi dahi itu tak menjawab, hanya memamerkan sebuah senyuman manis yang ia punya kepada sang kekasih.

“Kiss me till i lose my breath.” Si manis meminta.

Tatapan pria berpakaian formal serba hitam itu semakin menggelap bersamaan dengan terkikis habisnya kewarasan yang ia punya setelah mendengar perminaan yang cukup sukses membuat dirinya menggila dalam sekejap, maka dari itu, malam ini, Tay tawan resmi mengikuti permainan yang telah diciptakan oleh kekasinya.

Tangan kananannya menarik tengkuk yang muda dengan begitu lembut, kembali menyatukan kedua bibir mereka, percikan-percikan bahagia itu kembali terasa diantara keduanya, pria berkulit tan itu tersenyum ditengah ciuman yang sedang berlangsung.

Dengan mudahnya yang lebih tua menggangkat tubuh indah sang kekasih tanpa melepaskan pagutan yang tengah berlansung, kedua tangan pria berkulit tan itu mulai bergerak begitu nakal pada bongkahan sintal si manis bersamaan dengan kaki kirinya menendang pintu kamar dengan asal-asalan, setelahnya barulah ia melangkah maju menuju sebuah sofa panjang yang berada tepat di samping lemari kaca berisikan banyak koleksi buku dan kamera yang ia punya.

Kesepuluh jemari lentik Thi mulai meremas rambut kekasihnya begitu oksigen yang berada di tubuhnya benar-benar sudah menipis, namun tampaknya yang tua sama sekali belum ada tanda-tanda mau melerai kedua belah bibir yang tengah beradu.

Sebuah seringaian tercipta menghiasi wajah tampan pria berkulit tan itu begitu ia melepaskan cumbuannya, mengamati wajah merah semu sang kekasih dalam diam, membiarkan pemuda yang berada di pangkuannya itu menetralkan deru napasnya.

Tubuh yang muda bergerak gelisah saat kedua tangan kekar itu mulai menggerayangi lekuk tubuhnya, tatapan mereka sama-sama terkunci seakan tak bisa lepas memandangi satu-sama lain, si manis meremat lengan yang masih berbalut pakaian lengkap Tay, tak tahan dengan apa yang sedang lelaki itu perbuat pada dirinya.

“Tawan.” Sebuah desahannya lolos tanpa ia sengaja.

“Nakal banget kamu Thi.” Suara serak itu terdengar.

“Kamu suka?” Si manis bertanya, “Tangannya berhenti dulu dong.” Lanjutnya yang menimbulkan kekehan dari sang lawan.

“Tetaa suka?” Ia bertanya, untuk kesekian kalinya.

“Menurut kamu?”

“Gak tau, tapi kamu ganjel.'

Yang tua terkekeh, lagi.

Pemilik netra hitam pekat itu mulai menanggalkan jas hitam yang melekat di tubuhnya menyisakan kemeja berwana senada dengan kedua kancing teratas yang dibiarkan terbuka.

“Kamu ganteng banget, Teta.” Sebuah pujian terdengar dari yang muda.

Pemuda berparas cantik itu mendekatkan wajahnya secara perlahan hingga hidung mancung keduanya saling bersentuhan, “Semesta benar-benar sedang bahagia ketika dia menciptakan kamu.” Setelah menyelesaikan kalimatnya Tay kembali mempertemukan bibir mereka, menyesap bagian atas dan bawah kekasihnya secara bergantian.

“Manis.”

Sepasang kelopak yang muda mengerjap beberapa kali mendengar lirihan dari orang yang ia cintai, membiarkan ibu jemari Tay yang terus mengelus pipinya terus menerus.

“Aku jatuh cinta sama kamu, lagi.”

Semburat kemerah-merahan itu hadir tanpa permisi sama sekali menghiasi kedua pipi, Thi berniat bangkit dari tempatnya namun kedua tangan mataharinya itu sudah terlebih dahulu meremat pinggangnya, mengunci pergerakan dirinya.

“Mau kemana?” Tay bertanya.

“A-aku....”

“Pipi kamu kok merah?”

Yang muda tak bisa menjawab, mulutnya tertutup rapat-rapat dengan kedua bola mata bergerak gelisah begitu jelas ia menghindari kontak mata antara dirinya dan sang kekasih.

“Thi.” Tay memanggil, nadanya lembut sekali.

“Kamu indah dengan caramu sendiri, kamu tau aku gak suka mengakui kalau aku benar-benar udah jatuh sama kamu, aku benar-benar sudah bergantung akan kamu.”

“Satu fakta yang harus kamu tau dan kamu ingat, aku jatuh cinta sama kamu, setiap harinya.”

Yang muda hanya diam karena ia benar-benar kehabisan kata-katanya untuk menjawab ucapan yang baru saja di lontarkan sang kekasih hati, mulut Tay jika dalam mode manis memang sangat tak baik untuk kesehatan jantungnya.

Alih-alih melempar balik ucapan cintanya, Thi memilih untuk diam sembari mengecup bibir tipis sang kekasih, letupan-letupan bahagia itu hadir lagi dan kali ini lebih gila dari yang sebelumnya, napas yang tua memberat saat bibir merah muda si manis mulai berada tepat di depan jakunnya, mengecupnya, dan menciumnya tanpa henti.

“Hehehe, jadi.” Thi berucap dengan ibu jari mengelus sebuah tanda kemerahan yang ia ciptakan di leher jenjang kekasihnya.

Sepasang kelopak sang empu langsung terpejam menyembunyikan netranya begitu sebuah tangan mengelus dirinya sedangkan yang pelaku hanya tersenyum tipis melihat reaksi yang diberikan oleh Tay tawan.

Thi bergerak menjauh dari mataharinya hingga mata yang terpejam itu langsung terbuka sempurna, “Thi,”

“Sttt.” Jari telunjukknya berada di depan bibir menyuruh Tay untuk tidak banyak bicara, dan tentu saja yang tua langsung menurut.

Si cantik maju selangkah memamerkan kaki jenjangnya yang dibalut kaos kaki panjangnya, perlakuannya itu tak lepas dari perhatian pria yang tengah duduk di depannya. Ia bergerak turun ke bawah, besimpuh diantara kedua kaki yang tua, kesepuluh jemarinya mulai melepaskan celana kain sang empu hingga sebuah genggaman tangan dari pemilik netra hitam pekat itu menghentikan kegiatannya.

Mereka saling tatap, lagi.

“Thi.”

“Kamu gak mau ya?” Pemilik iris kelabu itu melempar sebuah tanya.

“Jelas banget mau, tapi, kamu nyaman kah?”

Lengkungan itu langsung menghiasi wajah cantiknya begitu ia mendengar ucapan Tay barusan, Thi sadar, jika mataharinya selalu ingin dia baik-baik saja dalam keadaan apapun, “Tetaa, kalau aku gak nyaman dan aku gak mau, aku gak berada di sini.”

“Janji dulu sama aku jangan kamu paksa.”

“Gede banget ya Om?” Si manis menggoda lengkap dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

Tentu saja Tay tak menjawab.

Thi kembali melanjutkan kegiatannya yang lagi-lagi sempat tertunda, senyumnya mengembang begitu apa yang sedari tadi ingin ia lihat sudah berada di depan mata, perlahan iris kelabu itu mulai menatap kekasihnya yang hanya diam dengan deru napas mulai memberat.

“Kamu seksi banget, Teta.”

Kelima jemari lentik itu bergerak, menggenggam, merasakan, dan mulai bergerak secara teratur. Menikmati geraman sang kekasih yang masuk kedalam indera pendengarannya.

“Thi.”

Yang muda lantas bersorak gembira mendengarnya.

Ia memajukan kepalanya mendekati Tay, mulai merasakan apa yang sedari tadi ia pegang, mulai bergerak secara konstan, memberikan hal terbaik yang ia bisa untuk Tawan-nya.

“Thi jangan dipaksa.” Lelaki itu mengeram rendah namun tampaknya si manis sengaja menulikan telinganya, terus melanjutkan apa yang tengah dirinya kerjakan.

Hingga beberapa menit setelahnya pria berkemeja hitam itu melepaskan apa yang sedari tadi ia tahan, sepasang iris miliknya mulai menurun-memerhatikan kekasih cantiknya yang tengah mengais oksigen.

Cantik banget.

Seakan sadar atas apa yang baru saja ia perbuat, yang lebih tua lantas menarik pemuda berparas cantik itu ke atas pangkuannya dengan ibu jari tangan kanan yang mulai mengelus bibir bengkak sang kekasih.

“Kamu telan?”

“Semua.” Yang muda menjawab dengan begitu santai.

“Thi berapa kali aku bilang gak b-” Kata itu tak selesai dikarenakan jari telunjuk pemilik iris kelabu itu sudah lebih dulu berada di bibirnya.

“Sekali aja gak apa-apa.”

Tay diam namun pandangannya tak pernah lepas dari pemuda yang berada di atas pangkuannya, ia diam namun kepalanya tak berhenti memikirkan betapa beruntungnya ia dipertemukan oleh manusia bernama Thitipoom ini, ia diam namun benaknya terus berucap jika dirinya benar-benar mencintai orang yang tengah berada di satu ruangan bersamanya.

Entah bagaimana alurnya yang jelas mencintai Thi adalah hal yang selalu ia gemari, pemuda itu akan selalu jadi perjuangan yang ia usahakan mati-matian, seperti di lembar kisah mereka sebelumnya, jika bukan kamu, aku gak mau.

“Kok diem mulu?”

Lamunan pria itu langsung buyar, hilang entah kemana. Sebagai gantinya ia hanya menggeleng dua kali.

“Makasih, Thi.” Ujarnya dengan begitu lembut.

“Ini baru pemanasan Tetaa, kamu pikir aku pake baju kayak begini buat apa kalau bukan buat bikin kamu senang?”

“Aku lebih seneng kamu gak pake baju.”

Entah apa yang lucu dari jawaban Tay tawan barusan, namun kedua anak manusia itu sama-sama tertawa.

“Oke, fuck me till the sun comes up again.”

“Then, i'll fuck you till you scream my name.”

•••

“Ingin sekali aku robek baju sialan ini.” Umpatan dari pria berkulit tan itu terdengar.

“Awas aja kalau kamu berani ngerobeknya!”

Dia sudah tak ingin merobek pakaian yang melekat di tubuh indah sang kekasih.

“Kamu mau di sini atau di ranjang?”

“Tetaa maunya di mana?”

“Kamu dulu, mau di mana?” Tay kembali melempar sebuah pertanyaan.

“Aku di mana aja mau asal sama kamu.”

“Thi, jawab mau di mana atau enggak sama sekali.”

Kedua mata yang muda membelalak sempurna, “Kok jadi kamu yang ngancam aku?”

Pemilik netra hitam pekat itu hanya memberikan sebuah tatapan pada kekasihnya, “Jangan galak! Aku mau kita di sini.”

Final.

Bibir keduanya kembali menyapa satu dengan yang lain, gerakan seirama mereka laksanakan hingga kesepuluh jemari pemuda berkulit putih bersih itu meremat rambut sang kekasih dengan sesuka hati, cumbuan yang mereka lakukan semakin menghilangkan kewarasan yang tersisa. Bilah bibir saling menyesap, melumat, dan sesekali mengigit secara bergantian menimbulkan suara desah tak lagi bisa ditahan.

Kedua tangan pria berkulit tan itu tak henti mengusap dua buah bongkahan yang amat ia suka, menyibakkan pakaian yang membungkus tubuh molek kekasihnya, suara erotis yang keluar begitu pasrah dari mulut kekasihnya adalah melodi paling indah yang pernah ia dengar, dan Tay tawan menginginkan lebih.

Ia menginginkan lebih dari sekedar ciuman memabukkan.

“Jangan di buka, aku mau kamu tetap pake baju begini aja.”

Tak ada alasan untuk pria tan itu membantah.

Ringisan yang muda teredam oleh cumbuan yang diberikan Tay tawan, matanya tak sanggup terbuka begitu ia tahu jika Tay sudah berada di dalam dirinya dengan begitu sempurna, mengisi kekosongan dirinya dengan begitu pas hingga cumbuan mereka terlepas.

Sepasang kelopak sedari tadi menyembunyikan iris berkilau bak sinar rembulan itu memamerkan keindahannya. Tatapan sayu, bibir bawah ia gigit dengan sengaja, dan bando kucing menambah kesan cantiknya semakin menjadi-jadi.

Jika mencintai Thi memang semenggilakan ini, Tay ingin jadi gila sepenuhnya.

“Tawan...” Melodi itu kembali menjamah indera pendengarannya.

Jemari-jemari lentik yang tak henti meremas erat lengan kekasihnya begitu gerakan di percepat, ia memberikan semua cintanya pada Tay tawan secara percuma, membiarkan yang tua melakukan sesukanya, Thi tak akan membantah karena ia benar-benar menyukai apa yang tengah lelaki itu lakukan.

Titik-titik keringat membasahi dahi namun mereka tak peduli, Tay membenamkan keseluruhan dirinya pada seseorang yang selalu ia jadikan apa-apa di urutan paling pertama, pusat kehidupannya, bulannya, Thitipoom-nya.

Hingga dihentakkan kesekian yang diberikan oleh Tay tawan membuat sisa-sisa kewarasannya mengawang, matanya terpejam nikmat, tak lagi sanggup menahan tubuhnya hingga ia hanya bisa bertumpu pada pria yang tengah memangkunya.

Deru napas saling berkejar-kejaran masih terdengar, penyatuan kedua anak manusia itu pun belum jua terlepas, Tay masih setia berada di tempat ternyamannya, pada Thi.

Yang muda menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih, Tay dengan senang hati menerimanya, kedua tangan kekar itu mulai memeluk tubuh lemas yang muda, mendekapnya dengan rasa sayang.

“Terima kasih, sayang.”

“Aku tau kamu masih mau lagi,” Pemuda itu mengambil napas panjang sebelum benar-benar melanjutkan ucapannya yang belum selesai, “Tapi beri aku waktu beberapa menit, aku masih lelah.”

“Kamu, luar biasa Thi.”

•••

-Joya-

•••

“Tawan, gak mau makan dulu?” Suara wanita paruh baya berparas ayu terdengar begitu pintu kamar utama rumah bercat putih tulang itu terbuka.

Sang empunya nama menoleh sembari memamerkan senyumnya pada Ibu sang kekasih, “Teta lagi ngidam ayam sambal ijo, Bu.” Tentu saja itu suara Thitipoom.

“Jadi kalian mau langsung pergi?”

Keduanya mengangguk kompak.

“Hujan-hujan begini?”

“Kan di dalam mobil Bu, gak akan kehujanan, lagian juga udah berhenti hujannya.” Si manis menyahut sembari meraih totebag-nya yang berada di ujung sofa ruang tamu.

“Ayo Taa.”

“Adek.” Panggilan sang Ibu membuat si manis menoleh, menaik-turunkan kedua alisnya berulang-ulang.

“Kenapa Ibuku yang cerewet?”

“Bawa Kookiee dong, pengen jalan-jalan juga dia.”

Tentu saja pemuda berkulit seputih salju itu menolaknya mentah-mentah, “Aku gak mau bawa kucing jelek itu Ibu, adek mau pacaran.”

•••

Mini copper yang tengah di kendarai pria berkulit tan itu berhenti di gang kecil nan sepi, yang tua lantas saja mengajak kekasihnya keluar, “Gak bisa masuk mobil Thi, gangnya cuma muat satu motor.”

“Emang di sini ada yang jual ayam sambal ijo? sunyi banget lho Ta.” Thi berucap sembari mengikuti kemana pria itu membawanya.

“Ada Mbul, langganan aku sama Jumpol pas kuliah.”

“Kalau dingin bilang ke aku ya.” Yang tua berkata sembari membenarkan poni sang kekasih yang terkena rintik-rintik gerimis.

Tangan kanan Tay terulur untuk menggenggam tangan sang kekasih, sedangkan tangan kirinya menunjuk ke sebuah rumah yang berada di depan mereka, “Itu dulu kost-an aku.”

“Rumah sih lebih tepatnya, aku sama jumpol nyewa rumah berdua.”

“Cielah kamu ternyata pernah punya rumah berdua sama Bang Jum.” Thi berujar lengkap dengan kekehannya.

“Serem banget ya setelah aku ngerti maksud kamu apa. Yakali aku pulang ke Jumpol, ngebayanginnya aja ogah.”

Tawa si manis langsung meledak mendengar penuturan dari lelakinya. Keduanya asik bercerita dan saling melempar candaan berujung tawa selama perjalanan yang tak lama, kira-kira hanya memakan waktu lima menit.

“Nini kayak biasa ya, dua porsi.” Yang tua berujar begitu kakinya menginjaki warung dengan spanduk bertuliskan ayam Nini Lastri.

“Bang Tawan, udah lama banget gak kesini, Nini hampir gak ngenalin sampean.” Wanita berusia setengah abad itu bersuara sembari mengelus kedua lengan Tay beberapa kali.

Pria berkulit tan itu hanya tersenyum sebagai respon.

“Ayo duduk-duduk.” Nini berucap sembari mempersilahkan kedua anak manusia itu memilih tempat dimana yang mereka mau.

“Nini apa kabarnya?” Tay bertanya.

“Alhamdulillah baik Bang, kok Nini gak liat si Koko? Biasanya kalian lengket sekali seperti lem.”

“Dia ngambek Ni, katanya gak pernah di kasih diskon sama Nini.” Gurau Tay.

Wanita dengan rambut hampir memutih semua itu mulai menaruh segala perhatiannya pada pemuda manis yang berada di samping Tay tawan, “Ini siapanya bang Tawan?”

“Adek, Ni.”

•••

-Joya-

•••

Seulas senyum tipis terukir tanpa sadar begitu sepasang iris hitam pekat itu menemukan seseorang yang sedari tadi dicarinya, tanpa ragu pria berkulit tan itu melangkah mendekati sang kekasih, ia terkekeh setelahnya.

Yang muda memajukan bibirnya beberapa senti dengan kedua pipi menggebung sempurna, lucu sekali.

“Katanya gak selera makan, tapi ini kamu ngunyah gak berhenti.” Tay ambil suara.

Pria manis itu mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya cepat-cepat, “Maksud Thi gak selera makan sama Teta.” Ia menjawab, nadanya jutek.

Yang lebih tua lantas terkekeh pelan mendengarnya, ia pun kembali berucap, “Aku di sini kamu juga gak selera makan kah? Aku balik aja deh.” Ia bangkit dari tempatnya.

Namun belum ada selangkah ujung jas pria berkulit tan itu ditarik yang muda, Tay menoleh ke arah kekasihnya, sumpah demi apapun ia ingin sekali memasukkan pemuda manis ini ke dalam sakunya agar tak ada lagi yang bisa melihat ekspresi lucu ini, cukup Tay saja.

“Kok Thi ditinggal?”

“Tapi kamu gak selera makan kalau ada aku.”

“Duduk lagi yang. Aku cuma kesel aja tadi.”

Kekehan renyah kembali terdengar masuk ke dalam indera pendengarannya tanpa permisi, Tay kembali duduk di depan Thi, tak berhenti memandangi wajah lelakinya, satu-satunya manusia yang telah menguasai seluruh isi hatinya.

“Tetaa mau?” Ia menawarkan.

Tay menggeleng sebagai jawaban.

“Jadi kamu mau apa? Biar aku pesenin deh.” Si manis kembali bersuara.

“Kalau mulutnya penuh, jangan bicara, Thi.”

Cepat-cepat ia menelan makanannya, “Teta mau makan apa?”

“Aku udah kenyang.”

“Emang pas aku tinggal tadi kamu makannya habis?”

Pria berkulit tan itu menjawab bersamaan dengan ia menanggalkan jas hitamnya menyisakan kemeja putih tulang yang melekat di tubuh atletisnya, “Habislah, sayang banget buang-buang makanan.”

“Thi minta maaf karna ninggalin Teta sendiri.”

“Kamu bilangnya mau ke toilet tapi malah nyari tempat makan lain.”

“Maaf Teta, Thi jangan dimarahi.”

“Aku gak marah Mbul, makan dulu gih aku mau ngomong lagi setelah ini.”

Yang muda tampak berdecak kesal, “Ish jangan bikin aku deg-degan lagi tolong Om.”

Entah berapa kali ia terkekeh melihat tingkah menggemaskan kekasihnya.

“Jadi, Teta kapan pergi ke Medan-nya?”

•••

“Jadi, apalagi yang mau kamu omongin sama aku?” Thi bertanya setelah keduanya sama-sama sudah bersih-bersih, duduk di atas sofa apartemen yang muda, “Bentar-bentar, Teta pasti mau bikin Thi jantungan, tunggu dulu Thi mau ambil napas banyak-banyak.”

Tay tersenyum tipis melihatnya.

“Udah Ta, tapi masih deg-degan banget.”

“Aku bukan mau ngelamar kamu Mbul.” Tay berucap, langsung mendapatkan sebuah pukulan kesal dari yang muda.

“Gausah matahin harapan aku juga dong!”

Tawa yang tua langsung pecah setelahnya.

“Kamu ingat gak bahasan kita tentang rumah?”

Si manis mengangguk.

“Sejujurnya aku udah beli tanah beberapa minggu yang lalu.”

“Teta y-”

“Jangan dipotong dulu Thi.”

Lagi-lagi pemuda berkulit seputih salju itu mengangguk patuh.

“Gimana ya aku jelasinnya, tapi aku mau minta maaf dulu sama kamu karna udah nyolong kertas-kertas yang ada di laci kamu.” Tay berujar dengan kekehannya.

“Sejujurnya aku udah tau gambaran kamu tentang rumah yang kamu mau, dan aku sekarang lagi berusaha buat mewujudkannya.”

“Teta kok gitu? Tapi katanya rumah mau bagi dua? Kok malah jadi kamu aja yang keluar habis-habisan?”

“Aku kerja buat siapa lagi kalau bukan buat kamu?”

Yang muda menggeleng pelan, “Aku gak mau kayak gitu, kita harus habis sama-sama dong. Taa, uang tabungan aku ada kok.” Thi bersuara.

“Aku tau, tapi ini bukan tentang siapa yang keluarin uang paling banyak Thi. Aku beneran cuma pengen ngasih kebahagiaan sama kamu, secara percuma.”

“Jadi aku minta maaf sama Thi, karena udah ngambil keputusan secara sepihak tentang kita. Tapi, aku mohon banget sama kamu, perkara rumah dan isinya, biarin aku yang ngambil alih, ya?”

“Ta itu gak sedikit lho.”

“Aku tau sayang, ya? Boleh ya?”

Thi belum jua menjawab.

“Rumah itu bakalan kamu yang ngurus, kamu yang pilih mau gimana, tapi aku cuma mau kamu tinggal tunjuk aja. Mau ya Thi?”

Kedua iris kelabu itu menatap pasangannya dalam-dalam, tak juga memberi jawaban atas apa yang diucapkan kekasihnya. Ia tak lagi menahan-nahan air mata yang jatuh membasahi pipinya.

“Sini.” Tay menarik yang muda kedalam pelukannya, mengelus rambut kekasihnya, mengecup pucuk kepala pemuda berkulit seputih salju itu berulang-ulang.

“Teta tuh gak boleh kayak gitu.”

“Boleh.”

“Gak boleh.”

“Boleh yang.”

“Kamu tuh kenapa begini coba? Kalau misalnya kamu akhirnya bukan sama aku gimana?” Thi melerai pelukan mereka.

“Ya gak gimana-gimana.”

“Teta serius dong.”

“Ya gak gimana-gimana Thipoom, kalau endingnya kita gak bersama yaudah memang begitu takdirnya, aku udah mikirin ini jauh-jauh hari sampai tiba hari di mana aku memutuskan untuk begini.”

“Memutuskan untuk oke aku mau punya rumah dalam bentuk bangunan, ya misal rumahku sesungguhnya itu bukan kamu dan bangunan yang nantinya aku sebut rumah itu bukan rumah untuk aku berpulang tetap aja kan itu bangunan ada campur tangan kamu di dalamnya. Itu udah lebih dari cukup untuk aku.”

“Kalau kamu tanya kenapa aku yakin banget sama kamu, aku gak tau. Aku juga gak bisa menjanjikan masa depan kita bakal fix bersama, Thi.”

“Tapi balik ke awal, kita sama-sama mau berusaha kan.”

“Mbul, niat ku itu cuma mau bikin kamu happy. Karena udah cukup untuk kamu sedih-sedih selama ini.”

“Tugas kamu sekarang cukup fokus sama kuliah kamu, dan bahagia sama aku.”

•••

Beberapa menit setelahnya, usai ucapan panjang yang lebih tua, keduanya memutuskan untuk pindah ke kamar, Tay ingin tiduran, katanya.

“Masalah tanah, rumah dan isinya udah selesai ya Mbul.”

Yang muda mengangguk sembari menyamankan posisinya.

“Ntar pas nikahan gak ada cerita ya kamu semua lagi.” Thi bersuara dengan kedua mata sengaja dibuat sinis.

“Iya, kalau itu kita berdua.”

“Jadi Teta tiga belas hari di Medan? Gak kangen kah sama aku?”

Pria berkulit tan itu terkekeh untuk yang kesekian kalinya, mengusak rambut yang muda dengan pelan. “Kenapa bertanya kalau kamu aja udah tau jawabannya.”

“Mbul.”

“Saya?”

“Janji sama aku kalau kamu kenapa-napa jangan diem lagi.”

“Iya.”

“Liat aku dulu, jangan ngumpet di ketiak aku Thitipoom.”

Mendengar suara sang kekasih membuat si manis menatap lelakinya, “Janji jangan diem?”

“Iya Teta sayang.”

“Thi, gak mau ciuman?” Tay bertanya, belum ada lima detik setelahnya Thi langsung mengubah posisinya menjadi berada di atas yang tua.

“Mau dong.” Ia menjawab dengan begitu semangat.

“Yaudah ayo cium-”

Ucapan pria berkulit tan itu belum selesai betul, namun pemuda yang berada di atasnya sudah memangkas habis jarak yang tercipta diantara mereka, menyatukan bibir itu dengan pasangannya, memangut dengan begitu mesra.

Beberapa menit setelahnya yang tua mengubah posisi menjadi di atas sang kekasih bersamaan dengan usainya ciuman yang mereka lakukan, kedua pasang netra itu saling tatap dengan napas yang saling bersahut-sahutan.

“Aku sayang banget sama kamu, Thi.”

“Mau dilanjut?” Thi bertanya yang tentu saja Tay mengangguk cepat sebagai jawaban.

“Ada syaratnya?”

“Sekarang banget kamu pake syarat-syaratan begini?”

“Yaudah kalo gak mau kita tidur aj-”

“Apa Thi? Cepet kasih tau apa syaratnya.”

“Kan Teta udah ambil alih perkara rumah kita, jadi biarain Thi yang bawa kamu ke Santorini.”

Kedua mata Tay membelalak sempurna, “Gak bisa gitu dong!” Tentu saja ia protes.

“Yaudah kalau gak mau, kita tidur aja.”

•••

-Joya-

•••

Langkah kaki berbalut sepatu putih itu berhenti ketika netranya menangkap seseorang yang memang ingin dikunjunginya, sebuah helaan panjang terhembus secara perlahan, “Ibu.” Ia menyapa.

Wanita paruh baya berambut sebahu itu menoleh ke belakang, “Adek, kok tumben ke sini sore-sore.”

Pemuda berkulit putih bersih itu maju beberapa langkah dari tempatnya langsung memeluk sang Ibu yang tengah mematikan kompor.

Wanita paruh baya berwajah ayu itu tak lagi heran dengan anaknya, yang ia lakukan hanyalah membalas pelukan putra sematawayangnya dan mengelus rambut halus sang empu dengan sayang.

“Gak apa-apa, nak.”

Pemuda berkulit putih bersih lengkap dengan parasnya yang manis itu melepas pelukannya, lantas iris kelabunya menoleh ke arah meja makan, “Kok Ibu banyak banget masaknya?” Ia bertanya.

“Mau Ibu bagikan ke tetangga.”

“Thi bisa bantu apa, Bu?”

“Potong buah aja.”

Pemilik iris kelabu itu mengangguk patuh, tangannya dengan terampil mengupas dan memotong buah yang nantinya akan dijadikan salad. Kegiatan memotongnya terhenti sebentar tak kala ia kembali menoleh memandangi Ibunya yang tengah sibuk dengan sup di panci.

“Bu.” Ia memanggil.

“Hmm?” Dehaman wanita itu terdengar, bermaksud menjawab panggilan anaknya tanpa menoleh.

“Aku ini nyusahin Ibu ya?”

“Nyusahin gimana, Dek?”

Netranya masih setia menatap punggung wanita tersayangnya, “Aku sampe sekarang masih jadi tanggungan Ibu, masih belum bisa bilang Ibu kalo butuh apa-apa bilang ke Adek ya.”

“Thi, namanya juga kamu tuh anaknya Ibu. Ya sudah pasti jadi tanggungannya Ibu, perkara kamu belum bisa bilang begitu ya nanti juga ada saatnya.” Sang Ibu menjawab namun masih jua belum mau membalikkan tubuhnya, menatap anak sematawayangnya.

“Maafin Thi ya, Bu.”

“Maafin Thi yang belum sukses, belum bisa jadi orang yang Ibu banggakan, belum bisa kasih Ibu apa-apa.”

Seulas senyuman tipis ditampilkan, wanita itu melepas apron yang melekat di tubuhnya, memandangi sang anak yang tengah memotong buah-buahan, ia melangkah mendekat, mengelus rambut Thitipoom berulang kali.

“Kamu itu satu-satunya hal yang paling berarti yang Ibu punya, Ibu gak butuh apa-apa dari kamu selain diri kamu. Nak, saat kamu ada di perut Ibu, Ibu sama sekali gak menaruh ekspektasi apa-apa terhadap kamu.”

“Tapi Thi masih minta uang saku sama Ibu di saat anak-anak yang lain udah bisa ngasih buat Ibunya.”

“Nanti, akan ada saatnya kamu seperti anak-anak yang lain. Thi harus tau kalo Tuhan udah mau ngerubah derajat seseorang itu gampang, kayak ngebalikin telapak tangan. Dan pikiran-pikiran buruk yang ada di kepala kamu itu belum tentu kejadian.”

“Thi minta maaf ya sama Ibu.”

“Ibu mau bilang makasih sama kamu, makasih udah jadi anak Ibu.”

“Adek mau peluk.” Suara dari pemuda berkulit putih itu terdengar, membuat wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya terkekeh dan langsung merentangkan tangannya lebar-lebar.

“Maafin Adek, Ibu.”

Iya, perasaan kamu saat ini wajar kok. Gak ada yang salah, tapi jangan bikin itu jadi penghambat mimpi kamu.”

“Adek harus tau kalo Ibu akan jadi orang nomor satu yang berdiri di belakang buat support kamu terus.”

“Aku gak mau nangis lagi, Ibu jangan ngomong.” Thi membalas.

Wanita paruh baya itu melepas pelukannya dari sang anak, “Adek bilang gak mau nangis lagi kan?”

Thi mengangguk.

“Kalau gitu lanjutin potong buahnya, lihat tuh si Kookiee ngeliatin kamu nangis dari tadi.”

Pemilik iris kelabu itu menoleh ke samping, menatap kucing milik Ibunya yang tengah berdiam diri di depan lemari pendengin sambil memandanginya. Thi membesarkan kedua matanya, “Kucing jelek.”

“Jangan dimarahi adeknya Thi, nanti dia nangis lho.”

“Ibu! Adek aku bukan kucing.”

Sang Ibu tak menggubris protesan anaknya.

“Kookiee minggu depan ulang tahun, Ibu rencana mau bikin syukuran. Nanti kamu temenin Ibu belanja ya.”

Thi menggaruk kepalanya frustasi, kalau soal Kookie, dirinya sudah pasti kalah telak.

“Ibu lebih sedih Kookiee minggat dari rumah atau aku yang minggat dari rumah?”

“Potong yang bener buahnya Dek.”

“Ibu jawab dulu!”

“Hush, gak boleh iri-irian sama adek kamu.”

“Ibu aku gak punya ade-”

“Tawan, kok gak bilang Ibu mau mampir?”

Thi menoleh ke kiri, menatap lelaki berparas tampan dengan senyum yang sedang ia tampilkan, “Tadi habis dari apartemennya Thi, tapi kosong Bu.”

“Tuh pacar kamu lagi cemburu sama adeknya sendiri.” Sang Ibu menjawab.

Thi kembali merengek, “Thi gak punya adek!”

Wanita berambut sebahu itu kembali mengalihkan perhatiannya pada panci-panci yang berada di atas kompor, sementara Tay mulai berjalan mendekati kekasihnya, mengusak rambut lelakinya dengan pelan, mengelus pipi halus pacarnya.

Tubuhnya menunduk dengan iris hitam pekat yang mulai menelisik wajah manis sang empu, “Habis nangis ya?”

Tepat sasaran!

“Enggak.” Tentu saja Thi mengelak.

“Enggak salah lagi.” Ibunya menambahi dengan kekehan renyah.

•••

“Masih gak mau ngasih tau aku nih nangis kenapa?” Yang tua kembali bertanya dan lagi-lagi mendapat gelengan kepala sebagai jawaban.

“Tetaa kenapa nyariin aku sampe kerumah Ibu?”

“Aku bahkan udah nemuin Gun buat nanya kamu di mana.”

“Tetaa, makasih ya.”

“Pasti lagi mikirin yang bikin sakit kepala.”

Thi mendengus, Tay benar lagi.

Yang lebih tua menepikan mini coopernya, menoleh ke kiri dan menatap kekasihnya dalam-dalam. “Siapa?”

“Siapa apanya Ta?”

“Siapa orang rese yang kamu temuin hari ini?”

Kedua telapak tangan yang muda mengusap wajahnya dengan kasar, “Kok kamu tau selalu sih Taa.”

“Masih kepikiran? Masih butuh temen cerita? Mau dibagi sama pacarnya kah?”

Si manis menggelengkan kepalanya, “Udah enggak, tadi aku udah cerita ke Ibu.”

“Thi, kalau butuh teman cerita, teman berbagi duka, atau apapun itu, kamu bisa lari ke aku.”

“Tadi Teta lagi kerja, Thi gak mau ganggu.” Balas si manis.

Kedua telapak tangan yang lebih tua menangkup sisi-sisi wajah kekasihnya, “Aku akan selalu mendukung apapun yang mau kamu lakuin, buang pikiran buruknya sedikit-sedikit, oke?”

“Makasih Teta, makasih udah jadi pacar aku yang paling baik sedunia.”

Tay terkekeh mendengarnya.

“Mau makan es-krim gak?” Yang tua menawarkan.

“Tumben banget? Ini es-krim lho Teta?”

“Sesekali gak apa-apa Thi. Mau?”

Senyum si manis mengembang sempurna bersamaan anggukan kepala yang ia berikan, “Gak akan nolak.”

“Thi mau makan es-krim yang di mana?”

“Baskin robbins.”

“Oke, tapi....” Tay sengaja menggantungkan ucapannya hingga kedua alis yang muda naik turun, “Tapi apa Teta?”

“Mau cium, boleh?

•••

-Joya-

•••

Sebuah pintu apartemen itu terbuka menampilkan pemiliknya, netra kedua anak manusia itu bertemu untuk beberapa waktu, ia memusatkan segala perhatiannya pada lelaki yang berada di depannya, lelaki yang berdiri berhadapan dengannya. Hingga jatuhnya air mata tanpa permisi sama sekali, keduanya masih bungkam, masih sama-sama menutup mulut rapat-rapat, terlalu banyak hal yang ada di kepala namun tak jua terucap.

Pria dengan kaos berwarna hitam yang melekat di tubuhnya itu maju selangkah bersamaan dengan terulurnya tangan kanan untuk menyerka air mata kekasihnya dengan begitu lembut.

“Tetaa, Thi minta maaf.”

“Masuk dulu, ayo.”

Setelah ajakan yang keluar dari mulut Tay, keduanya melangkah masuk kedalam apartemen pria berkulit tan, pintu bercat cokelat itu kembali tertutup rapat, sepasang sneakers sang empu berhenti melangkah.

Tay menoleh kebelakang, menatap pemuda berwajah manis yang masih diam di tempatnya, “Kamu masih takut sama aku?” Ia bertanya, nadanya lembut sekali hingga sebuah gelengan kepala Thi berikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan kekasihnya.

“Kenapa diem di sana? Sini Thi.”

Yang muda melangkah maju mendekati kekasihnya, duduk di atas sofa sebelah Tay tawan, “Kamu mau pergi kemana?” Ia bertanya.

“Pulang kampung, Thi.”

Thi mengangguk dua kali bertanda mengerti, kesepuluh jemarinya saling meremat satu sama lain, perlahan menoleh kearah sang kekasih, menatap iris hitam pekat yang tertuju padanya.

“Kalau gitu bahasnya tunggu kamu pulang aja, aku mau pamit pul-”

“Aku ada waktu kok untuk kamu.” Potong yang lebih tua.

Yang muda terdiam mendengarnya.

“Thi mau ngomong apa?”

“Mau minta maaf sama kamu, minta maaf karena udah memaksakan kehendak aku sama kamu, minta maaf jika perkataan atau tindakan aku yang bikin kamu kesal, capek, dan marah sama aku.”

“Minta maaf karena sifat Thi masih kayak anak-anak.”

“Tetaa masih capek ya sama aku?”

“Udah enggak.” Tay menjawab.

Yang muda mengerjapkan kedua matanya beberapa kali setelah mendengar jawaban dari Tay tawan, hingga sebuah kekehan ringan terdengar.

“Teta udah gak marah?”

“Aku gak marah, berapa kali aku bilang aku gak marah sama kamu?”

“Tapi nada bicara kamu kemarin berubah, aku takut.”

Pria berkulit tan itu bergerak mendekati lelakinya, mengelus pipi kiri sang kekasih dengan begitu lembut, “Aku khawatir akan kamu.” Tay berujar.

“Teta aku minta maaf, aku janji gak bakal nyusahin kamu lagi, aku janji gak bakal minta-minta sama kamu la-”

“Kalo itu aku gak setuju, kalau bukan sama minta sama aku kamu minta sama siapa? Dan aku gak pernah ngerasa kamu nyusahin aku.” Potong yang lebih tua.

“Thi, aku ini sekarang kerja ya buat kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang aku perjuangkan? Makanya dari itu aku minta sama kamu, tolong tetap sama aku.”

“Thi minta maaf.”

“Kasian banget yang kemarin nangis gak di peluk,” Pria berkulit tan itu merentangkan kedua tangannya, setelahnya ia kembali berucap, “Sini, sayang.”

Tak lagi butuh pertimbangan apapun untuk menerima pelukan hangat yang hanya ia dapatkan dari lelakinya, tawaran yang diberikan sang kekasih langsung dia terima, masuk kedalam dekapan hangat yang lebih tua.

Senyum yang muda benar-benar mengembang sempurna, tak lagi ditahan-tahan, Tay mengeratkan pelukannya pada tubuh yang muda, mengecup puncuk kepala kekasihnya berulang-ulang.

“Teta, aku gak mau kita ada jarak.” Pemuda berkulit seputih susu yang tengah menyandarkan kepalanya di dada orang terkasihnya itu berucap begitu pelan.

“Emang udah gak butuh lagi Mbul.”

“Aku sayang banget sama Tetaa” Yang muda berucap dengan suara begetar menahan tangisnya, ia mengecup kedua pipi kekasihnya lalu berbisik tepat di bagian telinga yang lebih tua, “Aku sayang banget sama kamu, Tawan.”

“Tetap sama aku ya Thi.”

Lantas saja yang muda mengangguk sebagai jawaban, “Sekarang aku benar-benar minta sama Semesta, jika ia memang mengizinkan kita bersama walau tak selamanya, hingga akhir dimana kita di hadapkan sama kematian, aku memohon supaya kamu saja yang pergi terlebih dahulu. Taa, aku tau akan ketakutan kamu di tinggalkan, jadi biarkan aku merayu semesta tentang ini.”

“Kok jadi kamu yang nangis.” Si manis teresenyum tipis sembari mengusap air mata yang membasahi pipi kekasihnya.

“Kenapa bisa kepikiran sampe kesana sih Thi?”

“Ya kalau kamu yang pergi deluan, kamu gak akan merasakan kesedihan.”

“Tapi tenang aja, sedih itu gak lama kok, aku juga gak akan pernah ngerasa kehilangan. Karena aku tau, kamu di sana sedang menunggu aku.” Thi menjawab.

Pemilik netra hitam pekat itu hanya bisa tersenyum, tak mampu menjawab apa-apa yang diucapkan lelakinya, pemikiran Thi barusan benar-benar tak pernah ada di kepala yang tua, hingga semua perasaan tak enak beberapa hari yang lalu langsung hilang entah kemana, yang Tay tau sekarang adalah ia dan Thitipoom masih tetap berjuang sama-sama, membuktikan pada semesta kalau mereka memang pantas berdua.

“Aku minta maaf ya Taa.”

“Aku juga minta maaf, Thi.”

•••

“Kamu gak jadi pulang kampung?”

Tay yang tengah menenggak minuman sodanya lantas mengangguk, “Jadi kok.” Jawabnya.

“Tapi kenapa sampe sekarang masih di sini?”

“Masih ada kamu, lagi makan pula.”

“Oh kalau gitu selesai ini aku bisa langsung pulang kok Taa, atau gak kamu pergi aja gak apa-apa ntar aku langsung pulang ke Ibu.” Pemuda berkulit seputih salju itu kelabakan sendiri dengan sepiring nasi beserta lauk-pauk yang berada di piringnya.

“Makan pelan-pelan yang, gak ada yang ngejar kamu.” Tay berucap.

Dengan mulut menggembung penuh yang muda menjawab, “Kalau aku lama kamu makin lama pulangnya.”

“Lagian ini masih malam sabtu Mbul, pelan-pelan aja makannya.” Tangan kanan pria berkulit tan itu menepuk kepala sang kekasih dengan begitu pelan, “Lagian aku juga berubah pikiran.”

“Maksud Tetaa?”

“Subuh aja deh berangkat pulangnya.”

“Kok gitu.”

Thi bangkit dari duduknya, berjalan mencuci piring kotor, membuat yang lebih tua membuntuti kemana kekasihnya pergi, “Karena aku mau sama kamu malam ini.” Tay berbisik tepat di telinga Thi.

“Thi juga mau sama Tetaa.” Yang muda menjawab dengan begitu santai.

Ia melangkah mendekati kekasihnya yang tengah bersandar di lemari pendingin, mempertemukan kedua ujung sendalnya dengan sendal yang dikenakan kekasihnya. Menatap iris hitam pekat itu dalam-dalam lengkap dengan seulas senyum paling manis yang ia punya.

“Jangan senyum centil, gembul.”

Thi tak mendengar peringatan yang diberikan yang lebih tua, “Teta mau gak janji sama aku.”

“Janji apa?”

“Jangan minta ada jarak lagi, dua kali aja Thi rasa udah cukup. Taa, pas kamu minta jarak aku benar-benar gak tau mau pulang kemana lagi kalau bukan ke-kamu.”

“Kadang jarak itu perlu lho, Cantik.”

“Tapi selalu kamu yang minta ada jarak, giliran aku gak boleh.”

“Kalau kamu minta putus, Mbul.” Balas yang tua lengkap dengan sentilan di dahi Thi ia berikan.

“Maaf ya udah buat kamu jadi takut sama aku.”

“Thi juga minta maaf banget sama Tetaa karena udah maksa-maksa.”

Keduanya saling melempar senyum, yang lebih muda semakin medekati pujaan hatinya, mengalungkan kedua tagannya di tengkuk sang kekasih, menyatukan bibirnya dengan pasangannya.

Tay lantas tersenyum manis bersamaan dengan tertutupnya kedua kelopak mata, menerima segala perlakuan Thi terhadap dirinya, tangan kanan yang tua mengelus pinggang ramping pemilik netra kelabu itu,

Deru napas keduanya memburu saat tautan bibir itu terputus, membiarkan kedua dahi yang saling bersinggungan, “Aku sayang sama Teta.” lirih yang muda.

“Aku tau dan aku juga begitu.”

Kedua tangan pria berkulit tan itu menangkup sisi-sisi wajah si manis, mengecup seluruh wajah kekasih cantiknya, “Masih mau ke pasar malam?”

“Enggak, Thi gak mau minta yang bikin kamu marah.”

“Kalau sekarang aku menawarkan, mau ya?” Balas Tay.

“Yaudah kalo maksa.”

Tay terkekeh, “Jadi, mau kan?”

“Ya kalo Teta maksa-maksa terus aku mana bisa bilang enggak.”

“Iya atau enggak?”

“Iya Taa.”

Senyum pria beriris hitam pekat itu kembali mengembang sempurna menghiasi wajah tampannya, “Kalau begitu, habis subuh kita ke rumah kamu buat ngambil baju kam-”

“Buat apa?”

“Ke pasar malam?”

Dahi yang muda berkerut bertanda ia bingung, “Ngapain ke pasar malam bawa baju?”

“Kamu gak nanya pasar malamnya dimana?”

“Emang dimana?”

“Kampung aku.”

“Kamu jangan bercanda!”

Tay mengangguk dua kali, “Aku gak bercanda,” netranya menoleh ke jam yang melingkar apik di tangan kiri, “Thi.”

“Saya.”

“Masih ada waktu kamu tidur dua jam sebelum subuh.”

“Kok dua jam ini masih jam sebelas?”

Kedua tangan pria berkulit tan itu melingkar di pinggang sang kekasih, seulas senyum paling manis ia berikan pada Thitipoom-nya, “Aku kangen.”

“Aku juga.”

“Boleh?”

•••

-Joya-

•••

Suara gelak tawa sayup-sayup masuk ke dalam indera pendengarannya, sepasang iris hitam pekat itu menghembuskan napas panjang, setelahnya mengetuk pintu kamar bercat putih gading di depannya beberapa kali hingga sang empu membukanya, menampilkan seseorang yang begitu ia sayangi.

Ekspresi bahagia itu perlahan terganti, wajah datarnya langsung terpampang nyata di hadapan Tay tawan. Yang tua memberikan senyum tipis pada kekasih hatinya, “Malam, Thi.” Ia membuka suara.

Pemuda berkulit putih bersih itu melangkah maju sembari menutup pintu kamarnya, meninggalkan Gun sendirian di dalam sana, menarik sang kekasih untuk menuruni anak tangga dan membawanya keluar rumah.

Sepasang anak manusia itu saling tatap tanpa kata yang terucap, membiarkan angin malam yang menerpa kedua wajah, saling berhadapan di teras depan rumah si manis.

“Di rumah lagi ada Gun, dan ada Ibu juga. Thi gak mau kita berantem di sini Tetaa pulang aja.” Yang muda berucap, memutar tubuhnya dan untuk melangkah masuk kembali kedalam rumah, berniat untuk meninggalkan mataharinya.

“Aku kesini bukan ngajak kamu buat berantem.”

Si manis berhenti.

Nada bicara Tay berubah, tak lagi lembut, tak lagi menahannya agar tak pergi kemana-mana, pria itu jua tak berniat untuk menatap netra pasangannya.

“Kalau memang masih mau ada kita, aku tunggu di dalam mobil.”

•••

Mini cooper yang tengah di kendarai pria berkulit tan itu melaju membelah jalanan lengang di waktu dini hari, keduanya benar-benar senyap, tak ada yang berniat membuka suara untuk meredam kesepian yang tercipta.

Rasa ingin bertanya bagaimana kabar hari ini sudah pasti ada, namun tak kunjung terucap. Sepasang iris kelabu sang empu menatap lurus kedepan dengan kedua tangannya saling bertautan. Pun dengan ia yang tak kunjung bertanya pada kekasihnya akan di bawa kemana.

Kendaraan roda empat itu berhenti di depan taman komplek tempat di mana ia menyatakan perasaannya pada orang yang berada di sampingnya dua tahun silam, dan juga tempat di mana yang lebih tua meminta mereka untuk punya jarak beberapa waktu, pemuda berkulit seputih salju itu menghela napas panjang bersamaan dengan kejadian lampau yang kembali hadir di kepalanya.

“Teta kalau mau ngajak kita bakal punya jarak lagi gausah pake ke sini segala.” Si manis akhirnya berucap setelah kesunyian menyelimuti keduanya.

“Tetaa capek ya sama Thi?”

“Untuk sekarang iya.” Yang tua menjawab, jujur.

Si manis menganggukkan kepalanya dua kali, mulai menoleh ke kanan, memberanikan dirinya untuk menatap iris hitam pekat yang juga menatapnya, memusatkan fokusnya pada pria berkulit tan itu.

“Thi minta maaf, maaf udah ngebuat Tetaa capek sama aku. Maaf karena banyak nuntut sama kamu.”

Kedua iris kelabu itu berkaca-kaca, sangat jelas jika yang muda menahan air matanya agar tak terjatuh tanpa di suruh, “Tetaa mau aku nyetujuin lagi buat ada jarak di antara kita? Atau Teta memang mau kita selesai?”

“Emang aku ada bilang kalau aku mau kita ada jarak? Emang aku ada bilang kalau kita lebih baik selesai?” Tay balik bertanya.

“Karena kamu selalu bawa aku ke sini kalau kita ada apa-apa.”

Tangan kanan Tay perlahan terulur untuk menyerka air mata yang masih setia tergenang di pelupuk mata yang empu, “Aku mau ngajak bicara, bukan mau buat kamu nangis.” Ia berucap setelahnya.

“Aku takut sama nada bicara kamu yang sekarang.”

Pria berkuit tan itu tak menyahut.

“Thi, jujur aku seneng kamu selalu lari ke aku tentang apapun itu. Aku gak pernah merasa kalau kamu memberatkan aku, tapi aku juga manusia sama kayak kamu, aku bisa capek, marah, sedih, pun dengan bahagia.”

“Saat ini aku capek, iya aku capek, tapi aku gak butuh jarak diantara kita berdua.” Sambung Tay tawan.

“Kamu gak tau ya kenapa aku ngelarang kamu untuk pergi keluar rumah beberapa hari yang lalu? Karena aku khawatir akan kamu. Aku benar-benar gak mau terjadi apa-apa sama kamu Thi.”

“Coba deh aku tanya satu hal sama kamu, pernah gak aku ngelarang apa yang kamu mau dalam konteks gak membahayakan kamu?”

Si manis lantas menggeleng, kepalanya menunduk karena ia tak punya lagi keberanian untuk menatap sepasang iris hitam itu.

“Aku terlalu berlebihan atas kamu ya, Thi?”

“Kalau memang aku terlalu berlebihan sebelumnya, aku minta maaf. Sekarang boleh aku tau kamu mau kita itu bagaimana? Kamu mau aku perlakuin kamu seperti apa? Biar kita gak lagi sama-sama bertengkar.”

Jari telunjuk Tay yang berada di bawah dagu si manis bergerak naik, mempertemukan iris kelabu itu pada pasangannya, menatap mata sembab itu dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

“Atau Thi gak lagi mau di larang? kalau itu yang kamu mau, aku gak bakal lagi ngelarang apapun yang bakal kamu lakuin, mau itu baik atau buruk, aku bebasin, sesukanya kamu.

“Thi mau aku yang gimana?”

Beberapa pertanyaan yang dilontarkan Tay tawan tak kunjung mendapatkan jawaban, Yang muda menutup mulutnya rapat-rapat.

“Aku bilang kan mau ngajak kamu ngobrol, bukan ngajak kamu buat nangis, Thi.”

“Tapi Teta marahin aku.”

“Aku gak marahin kamu.” Bantah yang tua.

“Kamu iya! Kamu sama kayak Ayah, kamu suka marah.”

“Tetaa gak pernah tau gimana takutnya aku ngeliat kamu marah, ngeliat orang-orang di sekelilingku marah, yang kamu tau aku tuh cengeng.”

“Alasan kenapa aku selalu ngulur waktu ketika kita dalam keadaan gak baik-baik aja karena aku gak mau ngeliat kamu meledak saat itu juga, aku takut Taa.”

“Aku sadar aku salah, aku benar-benar minta maaf sama Teta.”

“Aku gak masalah kamu mau gimana ke aku, aku masih mau kamu larang, masih mau kamu kasih tau mana yang baik dan buruk buat aku, aku masih dan akan selalu mau perhatian kamu. Aku sayang kamu selalu, Tawan.”

Kedua tangan yang muda menyerka air matanya, menatap sang kekasih yang kini bungkam, “Aku mau pulang.”

“Tanpa nyelesain masalah?”

“Kamu bisa datang lagi kalau kepalanya udah dingin. Karena kalau boleh jujur aku benar-benar takut sama Teta yang sekarang.”

•••

-Joya-

•••

Tangan kanan sang empu bergerak melepas kacamata yang dikenakannya, langkahnya berhenti di depan kursi panjang yang berada di luar ruang rawat inap sang kekasih.

“Mirip kodok.” Off jumpol membuka suara, berusaha mencairkan suasana agar tak membahas kejadian satu jam yang lalu.

“Ntar dia cepu tabungan lu kenapa-napa ege.” Arm bersuara.

“Ntar lo nangis kejer kalo anak lo nikah sama orang lain Jum.” Alice menambahi.

“Gun pacar gue anjir, ngehe lu semua.”

Tay terkekeh pelan menyaksikan perdebatan tak punya ujung ketiga temannya, “Makasih ye, lu bertiga pulang sono.”

“Buset harus banget begini cara ngusirnya?”

“Buat lu sama Arm begitu, kalo buat Alice beda.” Tay menjawab.

“Kalo buat gue gimana Wan?”

“Pulang gih Nyai, tuh ada Arm yang mupeng nganterin elu.”

•••

Sepuluh menit setelah semuanya pulang meninggalkan ia bersama Thitipoom-nya berdua, yang dilakukan Tay tawan sedari tadi hanyalah berdiam diri menatap kekasihnya tertidur pulas.

Sesekali mengamati pergerakan perut Thi lalu beralih lagi menatap wajah damai kakasihnya, orang yang punya kuasa tertinggi di hatinya, orang yang namanya selalu ada dalam doa agar tak pergi kemana-mana, agar tidak meninggalkannya.

Karena demi apapun, Tay tak akan pernah sanggup untuk kehilangan lagi.

Tangan kanannya menarik kursi besi yang berada tak jauh darinya langsung mendaratkan bokongnya di sana. Sepasang netra hitam pekat itu tak kunjung mengalihkan perhatian dari yang muda, tangan kirinya perlahan terulur menyerka titik-titik keringat di dahi si manis, menyingkirkan poni panjang sang empu agar tak mengganggu lelapnya.

“Lekas sembuh, kamu mau jalan-jalan kan.” Tay berujar begitu pelan.

“Kamu mau apa aja aku turutin semuanya, asal sembuh ya, sayang.”

Kilas balik memori masa lalu berputar terus-menerus di kepala bak kaset rusak, air matanya kembali jatuh tanpa permisi membasahi kedua pipi, ketakutannya hadir kembali, genggaman pada tangan si manis mengerat seakan sang kekasih akan pergi jika tak ia pegangi.

Selepas kepergian sang Ibu, Tay tawan memang selalu begini jika orang terdekatnya sedang jauh dari kata baik-baik saja, kekhawatiran berlebihannya akan kehilangan terus membelenggu dirinya.

Karena sejatinya tak pernah ada manusia yang baik-baik saja jika dihadapkan dengan kehilangan.

Kepalanya menengadah ketika sebuah ibu jari mengelus punggung tanggannya dengan gerakan begitu halus, Tay menampilkan senyum manis pada kekasihnya.

“Tidur lagi.” Tay berujar.

“Teta aku gak apa-apa, aku gak bakal pergi kemana-mana.” Si manis angkat suara.

“Sebelumnya Ibu juga bilang gitu, Thi.” Tay kembali menjawab.

Yang muda tersenyum tipis, Tay emang acap kali seperti ini dan dia juga memaklumi, tangan kiri pemuda beriris kelabu itu perlahan mengelus rambut halus lelakinya dengan perasaan sayang mendominasi, berniat menenangkan kegelisahan Tay tawan.

“Sini tidur di samping aku.”

“Kamu tidur aja, biar besok bisa pulang.”

“Teta juga harus peduliin diri kamu, tubuhnya capek kan. Sini tidur sama aku.”

“Thi-”

“Teta jangan ngajak berdebat, kepala Thi pusing.”

Yang lebih muda menghela napas panjang, lalu mengalah. Ia bangkit dari tempatnya dan langsung menuruti keinginan kekasih hatinya, membekap tubuh ramping si manis, mengecup kepala sang empu beberapa kali, lengkap dengan mengelus punggung Thitipoom-nya.

“Kalo gini besok aku sembuh deh kayaknya.” Si manis berujar.

“Ntar habis sembuh siap-siap aku mau ngomong.”

“Yang tepatnya, kamu mau marahin aku.” Thi menjawab.

Thi tertawa renyah saat Tay mencium kedua pipinya secara bergantian, seseorang yang di tunggu kehdirannya sudah berada di sampingnya, membekap tubuhnya secara lengkap, hal-hal yang hilang beberapa hari ini sudah pulang.

“Thi kangen banget sama kamu.”

Tay semakin mengeratkan pelukannya, tak henti-henti menghadiahkan kecupan di seluruh wajah si manis, “Dulu, sebelum hati kamu atas nama aku, setiap malam aku minta tolong sama semesta agar meng-iyakan jika aku sama kamu pantas untuk punya cerita.”

“Sekarang, aku sedang merayunya, agar semesta berbaik hati sama manusia bernama Tay tawan.”

“Teta ngerayu apa?”

“Merayu semesta agar kita bisa punya waktu lebih lama berdua, agar kita bisa punya kenangan lebih banyak bersama.”

Yang muda menengadahkan kepalanya sembari tersenyum manis, hingga suara Tay kembali terdengar “Jangan senyum centil Mbul, kamu lagi sakit.”

Thi kembali tersenyum lalu memajukan bibir merah mudanya beberapa senti, “Bibirnya Thi mau ketemu sama pasangannya.”

“Tidur.”

“Ketemuin dulu bibirnya aku sama pasangannya.”

“Besok, sekarang ayo tidur.”

“Tetaa jangan pelit, ayo cium aku sekarang juga.”

Sepasang iris hitam pekat itu menatap kekasihnya dalam-dalam, hingga beberapa menit setelahnya ia mulai memajukan wajahnya, mengikis habis jarak diantara mereka, mempertemukan bibir masing-masing dengan pemiliknya, dengan pasangannya.

Pria berkulit tan itu melepas pagutan keduanya terlebih dahulu, menikmati sepasang hidung mancung yang saling beradu tanpa malu-malu, saling melempar senyum manis untuk satu sama lain, menikmati moment ini berdua, melupakan jika di bumi bukan hanya ada mereka saja.

“Kalau dulu aku bilang ke kamu, mau ya aku perjuangin kalau sekarang udah beda lagi Thi.”

“Kalau sekarang, Thi mau ya nikah sama aku hahaha.”

“Bukan,” Yang tua menjawab bersamaan dengan menyentil dahi si manis.

“Jadi kamu gak mau nikahin aku? Yaudah aku aja yang nikahin Teta.”

“Itu nanti, untuk sekarang ak-”

“Sekarang apa Ta?”

“Mau ya berjuang bareng-bareng?”

Thi tersenyum manis sekali, sejenak melupakan jika kepalanya terasa berputar, “Teta lupa?”

“Lupa apa Mbul?”

“Kalau Teta selalu jadi perjuangan yang amat sangat aku suka.”

Yang tua terkekeh pelan, “Gausah ngegombal kamu kucing.”

“Karena kalau bukan Teta, kalau bukan kamu, aku gak mau.”

•••

-Joya-

•••

“Santai aja anjir, ntar lo jatoh kan gak lucu.”

Ucapan dari pria berkulit putih lengkap dengan mata sipit memikat hati itu bagai angin lalu, yang diberi peringatan malah semakin mempercepat langkahnya, tak mempedulikan lagi ketiga teman sejawatnya terus mengomel sepanjang jalan.

Gagang pintu bercat putih tulang itu sudah ia pegang erat, perlahan mendorongnya lebar-lebar dan pandangan pertama menarik seluruh pusat perhatiannya adalah pria manis dengan poni rapi menutupi dahi yang tengah berbaring dengan mata tertutup rapat menyembunyikan iris kelabu paling indah miliknya.

Derap langkah itu terasa begitu nyata ketika pintu tertutup dengan sendirinya menyisakan ia dan sang kekasih saja, deru napas tak teratur yang lebih tua semakin menggila ketika jarak ia dan lelakinya semakin dekat, Tay diam.

Dia masih diam hingga kedua kelopak mata itu terbuka—memamerkan iris kelabunya, kelima jemari putih bersih itu meraih tangan kiri kekasihnya, sebuah senyum tipis ia berikan setelahnya.

“Teta.”

Suara yang begitu ia rindukan sayup-sayup masuk kedalam indera pendengarnya, suara lirihan sang kekasih hatinya, elusan dari ibu jari Thi di punggung tangannya begitu terasa namun ia belum jua mau merespon apa-apa.

“Teta.”

Suara Thitipoom kembali terdengar.

Yang muda berusaha mengubah posisinya menjadi duduk, ia pikir Tay akan membantunya namun nyatanya tidak, pria itu masih diam di tempat dengan sepasang netra yang terus memandang lawannya dalam diam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tay bergerak, menarik yang muda kedalam sebuah pelukan menghapus kerinduan, ia masih bungkam dengan kesepuluh jemari bergerak secara konstan mengelus tubuh pemuda pemilik iris kelabu itu.

“Teta gak mau ngomong ya sama Thi?”

Yang ditanya masih saja menutup mulut rapat-rapat, Thi perlahan bergerak menjauh dari jangkauan kekasihnya, namun kalah cepat dengan gerakan Tay yang malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh si manis.

“Gak bisa napas.” Usai suara serak Thi terdengar, barulah yang tua melonggarkan pelukannya.

Kedua tangan pria berkulit tan itu perlahan menjangkau sisi-sisi wajah Thi, menatap iris kelabu itu, lagi. Bebarapa detik setelahnya sebuah kecupan di dahi ia berikan bersamaan dengan jatuhnya air mata membasahi pipi yang lebih tua.

“Kamu kenapa nangis?” Si manis kembali bersuara.

“Kenapa gak bilang?”

Kini Thi bungkam, setelah mendengar pertanyaan dari Tay tawan, jantungnya mencelos karena nada dari sang kekasih terdengar begitu datar.

“Thi.”

“Teta masih kerja, aku gak mau bikin kamu khawatir.” Thi menjawab.

“Kenapa selalu gini sih Thi? Kenapa selalu diam?”

perlahan yang muda mengelus punggung tangan lelaki tan yang masih setia berada di kedua sisi wajahnya, ia mengulas senyum tipis lalu kembali menjawab, “Emangnya kalo aku bilang kamu bakal pulang?”

“Iya.”

“Itu yang bikin aku diam. Ta, dunia kamu gak selalu tentang aku.”

“Dunia aku memang gak selalu tentang kamu tapi kamu hal terpenting yang ada di dunia aku.” Balas yang lebih tua secara lugas.

“Aku gak apa-apa Ta.”

“Gak apa-apa tapi suhu tubuhnya sepanas ini?”

“Udah mendingan kok dari yang kemarin, cuma agak pusing aja.” Jawab Thi.

“Kamu udah janji lho yang kalau ada apa-apa bilang ke aku.” Ujar pria berkulit tan dengan kedua ibu jari yang terus bergerak begitu lembut di pipi si manis.

“Iya ini kan bukan apa-apa.”

“Thi jangan ngejawab.”

Layaknya anak yang sedang di marahi Ibunya, Thi tak lagi berani menjawab ucapan Tay tawan. Ia benar-benar menurut, memberikan sebuah anggukan patuh dengan mulut tertutup rapat-rapat.

“Jangan bikin aku gak bisa marah.” Tay berucap.

Thi masih bungkam, mengulang kembali gerakan seperti tadi, mengangguk dua kali.

Mirip anak kucing pacar gue.

“Aku mau marahin kamu, jadi, tolong berhenti bertingkah lucu.” Yang tua kembali berucap.

“Ta kok aku salah mulu? Padahal aku diem aja, udah nurut apa kata kamu juga.”

Tay menghela napas panjang, kembali menatap sang pemilik iris kelabu yang menjadi candu, dengan ini ia menyatakan kalah pada pesona kekasih hatinya, maka dari itu beberapa kecupan ia berikan di wajah Thitipoom-nya.

“Aku takut banget kamu kenapa-napa.” Tay berujar pelan.

“Aku gak apa-apa, Teta.”

“Aku benci banget setiap kata gak apa-apa keluar dari mulut kamu.”

•••

“Pulang lo!”

Tay melirik sinis wanita berparas ayu yang berada di samping brankar, tak mempedulikan ucapan kakak perempuannya ia semakin mengeratkan pelukannya pada sang kekasih, sejak setengah jam yang lalu pria berkulit tan itu memang tak mau jauh dari Thitipoom-nya, Tay bahkan tanpa disuruh sudah berbaring bersama si manis di ranjang rumah sakit.

“Mas Rendra liat nih adek lo.” Adu wanita bernama Muk pada kakak tertuanya yang tengah duduk santai memakan sebuah apel di sofa sudut ruangan bersama sang istri.

“Tay pulang dulu gih.” Rendra berujar.

“Aku di sini aja Mas, gak ada yang jagain Thi. Ibunya baru aja aku suruh pulang buat istirahat di rumah.”

“Lo tuh gue suruh pulang buat bersih-bersih Tawan.” Muk kembali bersuara.

“Gue gak kotor, ngapain bersih-bersih? Lo kalo mau nyari ribut ntaran aja deh Mba, pacar gue mau tidur nih. Iyakan Mbul?” Pria berkulit tan itu mengalihkan perhatiannya dari sang kakak, menatap Thi dengan seulas senyum tipis.

“Ta, aku gak bisa napas kalo gini caranya.”

“Wan jangan lebay deh.”

“Lebay apaan sih? Lo emang beneran nyari ribut sama gue, Mba?”

“Ya elu ngapain coba sampe segitunya? Pacar lo cuma demam Tay.”

Tay beranjak dari posisinya, menatap kakak perempuannya dengan tatapan sulit diartikan, “Lo ngatain gue lebay karna lo gak ngerasain di posisi gue saat Ibu bilang beliau gak apa-apa padahal beliau mau pergi.”

“Lo gak ngerasin Mba, lo gak ngerasain ada di posisi gue malam itu.”

“Kalau semesta ngambil Thi juga, gue harus pulang ke-siapa?”

Keadaan kamar mendadak mencekam terlebih semuanya bungkam setelah Tay tawan selesai berucap bersamaan dengan bangkitnya ia dari ranjang rumah sakit.

“Kalian kok malah bertengkar sih dek, Tay kamu pulang dulu gih bersih-bersih ntar ke sini lagi.” Rendra ambil suara.

“Iya Wan pulang dulu gih, New ada kita-kita yang jaga.”

•••

-Joya-